Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18. Cinta atau Obsesi?

Apakah perasaan cinta yang kita miliki bisa menjadi selamanya? Ataukah justru kita saling menciptakan luka pada akhirnya?

Darja melepas pelukannya dari Aika. Ia tak menampilkan ekspresi apa-apa, bibirnya terkatup rapat, matanya memandang Aika dalam. Seakan ingin mengatakan semua kegelisahannya yang telah mengakar kuat.

"Lo konsumsi obat?"

Darja mengangguk sekilas. Obat anti depresan, meski tidak setiap hari. Di saat-saat tertentu ia masih mengonsumsinya. Sejauh ini, hanya obat itu yang bisa membuatnya merasa lebih baik, walau efeknya hanya sementara, berlaku sesaat setelah mengonsumsi.

"Tahu kan, konsumsi obat kayak gitu nggak baik jika jangka panjang?"

"Gue tahu." Darja menghela napasnya, "But I have no choice."

Aika menepuk bahu Darja sekilas, ia mengingat-ingat sesuatu. "Ada kok, PTSD kayaknya bisa dikurangin dengan konsep cognitive behaviour, atau ego-state. Seinget gue sih itu. lo nggak mau nyobain?"

Darja mengangkat bahunya, ia pernah mencoba terapi dengan psikiaternya tapi belum tampak hasilnya hingga saat ini.

"Percuma—"

"Nggak. Itu karena lo belum mau membangun komitmen sama diri lo sendiri dan nggak ada yang dukung lo buat itu."

"Memang sekarang ada?"

Aika berdecak, menoyor kepala Darja, "lo nggak lihat ada gue?"

"Lo yakin mau dukung gue?" Darja bertanya dengan pandangan ragu.

"Kesel gue sama lo. Astagaa...bisa ya gue suka sama orang kayak lo? Pesimistisnya tinggi banget lagi."

Darja tersenyum masam. Nyatanya memang benar, ia sudah pesimis dengan harapannya untuk sedikit saja mengurangi rasa trauma itu.

"Ke lembaganya Pak Romli yuk. Kayaknya beliau bisa bantu lo."

Aika menggandeng tangan Darja, tanpa memberi kesempatan cowok itu untuk mengutarakan pendapat. Ia mungkin akan membolos kelas hari ini, tapi siapa yang peduli?

***

Darja menggenggam tangannya. Pikirannya berkelana, Aika benar-benar memaksa untuk datang ke sebuah lembaga milik Pak Romli yang letaknya memang tidak begitu jauh dari kampus. Sesekali Aika memandangnya dengan tatapan penguatan, bahwa semuanya akan berjalan dengan baik.

"Ini akan percuma, lo tahu itu."

Aika membuang napasnya, tahu Darja akan seperti ini, ia mencoba maklum. Orang seperti Darja tidak bisa diperlakukan dengan keras, harus menggunakan cara lunak dan konsisten. Karena proses pemulihan tidak ada yang instan.

"Ayo, udah ditunggu Pak Romli," kata Aika—setelah mereka membuat janji dengan salah seorang pegawai di lembaga itu.

Memberi kekuatan dengan sebuah genggaman hangat di tangan, Aika membawa Darja masuk ke dalam ruang praktik Pak Romli—yang kebetulan sekali sedang berada di kantor lembaganya, tidak sedang mengajar atau melakukan hal lain yang mungkin membuatnya tidak berada di sini. Pak Romli adalah salah satu dosen di kampus yang memang ahli dalam penerapan konseling.

"Pak..."

Aika menjabat tangan Pak Romli begitu pula dengan Darja. Pak Romli tersenyum singkat dan mempersilakan keduanya untuk duduk. Ruangan yang luas dan cukup nyaman, di dindingnya terdapat beberapa foto hasil kegiatan lembaga, seperti konseling healing korban tsunami di Mentawai beberapa tahun lalu dan beberapa kegiatan lainnya.

"Kalian mahasiswa saya, bukan? Seperti tidak asing."

Pria berkepala pelontos itu mencoba mengingat dua anak manusia yang sedang berada di depannya.

"Benar, Pak. Saya Aika dan ini Darja, kami mahasiswa Bapak di kampus."

Romli—pria itu mengangguk tanda mengerti.

"Lalu, siapa yang ingin berkonsultasi?"

"Laki-laki yang di samping saya ini, Pak. Saya ingin dia pulih dari traumanya."

Romli menatap Darja dengan saksama, wajahnya menampilkan kesan penerimaan yang baik—salah satu hal yang harus dilakukan untuk membangun sebuah hubungan yang baik dengan klien.

"Darja, bisa kita membuat kesepakatan?"

"Apa ini akan berhasil, Pak?"

Darja berbicara dengan pandangan ragu. Romli tersenyum kecil, ia meraih beberapa lembar kertas dan sebuah bolpoin dari dalam laci meja.

"Untuk membuat sebuah penemuan, seorang peneliti bisa melakukan ribuan eksperimen sebelum ia berhasil menemukan sesuatu yang baru."

Darja melihat ke arah pria itu. ia memegang kepalanya yang mendadak berat.

"Kita tidak akan pernah tahu apakah traumamu itu bisa dikurangi atau tidak tanpa mencoba. Saya juga manusia biasa, kalau saja salah memberi treatment itu bukan suatu hal yang aneh. Beberapa kasus psikologis memang memiliki kemiripan, tapi kadang, tidak semua terapi cocok untuk klien dengan masalah yang sama."

Cowok itu mengerjapkan matanya. Memang benar yang dikatakan oleh Pak Romli, ia pun sudah mengalaminya sendiri, beberapa terapis tidak bekerja dengan baik untuknya. Hingga akhirnya ia menggantungkan dirinya pada obat anti depresan.

"Bisa kamu ceritakan keluhan-keluhan yang kamu alami selama ini?"

Darja menoleh pada Aika, lalu pandangannya kembali pada Romli. Ingatan itu menyerbu masuk ke dalam dirinya, ia hela napasnya berkali-kali, seperti ada sebuah ketakutan hebat di dalam dirinya yang sulit untuk diungkapkan. Lidahnya secara mendadak menjadi kelu, keringat dingin membasahi kulit.

"Sepertinya kamu sulit mengatakannya. Ini kertas dan bolpoin, kamu mau menuliskannya?"

Selembar kertas HVS dan sebuah bolpoin bertinta biru berada di hadapan Darja. Cowok itu meraih bolpoin yang diberikan oleh Romli. Berpikir, dengan menulis ia akan lebih mudah untuk mengatakan secara garis besar konsep masalahnya.

"Tulis masalahmu secara garis besar, berikut ketekutan-ketakutan dan beban yang selama ini ada dalam dirimu."

Mengikuti intruksi, cowok itu berusaha menulis masalah-masalahnya selama ini berikut ketakutan, beban dan rasa gelisah yang telah lama ia pendam. Ia terus bertarung dengan perasaan itu sampai detik ini.

Setelah selesai, Darja memberikannya pada Romli, pria itu menerima dengan senang hati, seakan berkata pada Darja semua akan baik-baik saja. Ia pasti bisa pulih, dan pelan-pelan akan melupakan hal-hal yang selama ini menjadi hantu di kepalanya.

"Kejadiannya saat kamu kelas 8 SMP, pagi itu kamu sarapan bersama mamamu, dan segelas susu dihidangkan mamamu seperti biasa, kalian meminum susu itu bersama, hingga akhirnya kamu melihat kematian mamamu karena susu itu ternyata mengandung racun, sedangkan kamu bisa diselamatkan sebab baru meminum sedikit, kamu mengalami kritis karena racun yang masuk ke dalam tubuhmu. Benar?" Romli melakukan konfirmasi pada Darja, cowok itu bergumam iya.

"Kamu menjadi takut dengan susu, apa yang membuatmu takut?"

Menghela napasnya berat, "Susu itu mengingatkan saya tentang kematian Mama, susu itu yang membuat Mama takut. Setiap saya melihatnya, saya merasa semua susu mengandung racun. Saya sulit mengontrol diri saya sendiri."

Aika yang melihatnya hanya bisa terdiam di tempatnya, terlalu sulit membayangkan menjadi Darja. Kalimat demi kalimat yang Darja utarakan kepada Romli membuat hatinya mencelus, seperti hanyut dalam ingatan Darja pada kejadian yang merenggut nyawa ibunya dan membuat Darja hampir mati.

***

Setelah bertemu dengan Romli, kedua anak manusia itu memutuskan untuk meminum cokelat panas di sebuah kafe dekat rumah Aika. Darja tampak sedikit lebih baik, pertemuan tadi memang hanya membahas mengenai masalah Darja, belum masuk ke dalam proses terapi untuk cowok itu. namun, keberadaan Aika entah mengapa sedikit banyak memengaruhi cowok itu, ia hanya merasa....lebih lepas dalam menceritakan segala hal yang mengganjal dalam hidupnya.

"Ja..."

"Hmm.."

"Gue ada di sini. Lo nggak sendiri, gue bisa jadi sahabat yang bisa lo andelin, lo nggak sendirian di dunia ini, sekali pun keluarga lo nggak lagi menganggap lo bernapas, tapi gue selalu menghargai setiap detik napas yang lo hirup, karena gue tahu, lo berhak untuk diterima dan bahagia. Lo ngerti kan, gue peduli sama lo?"

Meletakkan cangkir cokelat panas yang tadi ia pegang di atas meja, Darja tersenyum tipis melihat Aika.

"Gue udah jahat sama lo, kenapa masih peduli?"

"Papa selalu ngajarin gue buat nggak membalas kejahatan yang dilakukan orang lain sama gue. Papa bilang, jika gue dijahatin orang, itu tandanya Tuhan ingin gue belajar untuk lebih menjadi dewasa."

Darja tersenyum masam, "lo beruntung, punya orang tua yang peduli sama lo."

Aika menundukkan kepalanya, ia tidak tahu sejauh apa hubungan Darja dengan keluarganya, yang pasti melihat bagaimana tertekannya Darja selama ini, ia bisa menebak bahwa hubungan Darja dan keluarganya jauh dari kata harmonis.

"Soal hubungan lo sama Ega. Sejauh mana?"

"Lo kepo." Aika tertawa singkat, cewek itu berusaha mencairkan suasana yang sedikit tegang karena pembahasan orang tua.

"Jadi?"

"Dia bilang suka sama gue dan minta kesempatan. Itu sih singkatnya."

"Dan lo kasih?"

Aika mengangkat kedua bahunya, tak memberi jawaban pada Darja. Ia meraih sepotong kentang goreng yang ia pesan, memakannya dengan campuran saus tomat.

"Kalau gue minta kesempatan yang sama, menurut lo bagaimana?"

Tersedak kentang yang ia makan, Aika buru-buru meminum cokelatnya yang tak sepanas tadi. Ia menatap Darja dengan kedua alis bertaut, seakan menganggap ia tadi salah mendengar atau mungkin Darja salah berbicara.

"Gue nggak paham. Maksud lo gimana sih?"

"Gue nggak tahu bisa hidup sampai kapan, bisa aja besok gue mati. Dan gue nggak mau menyesali semuanya, kalau suatu saat gue mati sedangkan gue belum bilang sama lo tentang..." Darja menggantungkan kalimatnya. Menatap Aika dalam.

"Perasaan cinta gue buat lo."

"Apaan sih? Becandanya jangan gitulah, jangan buat gue berharap."

Darja menggeleng, meraih tangan Aika dan menggenggamnya dengan kedua telapak tangan besarnya. Ia tidak tahu pasti, mengapa mulutnya tiba-tiba berkata seperti itu, tapi sebagian besar hatinya bersorak bahagia, tanda apa yang dilakukannya benar. Kehadiran Ega memang cukup mengusik egonya. Ega sudah mendapatkan segalanya, apakah harus Aika juga bersama Ega?

"Gue cinta sama lo, tapi gue terlalu pengecut dan terlalu buruk untuk ada di sisi lo. Gue nggak mau lo tambah terluka dan kecewa karena mental gue yang sakit. Tapi, saat ini gue lagi pengin egois, Aika. Gue pengin bahagia meski itu singkat."

Darja melepas genggamannya, ia menundukkan kepalanya sekilas. Menghindari tatapan Aika.

"Bantu gue, buat pantas ada di sisi lo."

"Ja...nggak ada manusia yang sempurna, cowok ganteng aja nggak melulu sama cewek cantik, yang tinggi nggak selalu cocok sama yang tinggi, dan lo...nggak perlu ngerasa enggak pantes buat gue. Selama ini, toh gue nggak mencari kesempurnaan, karena seperti yang lo tahu gue juga manusia yang banyak kekurangan."

Darja menatap Aika lagi. "Gue nggak nyangka lo sedewasa ini."

"Lo pikir gue cuma bisa bertingkah absurd kayak bocah?" sungut Aika membuat Darja tergelak.

"Jadi..."

"Mulai sekarang lo adalah pacar gue," potong Aika cepat. Ia laku tertawa, merasa konyol.

Darja menaikkan sebelah alisnya, memandang Aika dengan jenaka, bukankah mereka terlalu drama, hanya untuk mengatakan perasaan masing-masing?

"Kok lo malah yang maksa."

Aika tertawa lagi. Mendengar Darja mengatakan perasaannya saja sudah membuat Aika lebih baik, bunga-bunga di hatinya bermekaran dengan cepat. Ia tidak perlu menuntut status, ia hanya ingin Darja mengungkapkan perasaannya secara gamblang.

"Zamannya emansipasi, cewek juga bisa mengklaim duluan sekarang."

Aku terkekeh. Namun, di satu sisi Aika takut, perasaan yang Aika miliki untuk Darja hanyalah obsesi semata, yang akan hilang saat tujuannya mendengar ungkapan perasaan Darja terpenuhi. Ia hanya butuh meyakinkan segalanya, ia perlu lebih banyak waktu. Karena tiba-tiba, bunga yang sedang bermekaran itu mendadak tak sesegar tadi. Aika menarik napasnya, melihat ke arah Darja yang meskipun masih mampu membuat dadanya berdegup kencang, namun mendadak menghantarkan keraguan dan tanda tanya besar di hatinya.


yaiy, kita sampai pada part 18 :') betewe seperti biasa, me tidak akan membuat cerita sepanjang jalan yang sampai lima puluh part lebih, because me tydac bisa dan pasti akan sangadzz membosankan, because me tydac begitu suka cerita yang 'maksa' banyak part dengan menyelipkan banyak adegan bahagia :') ntah kenapwhy itu susah.

Aristav.stories on ig, let's follow!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro