RALS - 4 - Perkara Kentut 2.2
Question of the day: gak sengaja kentut depan orang atau gak sengaja jatoh depan orang?
vote, komen dan follow akun WP ini + IG & X & Tiktok @akudadodado. Thank you
⋆。゚☁︎。⋆。 ゚☾ ゚。⋆
Aku buru-buru keluar cable car dan masuk ke cable car lainnya yang akan membawaku ke puncak Aguille du Midi yang juga bersebelahan dengan puncak Mont Blanc.
Ponselku merekam ke berbagai sisi karena kebetulan aku menempel dengan kaca. Aku hanya perlu sedikit bersabar jika ada yang menekan tubuhku yang membelakangi mayoritas penumpang. Cable car kali ini pun masih padat, padahal sudah ada yang turun di pemberhentian pertama untuk bermain ski. Mungkin mereka perlu adrenalin lebih dengan menaiki sampai puncak lalu meluncur dari sana.
Namun, seluruh pemandangan itu tidak menghentikan perutku untuk bergejolak hebat. Ada gas yang rasanya meletup-letup minta dikeluarkan, tapi kentut di tempat tertutup sama saja dengan pembunuhan masal. Aku pernah mengalami dulu sewaktu datang ke kantor Love404. Yang tidak berbunyi biasanya yang mematikan aromanya.
Aku menahannya seperti menahan buang air besar hingga bokongku perih dan perutku melilit hingga aku membungkukkan badan sedikit untuk jalan keluar cable car.
Kakiku berjalan cepat ke pojok yang tidak ada orang dan cukup tersembunyi lalu melepaskan beban di perut yang aku tahan tadi sambil menekan perut bagian bawahku sedikit, trik yang aku pelajari dari internet dan cukup efektif saat perutku sudah nyeri karena menahan kentut, tapi yang bersangkutan sudah keburu ngambek.
Lalu bunyi kentutku berkumandang di puncak Aguille du Midi. Suaranya tidak kencang, tapi cukup membuatku lega. "Untung masih pagi, jadi sepi." Aku menyengir lebar dan mengeluarkan ponsel, memencet nomor yang aku hafal di luar kepala. Saat panggilan pertama diangkat, aku langsung mengatakan, "Ini harus masuk milestone gue: berhasil kentut deket puncak gunung tertinggi di Eropa barat."
Robyn yang aku yakin selalu bangun pagi dan kini sudah siap untuk jalan-jalan merespons dengan tawa yang tampak di layar, "Lo nyimpen kentut dari kemarin apa gimana?"
"Gue tiba-tiba gassy. Enter wind kayaknya. Rada norak aja emang." Aku mengganti ke kamera belakang untuk menunjukkan pemandangan pegunungan berbaris yang diselimuti salju ke Robyn.
"Baik-baik lo ada orang Indo yang denger. Malunya ntar bikin lo mau terjun dari sana."
"Enggak lah. Ini jam pertama dan orang-orang yang naik bareng gue tadi kebanyakan pakai ski gear dan kalau ke sini kebanyakan langsung naik lift ke atas buat ke Step Into the Void. Gue a—" aku ingin membuktikan poinku kepada Robyn dengan membalikkan tubuh dan memperlihatkan Palier Hypoxie, salah satu tempat foto panoramic gratis yang disediakan oleh Chamonix, yang kosong.
Seharusnya.
"Owen... Kayaknya nggak kosong. Itu ada orang bukan?"
Kata-kata yang sudah ada di ujung mulutku tertahan dan kembali kutelan saat menyadari aku tidak sendiri. Ada orang lain di sini saat aku melakukan adegan dewasa yang seharusnya dilakukan di tempat tersembunyi dan hanya didengar oleh telingaku atau kembaranku. Mungkin oleh suamiku juga nanti, tapi bukan itu poinnya sekarang.
Cowok yang berdiri dekat pintu itu tertawa tanpa suara dengan menutup mulutnya.
"Owen, itu beneran orang? Bukan semacam yeti yang tinggal di sana?" Robyn menembakkan pertanyaan dari speaker ponsel di tengah malu yang meledak di perut dan mewarnai mukaku, pertanyaan yang tidak dapat aku jawab. Tapi sumpah demi apa pun, aku lebih berharap kalau cowok yang masih tertawa itu adalah yeti atau big foot sekalian.
Setidaknya mereka tidak bisa ngomong, bahkan jika aku kentut pun mereka tidak akan peduli. Tapi ini? Manusia ini dengan senang hati menertawakanku.
"Itu bule ganteng yang gue bilang kemarin." Robyn tertawa tergelak-gelak sementara aku merenungi nasib sialku.
"Gila. Orang yang sama lihat lo jatuh, lihat lo kentut di alam bebas juga. Lebih malu yang mana?" ejekan ini tidak akan berhenti aku dengar dari mulut Robyn jika kami membahas mengenai liburan ini. Setidaknya sampai cucu kami mendengar nasib sialku setelah menjual kembaran sendiri.
Namun, aku tidak bisa menampik kalau dua itu adalah sumber malu terbesarku selama aku hidup. Mana keduanya disaksikan oleh orang yang sama hingga aku berpikir kalau takdirku memang selalu buruk kalau menyangkut cowok.
"Sial. Gue nyari dia pagi tadi nggak ada. Sekarang macam jelangkung muncul tak diundang. Untung dia nggak paham kita ngomong apaan, jadinya nggak perlu siap-siap paralayang tanpa parasut," dumelku masih dengan ponsel yang menghadap Noam yang tertawa dan kembaranku yang sudah menutup wajah di kitchen island sambil memukul meja. Kencang.
Aku? Aku masih diam seribu bahasa. Mau kabur juga tidak bisa karena Noam masih setia berdiri di pintu, satu-satunya akses untuk kembali ke dalam gedung.
"Nomi, lo naik duluan nggak bilang-bilang. Untung gue boleh naik juga sama yang jaga di bawah. Eh, ada Mbak Jakarta." Orang yang baru datang menyengir lebar saat melihatku.
Tawa dari dua orang yang tidak berhenti tadi menguap di udara, seolah ada seseorang yang menekan tombol pause hingga semuanya membeku di tempat. Kecuali orang yang baru datang karena dia membuka mulutnya lagi.
"Ngapain lo tiba-tiba jadi patung?"
Aku tidak salah dengar. Dia memang menggunakan Bahasa Indonesia. Bukan telingaku yang tiba-tiba budek dan imajinasi yang bermain karena perbedaan altitud.
Kenyataan menimpa pundakku seperti gajah di atas semut sebelum aku sempat mengolah informasi acak yang perlu aku susun ulang agar saling melengkapi seperti puzzle. One big messy puzzle, and I'm never good with them since I am misfit myself.
"Yah. Mana ganteng lagi, malunya double, Tuhaaaaan."
"Kan gini enak. Gue nggak perlu tanya nama sama takut ditikam pacarnya pas lagi meleng. Eh, yang gue tanya kan cewek, siapa tau dia sukanya... dia pasti top. Jangan-jangan cari bikini bottom?"
Komentar bodoh dari mulutku yang tidak terlatih untuk direm menghantui dari setiap penjuru gunung dan bergema lalu memantul ke sana ke mari di dalam kepala. Perutku bereaksi dengan pelintiran bukan karena mau buang air besar atau kentut seperti tadi, melainkan karena malu yang tidak tertahan.
Aku perlu melakukan damage control untuk situasi, tapi aku perlu tahu sedalam apa masalahku. Aku menelan gumpalan malu yang bercokol di tenggorokan. "Kamu di situ dari kapan?" aku sengaja menggunakan Bahasa Indonesia dengan malu yang kulapisi kesinisan.
Noam yang tidak tahu malu walaupun rahasianya aku ketahui mengelap ujung mata. Tawa masih tersisa di bibirnya. "Dari awal. Dari kamu lari ke sini buru-buru. Aku ikutin karena mau nyapa."
Itu berarti dia naik cable car yang sama denganku, yang juga artinya dia juga mendengar:
"Aduh. Perut gue tiba-tiba mules banget lagi. Mau kentut."
"Ini harus masuk milestone gue: berhasil kentut deket puncak gunung tertinggi di Eropa barat."
Harapan Noah tidak mendengar bagian kentut yang setipis tisu tadi sudah hangus terbakar. Mungkin dari awal itu hanya sekedar aku yang menolak realita keadaan, but a girl can still dream a wistful dream, right?
Itu juga berarti aku tidak punya cara untuk damage control dan pilihan yang tersisa adalah paralayang tanpa parasut.
22/1/25
Wkwkwkwk kentut di alam bebas dan mulut yang gak berhenti komentar
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro