Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

❄️ BAB 11 - Sayang Lahir Batin

Judul: Semusim Di Praha
Oleh: Sahlil Ge
Genre: Spritual, Slice Of Life
Alur: Maju-Mundur (Dulu dan Sekarang)

Diunggah pada: 23 Juni 2019 (BAB 11)
Bagian dari 'Antologi Semusim' (Winter).

Hak Cipta Diawasi Oleh Tuhan Yang Maha Esa.

***
Bab 11

***

*Bantu saya temukan typo. Belum saya sisir.

***

[DULU - Sultan El Firdausy]

Istanbul, Turki (Masa Lalu)

Angin yang berkelana di sepanjang alur Bosporus berembus pelan. Memasuki jendela tanpa kaca kapal feri yang kini sedang melaju pelan di atas riak-riak. Sangat sopan menyapaku yang duduk persis di samping jendela itu.

Astrid rakus sekali bersandar di dada kiriku sementara sandaran kursinya sendiri kosong. Tangan kananku memegangi sebuah buku dengan halaman terbuka. Masih penasaran dengan pembahasan menarik tentang Puncak Ihsan pada Pokok Tassawuf. Ditulis oleh cendekiawan muslim asal Mesir yang pekan lalu menjadi dosen tamu di departemen keilmuanku. Sementara itu tanganku yang lain melintang di belakang kepala Astrid, sedikit memegangi lengannya.

Kulirik dia sedang mengutak-atik ponselnya. Membuka aplikasi perjalanan. Dia mengetik 'Praha' sebagai kode pencarian untuk penginapan murah. Jangan bilang dia sedang merencanakan perjalanan ke sana. Aku tidak menanyai itu atau pembahasannya akan lain. Alih-alih begitu, aku malah berkata, "Kamu wangi banget, Trid."

Tapi dia malah menyambar, "Mas ini ada yang murah!" sambil menyodorkan layar ponselnya ke depan wajahku.

Aku memutar bola mata. Dia tidak menggubris pujianku. Lalu aku juga tidak meladeninya. Kulanjutkan bacaanku kemudian.

"Ini murah beneran," katanya lagi sembari kembali bersandar di dadaku. "Ini juga ... Ini juga sama ... ya ampuuun, ini gratis sarapan ..."

Aku benar-benar tidak menggubrisnya. Tapi tidak bisa fokus membaca juga.

"Temen-temen di flat lagi pada ngerencanain jalan-jalan tahu, Mas. Tapi aku nggak mau nimbrung. Aku penginnya jalan-jalan sama kamu. Berdua aja," katanya lagi.

"Kita punya waktu deh kalau kamu udah beres UTS," dan lagi.

Lalu ketika dia sadar aku tidak menggubrisnya, dia berkata sambil menoleh ke wajahku, dekat sekali, "Kamu nggak dengerin aku ngomong ya?"

Aku merespons singkat dengan sebuah gelengan.

"Terus tadi aku ngomong sama siapa?"

"Sama angin Bosporus," jawabku singkat. Membuka halaman baca selanjutnya.

Dan seperti biasa kalau Astrid mulai kesal. Dia mengeluarkan senjatanya. Mencubit pahaku dengan cubitan yang keciiiiil sekali. Aku sontak menjingkut.

"Sakit Astrid!" aku mengerjap pelan.

"Abisnya kamu ..." dia mulai berwajah drama dengan menyipitkan tatapannya "aku terjun aja deh ya?"

"Jangan sekarang. Belum ada piranha di sungai itu."

"Kamu pengin aku dimakan piranha?!"

Dia jengkel. Aku tahu itu tidak serius.

"Kamu kalau ngomongin jalan-jalan itu nanti sayang kalau aku udah kelar UTS-nya. Kalau udah kelar nggak ada tanggungan pikiran kan bebas mau merencanakan apa aja. Bebas. Kamu mau jalan-jalan ke mana? Pluto?"

Dia kembali bersandar ke dadaku keras-keras. "Mau ke Pandora biar ketemu sama suku Navi. Terus kamu kutinggal di sana."

Aku terkekeh dalam hati. "Gaya. Kepisah antar kota aja merengek terus minta ketemu."

"Iya emang di sini yang kangen cuma aku."

Aku memeluk lehernya dari belakang. "Nggak gitu. Sekarang bukan waktu yang tepat kalau kamu pengin obrolin jalan-jalan."

Dia lanjut memainkan ponselnya.

"Aku kangen kamu tiap detik. Tapi sengaja nggak aku bilangin. Kalau aku bilang, kamu bukan cuma minta ketemu, pasti nggak bisa tidur beneran. Seperti yang sudah-sudah. Mintanya FaceTime terus. Telepon terus."

"Hm!"

"Jarak itu perlu. Kata-kata yang tersusun jika tanpa dipisah spasi pun tidak akan bisa menemui maknanya. Seperti aku dan kamu ini, baru mengerti nikmatnya ketemu setelah dijeda situasi."

Aku menutup buku sebelum meletakkannya di sisi jendela.

"Aku kesel deh nikah sama penulis cowok," dia ngedumel.

"Kenapa?" Aku melingkarkan kedua lenganku di sekitar leher Astrid.

"Nggak."

"Aku sebuah penyesalan?"

"Nggak."

"Belum makan ya kamu?"

"Kenapa?" Ge-er dia dikasih perhatian setipis itu.

"Nggak."

"Iiiihhh!" dia menabok lututku.

"Ya makanya kalau ditanya nyahut."

"Perasaan aku deh yang tadi nanya, ngomong panjang kali lebar kali tinggi. Tapi kamu nggak nyahut."

Aku memutar bola mata.

"Kan udah aku respons tadi."

Dia masih manja-manja gitu lah. Aku tahu sekali ini anak sedang mode lendat-lendot. Membuat semua yang bisa jadi bahan argumen pantas untuk dilakukan menurutnya. Meski demikian, aku sangat suka. Entahlah, bagiku cewek model Astrid ini pendongkrak mood sekali. Aku tahu aku lelah. Aku tahu dalam pikiranku sedang penuh oleh talaran materi UTS. Tapi aku tidak bisa memungkiri kalau aku perlu ini.

Sejak dulu aku tidak suka perempuan yang kalem. Aku tidak pernah tertarik dengan perempuan pendiam. Mungkin karena aku punya dunia yang terlalu sepi untuk diramaikan sendirian. Mungkin karena dia adalah Astrid. Sosok yang cara dia bertingkah sangat mudah ditangkap oleh selera hiburku. Aku bisa menangani itu. Perilakunya. Dia memang mudah bergejolak. Tapi aku juga bisa berperan canggih sebagai penjinak.

Ayaz pernah bertanya, "kenapa kalian berdua sangat bertolak belakang?"

Aku berpikir. Sepertinya ini bukan bertolak belakang. Tapi hanya dua fenomena yang saling melengkapi. Seperti air dan api. Bagiku dua unsur alam ini bukannya bertolak belakang. Tapi justru kesetimbangan alam. Api bukannya kalah dari air. Karena pada titik didih tertentu, api bisa membuat air bergejolak dengan suhu yang sama panasnya dengan besaran kalor yang terkonveksi. Unsur alam yang bisa mengalahkan api dan air hanya udara.

Kapal menepi tak lama kemudian. Kami masih harus berpindah moda transportasi darat untuk sampai ke tempat tinggalku.

Setibanya di sana aku heran kenapa Ayaz sedang berkemas.

"Kamu mau ke mana?" tanyaku.

"Sul," sapanya, "hei, Astrid. Um, aku harus ke rumah sekarang. Bapak sakit."

"Sakit?" tanyaku, "sejak kapan?"

"Aku kurang tahu. Tapi tadi pagi dia dibawa ke rumah sakit."

"Kamu tahu sakit apa?"

Ayaz menggeleng, "Aku tidak tahu. Bapak Punya tekanan darah yang tinggi."

Aku dan Astrid bertatapan sebentar.

"Baik, um. Aku akan membesuk Paman Fikar besok sore. Bagaimana UTS-mu, Yaz?"

"Aku tidak di sana seharian, Sul. Aku pasti ke kampus untuk menyelesaikan itu. Aku hanya memastikan dulu kalau Bapak sudah dalam pengawasan yang tepat."

Aku mengangguk, "Hati-hati."

Aku dan Astrid mengantarnya sampai ke bawah.

Penghuni di flat ini kebanyakan mahasiswa Universitas Istanbul yang sama-sama sedang UTS. Tapi tidak ada mahasiswa Indonesianya. Kebanyakan dari negara tetangga yang mendapat beasiswa.

Perlu diketahui kalau flat ini milik keluarga Paman Fikar. Adanya aku dan Ayaz di sini karena dimandat untuk menjaga dan mengawasi penyewaannya. Selain itu Paman Fikar juga ingin agar aku mengawasi Ayaz. Sebagai satu-satunya keluarga jauh yang memiliki cara hidup orang Indonesia, Ayaz yang kelahiran Turki diharapkan Paman agar tidak sampai tidak mendapatkan sentuhan budaya tanah kelahiran Bapaknya, maka aku diminta agar memberi informasi sebanyak mungkin pada Ayaz tentang itu. Tapi kurasa Ayaz sudah banyak belajar tentang itu. Dia semangat sekali kalau urusan membahas Indonesia.

Karena ini juga aku jadi punya penekanan akomodasi biaya hidup di sini. Aku tidak perlu memikirkan biaya untuk tempat tinggal. Astrid memang punya uang banyak, tapi sebisa mungkin aku memegang prinsipku untuk tidak ikut bergantung dari sana. Sebab pada situasi sekarang aku sadar jika sampai dia kekurangan, aku belum memiliki pemasukan yang sekiranya bisa menopang kehidupannya. Jadi biarlah uang yang dimiliki Astrid itu dipakai dia saja.

Bagaimana caraku memenuhi kebutuhanku sendiri? Ada sedikit uang saku dari beasiswa. Lalu sedikit pendapatan dari jasa membaca. Aku berhasil meminta ke penerbit di Indonesia agar royaltiku bisa dicairkan tiap bulan, jadi meski tidak banyak itu tetap lumayan untuk disyukuri. Dan uang saku dari Abi yang kadang masih sempat masuk ke rekeningku tanpa mengabari apakah itu darinya atau bukan. Tapi sesekali aku tahu itu uang saku darinya saat memeriksa jejak transaksi.

Kuncinya cuma satu untuk diriku, mensyukuri dan membenahi gaya hidup. Mau punya pemasukan sebanyak apapun kalau gaya hidupku sebesar itu pula, uang yang masuk ke kantong sama saja seperti napas. Gampang masuk gampang keluar. Tapi kalau pemasukan sedikit, selama gaya hidupku tidak menuntut banyak materi, dan aku selalu berusaha menebalkan syukur, ya rasanya seperti cukup terus. Lagi pula aku tidak ingin menjadi orang kaya harta. Aku tidak mau menanggungjawabi urusan dunia banyak-banyak. Keadaan 'tercukupi' lebih menarik buatku. Tidak kekurangan, tidak kelebihan.

Dan kunci untuk Astrid ada pada bagaimana aku memberinya pemahaman tentang situasi ini. Oke, aku pernah mendiskusikan ini dengan Astrid. Dia memang sering bilang kalau aku nggak masalah untuk memakai uangnya juga. Malah kadang dia memaksa. Tapi aku selalu menjawab itu untuk memenuhi kebutuhan Astrid saja. Aku tahu mahasiswa Psikologi punya ekspens yang lebih banyak dari departemen keilmuanku. Astrid perempuan, yang pastinya perlu membeli sesuatu yang tidak diperlukan olehku sebagai laki-laki. Tapi pernah suatu hari aku perlu uang yang besarnya tidak bisa dipenuhi kantongku. Bagaimana? Serius, aku bilang "Trid, Mas pinjam uangmu untuk ini. Nanti bulan depan insya Allah bisa Mas ganti." Astrid marah aku bilang begitu. Pertama, dia kesal karena bahasaku. Kedua, sebab dia tidak mau aku mengatakan itu sebagai utang. Ketiga, dia sudah sejak lama mewanti-wanti kalau uang di rekeningnya bebas mau dipakai untuk keperluan kami berdua.

Tapi bersyukur sampai setahun ini aku masih bisa mengendalikan kebutuhanku sendiri. Aku tidak merasa membebani siapa pun kecuali Abi. Aku tidak mengintervensi apa yang jadi milik Astrid. Intinya untuk urusan ini aku sadar sekali belum bisa memenuhi dengan dayaku kalau sampai Astrid kekurangan. Makanya aku selalu berkeras diri, uang Astrid biar dipakai olehnya saja.

Saat aku keluar dari kamar mandi sambil menggosokkan handuk ke kepala, kulihat Astrid sedang mengangkat baju kotorku di ember yang cuma ada sedikit. Aku baru mencuci kemarin lusa. Dia menggumamkan sebuah lagu sambil berjalan ke arah mesin cuci. Tidak tahu lagu apa. Aku tidak ingin menanyai atau mencegahnya soal itu. Biarkan saja. Itu pahala buatnya.

Sembari menunggu mesin cuci bekerja Astrid kulirik pergi ke kulkas. Dia membuka dan memeriksa isinya. Lalu mengambil tiga butir telur dan beberapa helai sayur. Aku tersenyum. Mau ngapain? Masak? Jadi dia sudah belajar masak?

"Mas kamu yang bikin omeletnya. Aku yang masak beras di rice cooker."

Yah, kirain.

"Taruh aja telurnya di meja," sahutku, "coba kamu lihat dulu berasnya masih ada nggak di lemari pantri bawah. Soalnya kalau habis jauh belinya. Dan mahal. Di sini nggak gampang nemu beras."

"Udah aku cek. Masih ada."

"Aku ganti baju dulu."

Kami makan hanya berdua. Suasana Flat sedang sepi karena musim UTS. Penghuninya pasti mendekam di dalam kamarnya masing-masing.

Sambil makan aku masih penasaran dengan halaman yang membahas tentang kaitan akhlak dengan tassawuf.

"Nanti lagi bisa kan bacanya?"

Aku langsung meletakkan pembatas buku saat Astrid berkata begitu. Kuhabiskan makanan cepat-cepat. Lalu kembali membaca di meja makan selagi Astrid belum selesai makan.

"Baca apaan sih??"

"Bagian ini bagus banget, Trid. Di sini penjelasan kaitan tassawuf dengan akhlak itu kuat sekali."

Astrid hanya ber-oh dengan kedua alisnya.

"Salah satu keberhasilan seseorang dalam bertassawuf terpancar dari akhlaknya. Misalnya bagaimana laki-laki beradab terhadap istrinya," aku membacakan awal paragraf itu, "Dalam kitab Al-Adab Fid Din dalam Majmu'ah Rasail Imam Al-Ghazali terbitan Kairo, di sana dijelaskan bahwa adab suami terhadap istrinya itu ada dua belas."

"Nah dengerin tuh," kata Astrid tiba-tiba, "Lanjutin yang keras. Aku mau denger."

Aku mengangkat kedua alis, "Yakni: berinteraksi dengan baik, bertutur kata dengan lembut, menunjukkan cinta kasih, bersikap lapang ketika sendiri, tidak terlalu sering mempersoalkan kesalahan, memaafkan jika istri berbuat salah, menjaga harta istri, tidak banyak mendebat, mengeluarkan biaya untuk istri secara tidak bakhil atau pelit, memuliakan keluarga istri, senantiasa memberi janji yang baik, dan selalu bersemangat terhadap istri."

"Kamu sudah begitu belum?" tanya Astrid.

"Kamu yang menilai."

"Kenapa aku?"

"Aku tidak pandai menilai diri sendiri. Sementara itu kamu yang harusnya bisa merasakan bagaimana aku terhadapmu. Kan?"

"Yang dimaksud dengan bersikap lapang ketika sendiri itu gimana? Sisanya aku sudah paham. Dan kamu ... okelah. Tapi saat kamu sendirian kan aku nggak tahu lapang yang kamu interpretasikan itu gimana."

Aku menyelipkan pembatas buku, "Lapang di sini maksudnya kemandirian ketika pada situasi tertentu jauh dari istri. Ya seperti aku sama kamu ketika saling berjauhan. Aku harus bisa memenuhi kebutuhanku. Harus bisa melayani diri sendiri. Cuci baju sendiri. Masak sendiri. Tidak banyak mengeluh. Dan tanpa menyalahkan ketiadaanmu di sini. Itu adab."

"Kamu bisa banget ya hidup tanpa aku?"

"Ya mau nggak mau."

"Oke, kalau gitu kayaknya kamu udah mencentang semua adab yang tadi kamu sebutin."

"Belum. Aku belum bisa membiayai hidupmu."

"Terus uang yang suka kamu sisihkan yang katanya lebihan dari upah royalti itu apa? Kamu itu jangan suka menghilangkan apa yang ada. Itu nafkah."

"Maksudnya secara keseluruhan. Aku ya pengin bisa wujudin apa saja yang kamu mau. Termasuk kebutuhanmu."

"Mewujudkan apa saja yang aku mau? Sampai kapan pun keinginan manusia nggak akan pernah bisa menemui batas, Mas. Allah saja menahan-nahan saat mewujudkan keinginan kita. Tidak semua akan terwujud. Oke, aku nggak mau bahas ini. Kita udah membahasnya berjilid-jilid. Keinginanku banyak. Banyak banget. Dan aku nggak lagi yang kayak ngiler gitu biar bisa mencapai semuanya, enggak. Yang penting kebutuhan. Dan untungnya kebutuhanku nggak sebanyak yang aku sadari atau yang kamu pikirkan. It is fine. Aku nggak menuntut banyak. Soal liburan tadi juga aku nggak ... apa ya ... tenang saja. Ini bukan untuk sekarang aku tahu."

Aku menatap matanya.

"Nih, aku nggak ngerti ya. Dengan kamu yang secara prinsipil nggak mau ganggu uang di rekeningku pun itu termasuk nafkah buatku. Padahal di sana bukan uangku semua. Ada uangmu juga. Tapi kamu malah memilih untuk tidak mengusik uangmu sendiri kan? Kamu mengklaim bahwa semua itu hakku, sementara kamu sendiri ... ya, aneh aja nggak mau make."

"Karena aku tidak mau melihat kamu kekurangan sementara jika itu terjadi aku belum bisa menambahinya."

"Kamu bisa cek slip pengambilan uangku dan rincian pengeluarannya. Aku catat dan kusimpan itu. Masih ada. Kecil sekali. Artinya aku nggak dumeh punya. Kita sama kok. Aku juga memikirkan banyak hal termasuk gimana kalau nanti kamu punya kebutuhan yang besar. Aku jadi istri kamu itu lahir batin. Sayangku lahir batin. So far, aku nggak pernah ekspens gede-gedean. Jadi sesekali liburan itu bukan masalah. Aku udah perhitungkan semuanya. Kita masih di titik amat, sangat sangat sangat aman kalau mau liburan ke mana. Ya nggak usah yang mewah-mewah. Aku bukan istri yang kalau nggak ada uang bakal protes saat diajak suaminya naik angkot kok. Ke mana aja, asal ada kamunya itu udah surga buat aku."

Aku menarik napas panjang, "Kalau itu bisa bikin kamu seneng ya udah."

"Aku pasti seneng. Aku nggak senengnya kalau kamu biasa aja waktu ada cewek yang lihatin kamu itu," katanya yang tiba-tiba belok.

Aku ingin tertawa, "Cuma sekali kok aku lihatin balik."

"Tuh kan!" dia langsung meletakkan sendok di atas piring. Memberengut.

Aku terkekeh di sana. "Ya gitu. Wajah-wajah timur tengah kan suka enak gitu dilihatinnya," aku sengaja membuatnya berang.

"Wajah-wajah timur tengah. Onta juga timur tengah."

"Bercanda ya Allah," aku terkekeh, "kamu lebih cantik dari onta, tenang saja."

"Mas!"

Aku tertawa sampai terbungkuk-bungkuk. "Udah udah udah. Abisin dulu makannya."

"Nggak! Dedek bayinya udah kenyang."

Dia masih memberengut sambil menopang dagu. Tapi salah satu tangannya mengusap-usap perut.

"Astrid kamu bercanda deh," wajahku berubah tegang.

Dia masa bodoh.

"Trid?"

Masa sih dia hamil?

***

Lah? Lah?


Ikuti perkembangan karya-karya saya di Instagram @sahlil_ge

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro