Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20. Something Happened to Aika

You're a person from my old memories, I take you back and I'll keep you. But, a person can't stay forever, sometimes they leave with tears.

Darja merebahkan tubuhnya, menatap langit-langit kamar. Semuanya tampak sepi, seperti kosongnya langit Jakarta setiap malam. Sudah bertahun-tahun berlalu, tapi semua yang berkecamuk dalam dirinya belum juga berkurang, meski saat ini, ia bisa sedikit menikmati kebahagiaan. Bersama dengan seseorang yang ia sayangi, bukankah itu menyenangkan?

Ketenangannya terusik, saat bel apartemennya berbunyi. Seseorang datang ke tempatnya hari ini, bergegas, cowok itu berjalan menuju pintu untuk membukakan orang yang memencet bel apartemennya seperti orang kesetanan. Ia tinggal di sebuah apartemen yang tak begitu mewah, sederhana, namun tidak juga jelek. Apartemen minimalis khas seorang bujang sepertinya.

"Ngapain lo ke tempat gue malem-malem gini?"

Darja menatap tak suka pada Erka dan Ega. Dua orang sepupunya, atau mungkin sepupu tiri. Kakek Darja berbeda dengan Erka dan Ega. Dulu, neneknya menikah dua kali, dengan seorang pribumi dan seorang laki-laki bule yang kemudian dikenal sebagai ayah dari Bryan-papanya.

"Lo apain Oma?" tanya Ega langsung.

Darja tersenyum miring, "gue cuma ngomong sama Oma, nggak ngapa-ngapain. Kenapa?"

"Keadaan Oma memburuk. Lo nggak seharusnya ngomong begitu sama Oma, gimanapun Oma itu nenek lo. Lo harusnya bisa nahan emosi, Ja. Oma lagi sakit."

Darja mendengus, ia melipat kedua tangannya di atas dada. "Apa Oma peduli saat gue kritis dulu, atau saat gue diseret papa buat ke psikolog lalu dialihtangankan ke psikiater tanpa pendampingan, siapa yang peduli?"

"Ja..." kata Erka, tapi cowok itu tak melanjutkan kalimatnya, sebab Ega sudah memotong.

"Apa bedanya sama Oma kalau lo balas dendam?"

"Gue nggak balas dendam, kalau lo mau tahu. Gue cuma ngomong sama Oma."

Ega menatap tajam Darja, cowok itu menarik kerah baju yang dikenakan Darja. "Momennya nggak tepat bego. Kalau sampai hal buruk terjadi sama Oma, lo yang akan disalahkan. Lo ngerti nggak?"

Darja menggeleng, melepas tangan Ega dari kerah bajunya. Ia masih menunjukkan senyum pada dua sepupunya itu, sebuah senyum masam yang selama ini selalu hadir saat berurusan dengan keluarganya.

"Gue udah biasa disalahkan, sekali lagi disalahkan, nggak bakal bunuh gue. Dan, satu lagi, lo nggak perlu repot-repot datang ke apartemen gue cuma buat ceramahin gue. Gue nggak butuh itu Eogan. Kalian bisa pergi," pungkas Darja, ia hendak menutup pintu apartemennya namun ditahan oleh Ega.

Satu pukulan mendarat di wajah Darja, Ega tampak benar-benar emosi menghadapi Darja yang sulit untuk diarahkan. Sikap keras kepala yang diturunkan dari Oma mereka.

"Bang Ega!" teriak Erka terkejut, tak menyangka Ega memukul Darja.

"Lo nggak pernah tahu sakitnya ditinggalkan dan dibuang, lo nggak pernah tahu gimana susahnya gue ngehadapin kejadian demi kejadian yang bikin gue trauma Ega, yang lo tahu kasih sayang kedua orang tua, Oma serta keluarga lengkap buat lo, lo nggak akan tahu apa pun tentang gue. Jadi, berhenti bersikap seakan-akan lo tahu banyak hal tentang gue. Biarin gue nata hidup gue lagi dan jadi manusia layak tanpa embel-embel buangan dari kalian," ujar Darja, setelah itu ia benar-benar menutup pintu apartemennya, mengabaikan teriakan Erka dan juga Ega. Ia hanya butuh mematikan semua lampu, dan tenggelam dalam kegelapan.

Ia hanya ingin berubah, bukan untuk dirinya sendiri, setidaknya ia ingin berubah dan menjadi pantas untuk Aika.

***

Aika mengamati Darja yang sedang berdiskusi dengan Didin terkait seminar yang akan dilaksanakan kurang dari satu bulan. Cewek itu menghela napasnya, sesekali sambil merenung sesuatu. Bahagiakah dia saat ini? Jawabannya mungkin iya, walau ia masih merasakan ganjalan, entah untuk apa. Semalam, ia berpikir keras tentang perasaannya pada Darja, yang ia temukan adalah perasaan nyaman, perasaan takut kehilangan yang begitu besar, dan sebuah perasaan untuk selalu bersama dengan Darja, menghadapi dunia dan segala problematikanya.

"Lo bahagia bisa jadian sama dia?"

Miranda duduk sambil mengamati Aika sekilas, mereka sedang berada di ruang kerja Ormawa, Aika yang sejak tadi sibuk melihat Darja dan Didin tidak menyadari keberadaan Miranda yang tahu-tahu sudah duduk di sebelahnya.

"Kelihatannya emang gimana?"

Aika menjawab dengan santai, ia tahu hari ini pasti akan datang. Hari di mana Miranda mendatanginya dan ia dicap sebagai perebut pacar orang misalnya. Aika menunggu reaksi Miranda yang belum juga mengeluarkan suara, cewek itu sibuk melihat kea rah Darja.

"Gue seneng, dia bisa bahagia," jawabnya singkat, tapi Aika tahu tersirat banyak makna di dalamnya.

"Lo nggak mau maki-maki gue misalnya?"

Menoleh, Miranda tersenyum masam, "buat apa?"

"Karena mungkin gue ngerebut Darja dari lo."

Miranda terkekeh, cewek itu menyelipkan rambutnya di belakang telinga. Ia melihat ke arah Aika sekilas, lalu diam untuk beberapa saat, membuat Aika sedikit gelisah menunggu reaksi mantan pacar Darja itu.

"Gue yang ngelepasin Darja, jangan terlalu percaya diri gue ngelepasin Darja buat lo, gue cuma mau Darja bahagia. Gue tahu selama ini dia nggak bahagia."

Aika menundukkan kepalanya, merasa tak enak dengan Miranda. Andai ia tidak datang, mungkin Miranda dan Darja masih baik-baik saja. Mungkin ini juga yang menjadi salah satu ganjalan di hatinya, tentang perasaannya pada Darja. Aika bukan tokoh antagonis yang ingin menyakiti orang lain atas kebahagiaannya, tapi ia juga manusia biasa yang punya rasa egois.

"Lo masih sayang sama Darja?"

Pertanyaan retorik itu berhasil menyurutkan senyum yang menghiasi wajah Miranda, cewek berambut panjang itu menatap kecut pada Aika. Pertanyaan yang sudah jelas memiliki jawaban tanpa harus ditanyakan sebenarnya.

"Gue nggak suka sama orang yang basa-basi doang, lo jelas udah tahu jawabannya. Lo aja bisa nyimpen perasaan lo lama kan? Nggak menutup kemungkinan, gue juga gitu."

"Sori, gue cuma yah, memastikan," kata Aika, ia tidak pernah dihadapkan pada orang yang pernah bersama dengan Darja dalam artian khusus, jadi perasaan cemburu itu mendadak hinggap di hatinya.

"Loh, Mir. Udah lama?"

Darja memecah keheningan dua cewek itu, Miranda tersenyum kecil, lalu mengangsurkan sekotak bekal yang berisi makanan untuk Darja.

"Buat lo."

Menerima kotak makan itu, Darja tampak tersenyum hangat pada Miranda, membuat dada Aika seperti terkena sengatan. Rupanya selain cantik, Miranda cukup jago masak, dan tampak begitu perhatian dengan Darja, hal yang mungkin jarang Aika lakukan.

"Masak sendiri?"

"Dibantuin Nyokaplah, ya kali gue masak sendiri."

Miranda tertawa renyah, sedangkan Darja meringis. Darja ingat, Miranda tidak begitu bisa memasak.

"Gue pergi dulu ya, ada kelas, see you."

"Thanks, Mir," ujar Darja seiring dengan kepergian Miranda.

Darja meletakkan kotak bekal itu di atas meja, pandangannya tertuju pada Aika yang sejak tadi diam, tak mengeluarkan sepatah kata pun, semenjak ia selesai berdiskusi dengan Didin dan menemui ehm pacarnya itu.

"Lo kenapa?" ia melempar pertanyaan.

Aika menggeleng, "jadi gimana keputusannya sama Didin?"

"Udah fix semua. Pamflet kan udah disebarin juga minggu lalu, laporan dari Wira kata si Didin tadi yang daftar seminar juga banyak."

"Syukur deh, gue pulang ya."

"Lo kenapa?" Darja bertanya lagi, membuat Aika menghentikan langkahnya. Cewek itu menghadap ke arah Darja, menghela napasnya berat.

"Just give me a space, gue cuma terlalu ruwet sama pikiran gue sendiri. Gue mau pulang, terus istirahat."

"Karena Miranda? Lo ngomong apa aja sama dia?"

Aika memejamkan matanya sesaat, air mata tiba-tiba merembes. Ia teringat ucapan-ucapan tidak mengenakan yang ia dengar dari beberapa anak di jurusan mereka, tentang kedekatannya dengan Darja dan kaitannya dengan putusnya Darja dan Miranda.

"Jaaa...lo tahu kan selama ini gue tersiksa karena nunggu lo selama itu? bertahun-tahun gue nunggu, dan itu nggak mudah. Lo tahu itu?"

"Ka, cerita sama gue, lo kenapa?"

Darja menggenggam tangan cewek itu, sebelah tangannya menyeka air mata Aika. Aika hanya cewek biasa, ia tidak pernah menerima omongan-omongan negative sebelumnya, keluarganya bahagia, mama papanya tidak pernah menghardiknya dan lingkungannya cukup sehat selama ini. Sekali menerima cemooh, rasanya ia tidak bisa menerima. Walau sejak tadi mencoba baik-baik saja, tapi kehadiran Miranda berhasil mengungkit ingatannya tentang hal yang membuatnya tidak nyaman.

"Karena gue ya lo putus sama Miranda? Seharusnya lo nggak ngelakuin itu, Ja."

"Nggak, bukan karena lo atau siapa pun. Itu udah kesepakatan gue sama Miranda."

"Mereka bilang gue perebut cowok orang, Ja. Jujur, gue baru tahu tadi, ada yang terang-terangan tanya hubungan kita dengan muka merendahkan ke gue. DM di IG gue isinya hujatan, gue dibilang bitch, whore."

Aika ingat beberapa teman akrab Miranda memandang kesal dan mencemooh padanya, ia menduga yang memenuhi DM hujatan di akun instagramnya tak lain juga teman-teman Miranda sendiri yang tidak terima cewek sebaik Miranda putus dengan Darja, apalagi ia yang menjadi orang yang paling dekat dengan Darja saat ini.

"Siapa? Siapa yang bilang, ngomong sama gue."

Darja tampak geram, hubungannya dengan Miranda memang cukup terkenal di kalangan anak fakultas, karena, selain ia memiliki jabatan dan menjadi sorotan di kampus, Miranda yang aktif menjadi duta kampus juga cukup dikenal di kalangan anak kampus, apalagi dulu Miranda sering mem-posting foto kebersamaan mereka di akun instagramnya.

Aika menggeleng, "nggak, lo nggak perlu tahu. Itu nggak penting, gue cuma merasa nggak nyaman. Gue anak manja yang nggak pernah menghadapi kerasnya hidup, dan karena hal sepele kayak gini udah berhasil bikin gue down."

"Itu salah gue karena kemarin nge-post foto lo, Ka."

Aika menggeleng, "nggak. Mungkin mereka bener, gue hadir di saat yang nggak tepat. So, give me a space, Ja. Gue nggak mau ini jadi drama berkepanjangan. Gue cuma butuh pulang dan istirahat."

"Gue anter ya?" tawar Darja yang dibalas gelengan oleh Aika.

"Gue pulang dulu ya, sori gue absen buat nggak ikut rapat nanti malem."

"Lo alasan gue buat pulih, Ka. Gue sayang sama lo, lo harus tahu itu. hati-hati pulangnya."

Aika tersenyum singkat, ia berjalan meninggalkan Darja. Ia hanya butuh untuk menenangkan diri dan mengusir perasaan tidak nyaman yang hinggap dalam dirinya. dia mencintai Darja, lebih dari apa pun.

***

"Oma semakin buruk keadaannya."

Darja menyesap kopinya, memerhatikan Erka yang tengah berbicara dengannya, mereka ada di sebuah kedai kopi, tempat biasanya mereka nongkrong untuk menghabiskan berjam-jam waktu, berdiskusi membahas hal-hal tertentu.

"Lo mau nyalahin gue?"

Erka menggeleng, "nggak. Oma udah keterlaluan sama lo selama ini, gue nggak nyalahin lo, gue tahu lo udah lama mendem semuanya."

"Terus maksud dan tujuan lo nemuin gue, apa?"

"Temuin Oma!"

Darja terkekeh, "Oma udah ngusir gue, Erka. Kehadiran gue kemarin aja bikin Oma memburuk, kalau gue datang dan keadaan Oma semakin buruk, ujung-ujungnya Nyokap lo dan keluarga yang lain nyalahin gue kan?"

Erka menghela napasnya, "gue minta maaf buat itu."

"Bukan lo yang harus minta maaf. Dari dulu gue emang nggak diterima, status sosial dari almarhumah mama memang nggak cocok ada di keluarga itu."

"Lo tetap bagian dari keluarga kita, Ja."

Darja tertawa, ingatannya terlempar pada masa lalu, masa-masa pahit dalam hidupnya. Sekarang, hidupnya lebih baik setelah memutuskan untuk keluar, walau memang ia merasakan kehampaan.

"Udahlah, Ka. Gue nggak pernah membenci mereka, setidaknya gue berusaha menerima dan memaafkan, perihal mereka menganggap gue sampah, itu urusan mereka. Hidup gue lebih baik sekarang, lo nggak perlu khawatir."

Darja beranjak dari kursinya, ia meninggalkan Erka yang tampak menghela napasnya pasrah. Sudah terlalu rumit dan dalam masalah yang terjadi antara ia dan keluarga papanya, sudah terlambat untuk diperbaiki. Yang telah rusak dan retak tidak akan kembali rekat, sekuat apa pun lem yang mencoba menyatukannya.

Darja melajukan sepeda motornya, menembus kemacetan Jakarta hari ini, menemui Romli. Ia masih ingin pulih, untuk bisa pantas berada di sisi Aika. Aika adalah satu-satunya yang ia miliki saat ini, setidaknya hanya Aika yang tidak membuangnya, hanya Aika yang menerima ia dengan segala kekurangan dan penyakit jiwanya.

Detik ini, Darja mengambil keputusan untuk tidak akan pernah kembali pada keluarganya. Ia tahu, mereka baik-baik saja tanpa kehadirannya. Darja ingin membangun kehidupannya sendiri, mencari kebahagiaannya sebelum Tuhan memanggilnya.

tbc

semangatin gue dong biar update lagi. Minimal seminggu tiga kali lah, biar cepet tamat, udah lama banget ini cerita nggak kelar-kelar :( komen yang banyak kek kemarin, biar gue semangat update buahaha :v

p.s gue udah nemu ending yang pas buat mereka

ig: aristav.stories

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro