Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13. Putus

Perasaan yang pernah kita miliki dulu tak pernah bisa kita realisasikan dengan baik, tak pernah mencapai tujuan yang sama, sekeras aku berusaha dan sebanyak aku meminta pada Sang Kuasa, kita tetap berada pada jalur yang berbeda.

Darja meringis sewaktu lukanya dibersihkan oleh Miranda. Cowok itu tampak sekali sedang menahan sakit di kepalanya karena semalam usai sedikit kerusuhan di Pemira, ia sempat terkena lemparan botol yang entah siapa yang melakukannya. Kejadiannya sangat cepat, ujung botol itu tepat mengenai dahinya dan menimbulkan sedikit darah yang pagi ini menjadi memar.

"Sakit? Makanya hati-hati!" seru Miranda menekan plester yang ditempel didahi Darja dengan sedikit keras.

"Lucu, plasternya warna pink, gambar gajah haha..."

Darja mendengus, menatap malas pada Miranda. "Lucu darimana?"

"Ciee Pak Pres BEM marah haha, udah ah jangan marah, ntar gantengnya hilang."

Tersenyum kecil, Darja mengacak rambut Miranda yang sudah tertata rapi. Pacarnya itu pagi-pagi sudah datang ke apartemennya, tanpa banyak mengucapkan kata, Miranda lantas memaksa Darja untuk duduk di salah satu sofa dan mengobati lukanya.

"Tuh, udah aku bawain makanan. Makan yuk," ajaknya sambil menunjuk bekal makanan yang tadi dibawanya. Bukan hasil masakannya sendiri, Miranda tadi membelinya di restoran cepat saji yang tak jauh dari lokasi apartemen Darja.

"Kamu kapan bisa masak?"

Miranda menggeleng-gelengkan kepalanya, ia mulai membuka bungkus makanan itu dan menyiapkannya untuk Darja.

"Tar, kalau sudah jadi bini orang."

Darja tergelak. Berbicara dengan Miranda selalu terasa menyenangkan, dan membuatnya bisa menemukan teman yang mengertinya dengan baik. Miranda sosok yang dewasa, mampu memahami dirinya dan segala keanehan dalam diri cowok itu.

"Jaa... kamu suka ya sama Aika?"

Darja berhenti mengunyah. Ia melihat ke arah Miranda dengan pandangan menerawang, cowok itu lalu tersenyum kecil, kembali menikmati makanannya.

"Kenapa nanya begitu? Cemburu?"

"Munafik banget kalau aku nggak cemburu, kamu pacarku loh."

Bibir Miranda mengerucut, menatap sebal pada Darja yang malah tertawa di sela makannya. Cowok itu meletakkan kembali makananya, berjalan ke arah nakas meja. Di sana, ada bingkai foto yang berisi foto keluarganya, Darja lalu menyingkirkan bingkai foto itu, dan tampak sebuah bingkai yang lebih kecil. Bingkai foto berwarna biru muda dan foto dua orang anak kecil di dalamnya, seorang anak laki-laki dan perempuan. Darja mengambil foto itu, membawanya pada Miranda.

"Itu foto Aika," katanya pada Miranda.

Miranda memerhatikan bingkai foto itu dengan saksama. Foto itu memang wajah Darja dan Aika, ia mengenali benar struktur wajah Darja, dan potret anak kecil itu adalah gambaran Darja di masa kecil.

"Cinta pertama kamu?"

"Bisa dibilang begitu."

Darja tersenyum masam. Cinta pertama yang tidak pernah bisa bersama. Bullshit-lah dengan segala insecure-nya, Darja terlalu pengecut untuk melibatkan Aika dalam hidupnya dan memilih Miranda hanya karena Miranda terkesan lebih dewasa dan mirip mamanya.

"Masih cinta?"

Darja mengangkat kedua bahunya, ia melihat ke dalam sorot mata Miranda. Ada tatapan terluka di sana, walau cewek itu masih berusaha bersikap biasa-biasa saja. Ya, siapa yang tidak akan terluka jika pacarnya membicarakan perempuan lain di depannya?

"Ja, kamu bilang aku bisa pergi kalau aku udah nggak bisa bertahan di sisi kamu kan?"

Darja meletakkan bingkai foto itu. dilihatnya Miranda dengan dahi yang menumpuk kerutan, cowok itu mengangguk mengiyakan pertanyaan Miranda. Hubungan mereka memang aneh.

"Mau pergi sekarang?"

"Aku rasa kita lebih cocok jadi sahabat. Hati kamu enggak pernah buat aku kan, Ja?" pertanyaan retorika dari Miranda membuat cewek itu tertawa sendiri. Naif sekali dirinya.

"Maaf."

Darja mengucapkannya dengan lemah. "Kita berakhir?"

"Ya, berakhir."

Miranda meringsek, ia memeluk Darja. Mungkin untuk terakhir kali, mereka memang berakhir sebagai sepasang kekasih, namun tidak sebagai dua orang sahabat yang mengerti satu sama lain. Darja mengecup puncak kepala Miranda, mengelus punggung cewek itu sampai Miranda merasa sedikit tenang.

"Thanks, udah pernah jadi pacarku. Aku bangga loh punya mantan pacar Presiden BEM, kapan lagi?"

Darja tersenyum tipis, ia tak bisa mengeluarkan kata-katanya lagi, sadar sudah menyakiti Miranda, dan tahu kalau ini terbaik untuk mereka, terutama Miranda. Ia berhak menjalin hubungan dengan cowok lain. Miranda cantik dan populer, pasti mudah mendapatkan pasangan.

"Ja, jangan lepasin sesuatu yang pasti buat lo nyesel nantinya," katanya, ia mengganti panggilan aku-kamu menjadi lo-gue seperti dulu saat mereka belum berpacaran.

"Ayo, gue anter pulang. Sekalian gue mau ke kampus."

Darja berdiri, tanpa menjawab pertanyaan Miranda tanpa sempat melanjutkan makannya.

***

Aika menguap beberapa kali. Dia sangat mengantuk setelah semalam tidak bisa tidur, dan pagi ini harus bekerja ekstra membuat power point untuk presentasi yang akan dilaksanakan sepuluh menit lagi. Muka cewek itu sudah pucat pasi, tangannya sedikit bergetar karena takut tidak terkejar. Ia berperang melawan waktu, sialan sekali memang.

"Asataga Tuhan! Gue stress Mika, stress!" pekiknya melihat monitor laptop.

Ia sedang memasukkan beberapa data ke dalam power point untuk dijadikan bahan presentasi.

"Sialan, ini kita lagi bahas stress dan gue beneran stress hari ini. Ya Allah, dosa apa Aika unyu anak Papa Jiver dan Mama Keya, kenapa Tuhan Aika musti lupa ngerjain tugas."

Mika menoyor kepala cewek itu karena kesal. Ini tugas minggu lalu dan dengan segala kealfaan Aika, cewek itu lagi-lagi lupa, kalau sudah begini ingin rasanya Mika melaporkan kelakuan temannya itu pada papanya.

"Selamat pagi, siapa yang presentasi hari ini?"

Pak Erfan—si dosen ganteng pujaan mahasiswi datang dengan wajah datar seperti biasanya, beliau langsung membuka laptop sambil melihat para mahasiswanya yang tampak sedikit tegang. Darja yang duduk di belakang—ini mata kuliah di mana Darja mengulang—tampak memerhatikan cewek itu.

"Oke selesai. Tuhan, terima kasih."

"Siapa yang presentasi? Kenapa tidak dijawab?"

Pak Erfan bertanya lagi, membuat Aika nyengir dan langsung membawa laptopnya maju, diiringi teman satu kelompoknya. Benar-benar presentasi yang sangat alakadarnya dan kurang paham.

Aika membuka presentasi dengan hati deg-degan, ia mencoba tersenyum walau terkesan memaksa, sementara Pak Erfan melihat makalah kelompoknya dan sesekali melihat kelompok Aika presentasi.

"Sepertinya anda melewatkan satu pembahasan tentang apa itu stressor, bukankah sudah saya bilang, sub bab yang dibahas sesuai dengan RPS yang sudah disusun oleh Profesor Ilham?"

Pertanyaan setan dari Pak Erfan membuat wajah Aika semakin pucat. Lidahnya mendadak kelu, ia meneguk ludah susah payah sambil melihat takut pada Pak Erfan.

"Siapa yang membuat PPT-nya?"

Aika mengacungkan tangannya, dengan sedikit takut ia meringis pada Pak Erfan yang hanya dibalas dengan helaan napas.

"Baiklah saya mengerti, saya maklumi untuk kali ini Aika, karena sepertinya kamu sedang kurang sehat. Lain kali jangan diulangi."

Aika bernapas lega, ternyata Pak Erfan masih memiliki sisi baik, pandangannya berserobok dengan tatapan Darja yang mengarah padanya. Tidak ada yang mengucapkan kata-kata, mereka lalu saling membuang pandangan.

***

Dengan earphone yang terpasang di kedua telinganya, cewek itu berjalan menuju kafetaria kampus, Aika merasa lebih tenang karena mendengarkan musik istrumen setelah kejadian tadi di kelas Pak Erfan. Papanya bilang, musik instrument bagus untuk menenangkan jiwa yang sedang gelisah, para penderita anxiety, depresi dan stress. Cewek itu tersenyum tipis begitu menemukan segerombolan laki-laki yang akhir-akhir ini menjadi teman nonkgrongnya. Siapa lagi kalau bukan Dika and the geng.

"Bu Wapres datang cui, traktiran dong kita. Habis menang juga."

"Pala lu Mas traktiran, kagak tahu apa gue lagi bokek."

Dika menaikkan sebelah alisnya. "Lah emang kemana duit lo?"

"Raib Ya Tuhan, gue habis beli skincare, tadi baru gue transfer duitnya. Subhanallah," kata Aika dramatis. Ia tidak munafik untuk urusan skincare, banyak perempuan yang rela mengorbankan tabungannya untuk membeli beragam produk skincare, Aika tidak dalam pengecualian. Ia cewek biasa yang suka khilaf kalau sudah melihat diskon skincare di olshop langganan, apalagi situs-situs yang menawarkan gratis ongkos kirim.

"Wajegile, cewek emang sadis kalau urusan begituan ye, kagak paham gue."

Dika memegangi kepalanya yang tiba-tiba pening. Urusan cewek memang ribet.

"Yaelah, ntar kalau cewek nggak ngerawat diri terus jelek, nggak laku lagi, dikatain lagi sama kaum cewek maupun kaum cowok. Nggak orang-orang nggak netijen pada sadis semua sekarang."

Dika dan Dino terkikik geli melihat wajah sebal Aika.

"Cantik nggak selalu tentang wajah," sambar Dino, Aika mendengus sebal.

"Iya nggak selalu tentang wajah di mata satu banding seratus ribu laki-laki. Nggak usah munafik deh lo pada, kalau disodorin cewek kulit mulus sama yang jerawatan lo pada milih yang kulitnya mulus macem porselen kan?" tembak Aika langsung, Dino dan Dika meringis, ia tidak munafik sih, cewek yang kulitnya mulus memang lebih enak dipandang.

Darja mengangkat bahunya acuh tak acuh, matanya berkeliling, sampai ia melihat satu kotak susu di dua meja dari bangku yang sekarang tengah ia duduki. Tubuhnya mulai bereaksi, ia mulai bergerak gelisah dengan wajah tak nyaman. Kantin memang bukan tempat yang bagus untuknya, sepertinya ia harus kembali menemui psikiater-nya untuk membantu mengurangi trauma miliknya. Meski tidak bisa disembuhkan, bukan berarti itu tak bisa berkurang bukan?

Aika yang muali melihat kegelisahan Darja menatap cowok itu lamat-lamat. Ia tahu Darja sedang gelisah, dan mengingat cerita Zello beberapa waktu lalu, Aika tahu ada yang tidak beres dengan Darja saat ini.

Cewek itu bergerak menghampiri Darja. Melepas earphone yang menggantung di telinganya, lalu memakaikan earphone itu pada Darja. Menyesuaikan volume yang ada pada ponselnya. Alunan music instrument menyergap telinga Darja, membuat cowok itu terpaku sambil menatap Aika.

Musik yang pelan-pelan masuk ke dalam kepalanya, membuatnya berangsur-angsur merasa lebih tenang.

"Musik istrumen bisa bikin gelisah jadi tenang, kata Bokap gue gitu," ucap Aika sambil duduk.

Kejadian itu tak luput dari pandangan Dino, Dika dan Erka. Mereka melihat dengan jelas bagaimana Aika memasangkan benda itu pada telinga Darja, dan Darja yang hanya diam.

"Thanks," balas Darja, ia mengalihkan tatapannya dari Aika. Cowok itu menghela napasnya.

"Gile, kayak drama Koreyah," celutuk Erka yang langsung mendapat pelototan tajam dari Aika dan Darja. Erka meringis, mengacungkan kedua jarinya membentuk simbol damai.

Tbc

Ega mana? Seperti di kehidupan nyata, banyak yang Cuma numpang lewat doang kan. Haha, kapan-kapan Ega muncul lagi.

Tentang music instrument, itu memang bisa bikin badan lebih rileks saat sedang gelisah loh, coba deh sering-sering dengerin di pagi hari. Cari aja di youtube buanyak wkwk, kalau aku biasanya nyari pakai keyword, musis instrument for anxiety and depression theraphy. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro