Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Senandika Cafe

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Tidak ada kebetulan, yang terjadi memang sudah atas kehendak Tuhan. Garis takdir kembali mempertemukan."

°°°

Bandung mempunyai kawasan yang populer untuk dijadikan tujuan wisata, salah satunya yakni Jalan Braga. Di sana, kita bisa melihat banyak bangunan bersejarah yang berada di sisi kanan dan kiri. Jalan Braga seolah mengajak kita bernostalgia melintasi sejarah perkembangan kota Bandung.

Pada masa penjajahan Belanda dulu, Jalan Braga pernah tercatat sebagai jalan yang terkenal sebagai pusat perbelanjaan dan tempat bersosialisasi yang ramai. Pun dengan sekarang ini, para pelaku usaha berjajar rapi di sana, termasuk cafe dan resto yang kerapkali dijadikan tempat nongkrong sekaligus mengenyangkan perut.

Senandika Cafe, itulah nama yang terpampang jelas. Sebuah kafe sederhana yang didirikan sekitar dua tahun lalu, memiliki dua lantai serta pelataran yang cukup luas bagi para pengunjung yang senang menikmati secangkir kopi dengan disuguhi indahnya Jalan Braga.

Di lantai satu sengaja dibagi menjadi dua area yang dibatasi oleh rolling door kaca yang bisa dengan mudah dibuka tutup. Sisi kanan diperuntukkan bagi pengunjung perempuan, sedangkan di sisi kiri diperuntukkan bagi pengunjung laki-laki. Anin menyebutnya sebagai Zona Singlelillah.

Tempat nongkrong muda-mudi dengan menerapkan konsep modern islami, di mana tidak ada campur baur antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan di lantai dua diperuntukkan bagi pengunjung yang sudah berkeluarga. Tak jarang mereka pun mengajak serta anak-anaknya, area ini dia namakan Zona Halal.

Bagi pengunjung yang masih berpacaran dan tidak ingin dipisahkan oleh sekat kaca penghalang, Anin menyediakan pelataran kafe dengan pelayanan yang sama. Area outdoor ini lumayan ramai di sore dan malam hari, lalu lalang kendaraan dengan bangunan bersejarah yang berada di seberang menjadi pemandangan yang sangat sayang untuk dilewatkan.

"Renjana dua, Asmaraloka satu."

Nama menu minuman di kafe ini sedikit berbeda dari kafe biasanya, Anin sengaja memberi sebutan-sebutan unik yang bisa menjadi ciri khas dari Senandika Cafe, agar menarik dan menjadi ikonik.

Sebut saja Renjana—yang menjadi best seller di kafe ini—atau lebih dikenal dengan nama espresso. Jenis minuman kopi yang sangat pekat. Meski sederhana dalam penampilan, espresso cenderung sulit untuk diminum bagi pemula karena rasanya yang pahit dan kental. Minuman espresso dapat disajikan sendiri atau digunakan sebagai dasar dari sebagian besar jenis minuman kopi, seperti latte dan macchiatos.

Renjana memiliki arti rasa hati yang kuat, Anin menyematkan nama tersebut karena kopi ini memiliki daya pikat serta cita rasa yang kuat dan begitu memikat. Sehingga membuat para penikmat kopi memiliki keinginan hati yang kuat untuk terus menyesap kopi ini lagi dan lagi.

Menu best seller kedua adalah Asmaraloka, yakni latte yang terdiri dari campuran espresso dan steamed milk dengan sedikit busa di atasnya. Latte bisa dipesan dalam bentuk dan rasa originalnya, atau dengan tambahan perasa mulai dari vanilla hingga kayu manis. Latte juga terkenal dengan latte art-nya, yakni seni menggambar bentuk atau pola di atas busa minuman.

Kenapa dikatakan Asmaraloka? Karena bagi Anin seni menggambar bentuk dalam menyajikan secangkir kopi ini dibuat dengan perasaan cinta dan kasih. Penuh ketelitian dan kehati-hatian, serta hanya bisa dilakukan oleh profesional. Perpaduan antara espresso dan steamed milk terasa sangat pas bagi pengunjung yang tengah dimabuk asmara. Seperti nama yang tersemat, asmaraloka.

Ting!

Anin membunyikan sebuah bel yang terpasang di meja, tanda minuman yang tadi dipesan sudah selesai dan siap untuk disajikan pada pelanggan. Dia memang sangat senang berkutat di balik meja, menjadi barista dan menyajikan ratusan cangkir kopi setiap harinya.

"Teh Anin."

Panggilan itu menghentikan aktivitas Anin yang tengah asik meracik kopi. Dia mendongak dan tersenyum singkat pada salah satu karyawannya yang terlihat gusar tak tenang.

"Iya, ada apa?" sahut Anin ramah.

"Saya tak sengaja menumpahkan kopi di atas buku pengunjung, beliau ingin bertemu langsung dengan owner-nya. Maaf atas keteledoran yang sudah saya lakukan," tuturnya seraya menunduk. Terlihat jelas ada raut penyesalan di wajah pemuda tersebut.

"Di meja nomor berapa?" tanya Anin bergegas melepas appron dan merapikan sejenak pakaiannya.

"Nomor 19, Teh," jawabnya.

Anin menghela napas sejenak, bukan karena menahan amarah, tapi dia merasa kurang nyaman jika harus berada di area yang diperuntukkan bagi laki-laki.

Pelayanan yang diterapkan oleh kafe ini adalah melayani sesuai dengan gender masing-masing. Bagi pramusaji dan barista perempuan melayani pengunjung perempuan, pun sebaliknya.

Kecuali pada saat waktu salat datang, dan area ikhwan dipenuhi pelanggan maka karyawan perempuan yang tengah datang bulan boleh sejenak menggantikan.

Anin merupakan tipe atasan yang lebih mengutamakan kewajiban dibanding pekerjaan, sekalipun kafe sedang ramai tapi jika kumandang azan sudah terdengar, maka dia akan menginstruksikan pada seluruh karyawannya untuk bergegas menuju musholla.

Tanpa membuang banyak waktu lagi dia segera menghampiri tempat yang dimaksud, tak lupa karyawan tadi pun ikut serta mengintili langkahnya.

"Permisi," kata Anin saat sudah berdiri tak jauh dari pria yang kini terlihat tengah sibuk mengelap bukunya yang tadi ketumpuhan kopi dengan tissue.

Pria bermata sipit dengan kacamata terbingkai itu pun mendongak lantas berdiri dan kini dia sudah berhadapan langsung dengan sang pemilik kafe.

Keduanya terpaku beberapa saat, bahkan Anin sudah berkeringat dingin kala menyadari sosok yang pernah tak sengaja dia temui. Bayangan akan kejadian beberapa hari lalu itu seketika memenuhi pikiran.

Tak jauh berbeda, pria itu pun membisu dan mendadak gagu. Namun, sebisa mungkin dirinya terlihat biasa saja, menampilkan raut dingin untuk menutupi rasa gugup yang merongrong.

"Ekhem." Dia berdehem sejenak untuk menetralkan suasana yang terasa begitu mencekam.

Anin dibuat gelagapan dan spontan dia pun berujar, "Sebagai bentuk tanggung jawab, saya selaku owner dari Senandika Cafe akan mengganti kerugian yang sudah kami perbuat. Mohon maaf atas kelalaian kami."

"Cukup gantikan Renjana yang tadi tumpah, hanya itu saja," katanya membuat mata Anin terbelalak tak percaya. Dia mengira pria di depannya akan memaki dan memarahi, tapi ternyata kecemasan itu tak terjadi.

"Untuk bukunya bagaimana? Berapa yang harus kami ganti?" seloroh Anin merasa tak enak hati. Matanya tertuju pada buku yang berada di atas meja. Dia merasa tak asing dengan benda itu, bahkan dia begitu familiar.

Menilik dengan seksama, dia sedikit ragu bahwa seorang pria berkacamata itu mengoleksi sebuah novel, parahnya novel itu memiliki judul yang sama seperti novel dirinya yang hilang di kereta beberapa waktu lalu. Apa mungkin buku itu miliknya?

Pria itu menggeleng dan berujar, "Tak usah."

Anin mengangguk singkat. "Baik, silakan ditunggu."

Tak ada sahutan, hal itu membuat Anin bergegas untuk membuatkan Renjana yang baru sebagai ganti rugi. Meskipun suasana hatinya dibuat berdebar tak menentu, tapi dia harus bisa bersikap profesional.

"Silakan, selamat menikmati," tutur Anin yang kembali datang dengan secangkir Renjana beserta seporsi colenak sebagai pelengkap.

Dia tak ingin memberi kesan buruk terhadap pengunjung, maka dari itu sebisa mungkin dia memberikan pelayanan terbaik. Meskipun ada sedikit rasa tidak nyaman di hati, karena area ini hampir dipenuhi oleh laki-laki.

Colenak adalah singkatan dari dicocol enak, dinamakan colenak karena memang camilan ini disantap dengan cara dicocol atau dalam bahasa Indonesia berarti dicelupkan. Colenak terbuat dari peuyeum yang dibakar dan disajikan bersama dengan gula merah cair dan santan kelapa yang dibuat seperti saus manis sebagai pelengkap.

"Terima kasih."

Anin hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Senandika Cafe, satu-satunya tempat nongkrong yang peka terhadap syariat dengan tidak adanya khalwat dan ikhtilat. Masya Allah."

Langkah Anin terhenti kala mendengar kalimat pujian tersebut, tanpa ada keinginan untuk memutar tubuh dia pun berucap, "Terima kasih atas pujiannya. Saya hanya ingin berwirausaha dengan tidak mengesampingkan nilai-nilai agama."

Pria itu mengangguk lantas berdiri dan sedikit berjalan ke arah Anin. Mereka berdiri dengan jarak satu meter, dan Anin masih bertahan dengan posisinya, bukan bermaksud tidak sopan tapi akan lebih baik seperti ini. Dia takut tak bisa menjaga pandangan.

"Tujuan saya memanggil owner kafe ini bukan untuk memprotes kelalaian karyawannya, saya hanya ingin bertemu dan berterima kasih pada owner-nya. Hanya itu saja," katanya sengaja terhenti sejenak.

Dia mengedarkan pandangan ke sekitar lantas kembali berujar, "Dan ternyata owner kafe ini adalah perempuan yang tak sengaja meninggalkan novelnya di kereta. Bukan hanya itu saja, tapi dia pun meninggalkan potongan hati yang terselip di antara halaman bukunya. Maaf saya telah lancang memungut keduanya."

—BERSAMBUNG—

Padalarang,
Minggu, 28 Agustus 2022

Nah lho kira-kira siapa yah pria sipit berkacamata itu? 🤔

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro