1. Darja Sialan
Nggak ada yang lebih nyesek dari gagal move on tapi nggak pernah memiliki.
Kejadian satu setengah tahun lalu saat menjadi maba bergema kembali di ingatan Aika. Cewek itu sedang duduk di kafetaria kampus, meminum es matcha instannya dengan brutal karena gemas dengan kelakuan Darja yang seakan tak mengenalnya sampai saat ini. Darja menjadi orang yang benar-benar asing untuknya. Tidak ada lagi Darja yang suka menunggunya di taman hanya untuk menunggunya pulang les--yang akhirnya ia abaikan, tidak ada lagi Darja yang suka main ke rumahnya hanya untuk menonton kartun Spongesbob dan menghabiskan jatah susunya, atau Darja yang suka membelikannya es krim di toserba depan kompleks. Semua itu hilang bersamaan dengan menghilangnya Darja bersama keluarganya beberapa tahun lalu.
Darja memang bersikap asing meski mereka satu jurusan dan satu organisasi di BEM Fakultas. Sebagai salah satu mahasiswa yang cukup populer, pesona Darja memang tidak dielakkan lagi. Banyak mahasiswi yang menjadi penganggum cowok itu, tampilan cool dengan mata cokelat yang tajam membuat ia tampak enak dipandang. Apalagi saat ini Darja menjabat sebagi salah satu menteri di Kabinet Progresif dan Solid--kabinet BEM Fakultas di kampusnya periode ini. Tidak bisa dipungkiri, Darja adalah idola mahasiswi di kampusnya. Sempurna versi mereka, adalah Darja yang tampan, pintar, dan anak organisasi.
Aika menghela napasnya, debar jantungnya masih sama, masih menggebu untuk Darja, meski saat ini mereka jarang sekali saling sapa, hanya sesekali saat terlibat program kerja di BEM F, di mana ia dan Darja menjadi anggotanya.
"Woi, Ai! Buset, gue cariin lo di sini ternyata?"
Mika datang sambil melemparkan tasnya di atas meja. Mika adalah sahabat barunya sejak maba. Mereka satu jurusan dan satu kelas, karena semua mata kuliahnya sudah dipaketkan, ia tidak bisa berganti kelas. Sehingga selama empat tahun kelasnya tetap. Satu lagi, cowok bernama Karyo--yang dianggap Aika bernama ndeso adalah salah satu sohib Aika selain Mika. Karyo dan Mika tak ada beda, mereka sama-sama edan dengan versi masing-masing.
"Haus gue."
"Haus belaian lo?"
"Mulut lo, Mik."
Mika terkekeh. Mika adalah cewek berperawakan tinggi, kurus dengan rambut pendek sebahu dan bibir yang super nyablak.
"Ntar ada rapat. Bahas evaluasi BEM F periode ini."
"Hah, nanti?"
"Iyalah. Dua bulan lagi Pemira."
Aika mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sebenarnya sedang malas ikut organisasi, hari ini Abangnya Arsyad, kakak ipar dan keponakannya yang selama ini tinggal di Surabaya, pulang ke Jakarta untuk liburan. Sebenarnya ia ingin menghabiskan waktu yang lebih banyak dengan mereka, ketimbang harus rapat evaluasi yang pastinya menguras emosi. Akan ada perdebatan alot untuk itu.
"Ngomong-ngomong, gimana sama tawarannya Mas Dika? Lo terima?"
Mika menyerobot es matcha yang tadi diminum Aika, membuat cewek itu melotot dan menggeplak tangan Mika.
"Lo kira gampang nyalon jadi Wapresbem? Lagian gue sama Darja satu jurusan cuma beda angkatan doang, nggak worth it, dong."
"Yaelah undang-undang Ormawa di kampus kita kan nggak ngelarang, selama mampu mah why not? Lagian kenapa sih lo hobi banget manggil Mas Darja tanpa embel-embel. Nggak sopan lo. "
"Tahu ah, terserah guelah. Males."
"Yailah. Tapi masa lo kalah sama Bokap dan Abang lo? Lagian lo kan mantan ketua 2 Osis dulu."
Aika mengendikkan bahunya malas. Ia jadi ingat saat pertama kali berbicara dengan Darja setelah bertahun-tahun mereka tidak bertemu. Saat itu Ospek hari kedua, kelompoknya disuruh untuk meminta tanda tangan pada Darja. Walau Ospeknya tidak memakai atribut aneh-aneh dan kebanyakan hanya duduk melihat seminar, namun tetap ada beberapa peraturan 'aneh' khas Ospek yang masih ada di kampusnya.
"Kak, saya mau minta tanda tangan," katanya waktu itu.
Darja mengamatinya sejenak. Darja yang saat itu ada di depan gedung Ormawa terlihat keren dengan jas almamaternya, membuat Aika nyaris tak bernapas. Namanya saja gagal move on, walau tidak pernah memiliki Darja, namun saat bertemu dengan pelaku utama yang membuatnya gagal move on, ia masih saja merasakan perasaan menye yang sudah sekian tahun dipeliharanya itu.
Darja mengangsurkan tangannya, meraih buku milik Aika, lalu membubuhkan tanda tangannya di atas buku itu.
"Makasih. Ngomong-ngomong, lo jahat ya, Kak."
Setelah mengatakan hal itu, Aika langsung meninggalkan Darja yang hanya diam, tak berniat membalas. Darja mengepalkan kuat kedua tangannya. Menahan sesuatu yang bergolak di hatinya. Melihat kepergian Aika sampai cewek itu tak lagi terlihat di matanya.
"Yeee, lo malah bengong."
"Capek gue. Mau balik dulu, gue izin rapat deh kayaknya."
"Heh dasar lo. Izin sama Mas Darja sono, ini kan proker kementriannya."
"Ngapain gue izin dia?"
"Yeee... Udah dibilangin ini proker kementriannya dia. Dia itu SC-nya."
Aika mengangkat tangan kanannya meminta Mika berhenti bicara. Ia malas membahas tentang Darja.
***
Darja mencabut kunci dari motornya, ia memasuki sebuah rumah besar yang terasa asing untuknya. Tinggal di rumah itu selama bertahun-tahun tidak menjadikan sepi yang ia rasakan berkurang, setiap hari laki-laki itu justru kian tak mengenali tempat di mana ia tinggal dan mengenang.
Rumah bercat cokelat muda itu tampak berdiri kokoh, dengan halaman luas dan rerumputan yang tumbuh subur serta terawat. Darja menarik gagang pintu hingga pintu terbuka. Ia melangkah dengan santai memasuki rumahnya, tanpa memedulikan ada dua pasang mata memerhatikannya dengan tatapan berbeda. Satu wanita tua menatapnya dengan nyalang dan satu pria dewasa menatapnya dengan datar.
"Darimana kamu? Kelayapan terus?"
Marie--neneknya mengeluarkan suaranya, tak membuat langkah Darja berhenti. Laki-laki itu terus bersiul berjalan menaiki tangga satu per satu tanpa sudi menoleh pada Marie. Ia ingin segera pergi ke kamarnya, karena selepas maghrib nanti harus kembali ke kampus untuk rapat.
"Bryan! Lihat kelakuan anakmu! Persis seperti kelakuan wanita kurang ajar itu."
Darja menutup matanya, langkahnya berhenti begitu panggilan 'wanita kurang ajar' keluar dari mulut Marie.
"Jangan pernah mengatakan kalimat busuk itu lagi di depan saya, ibu saya wanita terhormat."
Darja pergi setelah kalimat itu terlontar dari bibirnya. Meninggalkan Marie yang marah besar dan Bryan--papanya yang hanya bisa menghela napasnya berat.
Di dalam kamarnya, Darja menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Kejadian beberapa tahun lalu berputar kembali di kepalanya, membuat kepalanya berdenyut sakit dan tubuhnya mendadak mengigil. Setiap neneknya membahas tentang 'wanita kurang ajar, tak tahu diri, sialan' atau berbagai macam sebutan lainnya, tubuhnya memang selalu bereaksi berlebihan. Terkadang, Darja sampai harus berteriak sebagai reaksi atas apa yang menimpa dirinya.
"Mama... Mamaaa."
Ia memanggil-manggil mamanya dengan mata terpejam. Sampai akhirnya suara pesan masuk dari aplikasi whatsapp membuatnya membuka mata.
Darja menarik dan mengeluarkan napasnya berkali-kali, mencoba menguasai dirinya kembali.
Aika: sori, gue nggak bisa ikutan rapat evaluasi. Gue ada urusan keluarga.
Darja memandangi pesan itu sekian lama sampai ikon online di kontak Aika menghilang.
Darja: gue nggak kasih izin, ini evaluasi buat kita semua selama satu periode.
Darja menutup ponselnya, matanya melirik ke arah nakas. Memandang foto yang dipigura dengan pigura kayu bercat putih di sana. Foto yang membuat dirinya lebih tenang setiap kali melihat.
Aika: lo tuh nyebelin banget sih, Durjana! Nggak mau tahu pokoknya gue mau izin ya.
Darja: gue bilang gue nggak kasih izin.
Darja mematikan ponselnya, ia melempar ponsel itu ke atas kasur. Memejamkan matanya sejenak untuk beristirahat.
***
"Lo kenapa sih daritadi ngomel terus? Jadi mirip Mama tahu nggak?"
Arsyad yang sedang menyetir mobil terkekeh melihat Aika yang sejak tadi menekuk wajahnya. Mobil abangnya itu sudah memasuki area kampus, menuju gedung Ormawa di fakultasnya. Aika memang menebeng pada abangnya yang mau ke rumah mertuanya untuk ke kampus. Arlan--keponakannya yang masih balita itu tertidur pulas di atas pangkuan ibunya, membuat Aika gemas dibuatnya. Mata hazel green milik Arlan kerap membuatnya iri, keponakannya itu memiliki mata yang indah seperti bule--keturunan dari kakeknya yang memang orang Italia.
"Aduh Si Bule nggak bangun, sih. Gue gemes deh, mau punya anak bule gini dong ntar."
"Makanya cari jodoh bule," sahut Arsyad membuat Aika memutar kedua bola matanya malas.
Ngomong-ngomong tentang bule, Aika jadi ingat pada Darja. Dulu Aika sering mengejek Darja berdarah gado-gado. Nenek Darja adalah keturunan Belanda dan kakeknya memiliki darah Amerika latin. Meski tidak keturunan bule langsung, perawakan Darja memang seperti orang luar, dengan badan yang menjulang tinggi dan rambutnya yang tidak hitam pekat, tapi kulitnya tidak putih melainkan seperti kebanyakan orang Indonesia lainnya.
"Haishhh, kenapa sih inget lagi."
Aika menggerutu membuat abangnya menyeringai.
"Kenapa lo? Inget si Durjana?"
"Apaan sih?"
Arsyad tertawa. Mobilnya berhenti di depan gedung Ormawa fakultas Aika. Fakultas Psikologi.
"Kalau mau pulang WA aja. Kalau Abang nggak bisa jemput, biar Bang Zello yang jemput. Jangan naik taksi online, mending nebeng temen kalau kelamaan."
Nasihat Arsyad, Aika mengangguk malas. Kedua abangnya yang cukup protektif kerap membuat geraknya terbatas, untung papanya termasuk orang yang lumayan memberinya ruang untuk bergaul.
"Tante Aika turun dulu ya, Tampan. Muachhhh..."
Aika mengecup pipi gembul Arlan dengan gemas sampai membuat Arlan langsung bangun dan menangis.
"Aika, lo apain anak gue?"
"Haha akhirnya Si Bule bangun. Dada Abang, Mbak Lia, dada Buleku... "
Aika tertawa setelah turun dari mobil Arsyad. Ia berjalan dengan riang--seakan melupakan kekesalannya pada Darja.
Begitu tiba di depan gedung Ormawa, Aika tak langsung masuk ke dalamnya. Ia memilih duduk di depan gedung sambil menyalakan ponsel--mumpung ada akses wifi kampus yang kalau malam sinyalnya sangat lancar.
Aika sibuk melihat update status di twitter. Banyak orang yang sekarang berbondong-bondong kembali ke twitter setelah bosan dengan instagram, berbeda dengan dirinya yang memang pengguna aktif twitter sejak masih SMP--jadi tak heran jika tweet-nya sudah mencapai puluhan ribu.
Cewek itu tertawa kecil saat melihat update status teman-temannya yang kalau tidak mengomentari sesuatu yang viral ya sudah pasti curhat karena galau.
"Datang?"
Aika mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Dilihatnya Darja duduk di sampingnya sambil menumpukan kedua tangannya pada lantai.
"Ngapain lo nanya? Penting buat lo?"
Darja mengendikkan kedua bahunya.
"Nggak boleh nanya?"
Aika menggeleng kuat. "Nggak usah sok kenal deh. Gue tuh benci sama lo, Curut!"
Darja menatap langit malam yang miskin bintang. Beberapa anak sudah mulai berdatangan untuk rapat evaluasi.
"Jangan terlalu benci, gue takut lo suka lagi sama gue."
Aika membeliakkan matanya, mulutnya nyaris menganga mendengar kalimat Darja. Setelah sekian lama pura-pura tidak mengenal, sekalinya keluar kalimat terkutuk macam apa yang diucapkan cowok itu?
"Nggak usah GEER woi. Siapa yang suka sama lo, astaga Durjana yang nggak ada ganteng-gantengnya, plis deh jangan halu kayak Lucinta Luna lo," kata Aika, dalam hati ia mengutuk mulutnya, amit-amit sampai Darja operasi ganti kelamin.
"Gue nggak lupa terakhir kali kita ketemu dulu, lo bilang gue cinta pertama lo."
Darja berkata dengan enteng membuat Aika berang. Kesal, cewek itu menonjok bahu Darja cukup keras.
"Brengsek!" makinya lalu pergi meninggalkan Darja.
Darja memang brengsek yang sialnya masih menjadi alasan gagal move on-nya sampai hari ini. How pity she is.
Tbc
Mon maap lama wkwk. Gada sinyal, we lagi di kampung.
Kuy yang mau dapat update cerita ini bisa ke ig aristavstories
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro