Sepucuk Surat Tak Bertuan
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Pria yang paham agama, tahu bagaimana cara memuliakan seorang wanita. Bukan hanya sekadar bermodalkan cinta, tapi juga iman dan takwa."
°°°
Anin termenung melihat benda yang tadi dia dapatkan dari seseorang yang mengaku telah menemukan novelnya yang tertinggal di kereta beberapa waktu lalu. Bahkan, Anin pun masih mengingat betul bahwa lelaki tersebut salah satu pelanggan kafenya yang pernah menjadi korban kelalaian karyawannya dalam hal pelayanan.
"Dibuka di rumah."
Kira-kira hanya tiga kata itulah yang dia berikan. Setelahnya dia pun mengucap salam sebelum langkahnya kian menjauh dan menghilang.
Benda berbentuk kotak dengan berbungkus kertas cokelat. Anin masih melihatnya dengan seksama, belum ada niatan untuk membuka, padahal sebuah gunting sudah tersedia di dekatnya.
Anin merapatkan matanya sejenak dan berkata, "Bismillahirrahmanirrahim."
Tangannya bergerak membuka bungkusan tersebut, dan dahinya mengernyit kala mendapati sebuah novel berjudul Wa'alaikumusalam Pelengkap Iman karya Ima Madani. Salah satu penulis favoritnya, dan merupakan sekuel dari novel Assalamualaikum Calon Imam, yang tak sengaja dia tinggalkan di kereta.
Bandung, apa kabar?
Semoga kebaikan selalu bersamamu, dan yang terbaik selalu menjadi milikmu.
Kalimat itu tertera apik di lembar pertama, tepat berada di bawah tanda tangan penulisnya. Hal yang kerapkali Anin lakukan, ternyata ditiru juga oleh orang lain.
Ada sebuah amplop putih juga yang terselip di sana, dengan segera dia pun membukanya, dan Anin dibuat terkejut setengah mati kala mendapati selembar surat beserta sebuah cincin putih polos yang terlihat sederhana tapi elegan kala digunakan.
Jika berkenan pakailah cincin tersebut, dan beri tahu saya alamat tempat kamu tinggal.
Saya akan menukar cincin itu dengan gadis yang tak sengaja saya temukan di kereta beberapa waktu lalu.
Tangan Anin bergetar bukan main, bibirnya kelu untuk bertutur, pikirannya sudah kacau dan bercabang ke mana-mana. Tak lupa detak jantungnya pun berulah di luar kendali, berdetak tak seirama dan tak tahu diri.
Allahuakbar! Allahuakbar! Allahuakbar!
"Ini mimpi kali yah," katanya seraya menepuk-nepuk kedua pipi. Terasa sakit, berarti itu memang benar-benar terjadi, bukan hanya sekadar mimpi ataupun ilusi.
"Mama! Ayah! Anak gadis kalian dilamar orang!" teriak Anin seraya berlari keluar kamar dan mencari keberadaan kedua orang tuanya.
Arini dan Haruman yang tengah asik menonton serial televisi berjudul Preman Pensiun itu pun terperanjat mendengar teriakan heboh sang putri.
Pasangan yang tidak lagi muda itu memang penyuka drama, apalagi jika mengambil latar Bandung, yang merupakan tanah kelahirannya. Serasa wisata gratis, karena bisa melihat setiap sudut kota Bandung tanpa perlu repot-repot mengunjunginya.
"Ngehalu ni anak! Sudah malam, waktunya tidur. Bangun! Bangun! Bangun!" sembur sang ibu.
"Ganggu aja kamu, Nin, Ayah lagi fokus nonton salam olahraga juga," timpal sang ayah.
Dengan tidak sopannya Anin mematikan televisi, dan hal itu jelas langsung diprotes oleh ayah dan mamanya. Dua buah bantal sofa melayang tanpa dapat Anin cegah.
Kelakukan orang tuanya memang aneh bin ajaib.
"Sakit. Ampun, Ma, Yah! Ampun!" teriak Anin.
Baik Arini maupun Haruman, tak sedikit pun memberi celah. Mereka kesal karena kelakuan sang putri yang telah mengganggu kegiatannya.
"Anin gak ngehalu, Anin beneran dilamar orang. Ini cincinnya!" seru Anin di tengah keberingasan orang tuanya yang terus menimpuk Anin dengan bantal.
Seketika Arini dan Haruman pun menghentikan kegiatannya, mereka saling berpandangan dan tak satu pun buka suara. Wajahnya menyiratkan ketidakpercayaan sekaligus shock bukan kepalang.
Setelah kesadarannya berkumpul Arini merampas cincin yang tengah dipegang sang putri. "Ini kamu serius, kan? Cincin asli, kan? Bukan hadiah dari chiki-chikian?"
Anin mengembuskan napas singkat dan berujar, "Ya kali, kurang kerjaan banget!"
"Kalau laki-laki itu bener-bener serius sama kamu, datangin Ayah lebih dulu. Jangan asal ngasih cincin gitu aja, Ayah gak mau kamu jadi korban ghosting lelaki tak bertanggung jawab!" tutur sang ayah.
Anin menyerahkan surat yang sedari tadi dipegangnya pada sang ayah. Dia bingung harus menjelaskannya bagaimana, dan mulai dari mana. Sepertinya sepenggal kalimat yang tertulis di sana bisa sedikit menjelaskan, dan mengurangi kerisauan yang tengah sang ayah rasakan.
"Siapa namanya? Di mana rumahnya? Siapa orang tuanya? Umurnya berapa? Kerjanya apa?" cerca sang ibu begitu heboh.
Anin menggeleng lemah. "Anin gak tahu, Ma."
"Ngaco kamu! Masa iya gak tahu apa-apa, tapi nekat ngelamar. Jangan bohongin Mama sama Ayah!"
"Cowok itu gak sengaja nemuin novel Anin di kereta, dia juga ternyata salah satu pelanggan kafe Anin, Ma. Tadi dia ngasih buku, lengkap dengan surat dan cincinnya," jelas Anin seadanya.
"Agama dan akhlaknya bagaimana, Nin? Ayah gak bisa sembarangan nyerahin kamu," ungkap sang ayah yang sedari tadi diam akhirnya buka suara.
Anin terdiam dan menunduk dalam.
Bayangan akan pertemuan tak sengaja itu seketika memenuhi pikiran. Pria yang begitu asik dengan mushaf di tangannya, lantunan ayat suci begitu indah mengalun. Di saat yang lain lebih memilih tidur dan mendengarkan musik, dia justru mengisi waktu perjalanan dengan membaca al-quran.
Dia yang memuji ketaatannya dalam berwirausaha, mendirikan sebuah kafe sesuai syariat agama. Tak lupa ucapan terima kasih pun disampaikannya. Pantaskah pria tersebut Anin sebut baik agama dan akhlaknya?
Anin belumlah mengenalnya, hanya pernah beberapa kali bertemu, dan itu pun atas ketidaksengajaan. Apa mungkin dia jodoh yang hendak Allah berikan? Atau dia yang terlalu sok tahu dan salah menafsirkan?
"Kasih tahu alamat kamu, Ayah ingin bertemu, dan melihat kesungguhannya," putus sang ayah karena tak kunjung mendapati jawaban sang putri.
Anin mengangguk patuh.
"Kamu suka sama dia?" tanya sang ibu lembut seraya mengangkat dagu Anin agar mendongak dan menatap ke arahnya.
Anin kesulitan untuk menjawab, tapi semu merah di pipi membuat senyum sang ibu merekah indah. Tanpa menjawab pun, Arini sudah tahu jawabannya.
"Bismillah, semoga Allah mempermudah jalannya, Allah memperlancar segala hajat kalian berdua. In syaa allah Mama merestuinya," ungkap Arini sembari memeluk hangat sang putri.
Anin tak mampu berkata-kata, dia hanya mampu menangis di atas pundak sang mama. Perasaannya campur aduk tak keruan, dia bingung sekaligus senang. Tapi rasa takut pun ikut meramaikan, dia waswas jika ini hanya sekadar permainan, bukan keseriusan.
"Ayah tunggu kedatangan dia beserta orang tuanya," pungkas Haruman tegas.
Pelukan sepasang ibu dan anak itu pun terlepas.
Anin mengangguk. "Iya, Yah."
"Mama jadi penasaran, siapa sih namanya? Ganteng gak yah?" tanya sang ibu.
"Mama pernah lihat orang kok," jawab Anin berhasil membuat Arini terkejut.
"Di mana? Kapan?"
"Di kamera Anin, cowok yang gak sengaja Anin ambil gambarnya saat menjepret pemandangan di atas kereta," terangnya.
"Masya Allah, Tabarakallah, Nin. Mama gak percaya seindah ini Allah merancang skenarionya," tutur Arini terkagum-kagum.
"Mungkin ini buah dari kesabaran atas ketaatan yang senantiasa kamu tunaikan, Neng," imbuh Haruman.
"Aamiin, semoga aja, Yah, Ma," sahut Anin.
Allah memang sebaik-baiknya perencana, Dia selalu memberikan yang terbaik untuk setiap hamba-Nya. Kuncinya hanya percaya dan yakin saja.
—BERSAMBUNG—
Padalarang,
Minggu 18 September 2022
Gimana nih? Gimana? Masih mau dilanjut atau tidak?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro