Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19. Talk to Marie

Kenangan yang kamu ciptakan, menjadi hantu di kepala, menjelma sakit yang luar biasa. Sebab, luka yang kamu tinggalkan tidak bisa sembuh sampai habisnya lusa.

"Mikha, gue pusing sumpah."

Aika menelungkupkan kepalanya di atas meja di dalam kelas, baru saja dosen mereka yang bernama Bu Seruni keluar dari dalam kelas. Dosen mata kuliah penyusunan skala psikologi yang membuat Aika pusing tujuh keliling.

"Buset, gue gak paham dijelasin sosiometri, apaan tadi dah. Ya Allah gini amat dosen gue, pinter sih pinter, lulusan luar negeri, tapi kalau ngajar kayak ngajarin papan tahu nggak?"

Mikha menopang dagunya dengan tangan, ia menghela napasnya pasrah. Sumpah, kalau bisa Mikha angkat bendera putih, ia pasti akan mengangkatnya. Mikha tidak menyukai hal-hal yang berbau angka.

"Gue kira kuliah psikologi nggak ada beginiannya, Ka. Tahunya, pengin guling-guling gue. Belum lagi ntar kena stastistik nonparametrik, tambah mampus nggak tuh, Bu Seruni lagi yang ngajar. Ngebayangin angka-angka yang aduhai, pengin kobam gue."

Aika memegangi kepalanya yang bertambah pusing, memikirkan mata kuliah itu membuat perutnya mendadak mulas. Belum lagi kalau nanti ia mengambil skripsi dengan dosen pembimbing yang meminta untuk mengambil jenis penelitian yang melibatkan metode-metode durjana itu. sudah pasti ia kurus mendadak.

"Butuh asupan gizi dari Karyo," kata Mikha yang otaknya tiba-tiba mengingat Karyo. Seminggu ini, ia belum memalak Karyo.

"Ayo deh, dia habis gajian pasti."

Dengan muka lusuh dan tidak bersemangat, dua perempuan itu berjalan meninggalkan kelas. Di balik semua urusan perasaan yang membelenggu, bagi Aika tetap urusan kuliah yang paling memusingkan. Bayangkan deadline tugas hampir setiap hari, buku-buku tebal yang berisi ratusan teori siap membakar otaknya. Dan, mirisnya, sejauh ini Aika hanya mampu memahami teori milik Ivan Pavlov, Freud, dan Bandura. Lainnya? Katakan selamat tinggal, hanya mampir sekilas dan pergi begitu saja tanpa permisi.

***

Karyo mengelus dompetnya miris saat dua manusia tukang palak itu menyeretnya ke McD dekat kampus. Paket panas 2 berhasil merampas dua hari uang makannya—kalau ia beli makan di warteg.

"Kalian kenapa suntuk?"

Karyo membuka suara. Dua sohibnya itu memakan ayamnya seperti tak makan satu bulan, terlihat rakus? Coba ia yang melakukannya, alamat tamat riwayatnya sebagai anak ibunya yang terkenal menjunjung tinggi adat-istiadat kesopanan khas perempuan Jawa.

"Sebel sama kuliah, pusing kepala gue, Yo. Diem deh jangan banyak nanya, gue makan juga ntar."

"Astagfirullah, anaknya Tante Keyana, mirip sumpah," ucap Karyo membuat satu potong kentang mendarat di kepalanya.

"Gue bilangin Nyokap gue tau rasa lo, Ijuk Jawa," tandas Aika, ia lalu menyeruput sodanya. Mengabaikan Karyo yang meringis. Kepalanya sudah pusing dengan deretan tugas yang tak kunjung habis, mendekati akhir semester tugas semakin menggila.

"Mik, lo udah nemu kluen belum buat tugas psikologi komunitas?"

Mikha menghela napasnya lelah, "jangankan tugas itu ya, tugas bikin makalah kelompok psikologi kepribadian aja masih utuh, tahu nggak sih lo? Mumet gue, Ka. Copas tugas kating tahun lalu, bisa kali ya."

"Yeee gila, dosennya sama ya pasti bakal ketahuanlah, Mikhaila."

Mikha memegangi kepalanya, ia tampak benar-benar frustrasi. Di saat banyak tugas seperti ini, mendadak Mikha pengin pergi liburan, sepertinya menyenangkan, lama-lama ia bisa stress kalau memikirkan tugas-tugas yang terus menjadi gunung.

"Emang kelompok lo kebagian teorinya siapa?"

Karyo hanya diam menyikapi kedua sohibnya yang tampak sangat stress dengan tugas itu. Berbeda dengannya, ia rajin kalau soal mengerjakan tugas.

"Punyanya Henry Murray."

"Apaan? Brendan Murray?"

Mikha melempar tisue, Aika kalau sedang stress begini memang suka menyebalkan. Otaknya bisa-bisa konslet dan suka ngawur kalau bicara.

"Serah lo, Ka serah lo anaknya Tante Keyana."

***

Darja menarik panjang napasnya sebelum ia membuka pintu bercat putih yang ada di depannya. Erka memintanya untuk datang ke rumah sakit, sebab nenek mereka—Marie ditemukan pingsan dua hari yang lalu, dan didiagnosa serangan jantung. Sebenarnya, Darja tidak ingin menemui wanita tua yang telah menorehkan banyak luka dalam hidupnya itu, namun rasa empati dalam dirinya masih tersisa banyak untuk Marie. Bagaimana pun, dalam tubuhnya, Marie juga menyumbang DNA yang tidak bisa dihilangkan oleh Darja, sekalipun cowok itu ingin.

Pintu itu terbuka, Marie tampak terkapar tak berdaya ditemani oleh Bryan. Sedangkan tantenya tak tampak ada di sana, mungkin sedang pulang atau entahlah—Darja tidak peduli. Kalau boleh jujur, ia sama sekali tidak suka berada dalam lingkungan keluarganya yang bagi cowok itu memiliki banyak pengaruh negative untuknya.

"Untuk apa kamu ke sini?"

Marie berkata ketus, sementara papanya—Bryan hanya diam, pria itu tampak kaget melihat keberadaan Darja. Anaknya yang sudah lama tidak ia temui, namun tetap sesekali ia perhatikan dari jauh. Jarak yang terbangun antara Bryan dan Darja mungkin sudah terlalu lebar.

"Di dalam darah saya dan Anda, masih memiliki DNA yang sama, kalau Anda lupa."

Marie menutup rapat mulutnya, memandang tajam sosok Darja yang berada di dekatnya. Cucu yang tidak pernah ia harapkan kedatangannya, cucu yang tidak pernah ia anggap selama ini, hari ini berada dalam satu ruangan dengannya.

"Sebenarnya, saya tidak tahu apa yang membuat Anda membenci saya dan Mama. Apa karena Mama tidak datang dari keluarga terpandang, atau Mama yang tidak memiliki pendidikan yang tinggi sehingga tidak sederajat dengan Anda?"

Wajah Darja tampak datar, ia memutuskan untuk duduk di atas sofa dengan tangan bersedekap sambil menatap ke arah Marie. Mata itu tampak memancarkan luka yang dalam.

"Kamu sudah tahu alasannya, mengapa masih bertanya?"

Tersenyum masam, Darja memalingkan wajahnya. Cowok itu berusaha mengeyahkan segala hal yang ditahannya sejak tadi.

"Saya sering melihat mama saya menangis dulu, setiap kali Anda berkata kasar pada mama. Saya ada di situ, menyaksikan semuanya, bahkan saat mama saya akhirnya memutuskan bunuh diri dan melibatkan saya. Bukan karena mama saya putus asa, tapi mama tidak ingin lebih lama melihat saya menderita karena menerima penolakan Anda, Nyonya Marie."

Bryan menatap anaknya dengan pandangan penuh arti, seakan mengatakan pada anaknya untuk berhenti berbicara macam-macam pada ibunya. Ia tidak Darja menyakiti ibunya.

"Pagi itu, saya minum susu seperti biasanya. Tapi saya tidak menyangka, pagi itu menjadi pagi terakhir saya menikmati minuman favorit saya, pagi itu adalah hari paling kelam dalam hidup saya. Mama saya meninggal, saya hampir tewas, saya melihat mama meninggal di depan mata kepala saya sendiri, bahkan kematian terasa begitu dekat dengan saya. Lalu, ketika saya selamat, apa yang saya dapat? Kehilangan besar atas mama dan hinaan Anda."

Darja tertawa miris, memandang Marie yang tak bersuara sejak tadi. Hatinya begitu sakit saat mengingat semuanya, luka yang tak mampu ia raba itu tumbuh subur mengiringi saat di mana ia menjadi dewasa.

"Anda mengatakan saya gila, padahal sebenarnya saya tidak gila. Anda dan orang yang seharusnya mampu mengurus saya dengan baik, yang kemudian saya panggil sebagai Papa namun tidak saya kenali perannya sebagai seorang ayah menyerahkan saya pada psikiater, tanpa mau tahu apa yang menjadi alasan saya depresi waktu itu."

"Darja, hentikan!" kata Bryan yang hanya dianggap remeh oleh Darja. Ia sedang ingin mengeluarkan ganjalan di hatinya pada Marie, sebelum malaikat maut menjemput Marie atau bahkan dirinya terlebih dahulu.

"Saya butuh dukungan keluarga untuk sembuh, tapi sampai saat ini saya tidak pernah mendapatkan hal itu dari kalian. Menyakitkan, kalau kalian mau tahu. Saya manusia yang masih memiliki hati, tolong jangan lupakan itu."

Mengehela napasnya, cowok itu berdiri dari duduknya, ditatapnya Marie dengan dalam. Dalam lubuk hatinya, ia ingin wanita tua di depannya itu bisa menyayanginya sebagaimana seorang nenek menyayangi cucunya. Tapi, yang ia dapat hanyalah harapan kekosongan. Marie tidak akan benar-benar melakukannya.

"Ini bunga kesukaan Anda. Lima puluh tangkai mawar merah, semoga Anda cepat sembuh, Oma."

Darja meletakkan bunga yang sejak tadi dibawanya di atas ranjang Marie. Ia bahkan masih mengingat dengan benar, bunga kesukaan Marie, karena dulu mamanya dengan senang hati menanam mawar merah di halaman belakang dan merawatnya dengan baik, dengan harapan suatu hari bisa diterima sebagai menantu di keluarga itu, walau sampai akhir hayatnya, wanita malang itu tetap tidak pernah diterima.

"Dan....Pa, saya tahu Papa sudah menikah satu tahun pasca mama saya pergi, papa memiliki anak selain saya, saya tahu. Selamat berbahagia, jangan jadikan anak itu seperti saya. Mereka pasti akan diterima di keluarga Papa dengan sangat baik, karena perempuan itu sederajat dengan kalian. Saya pamit, Pa."

Darja melangkahkan kakinya yang terasa berat meninggalkan ruangan itu, menyisakan Bryan yang termenung, seperti baru terkena bongkahan besar yang menghantam dadanya dengan menyesakkan. Menatap kepergian anak yang tidak pernah lagi direngkuhnya karena lebarnya jarak yang sengaja ia ciptakan untuk Darja. Ia, seorang papa yang gagal.

***

Aika menyender di bahu papanya sambil asik memakan kue kering buatan mamanya. Ia menemani papanya menonton acara di televisi yang berisi debat tidak jelas antara pejabat negara dan pembicara dari salah satu partai politik yang akan maju pada pemilu nanti.

"Pa, Aika nggak mau ya kalau Papa terjun ke politik. Kejam, Pa, salah-salah Papa jadi korban. Inget Antasari, Munir dan siapalah itu. Aika ngeri tahu, Pa."

Papanya tertawa, mengelus kepala anak bungsunya itu. pria berkacamata itu menatap lurus televisi di mana perdebatan antara dua orang itu sedang berlangsung panas.

"Kalau Papa mau terjun ke dunia politik, sudah dari dulu papa menjadi anggota dewan."

Aika menatap papanya sekilas, pandangannya lalu jatuh pada acara televisi itu lagi. "Jadi pengusaha aja, Pa. Tetap bisa membantu negara dengan menyediakan lapangan pekerjaan kan?"

Jiver mengangguk, membenarkan ucapan anaknya yang tanpa ia sadari telah tumbuh dewasa dan cerdas dengan caranya sendiri.

"Setelah lulus nanti kamu mau lanjut S2 atau mau langsung kerja?"

Aika berhenti mengunyah, dengan senyum lebar ia menjawab pertanyaan papanya.

"Aku mau jadi psikolog, Pa. Mau lanjut S2 dong."

"Di mana? Di Indonesia ya?" tawar Jiver, ia tidak akan tega jika berjauhan dengan anak gadisnya itu.

"Di London ya, Pa. Ikut Aunty Cecelia."

"Kuliah di Indonesia juga tidak kalah bagus, semuanya kan bergantung bagaimana kamu mampu mengembangkan ilmunya, bukan perihal kuliah di mana."

"Ya nggak gitu, Pa. Aku pengin nyari pengalaman ah, biar bisa mengembangakan lebih banyak potensi, lagian di sana kan nggak lama. Nggak nyampai dua tahun. Papa mampu, dan ada biaya, jadi kenapa nggak dimanfaatkan dengan baik?" kata Aika, ia lalu nyengir.

Papanya tampak menyerah, mungkin mamanya yang bisa membujuk anak gadisnya itu agar tetap kuliah di Indonesia saja, karena bagaimanapun, rasanya tidak akan tenang jika membiarkan anaknya kuliah di tempat yang jauh, ia akan kesulitan menjaga anaknya.

"Emm...aku ke depan bentar ya, Pa?"

Aika menggenggam ponselnya, ia berpamitan pada papanya sesaat setelah menerima pesan. Cewek itu buru-buru berlari ke depan, mencari keberadaan seseorang yang tadi menghubunginya, membuat papanya kebingungan.

"Jaa...?"

Aika menemukan sosok yang tadi mengirimi pesan padanya, tampak duduk di atas motor besar yang biasa dibawanya sewaktu malas menembus kemacatan dengan mobil. Darja membuka kaca helmnya, ia tersenyum melihat keterkejutan di mata Aika.

"Apaan nih?"

Aika mengeryitkan dahinya saat Darja memberinya satu kantung plastik yang sepertinya berisi makanan.

"Seblak, tadi katanya lo pengin seblak. Gue kebetulan lewat tukang jualan seblak. Ya, gue beliin."

"Lo kok tahu?"

Darja terkekeh, ia menyelipkan helaian rambut cewek itu di belakang telinga. Memandangi Aika cukup lama, ia akan mengingat setiap kebersamaan yang tercipta antara dirinya dan Aika.

"Makanya jangan alay, apa-apa dibikin status," ucap Darja membuat Aika melotot sebal dan memukul bahu cowok itu.

"Nyebelin lo. Udah sana balik, gue nggak mau diomelin bokap."

Darja tersenyum, cowok itu menstater sepeda motornya, "thanks, semoga dengan ngelihat wajah lo, malam ini gue nggak mimpi buruk," katanya.

Wajah Aika terasa panas, namun ditutupi dengan sikap pura-pura mual di depan Darja, "idih, najis tahu nggak sih, alay lo, Ja. Udah sana pulang, thanks ya, besok lagi hehe..."

Darja terkekeh, "Selama malam, jangan lupa salat dan berdoa biar nggak mimpi buruk. Gue pamit ya," pungkas cowok itu, tanpa memberi kesempatan Aika untuk membalas ucapan selamat malanya, Darja sudah melajukan sepeda motornya meninggalkan kediaman Aika.

"Selamat malam, Ja. Jangan mimpi buruk lagi."

*** 

wes panjang gaes partnya :( 

Kalian mau cerita ini happy, gantung atau sad?

kalau gantung bakal ada sekuelnya, kalau sad yaudah sad kalau happy yaudah happy :(

gue ada part yang tinggal publish nih, asal komen kalian nyampe 300 wkwk

Ig: aristav.stories 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro