Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

❄️ BAB 19 - P U L A N G

Judul: Semusim Di Praha
Oleh: Sahlil Ge
Genre: Spritual, Slice Of Life
Alur: Maju-Mundur (Dulu dan Sekarang)

Diunggah pada: 1 Agustus 2019 (BAB 19)
Bagian dari 'Antologi Semusim' (Winter).

Hak Cipta Diawasi Oleh Tuhan Yang Maha Esa.

***

*Bantu temukan typo.

***
Bab 19 - PULANG

***

INDONESIA

[Sekarang - Sultan El Firdausy]

Sore, 17 Januari, kami sudah mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Kami menyempatkan tiga hari di Istanbul untuk mengurusi beberapa hal dengan kampusku.

Jakarta sedang mengigil diguyur rinai. Rupanya musim hujan di sini sedang berada pada puncaknya. Sejak dari pesawat aku yang menggendong Fathan. Karena Mamanya masih tidak begitu bersemangat untuk berinteraksi denganku. Jadi dia memilih untuk menggeret kopernya sementara aku juga menggeret milikku.

"Sudah ada Furqan yang nungguin, Mba," kata Dalilah sambil memegangi ponselnya. Tangannya yang lain menenteng tas kemas.

"Di mana, Lil?" tanyaku.

"Tadi sih bilangnya ... lah itu." Dia menunjuk seseorang yang sedang berjalan ke arah kami. Pemuda yang cakap dan tersenyum lebar. Namun ada sedikit aura gugup di wajahnya dan malu-malu.

Saat kami sudah berhadapan cukup dekat, Furqan langsung mengulurkan tangannya minta salaman.

"Assalamualaikum, Kiai," sapanya. Aku yang tadinya tersenyum langsung menciut. Apalagi saat dia hendak mencium tanganku buru-buru langsung kutahan.

"Waalaikumsalam, sehat Fur?"

"Alhamdulillah," jawabnya, "Mari Kiai, saya bawakan kopernya."

"Bawakan punya Astrid saja," pintaku.

Furqan lalu mengatupkan tangan di dada memberi salam. Dan juga pada Dalilah dengan lirikan sekelabat.

Astrid memaksakan sebuah senyum. "Kamu sendirian, Fur?"

"Injih, Mba. Tadinya Kiai Adam mau ikut juga, tapi sedang ada undangan ke Purworejo. Mungkin sekarang sudah pulang. Soalnya dari kemarin."

"Mama Farah ada?" sejenak aku terhenyak mendengar Astrid menyebut Mama.

"Ada, Mba. Ndak bisa ikut juga. Gus Imam sedang meriyang."

"Sejak kapan?" tanyaku.

"Tadi pagi saya yang antar ke dokter. Sejak tiga hari yang lalu. Demamnya tinggi, tapi badannya menggigil kuat. Kata dokter itu malaria."

Suatu keajaiban ketika aku dan Astrid saling tatap selama dua detik.

"Ya udah, Fur. Nanti mampir dulu ya ke supermarket. Nyari buah-buahan sama makanan sehat yang lain. Kamu bawa koper yang dbawa Dalilah aja. Isinya oleh-oleh, berat. Koperku biar aku aja."

"Oh, iya," jawab Furqan bingung.

"Jangan ke supermarket, Fur," kataku, "Nanti lebih lama lagi. Nanti cari di pasar saja."

"Ke supermarket, Fur. Pasar tutup hujan-hujan begini," Astrid mematahkan kalimatku. Masih ada perang dingin rupanya.

Furqan tidak menjawab karena masih kebingungan. Lalu dia memilih untuk meraih pegangan koper dari Dalilah tanpa berkata-kata.

Sejurus kemudian kami sudah berada di mobil setelah ada acara menata koper di bagasi. Aku duduk di depan sementara Astrid dan Dalilah di belakang. Fathan terbangun di dadaku. Langsung kusambut dengan cium pipi. Dia menguap lagi dan segera kututup mulutnya dengan pucuk hidungku. Aromanya sedap.

"Alhamdulillah, yang nyenyak banget tidurnya," kataku.

Di belakang Astrid seperti sedang telepon dengan seseorang. Selenting terdengar itu seperti Bu Farah.

"Coba deh, Mah, Imam dikompres pake kecombrang ... oh udah? ... mendingan tapi? ... oh, iya ... iya ... itu lagi sama Mas Sultan ... anteng kok."

"Bapaknya anteng yo Mas Fathannya pasti anteng," ujaran Furqan membuyarkan fokusku menguping obrolannya Astrid.

"Bukan cuma antengnya yang nular," jawabku, "gantengnya juga tuh."

Furqan tertawa, "Kiai bisa aja. Pastilah itu. Semoga kelak ilmunya juga turun ke Mas Fathan juga."

"Yang baik-baik semoga turun. Yang buruk cukup untuk Ayahnya saja."

"Aamiin," jawab Furqan sambil fokus menyetir.

Aku tidak pernah puas untuk mencium Fathan. Astrid pas sekali memilihkan bedak bayi buatnya. Sedap.

"Kamu sudah mantap jadi politikus, Fur?" tanyaku.

"Hm? Ah, bukan politikus juga. Cuma mengabdi buat masyarakat."

"Ya sama aja. Kamu kira politik itu cuma ada di partai?"

"Hehe."

"Terus kapan mau nikahnya? Udah pengin kondangan saya."

Furqan cuma mesem.

"Udah punya calonnya to?"

Dia tidak langsung menjawab. "Insya Allah."

"Alhamdulillah."

"Kalau belum punya, itu di belakang ada yang masih single."

Furqan malah makin mesem-mesem.

"Orang mana calonmu?" tanyaku lagi.

"Anu. Yang di belakang, Kiai."

Sontak saya menoleh ke belakang cepat-cepat. Dalilah sedang menunduk.

"Waduh," ucapku, "Saya mau memperjelas. Bukan Mamanya Fathan kan?"

"Ya bukan lah, Kiai," wajah Furqan beranjak memerah.

"Oalah. Bener, Fur, bener. Sejak kapan?" tanyaku.

"Ya ampun, orang lagi nyetir jangan digituin coba," tiba-tiba Astrid menyambar. Aku melirik sedikit ke belakang. Berani bicara rupanya.

Aku lalu mengunci mulut.

"Tapi beneran Lilah?" terus kenapa dia malah memastikan ke Dalilah juga? Sepertinya Astrid juga baru tahu.

Tentu saja Dalilah berusaha menghindari keterusterangan itu.

"Udah, udah," sergahku. Menahan sebuah senyum. Seperti melihat satu celah untuk berdamai dengan Astrid.

Belasan menit kemudian Astrid minta berhenti karena berdasarkan peta daring yang dia pakai, ada supermarket terdekat. Sayangnya payung hanya ada satu. Astrid meminta agar aku sama Furqan tetap di dalam mobil. Biarkan mereka belanja sebentar. Ralat. Bukan sebentar, tapi sampai musim hujan usai. Lama pastinya.

"Sekarang agak kurusan, Mas?" tanya Furqan yang sudah kupinta untuk jangan memanggilku kiai.

"Lagi serius disertasi, Fur."

"Tapi sudah beres?"

"Alhamdulillah. Tinggal harus ke Praha sekali atau dua kali lagi. Saya ambil dispensasi sidang angkatan sekarang."

"Bisa memangnya, Mas?"

"Perlu sedikit melobi."

"Mmh."

"Kamu sejak kapan sama Dalilah?"

"Ceritanya panjang, Mas."

Tapi sebelum dua perempuan itu kembali. Cerita panjang itu khatam juga.

"Jadi ini lewat Abi?" tanyaku.

"Iya Mas. Saya sudah pasrahkan ke Pak Kiai. Dan alhamdulillah cocok."

"Dalilahnya bagaimana? Mau?"

Furqan diam sejenak. "Saya sudah kontakan beberapa hari ini. Terus terang sama dia menyampaikan maksud. Dia bersedia insya Allah."

"Alhamdulillah kalau gitu. Saya heran juga tadi kok kamu yang ke sini. Kirain yang mau jemput Mas Tora atau utusan santri."

"Saya juga utusan santri kok Mas."

"Iya, Fur." Aku mempertimbangkan untuk bertanya ini, "Kamu sering main ke pesantren?"

"Seminggu sekali disempatin, Mas. Belakangan sempat sibuk sebenarnya. Mau pilkada serentak, kan. Karena ada hajat juga sama Pak Kiai jadi saya sering ke pesantren. Kemarin juga pergi sama Bu Nyai buat belanja. Sekarang di dalem santri putri lagi pada srawung masak-masak untuk menyambut kepulangan Mas Sultan."

Dalem itu sebutan sopan untuk rumah kiai.

"Ah, nggak perlu serepot itu harusnya."

"Loh, ini titahnya Romo Kiai. Ya ndak ada yang berani menolak. Orang beliau sumringah sekali dengar Mas Sultan mau pulang. Kalau ndak ada undangan ke Purworejo pun pasti bakal ikut ke sini, Mas."

"Makasih ya sudah bantu-bantu di rumah."

"Terima kasih tidak pantas didengar seorang santri yang mengabdi pada gurunya. Kami ngalap barokah-nya guru. Insya Allah."

"Iya, Fur."

"Setelah ini Mas Sultan mau tetap di Indonesia atau berkarir di luar? Atau di mana?"

Pertanyaan itu.

"Mungkin cukup berkelananya. Tinggal sedikit lagi urusan yang harus diselesaikan."

"Berarti mau di sini?"

"Insya Allah."

"Umat perlu yang seperti kamu, Mas," kata Furqan dengan nada serius tapi pelan, "Mencari ilmu memang tidak ada batasnya. Tapi menurut saya pengalaman yang Mas Sultan dapat sudah waktunya untuk dibagikan pada umat."

Aku tersenyum sambil mengendalikan Fathan yang sedang melompat-lompat di pangkuan.

"Maaf, saya cuma bicara."

"Tidak, Fur. Kamu memang benar. Aku perlu mengistrahatkan semuanya. Sementara atau selamanya."

"Sebelumnya mohon maaf lagi kalau saya lancang. Saya sering ngobrol sama Romo Kiai akhir-akhir ini. Dan beliau sepertinya sangat mendambakan momen itu. Kepulangan yang seperti ini sangat dinantikan. Saya juga senang waktu dengar Mas Sultan mau pulang. Bagaimana sekarang melihat pesantren sedang mempersiapkan banyak hal untuk menyambut kepulangan putra mahkota, itu membuat tentram bawaannya. Disiarkan loh di masjid."

"Apanya?"

"Ya kepulangan sampean ini, Mas."

Bibirku tersenyum tipis. "Itu karena saya jarang pulang saja. Dan ini penyambutan yang tidak perlu."

"Loh tidak perlu bagaimana? Sampean mau merendah sampai dasar bumi pun tidak akan pernah bisa menghapus citra itu. Sampean itu topik pembicaraan di mimbar Kiai Adam yang tak pernah membosankan. Ibaratnya meski sampean berada di kejauahan umat masih tetap menantikannya. Ada satu orang tua yang sempat berujar semoga dia masih hidup sampai melihat anaknya ngaji sama sampean."

"Berat, Fur," jawabku, "Berat saat banyak orang yang menggantungkan harap kepada saya."

"Saya tahu. Tapi tidak ada yang berhak melarang seorang murid dalam penantian pada ilmu sang guru."

"Saya bukan guru siapa-siapa."

"Tapi menarik. Ini bukan hanya omongan. Suatu kemuliaan ketika seseorang dinantikan ilmunya. Buktinya sekarang. Nanti sampean lihat sendiri. Saya berharap akan ada pengajian dari sampean. Pasti saya hadir. Dan tebakan saya pasti akan membeludak. Ndak perlu ragu, Mas. Keilmuan sampean sudah terlihat. Buku antologi sampean masih bertahan di rak-rak best seller. Tulisan sampean bukan hanya sekadar tulisan yang umum. Ada sesuatu yang emas di sana. Ilmunya. Sekarang lagi santer kabar kalau sampean mau rilis novel pertama to? Saya ngikutin infonya di Instagram penerbit."

"Segala pujian hanya milik Allah, Fur."

"Iya, Mas."

Hujan kembali menjadi gerimis. Astrid dan Dalilah masih belum kembali juga.

"Terus kamu kapan rencana akad?" tanyaku.

"Kalau itu, saya belum bisa menjawab. Saya sih penginnya ... ya ... mumpung saya dan dia lagi sama-sama di Indonesia."

"Secepatnya kalau gitu, Fur."

Datanglah mereka berdua menentang dua plastik besar.

"Ya Allah," komentarku saat mereka menjejalkan dua plastik itu di bagasi.

Perjalanan berikutnya masih sekitar delapan jam. Itu artinya kami akan sampai dini hari. Dan Furqan kuat sekali nyetir tanpa rehat di rest area. Dia sudah sempat tidur katanya sebelum kami mendarat.

Ketika mobil mulai memasuki area kabupaten hatiku benar-benar bergetar. Kami semua terbangun kecuali Fathan yang sudah sama Astrid karena harus mimik. Malam yang sunyi membawa nuansa kedamaian yang begitu dalam. Malam yang basah. Aku semakin terkesiap saat melewati alun-alunnya. Ada kenangan bersama Papanya Astrid di sana.

Lalu lebih dekat lagi saat kami tiba di wilayah kecamatan. Demi Allah saya menahan desakan di dada saat melihat tempat bimbel dulu yang kini sudah jadi semacam toko bangunan. Berharap Astrid juga mengenang.

Lebih lebih lebih dekat lagi, ketika mobil berderap pelan memasuki wilayah pesantren. jantungku berdebar lebih cepat. Lampu-lampu dinyalakan padahal sudah dini hari. Sepertinya aku harus berusaha lebih keras untuk tidak menangis. Karena untuk alasan yang belum bisa aku uraikan, rindu itu benar-benar ada.

Mobil berhenti di depan pendopo pesantren. Lima orang santri putra yang sudah menanti kedatangan kami langsung ikut membongkar isi bagasi. Tentunya berebut membantu angkat.

"Awas berat," Astrid memperingatkan.

Saat itu untuk pertama kalinya sejak perang dingin kami, aku menatap Astrid dengan harapan ada secercah kekuatan darinya. Dan beruntungnya dia memberi anggukan kecil padaku. Lalu kepalanya mengode agar aku berjalan duluan ke rumah. Aku mengangguk.

Uff. Rasanya gugup seperti apa. Lutut gemetar dibawa melangkah. Menapaki jengkal demi jengkal titian menuju rumahku. Rumah gedongan yang cukup besar.

Kulihat pintu rumah terbuka lebar. Dan hatiku terlanjur basah saat melihat ada Abi, Bu Farah, Mas Mahfuz, Mba Ani, Dik Imam, dan kedua keponakanku sedang menunggu di teras.

Aku menundukkan kepala sambil terus berjalan. Tanpa sepatah kata, yang pertama kali aku raih adalah tangan Abi. Aku mencium punggung tangannya penuh hikmat. Abi juga tidak mengatakan apapun. Lalu aku merengkuhnya dalam peluk. Aku belum menangis sampai akhirnya terpicu oleh Abi yang lebih dulu menangis. Dia menepuk-nepuk punggungku. Mengusap-usap.

"Sehat, Nang?" suara Abi retak.

Aku tidak bisa mengucapkan satu kata pun di pelukannya. Air mata tumpah. Rindu itu galak sekali mengoyak aku dan Abi. Seolah bebanku terangkat dan berada di pelukannya adalah tempat teraman yang pernah ada setelah aku berlari ke sana ke mari mencari-cari.

Aku mengangguk.

"Istirahat. Kamu capek," aku malah semakin rapuh mendengar Abi mengatakan itu.

Lalu dengan berani aku melepas pelukan dan mencium kedua pipi Abi. Wajahnya sudah seperti hamparan tanah kering yang dihujani air mata. Atau seperti padang pasir dahaga yang dijatuhi embun-embun. Rindu membuat aku menyadari satu hal tentang kelemahan yang ditipudayai oleh kekuatan palsu diri sendiri.

"Istirahat, Nang. Wes, wes. Istirahat," ucapnya sambil mengelap sedu dengan sorbannya yang wangi.

Aku mengangguk.

Lalu bergeser salim dengan Bu Farah. Tentu aku juga memeluknya meski tidak sesenggukan seperti saat dengan Abi.

"Dah, istirahat," kata Bu Farah.

Lalu memberi senyum pada Dik Imam. Aku memeluknya. Mengusap kepalanya.

Mas Mahfuz tidak benar-benar menangis. Tapi aku menangkap matanya yang berkaca-kaca. Aku memeluknya kuat-kuat. Baru saat itulah dia juga menangis.

"Wes, rapopo. Ngaso sek," bisiknya.

Dan menyalami sisanya.

Lalu aku menoleh kebelakang. Pada Astrid yang sedang mencium tangan Abi lama sekali sambil menangis. Seolah tangisannya itu mengatakan banyak hal dari apa yang sedang coba dia pikul belakangan ini. Tangisan itu juga berarti permintaan maaf. Sesal. Dan takzim yang begitu murni.

Sayangnya itu juga bukan berarti dia telah memaafkanku.

***

Hei, apa kabar?
Baik-baik ya di sana.

Omong-omong ini bulan terakhir SDP Update. Setelah itu tentunya akan ada cerita-cerita keren lain dari SWP Gen 3 yang akan menemani kalian nanti.

Saya nggak bisa janji akan diunggah sampai tamat karena waktu tidak memungkinkan. Bab SDP sampai 36. Sementara itu saya tidak punya banyak waktu, ada proyek menulis lain yang menanti saya, pekerjaan, pendidikan dan urusan lainnya.

Semoga ada sempat untuk dibukukan, ya.

Terimakasih yang sudah menemukan typo.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro