Arti HIDUP
Di sebuah kota bernama Raven terdapat satu pos polisi. Tempatnya agak kecil, tapi tak pernah sepi dari para petugas atau warga manula yang ingin sekedar mengobrol.
Di pagi yang cerah itu pula, aku memulai kerjaku dengan laporan pertama dari salah satu temanku yang mengaku baru saja dipukul oleh seorang gelandangan.
Temanku yang sesama polisi, melapor ke pos ini sambil menarik gelandangan yang dimaksud. Aku kenal dengan pria gelandangan itu karena dia baru keluar dari penjara seminggu yang lalu.
"Tom!" teriak temanku itu, "masukkan dia ke sel sementara! Aku akan melapor ke kantor pusat."
"Oke!" sahutku sambil menuntun si pria gelandangan.
Aku menuntun si pria sampai ke sel dan menguncinya di balik jeruji besi itu. Tapi saat aku hendak berjalan kembali ke mejaku, si pria itu menarik lengan bajuku.
"Hei nak," ucapnya "bisakah kau duduk disini sebentar? Tidak akan memakan waktu lama kok."
Aku mengangguk lalu duduk di kursi kayu kecil di dekat sel. Pria gelandangan itu ikut duduk di kursi selnya dan menatapku lekat-lekat.
"Apa yang ingin kau bicarakan?" tanyaku.
"Apa kau ingin tahu alasan mengapa aku memukul temanmu itu?" ucapnya balas bertanya.
Dengan semangat, kuanggukkan kepalaku. Memang, aku penasaran soal itu.
Si pria menghela napasnya dan berkata,
"Seandainya kau adalah aku, apa hal yang pertama kali kau lakukan setelah keluar penjara?"
Aku tersentak saat mendengar pertanyaannya itu, tapi lekas-lekas aku menjawab
"Mencari pekerjaan?"
Si pria itu tersenyum sinis. "Bagaimana jika tak ada yang mau menerimamu?"
"Pasti ada!" ucapku dengan yakin.
Si pria itu kembali menghela napas. "Apakah menurutmu, masyarakat di luar sana akan menerima seorang penjahat begitu saja?" ucapnya sambil menatapku
"Apakah masyarakat di luar sana akan memberikan kesempatan kedua bagi seorang mantan penjahat?" tanyanya sambil menatapku. Dapat kulihat dengan jelas matanya yang menyorotkan kesedihan.
"Apakah menurutmu mereka semua bisa menerimaku? Tanpa cibiran dan tatapan jijik yang selalu mereka limpahkan padaku?" ucapnya lagi, kali ini dengan mata yang berkaca-kaca.
"Jadi, apa alasanmu memukul temanku?" tanyaku dengan mempertahankan hatiku yang sudah terasa pilu.
"Aku ingin kembali ke penjara," ucap lelaki itu dengan nada mantap "Setidaknya, aku akan memiliki teman disana. Daripada sendirian di tengah badai salju kota ini."
"Lagipula, lebih baik aku bergelut dalam kesendirian. Daripada berkumpul dalam masyarakat yang jelas-jelas membenciku." tambahnya lagi.
Aku tak bisa menahannya lagi. Tak bisa menahan air mata yang mengalir ke pipiku.
"Hei, jangan menangis nak." ucapnya
Aku langsung mengusap air mataku dengan lengan baju dan kembali menatap si pria.
"Tapi, bagaimana kau bisa bertahan hidup sampai sekarang?" tanyaku lagi
"Karena hidup adalah pemberian Tuhan, aku tak mau menyia-nyiakannya barang sedikitpun. Meski aku pernah berbuat dosa, setidaknya aku akan berusaha menebus dosa itu selama aku masih bernapas." ucap pria itu dengan senyum mengembang di wajahnya.
Aku kembali mengeluarkan air mata. Kali ini, bukan air mata kesedihan. Bagiku, pria ini pasti bisa hidup bahagia.
+++++
THE END
Silahkan anda renungkan sendiri :)
Gimana? Maaf ya ceritanya rada aneh, baru dapat pangsit eh wangsit di kasur langsung deh saya ketik :) Maaf kalau ada typo atau semacamnya. Selamat membaca dan merenung!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro