15. Dia Peduli
Kamu memintaku mengerdilkan perasaan yang datang tak tentu waktu dan tak tahu malu. Tapi kamu lupa, ia telah terlanjur tumbuh menjadi raksasa dan menjadi pongah luar biasa.
"Lo kenapa?"
Aika menggeleng. Ia hanya meringis sambil memegangi perutnya yang terasa melilit, bulir keringat berjatuhan, rasa sakit itu kian menjadi.
"Sakit?" tanya Darja sekali lagi. Mereka sedang berada di dalam gedung Ormawa, markas BEM U, dan hanya sisa mereka berdua karena yang lainnya sedang ada jam kuliah. Lagipula anggota pengurus BEM juga belum terbentuk sepenuhnya, pasangan Presiden dan Wakil Presiden BEM itu baru akan menyeleksi kepengurusan dua hari lagi.
"Awh, aduh duh."
Darja mendekati cewek itu, diusapnya peluh yang menetes dari dahi Aika, tak tega melihat Aika yang sedang menahan perih di perutnya.
"Pulang aja deh!"
"Gue ada kuliah nanti."
"Bolos."
"Enggak! Ada presentasi."
"Ya udah gue beliin obat. Tapi lo sakit apaan? Maag atau?"
Aika meringis, cewek itu nyengir pada Darja. "Siklus bulanan, lo tahu?" katanya dengan pipi merah padam. Mengatakan sedang datang bulan pada cowok bagi sebagian perempuan memang hal yang sedikit memalukan, lebih tepatnya karena itu privasi dan cukup pribadi bagi mereka.
"Ngomong daritadi, malu lo?"
Aika menggeleng, matanya membulat, cewek itu lalu berdiri dari duduknya hendak ke kamar mandi sebelum Darja melanjutkan kalimatnya.
"Lo...berdarah," kata cowok itu membuat tubuh Aika kaku di tempat.
Oh sialan!
"Shit! Mati gue, engga bawa pembalut lagi."
Mendekati cewek itu lagi, Darja menepuk bahu Aika yang tampak frustrasi sambil menahan sakit di perut bagian bawah.
"Nih, lo pakai jaket gue, agak panjangan bisa nutupin sampai paha. Kalau dosen tanya kenapa lo pake jaket, bilang aja sakit. Lo tunggu di sini, gue cariin pembalut."
Wajah Aika tambah merah padam, Demi Tuhan! Darja mau mencarikannya pembalut? Oh sialan sekali, memang cowok itu tahu pembalut yang biasanya dia pakai? Aika ingin mengelupas kulit wajahnya saat ini juga.
"Lo...lo serius?"
Darja mengangguk dengan pasti, "Gue pernah diminta Mama nyari pembalut di minimarket depan pas Mama lupa beli dulu, ya sebelum Mama pergi." Darja tersenyum dengan pahit.
"Astaga tapi gue malu!"
"Ya kalau lo ngga malu sih gue nggak masalah. Tapi lo yakin?"
Darja menaikkan sebelah alisnya, menunggu Aika memberi jawaban. Mengembuskan napasnya pasrah, Aika tidak memiliki pilihan karena perutnya pun sedang sakit, tidak mungkin ia pergi ke minimarket sendirian dengan kondisi meringis seperti ini, empat puluh lima menit lagi ada perkuliahan, ia tidak mungkin pulang. Nanggung.
"Ya udah, yang panjang ya, ntar gue WA merknya."
Darja mengangguk, ia mengeluarkan kunci motor dari saku celana. "Lo di sini aja," katanya sebelum pergi, meninggalkan Aika dengan setumpuk rasa malu.
***
Berada di rak yang dipenuhi pembalut wanita membuat Darja diperhatikan oleh para pembeli perempuan sejak tadi, beberapa menahan tawa dan beberapa lagi terang-terangan tertawa di sampingnya, cowok itu hanya diam sambil memerhatikan beberapa merk pembalut yang membuatnya pusing. Dengan bodohnya, ia lupa membawa ponsel miliknya yang tadi di-charger di ruang Ormawa.
"Emh Mas, tahu pembalut panjang yang bagus nggak?" tanya Darja akhirnya ketika seorang pelayan minimarket lewat di sekitarnya.
"Waduh Mas, saya kan cowok. Mana saya tahu? Sebentar deh, saya panggilkan temen saya yang cewek."
Darja meringis, merasa terlalu tolol karena bertanya tentang urusan perempuan kepada sesamanya. Selagi menunggu, cowok itu tetap berdiri di tempatnya sambil mengetuk-etuk kakinya ke lantai, merasa risih semenjak tadi diperhatikan perempuan di sekitarnya.
"Masnya mau nyari model apa memangnya?"
Darja menoleh kepada seorang pegawai perempuan yang telah berdiri di dekatnya.
"Saya kurang tahu, tapi tadi pesennya yang panjang."
"Oh ini aja bagus, biasanya banyak yang pakai ini, Mas. Buat pacarnya ya?"
Darja tak menanggapi pegawai perempuan itu, ia lalu meraih salah satu pembalut berwarna hijau yang diklaim bagus oleh pegawai perempuan itu lalu membawanya ke kasir.
***
"Itu air sama obat buat lo, sori agak lama."
Darja memberikan satu kantung plastik berisi pembalut, obat dan air minum untuk Aika. Cewek itu menerimanya dengan raut wajah menahan malu.
"Lo tumben baik?"
"Katanya temen?"
Aika mengembuskan napasnya, ia memaksa untuk menarik kedua sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman.
"Iya, makasih ya temen, gue ke kamar mandi dulu."
Sepeninggal Aika, Darja memilih untuk duduk di atas kursi yang ada di ruangan itu. cowok itu meraih ponsel yang tadi di-charge, membuka beberapa pesan yang masuk, termasuk pesan dari Miranda yang sejak pagi tadi belum ia balas. Setelah menyelesaikan membalas beberapa pesan penting dan mengabaikan yang tidak penting, Darja memilih menyandarkan tubuh lelahnya di bahu kursi, memerhatikan ruangan sekitar, sampai matanya berserobok dengan sebuah buku berwarna biru dongker yang tergeletak di atas kursi yang tadi diduduki oleh Aika. Dengan tidak yakin, ia meraih buku itu, membukanya pelan-pelan. Ada sebuah sketsa yang wajah yang dikenalinya, terlukis di halaman awal buku tersebut. Sketsa yang memang tidak sepenuhnya mirip namun mendakit struktur wajahnya, cowok itu lalu memutuskan untuk memutuskan untuk membuka halaman berikutnya. Ada beberapa bait kalimat yang membentuk paragraph tertulis di sana.
Bagaimana harus kupahami tentang kehilangan yang menyedihkan? Padahal kamu tidak pernah menjadi hak milik. Kamu hanya berada di batas halusinasi, yang selalu kusemogakan, meski nyatanya, semesta tidak pernah merealisasikan.
Mereka bahkan kamu terus menerus memaksaku untuk melupakan perasaan mencekam ini, tanpa satu pun orang yang sadar, bahwa perasaan yang datang sekian lama dan telah kuendapkan jutaan detik, tidak sesederhana itu untuk dibuang dan bahwa, harapan yang telah kupeliharan sekian ribu hari, tidak mungkin kupadamkan hanya dengan satu dua kali percobaan. Setidaknya, aku butuh jutaan detik lagi untuk lupa, aku butuh sekian ribu hari lagi untuk bisa, membuang luka yang pada akhirnya terlanjur tertoreh.
Menyakitkan, kalau kamu mau tahu.
Darja menutup buku itu, mengembalikan ke tempat semula. Ia memejamkan matanya, memikirkan kalimat Aika yang sudah pasti untuknya. Melupakan memang semenyakitkan itu. Tapi sekali lagi, perasaan yang dimiliki bersama tidak melulu harus bermuara pada satu titik. Darja telah membuat keputusan, diantara dirinya dan Aika tidak akan pernah ada cerita. Cowok itu menghela napasnya, setidaknya untuk saat ini, ia tidak ingin bersama Aika. Jika suatu hari nanti, Aika adalah takdir yang disiapkan Tuhan untuknya, ia akan menerimanya, tapi untuk saat ini terlalu dini membahas tentang akhir, bukankah ia harus menata awal hidupnya dengan baik? Awal hidupnya setelah terlepas dari keluarga yang mengukungnya selama bertahun-tahun itu?
"Gue ada kelas, gue cabut dulu ya," kata Aika begitu ia kembali dengan wajah yang sudah lebih baik.
"Hmmm...ntar malam gue jemput, gue ada utang sama lo. Lihat bintang."
Aika mengendikkan bahunya, "Memang bintang bisa dilihat dari Jakarta?"
"Ada teleskop, mungkin bisa."
"Gue pikir-pikir dulu, nanti kalau iya gue ajak Mika."
Darja mengangguk singkat, membiarkan Aika pergi. Rasanya masih ada yang mengganjal, terlebih setelah ia membaca tulisan Aika. Sesulit itu memangnya melupakan cinta pertama? Cowok itu memegang kepalanya, saat ini bukan waktunya memikirkan tentang cinta, ia harus memantaskan diri terlebih dahulu jika memang Tuhan menyiapkan Aika untuknya.
Ting
Satu pesan masuk, dari Miranda. Cowok itu lalu membukanya.
Miranda: Nanti malam, gue bawain makanan. Mama masak banyak hari ini, ada acara pengajian tujuh bulanannya kakak di rumah.
***
Dikit aja yang penting bisa mengobati rasa kangen, jadi, nggak ya mereka lihat bintang? Haha emang bisa di kota besar lihat bintang :') Surabaya aja engga muncul. Btw gue ngga tahu kapan lagi bisa update, yang jelas makasih banget buat semua yang masih cerita nungguin Darja-Aika walau engga pasti. P.S gue ngga sempet ngedit, mon maap kalau banyak typos.
Regards,
Ig: aristav.stories dan aristavee
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro