❄️ BAB 09 - S E S A K
Judul: Semusim Di Praha
Oleh: Sahlil Ge
Genre: Spritual, Slice Of Life
Alur: Maju-Mundur (Dulu dan Sekarang)
Diunggah pada: 09 Juni 2019 (BAB 9)
Bagian dari 'Antologi Semusim' (Winter).
Hak Cipta Diawasi Oleh Tuhan Yang Maha Esa.
***
Bab 09 - S E S A K
***
Prague, Czech Republic - Winter
[Sekarang - Sultan El Firdausy]
...
Aku terkejut saat Helga muncul dan melenggang masuk ke dalam ruang pasien. Dia tentu langsung mengenaliku ketika itu juga.
"Sultan?" Helga keheranan, "Jangan bilang kau orang yang menolong Josh."
"Dia yang menolongku," Josh yang menjawab selagi aku diam. Aku tidak enak, khawatir Astrid berpikir yang tidak-tidak, "Kau mengenalnya?"
"Ya," jawab Helga duduk di seberangku. Tepatnya di sisi lain Josh berbaring. "Maksudku, kami baru berkenalan beberapa hari yang lalu, mungkin seminggu." Helga menatapku sebentar sebelum kembali pada Josh, "Anne meneleponku satu jam yang lalu. Dia bilang rumah sakit mengabari kalau kau sedang dirawat. Dia memintaku menemanimu."
Josh terdiam mendengar itu. Memalingkan wajahnya.
Aku melempar pandangan ke Astrid. Raut mukanya memerlukan sebuah penjelasan dariku. Itu hanya raut muka yang merasa asing dengan semua ini. Aku memberinya isyarat agar dia mau menunggu sebentar sampai aku memiliki kesempatan untuk pamit.
"Anne menghubungimu? Tapi kenapa dia tidak menyempatkan diri untuk bertemu denganku? Sama sekali tidak. Katakan padanya, aku ambruk karena nyaris beku menungguinya di depan pintu kafe," ujar Josh kesal. "Kau tahu dia sedang di mana?"
"Soal itu," Helga ragu, "Dia tidak bilang padamu kalau sekarang dia sedang di Frankfurt?"
"Frankfurt?"
"Ya. Kurasa dia akan menemui suaminya. Wisnu kemarin juga pergi ke Frankfurt. Kurasa mereka akan bertemu lagi. Kau tahu, itu sudah lama sekali sejak mereka kacau."
Tunggu. Apa?? Benakku. Aku segera menatap Astrid yang mungkin juga tahu tentang Wisnu.
"Menurutmu Anne juga membawa cucuku menemui Wisnu?" tanya Josh.
"Bukannya Anne selalu membawa Selena juga?"
Josh sepertinya sebal sekali mendengar itu. Lalu dia mengunci mulutnya.
Saat Helga melihatku, aku segera berdiri dan menunjuk ke arah Astrid, "Istriku," kataku gugup. Oke, aku punya banyak pertanyaan di kepala sekarang.
"Oh," Helga bereaksi, "Oh maafkan aku," dia berdiri dan menghampiri Astrid. "Aku tadi buru-buru sampai tidak bisa fokus kalau ada orang lain juga di sini."
Astrid juga berdiri hendak menyalami. Aku segera mendekatinya dan mengambil alih Fathan.
"Hai," sapa Astrid belum siap. Mereka berjabat tangan. "Astrid. His wife."
"Oh, ya, maaf aku tadi tidak mengawasimu. Aku Helga. Apa itu bayi kalian?"
"Ya. Itu bayi kami."
Helga lalu menatapku. "Ya ampun. Sekarang aku tahu kenapa kau sangat marah waktu itu. Aku tidak tahu kau sudah punya keluarga kecil saat―. Kau pantas marah padaku. Itu mungkin sangat tidak sopan," kata Helga tiba-tiba. Ya Allah, tolong jangan buat dia membahas ini di depan Astrid.
"Tidak apa-apa. Makusdku, kau tidak tahu," jawabku.
"Aku benar-benar minta maaf," ucap Helga sekali lagi. Kemudian dia menghadap ke arah Astrid, "Kau juga perlu tahu," oh, sialan, "Aku tidak ingin ada yang salah paham di sini. Wisnu sudah menceritakan padaku kalau kau sangat marah. Tapi, Astrid, aku benar-benar tidak tahu tentang itu saat menciumnya."
Aku tamat. Astrid mudah panas dengan urusan seperti ini.
"Saat itu aku hanya berpikir kecupan itu mungkin salam sampai jumpa yang wajar. Aku benar-benar minta maaf."
Astrid kebingungan. Tapi raut wajahnya seketika menjadi lain. Dia melihatiku dengan beberapa pertanyaan tajam di wajahnya.
"Tidak apa-apa," kata Astrid. Percaya padaku, jawabannya kali ini tidak bisa dipercaya, "Kau kan belum tahu," dia menyalin jawabanku.
"Yya. Aku benar-benar tidak tahu."
"Um, mungkin kami harus pamit karena kau sudah ada di sini menemani Josh," kataku.
"Kenapa buru-buru?" Josh bersuara.
"Um, kau tahu, aku harus membuat janji dengan narasumber lain," jawabku sekenanya.
"Kau bisa meninggalkan nomor kontakmu?"
Aku melihat Astrid untuk mencari pertanda aman.
"Aku sudah menyimpan nomormu tadi. Kulihat itu tertera di data dirimu yang dibawa suster. Aku bisa menghubungimu nanti."
Setelah berhasil berkelit dan sepertinya mereka berdua mengerti, aku dan Astrid lantas keluar. Dan seperti dugaanku, Astrid jalannya kencang sekali mendahuluiku.
Sesampainya di mobil, dia menekuk wajahnya.
Aku masuk melalui pintu kemudi. Sementara itu Fathan segera diambil alih sama Astrid.
"Berapa rahasia lagi yang masih kamu sembunyikan dari aku, Mas?"
"Rahasia yang seperti apaaa?"
"Ya rahasia!"
"Kamu pasti mikirinnya yang ke mana-mana ini."
"Ya gimana aku mikirnya nggak ke mana-mana. Sementara ada perempuan seksi yang ngaku di depanku persis bahwa dia pernah nyium suami aku, dan suamiku malah jawab tidak apa-apa, kan kamu belum tahu."
"Astrid itu karena memang dia nggak tahu kalau aku beristri!"
"Terus kalau dia tahu kamu punya istri? Nggak masalah juga? Seneng ya kamu dicium cewek seksi karena nggak-tahunya itu?"
"Trid, kita pernah punya masalah soal yang seperti ini, dan kita sudah komit kalau ada sesuatu serupa terjadi lagi, kamu mau manut untuk dengerin apa yang ingin aku jelaskan. Dan omong-omong soal rahasia, apa yang kamu tahu sementara aku tidak tahu tentang Wisnu. Hm?!"
"Ya aku memang tahu kalau Wisnu sudah nikah sama orang Praha. Dan memang aku juga nggak tahu kalau anaknya mbah itu ternyata istrinya Wisnu. Aku kenalan sama Anne dulu banget, tapi aku nggak kenalan sama mbah itu. Oke?!"
"Pertanyaanku bukan soal siapa itu Anne atau siapa itu Josh. Aku nanya, kenapa kamu nggak bilang kalau Wisnu sudah punya istri? Trid, kamu denger tadi, Wisnu sama istrinya sedang kacau, dan karena Wisnu yang merasa punya hutang budi sama kamu yang entah itu apa, dia lalu seperti mau nggak mau harus nolongin aku di sini. Sekarang aku jelas seperti beban di atas beban bagi Wisnu tanpa dia ngaku."
Fathan nangis karena kegaduhan singkat tadi.
Kami berdua diam. Aku mengatur napas karena kesal.
"Dan kita gagal," ucapku lirih, "Kita sudah janji untuk nggak akan pernah berseteru di depan anak."
Sambil nangis tanpa suara, Astrid menenangkan Fathan.
Aku menyalakan mobil. Salju masih turun sepanjang jalan. Aku tidak mengemudi pada rute menuju apartemen yang disewa Astrid. Melainkan langsung ke rumah Wisnu. Jaga-jaga kalau adu argumen tadi akan dilanjutkan, maka itu tidak boleh di depan Dalilah juga.
Sesampainya di depan apartemen Wisnu, aku keluar mobil duluan demi memayungi anak-istri dari salju dengan mantelku sendiri.
Astrid segera naik ke kamarku dan menidurkan Fathan. Aku menunggu di lantai bawah terduduk di sofa. Beristighfar sebanyak yang aku bisa untuk semua ini.
Belasan menit menunggu, akhirnya Astrid turun menemuiku. Aku sedang memijit kening tanpa mengatakan apa pun.
Sampai beberapa menit kemudian, padahal aku dan Astrid sudah ada di ruangan yang sama meski dia di lain sofa, masih tidak ada percakapan satu kata pun.
"Baik, Mas," katanya. Aku masih memijit kening tanpa menatapnya, "Aku kasih kamu waktu buat ngomongin apa saja yang belum aku tahu. Tentang apa saja."
Aku tetap diam.
"Karena aku juga punya banyak hal yang harus dibicarakan sama kamu," tambahnya.
Aku menarik napas pelan-pelan. Lalu mengacungkan satu jarinya, "Satu yang aku minta sebelum aku mulai bicara. Tolong kamu percaya dengan semua yang akan aku jelasin ke kamu. Itu saja." Aku menatapnya di ujung kalimat.
Astrid mengangguk pelan.
"Demi Allah, aku nggak pernah punya kehendak untuk menyakiti kamu atau mencacati pernikahan kita dengan cara apa pun termasuk orang ketiga. Camkan."
Astrid menunduk.
"Selama kita di Turki dulu. Hal kayak gini pernah terjadi, baik? Kamu mencemburuiku atas dasar satu sudut masalah yang kamu lihat dan simpulkan cepat-cepat tanpa tabayyun dengan aku. Padahal akhirnya kamu sendiri yang nyesel karena semua itu hanya salah paham.
Trid.
Demi Allah, aku nggak pernah ngarepin satu kecupan atau sentuhan dari perempuan lain selain kamu. Apalagi Helga yang jelas-jelas orang asing bagiku.
Waktu itu Wisnu ngajak aku main ke rumah keluarga besar Helga untuk menghadiri acara jamuan makan. Aku kenalan bukan cuma sama Helga, tapi juga sama anggota keluarganya yang lain.
Mereka tahu aku pembaca buku komersil. Dan itu Wisnu kenalkan ke mereka sebagai satu metode terapi yang tergolong baru dan jarang dipakai.
Di rumah itu, ada satu gadis lulusan SMA yang sudah nggak bisa jalan lagi. Namanya Mia, adiknya Helga. Tiap hari pergerakannya hanya bertumpu pada kursi roda. Dan dia nggak pernah mau menemui dunia luar lagi untuk memulai kembali kehidupannya yang hancur.
Kamu tahu? Mereka memintaku untuk membacakan buku untuk Mia karena tertarik dan ingin mencoba apakah aku bisa mengubah jalan pikir Mia atau nggak.
Beberapa hari berikutnya Helga menemuiku untuk memastikan apakah aku bersedia atau tidak. Karena aku belum memberi persetujuan apa pun untuk itu. Aku mempertimbangkan banyak hal! Termasuk aku juga debat sama Wisnu karena dia maksa supaya aku menerima tawaran itu. Sementara psikisku sendiri masih kacau dan nggak kalah perlu ditolongin. Wisnu mendukungku untuk mau.
Trid, sampai sejauh itu pun, aku masih nggak ngasih persetujuan karena aku mikirin terus gimana kamu nanti kalau aku menyanggupi. Menghabiskan satu jam dengan cewek abege buat bacain buku. Memberinya sedikit bantuan untuk memulihkan mentalnya.
Saat itu aku sempat mengiyakan karena aku juga akan mengajukan syarat untuk ada wali laki-laki dari Mia, yang akan menemani saat aku membacakan buku. Jadi aman. Helga mungkin senang aku akhirnya mau. Sampai saat kami hendak berpisah untuk pulang, dia tiba-tiba saja mencium pipiku untuk salam sampai jumpanya. Tiba-tiba. Cepat sekali. Dan tanpa permisi. Aku selesai."
Hidung Astrid berisik.
"Sebelum kamu nanya atau menyanggah. Aku mau kamu jelaskan soal Wisnu. Aku perlu tahu istriku punya jasa apa sampai-sampai dia merasa punya hutang budi," tambahku.
"Wisnu itu temen yang baik banget selama aku sama kamu beda kampus pas S1 di Ankara. Kamu jangan salah paham."
Egois kan dia. Dia melarangku untuk salah paham padanya sementara dia bisa semudah itu menyalah-pahami aku.
"Wisnu punya adik namanya Karin yang kebetulan satu flat sama aku waktu di Ankara. Dia nitip Karin padaku karena cuma aku yang Wisnu kenal sebelumnya. Dan kamu tahu kan siapa Karin? Kamu tahu, kan? Kamu tahu nama itu kan, Mas!" Astrid nangis. Sementara itu aku tercengang seberat apa.
"Karin, orang yang ditaksir sama Ayaz. Dan Karin, juga masih orang yang sama dengan orang yang kamu tolongin dari pelacur-pelacur itu! Kamu nggak bilang itu ke aku, kan? Kamu nggak ngaku, Mas!"
Aku tidak bisa mengatakan apa pun.
"Asal kamu tahu, aku nggak langsung ke Praha! Tapi aku ke Istanbul dulu nemuin Ayaz buat tanya-tanya barangkali dia tahu. Dan ternyata―. Ayaz bilang ke aku kalau waktu itu dia tahu kejadiannya yang sebenarnya seperti apa. Ayaz yang minta tolong ke kamu, kan? Iya, kan?
Dan kemarin Ayaz mengirim satu artikel yang isinya curhatan Karin di blognya. Yang nyeritain pengalamannya itu. Di sana rinci banget apa, bagaimana, dan kenapa-nya! Dan masih untung dia nggak sebut-sebut nama kamu.
Aku tahu!" tangisannya tersedu.
"Dan kamu nggak bilang itu ke aku atau Wisnu, Mas! Dan Wisnu sampai sekarang juga nggak tahu kalau Karin punya pengalaman yang seperti itu. Kamu bahkan nggak pernah kenal sama Wisnu padahal kamu sudah lama kenal sama Karin. Allah yang ikut campur di sini! Dia menyempitkan ruang gerakmu dari masalah ini. Dia menyempitkan dunia untukmu agar jalan masalah yang kamu ambil terus menyambung. Padahal apa? Lihat, kamu bersembunyi dari orang rumah bahkan aku. Kamu nyari tempat perlindungan di Praha. Secara ajaib aku memilih Wisnu untuk mendampingi kamu. Secara ajaib kamu ketemu sama mbah-mbah itu yang rupanya punya kaitan sama Wisnu, yang aku sendiri bahkan belum pernah tahu kalau dia mertuanya Wisnu. Secara ajaib, cewek bernama Helga itu diperkenalkan Allah sama kamu, dan datang hari ini. Secara ajaib akhirnya kamu tahu Wisnu siapa," dia emosional sekali.
"Aku udah nahan ini dari kemarin, Mas! Aku tahu itu Karin juga baru kemarin waktu Ayaz membuka dan ngasih artikel itu. Aku emosi dari pagi. Aku kesel dari pagi. Mood-ku amburadul sejak pagi. Terus ditambah denger kamu tiba-tiba lagi di rumah sakit! Dan ada cewek cantik yang ngaku pernah nyium kamu! Masih berani kamu bilang marah dan cemburuku nggak beralasan?"
Kepalaku seperti ingin pecah.
"Itu Karin, kan, Mas?" tanyanya lagi, "Ngaku!"
Aku tidak bisa mengatakan apa-apa. Allah telah menampakkan semuanya pada istriku.
"Jalan terbaik menyelesaikan masalah itu bukan sembunyi, bukan menyerah, dan bukan membiarkan begitu saja, tapi dihadapi! Kamu berdoa tiap hari sama Allah nggak akan ada hasilnya selama kamu diam saja. Solusi tidak turun bersama salju! Tapi solusi turun bersama masalahnya! Innama'alusri yusran tidak dipisahkan dalam ayat yang berbeda. Tapi disandingkan dalam satu larik ayat yang sama. Bahkan Allah menegaskannya dua kali di ayat berikutnya! Itu supaya kita mikir kalau solusi sepaket dengan masalahnya! Kalau kamu menjauh dari masalah dan takut menghadapinya, jangan heran kalau solusi itu akan menjauh pula. Kamu nggak akan bisa jadi Kiai yang arif kalau untuk masalah seperti ini saja kamu masih kurang bijak. Umat punya masalah yang jauh lebih berat dari ini."
Aku menangis tersedu-sedu mendengar semua fakta itu. Astrid menebasku dengan semua yang tadi dia katakan. Aku patah. Aku remuk. Aku lebur. Dan rasanya ingin mencaci diri sendiri.
"Kamu boleh menahan sekuat apa, menyembunyikan masalahnya serapat apa dariku, tapi kalau Allah sudah berkehendak agar aku ikut campur, nggak ada yang ngehalangin aku, Mas. Karena ini udah jadi rencana-Nya.
Kamu boleh merasa berdosa karena ditimpa semua ini. Tapi jangan lupa! Doa yang diterbangkan oleh siapa saja yang mendoakanmu, mereka hidup di langit dan menunggu waktu yang tepat untuk menolongmu. Abi, Bu Farah, dan aku, itu hanya bagian kecil dari siapa saja. Doa kami dipegang oleh Allah, dan dilepaskan ketika kamu bahkan sedang terjebak.
Aku boleh cemburu padamu, itu hak. Kamu tidak ingin aku ikut campur mengurai masalahmu, itu nggak hak. Aku istrimu! Kamu yang ngajarin aku semua ini! Dan aku nggak pernah mau lihat kamu jatuh.
Aku marah tahu ada yang serampangan nyium kamu. Karena artinya ada lagi pelecehan lain yang menyentuh dirimu!"
Aku makin parah.
"Aku sangat mencintaimu, Mas," dia mengatakan itu sambil menangis, "Tolong mengerti kekhawatiranku juga."
***
***
Rindu ya?
Sayang, rindunya dibalas sesak.
🙂
Sampai jumpa Rabu.
Hei, go check my new story 😉
Here TheReal_SahlilGe
This is a bromance story about brotherhood and medical fiction.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro