❄️ BAB 06 - Separuh Aku
Judul: Semusim Di Praha
Oleh: Sahlil Ge
Genre: Spritual, Slice Of Life
Alur: Maju-Mundur (Dulu dan Sekarang)
Diunggah pada: 19 Mei 2019 (BAB 6)
Bagian dari 'Antologi Semusim' (Winter).
Hak Cipta Diawasi Oleh Tuhan Yang Maha Esa.
***
Bab 06 - Separuh Aku
***
Prague, Czech Republic - Winter
[Astrid Pramesti - Sekarang]
...
Hari itu, aku yang nggak bisa menahan diri untuk tidak terlalu emosional akhirnya kalah dan tertahan di apartemen Wisnu.
Pertama kali aku lihat dirinya saat pintu terbuka, udah, pokoknya remuk perasaanku. Dia kurusan. Berkantung mata. Kedua alisnya layu. Dan aku berusaha untuk ngerti kenapa dia harus menyembunyikan semua ini. Maksudku, ayolah siapa sih yang bakal tega ngebeberin masalahnya yang bahkan bisa dikata aib seperti itu ke pasangannya secara mudah? Apalagi setelah aku tahu apa saja yang dipertimbangkan Sultan.
Kami berdua berbaring di tempat tidur. Dia memelukku erat. Diam. Sesekali aku merasa lengannya sedikit gemetar. Wajahnya disembunyikan di dadaku. Terdengar sedikit ceguk isak. Sementara aku sebisa apa kudu banget tampak lebih tegar dibanding dia. Meski sebenarnya aku pun nggak tahu harus pakai cara apa supaya dia bisa lebih melunak dan terbuka untuk semuanya. Dan saat ini, yang terbaik kurasa cuma membiarkan dia menunjukkan kerapuhannya padaku. Dia perlu tahu kalau aku bisa menerima sisi rapuhnya juga yang selama ini nggak pernah dia tampakkan padaku selama nyaris satu dekade bersama. Aku mengusap rambut belakang kepalanya sambil sesekali mengecup keningnya yang tak henti berkeringat.
Di luar sepertinya salju turun lagi. Tapi nggak sederas yang kubayangkan. Sultan lebih tenang saat aku menjelaskan padanya Fathan ada di mana. Aku mengajak Dalilah; staf pesantren yang punya paspor dan visa. Dia baru entas dari studinya di Ankara berkat beasiswa santri dan sekarang mengabdikan diri di pesantren. Fathan kutinggal bersama Dalilah di apartemen yang nggak jauh dari sini.
"Kamu pasti sulit banget, ya, nahan ini sendirian," kataku berusaha mengerti. Baru satu kalimat itu saja sepertinya air mata Sultan mengalir lagi. Terasa. "Aku nggak nyalahin kamu, kok. Pasti banyak yang dipertimbangkan."
Terdengar seperti mulutnya sedang meniup minuman panas. Napas yang tertahan.
"Kamu pasti takut aku marah. Ya, aku marah. Aku kesal. Aku pengin ngamuk. Tapi ke begundal-begundal itu."
Seketika Sultan mendongakkan kepala dan mengecup daguku sebelum ia kembali seperti anak kecil yang bersalah dengan menyembunyikan wajahnya lagi. Tentu wajahnya masih berlinangan. Aku belum pernah melihat dia yang seperti ini.
"Maaf aku melanggar aturan," kataku, "Abi sedikit marah waktu aku berkeras mau nyusul kamu. Orang rumah nggak ada yang setuju aku ke sini. Apalagi Mas Tora. Karena ini mendadak banget. Aku pesan tiket di malamnya ketika Wisnu ngasih tahu. Kamu tenang aja orang rumah nggak ada yang tahu soal kamu kenapa."
Lalu kepala Sultan menggeleng cepat masih dalam pelukku. "Jangan," ucapnya seperti berbisik rapuh.
"Iya, aku nggak cerita ke mereka," sergahku takut dia makin ke mana-mana pikirannya, "Kamu juga nggak perlu marah sama Wisnu. Dia sudah janji sama aku sebelum ketemu kamu kalau dia bakal menginfokan semuanya yang terjadi."
"Semuanya bukan kehendakku, Trid," wajahnya mendongak lagi. Kuusap peluh di keningnya, "Aku tidak mengelak bukan karena aku menghendaki. Tapi aku tidak punya sedikit pun daya untuk melakukannya. Aku diikat tanpa sadar."
Jantungku terasa nyeri.
"Kamu cek kepala juga, nggak? Aku takutnya pas kamu dipukul ada yang gegar otaknya."
"Tidak. Tapi aku merasa baik-baik saja kepalanya."
"Nanti periksa."
"Nggak usah."
"Aku udah di sini, Mas. Aku juga perlu tahu keadaan fisikmu juga. Tolonglah kali ini agak nurut dikit sama omonganku."
"Kamu pasti jijik ya sekarang."
"Ngomong apa sih? Kalau jijik kenapa aku masih mau sedekat ini?"
"Mungkin karena kamu cuma melakukan apa yang menurutmu aku perlukan."
"Mikirnya jangan ke mana-mana coba. Tapi kamu memang perlu ini, kan? Disembunyiin kayak apa juga, sampai kamu merasa sembuh pun, aku pasti tahu cepat atau lambat. Dan lain lagi ceritanya kalau aku tahunya pas kamu udah sembuh. Marah beneran, Mas, kalau kamu sampai nggak bilang nunggu nanti. Dan marahnya ke kamu."
"Aku nggak tahu apa aku masih layak minta maaf ke kamu, Trid."
"Minta maaf saja. Untuk nggak terbuka sama aku."
"Tapi dimaafin?"
"Mau dimaafin?"
Dia menatapku tanpa berkedip. Mengangguk.
"Iya dimaafin. Tapi kamunya harus lebih kuat. Oke kita maklumi bareng-bareng kalau semua ini musibah, clear? Kamu takut kalau aku tahu terus aku marah tapi nyatanya aku berusaha mengerti, clear? Kamu menahan sendirian selama ini dan sekarang aku datang lalu mau memikul masalahmu di pundakku juga, clear? Musibah sudah melipat jarak rindu kita bertiga, Mas. Waktu sudah dikelun lebih singkat lagi. Aku di sini, Fathan di sini, jadi apa lagi yang harus dikhawatirkan?"
Kepalanya terlihat lemas di atas bantal, "Masih ada satu lagi yang paling aku takuti."
Aku tidak menduga-duga, "Apa?"
"Aku seburuk apa sampai Allah hanya menonton saja saat semua itu terjadi? Seolah aku memang layak dihinakan seperti itu."
"Kok ngomongnya gitu?"
Lalu tatapannya seperti hilang ke mana. "Aku nggak tahu," jawabnya pelan, "Setiap salat rasanya seperti aku dipunggungi oleh Allah. Seperti dia sudah tidak mau mengarahkan Wajah-Nya ke arahku."
"Yang jelas itu nggak mungkin, kan?"
"Trid, aku punya dosa apa sama kamu yang belum kamu maafkan?"
Aku bingung kenapa dia bilang begitu. "Dosa apa?"
"Yang masih mengganjal di hati barangkali."
"Nggak ada."
"Kamu yakin?"
"Kenapa kamu nanya itu?"
Dia diam sesaat, "Musibah datang salah satunya karena dosa yang belum diampuni. Aku melihat ini bukan seperti teguran dari Allah. Tapi karena satu kesalahan yang aku lalaikan dan tidak tersadar," ungkapnya, "Aku tidak tahu apakah ibadahku selama ini sudah benar atau belum. Tapi aku tidak pernah mangkir dari kewajibanku sebagai abdi. Dan semua penilaian itu hanya Allah yang tahu. Aku melakukannya sebaik yang aku bisa. Aku selalu berusaha hati-hati ketika berwudu. Aku berhati-hati dengan pakaian salatku. Aku berusaha berlaku adil untuk apa saja yang menjadi urusanku. Tapi sekarang karena apa?"
Aku malah bingung dengan pertanyaan itu.
"Apa yang kamu tahu sementara aku nggak tahu?" aku menanyai balik.
Dia menatapku dengan alis berpikir.
"Apa saja. Satu hal yang mungkin hanya terasa janggal di hatimu tapi tidak di hatiku."
Lalu entah seperti ada satu cercah ilham yang melintas di kepalaku. Seperti lesatan komet yang Allah sengaja masukkan ke dalam kepalaku. Aku menyadari satu hal yang mungkin saja ... aku tidak yakin ... tapi mungkin saja itu memang satu luputnya Sultan.
"Kamu sudah berdamai dengan semua orang?" tanyaku.
Dia masih terdiam.
"Tapi apa kamu sudah berdamai dengan Abi dan Bu Farah setelah selama ini?"
Tatapannya mendadak terkunci.
"Dulu waktu masih nyantri. Mba Nimas pernah cerita jauh sebelum dia nikah sama Mas Tora. Dia bercerita kalau kamu punya masalah dengan Abi dan Bu Farah hanya karena mereka menikah setelah belum lama Umi-mu wafat. Cara kamu yang nggak mau tinggal di rumah alih-alih menetap di wisma pengurus. Atau sikap dinginmu yang pernah ada. Atau ... kamu yakin nggak sih selama ini Abi merestui kepergianmu? ... berapa banyak kamu sudah ngobrol sama Abi semenjak itu?"
Tatapannya jatuh. "Aku sudah bisa menerima. Itu hanya masalahku saat remaja."
"Di hatimu boleh menerima, Mas. Tapi dari cara bersikapmu ... aku nggak yakin."
"Kita semua sudah baik-baik saja, Trid."
"Enggak. Aku belum pernah melihat kamu akrab sama Abi. Satu kali pun ... belum."
Sekarang dia lunas terdiam.
"Kamu nyadar itu, nggak? Atau selama ini kamu menganggap masalah itu sudah selesai dan ... cukup dengan anggapan itu saja lantas kamu mikirnya ... kayak yang ... 'ya udah yang penting aku udah bisa nerima', gitu."
"Trid-."
"Satu lagi," aku memotong cepat-cepat.
Dia berkedip pelan.
"Kamu hutang banyak rindu sama Abi tahu nggak," kataku kemudian, "Bu Farah juga. Mas Mahfuz, Mba Ani, dan dua keponakanmu yang udah beranjak remaja itu. Imam; adikmu yang sepertinya ... aku nggak ingat kapan terakhir kamu berkomunikasi secara serius dengan mereka semua."
Wajah Sultan berangsur layu.
"Kamu pernah panggilan video sama Abi?"
"Pernah."
"Berapa kali?"
Dia tidak bisa menjawab.
"Aku yakin kamu lebih tahu soal ini. Tapi agaknya aku perlu ngingetin lagi. Bikin orang tua rindu sama kita sampai mereka meminta kita pulang, mungkin sampai nangis, sementara kita nggak bisa pulang atau nggak mau pulang, itu dosa loh Mas. Termasuk yang aku bilang tadi. Hutang rindu ke orang tua itu nggak baik. Bikin orang tua teriris hatinya cuma pengin lihat kita, nggak baik. Dan kalau memang keadaannya selama ini kita lagi susah pulang. Maksudnya nggak memungkinkan untuk pulang. Nggak apa-apa kok kalau cuma telepon doang atau panggilan video. Ya minimal kasih kabar. Nampakin wajah. Tanyain kabar Abi, atau Bu Farah. Tanyain gimana kabar Imam. Tanyain gimana perkembangan pesantren."
Sultan masih mendengarkanku dengan tenang.
"Yang kayak gitu nggak susah. Ya bolehlah dikata kamu udah nggak masalah dengan konflik batinmu dulu. Tapi sekarang kan beda lagi. Kamu di negeri orang lamanya sudah sama seperti usia pernikahan kita. Kalau telepon ke rumah pun aku yang lebih banyak ngobrol. Tiap lebaran kita pulang baru tiga kali sejak menikah. Ibadahmu sama Allah mungkin baik-baik saja. Tapi hutang rindu itu yang sering kali nggak kita rasakan dosanya. Kita merasa sudah bisa hidup sendirian tanpa mereka. Kita merasa udah bisa nyari makan sendiri tanpa mereka. Kita merasa sudah berkeluarga sendiri dan nggak ada kaitannya lagi. Itu salah. Dan kita juga nggak tahu di jarak sejauh dan selama itu orang tua di rumah kayak apa barangkali nangis tiap malem, ngedoain kita, dan membawa-bawa rindunya di depan Allah. Kan mungkin saja ini memang teguran. Allah memberi musibah yang membuatmu jadi beneran nggak bisa pulang atau pun sekadar menampakkan diri di depan Abi, Mas."
Oke, kali ini air matanya merembas lagi.
"Aku nggak salah, kan, ngomong ini? Cuma analisaku saja."
"Mungkin iya."
"Kalau yang kamu rasain memang gitu, ya bukan mungkin lagi namanya."
Sultan menggeleng dengan mata terpejam.
"Jangan sampai jadi seperti kelomang lho. Cangkang yang lama dilupain hanya karena sudah nemu cangkang baru yang lebih nyaman. Aku nggak yakin ada yang salah sama ibadah mahdah-mu. Aku tahu kamu hati-hati sekali. Kamu memang baik sama orang lain. Pemurah. Tapi kan kalau kamu masih ada beda dengan keluarga di rumah ... kan artinya ada yang belum beres sama ibadah ghaira mahdah-mu. Jangan sampai kita sibuk bermanis diri kepada semua orang tapi sama keluarga sendiri kita masam."
Ini dia kalau udah diem aja kayak gitu lagi enak banget tuh dinasihati banyak-banyak. Udah kena dia hatinya.
"Mungkin gini ya. Kamu merasa nggak perlu ngabarin ke rumah karena mereka nggak nanya. Dan mereka nggak nanya, mungkin saja karena yang mereka pikirkan kamu ini masih terkait dengan konflik batinmu yang dulu. Kan kamu tahu sendiri kalau Abi sama Bu Farah kayak apa sopannya bahkan ke anak-anaknya sendiri. Mereka nggak pernah lho yang kayak nuntut kita buat begini-begitu. Tapi tahu nggak? Selama aku pulang dan ikut srawung ngurusin pesantren sama sekolah, itu Abi kayak apa beda banget wajahnya. Bungah. Sama Fathan itu lengketnya Maa Sya Allaaaah. Biasa aja gitu gendong Fathan ke masjid sambil ngajar santri. Atau digendong keliling kampung. Apalagi Bu Farah, Mas, ke aku lagi kayak apa baiknya. Dan kalau harus aku akui, aku sering ngobrol sama Abi tentang bagaimana perjalanan kita berdua selama di Turki. Dan kamu tahu apa?"
"Apa?"
"Abi selalu menceritakan ulang apa yang udah aku ceritain tentang kamu ke jamaah. Seperti apa kehidupan di Turki, terus kamu lagi kuliah di mana, udah kayak kaset rusak Mas pokoknya Abi nyeritain kamu di depan jamaah. Padahal ya Abi waktu muda pernah ke Istanbul juga, tapi cerita versiku selalu dia jadikan bahan update untuk permisalan lagi. Siapa tahu, kan?"
Sekarang dia ngangguk.
"Ya aku sih nggak lagi mojokin kamu. Cuma lagi ngungkapin yang tadi melintas di benakku aja."
"Astaghfirullahaladzim," dia menghela napas.
"Kita nggak bolehlah jadi orang yang intinya-aku-udah-maafin tanpa menunjukkan bukti dari sikap pengampunan kita ke yang bersangkutan. Kalau kita udah memaafkan seseorang dan menganggap masalah selesai dari pihak kita saja, lalu setelahnya kita main menjauh begitu saja tanpa mengindahkan adab bersilaturahmi dengan manusia, itu pengecut namanya. Maafmu belum sempurna. Ikhlasmu belum sempurna dalam memaafkan. Kalau beneran ikhlas memaafkan, ya ... kita kembalikan semuanya. Kembalikan waktu yang sudah kita hilangkan untuk mereka. Kembalikan hak sosialnya. Kembalikan hak kekeluargaannya. Kembalikan perasaan diakuinya. Setiap orang perlu sebuah pengakuan atas penerimaan. Kita nggak lantas jadi hina kok kalau ada yang bersalah ke kita, lalu kita memaafkan, dan kita sendiri yang bergerak untuk memperbaiki segalanya lebih dulu. Apalagi, masalahmu dulu itu karena kamu belum ikhlas kalau Abi menikah lagi. Itu masalah waktu remaja, kan? Ya udah jangan dibawa-bawa sampai tua."
"Iya, Trid."
"Sekarang kamu punya anak. Laki-laki pula. Takut aja aku kalau ada karmanya. Aku bayangin sikap Fathan kelak misal kayak kamu gini juga udah pasti gondok aku. Cuman kan yang namanya anak, masa tega kita doain yang jelek-jelek. Sekarang kamu boleh berpikir Abi sama Bu Farah baik-baik saja ketika kamu nggak mendekatkan diri selama ini. Tapi kamu nggak tahu juga. Apa-apa yang sudah mereka doakan buat kamu. Buat kita. Di depan Allah ngomongin kita. Bisa jadi salah satu doanya begini, 'Ya Allah, semoga anak lanangku, Sultan, nggak lupa sama orang tuanya. Memaafkan orang tuanya. Dan ingatkan anak lanangku untuk pulang.' Gimana tuh kalau doanya diaminin sama milyaran malaikat? Apalagi kalau mereka doainnya sambil nangis-nangis. Bisa apa kita, Mas? Ya sekarang apa yang kita dapat? Musibah yang sulit dimengerti kenapa bisa sampai menimpamu. Kita."
"Iya, Trid."
"Jadi jangan merasa hanya karena ibadah vertikal kita sudah baik, lantas ketika ada masalah kita menyangkal bahwa itu sebuah teguran seperti yang kamu bilang tadi. Kalau gitu kamu sombong namanya. Kita tidak pernah bisa sempurna, Mas. Cuma Allah yang punya gelar tertinggi itu."
"Iya, Trid."
"Tahu nggak sih kalau masing-masing dari kita itu separuh kehidupannya orang lain? DNA Abi tercatat di DNA-mu. DNA-mu tercatat di DNA Fathan. Aku? Kan aku tercatat di buku takdirmu. Kamu separuh aku. Kita separuh dari orang tua dan anak-anak kita. Kita nggak bisa terlepas dari itu semua. Ini kenapa Allah ngasih ganjaran yang jauh lebih besar untuk sebutir nasi yang kita berikan ke keluarga sendiri dari pada ke orang lain. Aku udah nggak perlu nyeramahin ini sebenernya. Kamu udah ngelotok. Cuma perlu diingetin aja."
Dia menghela napas panjang. Lalu menyentuh pipiku. "Kamu tahu kenapa aku begitu yakin memilihmu?"
Mendadak dadaku berdentum. Giliran aku yang bungkam.
"Kamu selalu bisa mengingatkanku dengan cara yang manusiawi. Cara yang semua manusia inginkan. Kamu tidak pernah menamparku dengan dalil lalu menghakimi. Tapi menyentuh dari sisi bagaimana kamu seorang perempuan yang memahami cara kerja Islam yang diturunkan oleh Tuhan."
Aku terkekeh kecil, "Begitu? Udah cocok kan jadi istrinya calon Kiai?"
Hatiku bahagia banget waktu lihat dia ketawa songar.
"Cocok. Nanti santrinya melonjak jadi puluhan ribu kalau pesantren punya Bu Nyai yang ayu dan cerdas seperti kamu," ungkapnya sambil mengambil janggutku. Lalu mencium sebentar.
"Oke cukup," kataku.
Sultan mengusap wajahnya yang terlalu kusut bekas tangisan.
"Aku sekarang harus ke apartemen. Kamu mau ikut? Takut anak lanang nangis nggak betah."
"Ayo ke anak lanang."
Kemudian aku membantu dia memakai mantel setelah kusapu luka-lukanya dengan obat oles. Dia mengambil afgan miliknya yang dia dapat dulu dari teman kuliahnya untuk dililitkan pada sekeliling lehernya. Aku melipat mantelku karena sebelumnya dia ngomel sebab mantelku tipis. Kupakailah mantelnya yang kebesaran di badanku.
Setelah mengunci pintu kami menyusuri rintik salju yang tak begitu deras. Sepayung berdua. Aku melihat ada secercah kedamaian di wajah Sultan. Seperti ada cahaya baru di wajahnya. Sebuah optimisme kalau dia bisa melewati ini semua bersamaku.
"Kemarin-kemarin deras banget lho, Yang, saljunya," dia berkata. Hidungnya masih memerah.
Kami hanya ngobrol kecil sepanjang perjalanan. Setibanya di depan pintu apartemen yang kusewa dia menghentikan langkahnya seperti ragu.
"Nggak apa-apa," kataku.
"Fathan bisa mencium keresahanku, Trid."
"Masuk aja. Aroma keayahanmu lebih tajam dari pada resahnya."
"Begitu?"
"Lagian masa kamu nggak kangen sama anak sendiri?"
Dia memutar bola mata. Memegang kenop pintu dan berkata, "Aku lebih kangen dia dari pada kamu," ucapnya terkekeh kecil sambil membuka pintu tergesa-gesa.
"Assalamualaikum..." suara Sultan mengisi seluruh ruang. Aku padahal sudah menginginkan ini sejak dulu. Di mana dia akan pulang ke rumah yang benar-benar milik kami.
Kebetulan Dalilah lagi di lantai bawah sedang mangku Fathan sambil baca buku dongeng yang kubawa dari Indonesia.
"Ma sya Allah ... ciapa ini yang nyusul Ayah ke Praha???" hatiku lumer dong lihat itu. "Uuuuh, sini, sini." Dia mengambil Fathan dari Dalilah dan langsung menciuminya gemas. Ya, meskipun Fathan sempat nangis sebentar. "Ish ish ish ... ini sama Ayah lho, Nang. Ayah ini ... eee. Alah alah alah ... udah besar lho, Nang. Bentar lagi udah mau minta dibeliin sepeda ini."
Aku tersenyum lebar melihat mereka.
Lalu teralihkan oleh ponsel yang bergetar di sakuku. Ayaz mengirim pesan.
'Trid, ada satu artikel berita yang aku temukan di internet. Artikelnya kurang populer. Sultan jangan sampai tahu dulu.'
Berikutnya Ayaz mengirim sebuah link untuk menuju artikel itu. Aku memilih untuk membukanya nanti. Apapun isinya aku akan merahasiakan ini dari Sultan dulu. Dia harus mendapat lebih banyak ketenangan sekarang. Aku nggak mau merusak rasa membaiknya saat ini. Termasuk dia tidak boleh tahu kalau sebelum aku ke Praha aku sudah lebih dulu ke Istanbul untuk mencari tahu semuanya dibantu Ayaz. Ini demi kebaikan semuanya.
***
***
Satu kata untuk Bab ini?
***
Apa sih yang ditemukan Ayaz?
Hm, semoga Astrid nggak sampai salah langkah. 🤾
***
Catatan:
Oh iya, saya mau bilang kalau Rabu nanti saya nggak bisa update. Karena pekan ini saya mau khusyuk nyiapin diri untuk sidang munaqosah di kampus. Doakan semoga diberi kelancaran dan kemudahan dalam memberi jawaban yang benar pada penguji. Kita akan ketemu lagi Minggu depan. Insya Allah double update.
Dan ...
Jangan selalu menuntut bab panjang. Pahami kalau dalam sebuah buku sah-sah saja mau babnya pendek atau panjang.
Terimakasih sudah mampir, kasih bintang, dan berkomentar. 🙂
Kalian yang terbaik. Saya sayang kalian.
Minggu depan saya akan kasih link grup WA Sultanisme supaya kawan-kawan bisa saling ngobrolin Sultan dan Astrid. Kalau nggak salah ada 200an penghuni. Insya Allah masih ada tempat duduk. Penghuninya ramah-ramah dan seru banget. Tenang, ghibahin Sultan nggak dosa 😉 muehehe.
Dah 👋
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro