Secarik Kertas
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Jika orang lain dibuat terpesona karena rupa, maka saya lebih terpana kala mendengar lantunan takbir dari bibirnya."
°°°
Tepat pukul sembilan pagi Anin sudah berada di kafe, dia bergegas ke arah musholla untuk menunaikan salat duha. Hal yang sudah menjadi kebiasaan dan lambat laun menjadi suatu kewajiban yang tak pernah ditinggalkan. Sebelum memulai beraktivitas sebisa mungkin dia menunaikan setidaknya empat rakaat salat duha dan juga membaca surah al-waqiah setelahnya.
Pada saat para karyawan mempersiapkan kafe yang hendak buka, dia lebih memilih untuk melipir sejenak ke musholla. Setiap waktu itu berharga, dan dia tak ingin menyia-nyiakannya begitu saja. Waktu itu diibaratkan seperti es batu, digunakan atau tidak tetap akan mencair. Dan sebaik-baiknya hamba adalah dia yang mampu mempergunakan waktunya dengan memperbanyak amal dan ibadah.
Nabi, yang sudah Allah jaminkan surga saja masih bersemangat menghidupkan malam dengan salat tahajud. Apa kabar kita yang tidak mendapat jaminan apa-apa, masih pantaskah berleha-leha akan tipu daya dunia yang fana? Sibuk mengejar dunia, sampai lupa bahwa sampai kapan pun tidak akan ada ujungnya.
Anin menyadari betul bahwa dia lemah dalam perkara salat malam, rasa kantuk masih belum mampu untuk ditaklukkan. Maka dari itulah dia menghidupkan pagi dengan cara duha setiap hari.
Bacaan Anin terhenti tepat di ayat 95, dia terdiam beberapa saat kala ada seseorang yang membetulkan bacaannya.
"Inna haazaa lahuwa haqqul-yaqiin." Suaranya begitu indah menenangkan.
Anin menajamkan indra pendengarnya, dan dia bisa memastikan bahwa suara tersebut berasal dari arah depan, tepatnya shaf laki-laki. Musholla dengan ukuran tidak terlalu besar itu sengaja diberi hijab pemisah antara shaf laki-laki dan perempuan.
Karena rasa penasaran, dia pun sedikit menyingkap kain pembatas di depannya, tapi di sana tak didapati satu pun orang kecuali secarik kertas yang tergelak di tengah-tengah musholla. Seingatnya sudah tidak ada sampah yang tertinggal kala tadi dia membersihkan, tapi kenapa sekarang ada?
Anin pun berjalan untuk memungut kertas tersebut, dia tak ingin ada satu pun sampah yang mengotori tempat ibadah. Namun, dia dibuat terpaku kala membaca isi secarik kertas tersebut.
Bacaannya sudah bagus dan indah, hanya perlu diperbaiki hukum tajwidnya saja. Semoga senantiasa istiqomah.
Anin melongok ke arah pintu keluar, tapi dia tak mendapati siapa pun. Hatinya seketika dibuat penasaran, tapi dia pun sedikit lega setidaknya ada yang bersedia mengingatkan. Sebab, selama ini tak ada satu pun orang yang melakukan hal demikian.
Tak ingin pikirannya terlalu jauh terbang, dia pun segera kembali ke tempat semula. Dia menuntaskan bacaannya terlebih dahulu sebelum akhirnya bergegas menuju meja barista untuk memulai bekerja.
"Apa tadi ada yang salat duha?" tanya Anin saat melintasi karyawan laki-laki yang tengah sibuk merapikan meja dan kursi.
"Enggak ada deh kayaknya, Teh," jawab salah satu di antara mereka.
"Memangnya kenapa, Teh?" lanjut yang lainnya.
"Gak papa, nanya aja."
Anin pun memacu langkah ke area perempuan, dia tak ingin ambil pusing akan kejadian tadi. Biarkan saja, mau siapa pun orangnya tak jadi masalah. Seharusnya dia berterima kasih karena sudah diingatkan, bukan malah penasaran.
"Ehh, ada salah satu pelanggan kita yang tadi numpang salat duha, Teh. Beliau juga take away Renjana satu," ujar sang karyawan mampu menghentikan laju tungkai Anin.
"Siapa?" tanya Anin cepat seraya memutar tubuhnya.
"Gak tahu, saya lupa tanya namanya. Tapi wajahnya familiar dan sudah beberapa kali ke sini," sahutnya membuat Anin menghela napas singkat.
Anin mengangguk saja, dia tak ingin memperpanjang obrolan yang hanya akan membuat rasa penasaran kian bertambah.
Sesampainya di meja barista, Anin malah duduk melamun dan melihat dengan seksama secarik kertas yang ditemukannya tadi. Hatinya bertanya-tanya, siapa dia?
"Ayam tetangga saya mati gara-gara melamun, lho, Teh," guyon salah satu karyawatinya.
Anin melirik sekilas sebelum akhirnya berucap, "Iya, itu karena ayamnya melamun di tengah jalan alhasil tertabrak motor dan jadilah ayam potong."
Sari terkekeh pelan dan berujar, "Ya lagian kamu ini aneh, pagi-pagi udah ngelamun. Gak kayak biasanya tau."
"Bukan melamun, hanya ngahuleng," kilahnya.
Sari yang merupakan teman dekat Anin pun tertawa dibuatnya. "Sarua keneh!"
"Tadi kamu lihat ada pelanggan cowok gak?" tanya Anin. Ternyata rasa penasaran itu tidak bisa diredam olehnya.
Sari yang tengah asik mengelap meja pun menghentikan sejenak kegiatannya, dia bergegas menghampiri Anin. "Cowok siapa?"
Anin mengedikkan bahunya. "Kalau saya tahu, gak akan nanya kamu!"
Sari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Iya juga sih, tapi perasaan belum ada pengunjung deh. Emangnya kenapa?"
Anin menyerahkan kertas yang sedari tadi dipegangnya pada Sari. "Saya nemuin ini di shaf laki-laki pas tadi salat duha, dia juga mengoreksi bacaan Alquran saya yang masih belepotan."
Sari tersenyum geli, dia hendak menggoda sahabatnya. "Penggemar rahasia kali," ujarnya dengan alis yang dinaik-turunkan.
Anin menggeplak punggung tangan Sari dan mengambil alih kertas tersebut. "Gak mungkin. Ngaco! Mana ada kayak gituan."
"Gak ada yang gak mungkin bagi Allah, kun fayakun, yang terjadi maka terjadilah," ungkap Sari dengan kerlingan mata jahil.
Anin mendengkus tak suka, tapi malah dibalas tawa puas oleh sang sahabat.
"Paling juga salah satu karyawan cowok kamu, Nin," cetus Sari.
Anin menggeleng. "Bukan, tadi katanya ada pelanggan cowok yang numpang salat duha, tapi gak tahu siapa namanya."
"Pelanggan? Kalau pelanggan harusnya tahu dong, kan berarti udah beberapa kali ke sini. Ciri-cirinya gimana?"
"Ya mana saya tahu lah," sahut Anin cepat.
Sari mengembuskan napas kasar. "Cowok tuh emang gak peka, masa sama pelanggan sendiri gak tahu sih. Lain kali khusus di area laki-laki sediakan papan tulis untuk sensus nama pelanggan beserta ciri-cirinya."
"Gak lucu!"
Lagi pula pelanggan Senandika Cafe ini tidak hanya satu atau dua, tapi ribuan dan wajar saja jika karyawannya tidak begitu mengingat nama dan hanya sekadar tahu rupa. Menurut Anin itu hal yang biasa.
"Masih pagi udah ngegas."
"Kerja, Sar. Saya gak mau kamu korupsi waktu, makan gaji buta nanti," tutur Anin.
"Siap, Teh Boss!"
Anin tak menyahut, dia malah menggeleng pelan melihat kelakuan Sari.
Kafe buka dari pukul sembilan pagi sampai sepuluh malam, dan di jam-jam seperti sekarang kafe masih lenggang. Hanya satu dua saja yang datang, sisanya driver ojol yang mengambil pesanan online.
Ting!
"Pesanan atas nama Ratih," cetus Anin.
Seorang driver ojol datang dan langsung mengambil pesanannya. "Terima kasih."
Anin hanya mengangguk dan tersenyum singkat.
"Renjana dua, Teh," ujar karyawatinya.
Anin bergegas mempersiapkan pesanan, dan tak membutuhkan banyak waktu Renjana pun sudah selesai dan siap dihidangkan.
Tak terasa waktu begitu cepat berlalu waktu istirahat sudah tiba dan kumandang azan zuhur pun mulai saling bersahutan.
"Break salat dulu," seru Anin pada seluruh karyawannya. Dia memasang papan bertuliskan 'Sedang Salat' di atas meja barista.
Seluruh karyawannya bergegas ke musholla, kecuali ada sekitar tiga orang perempuan yang tengah datang bulan dan tetap stay melayani pengunjung yang tidak mau menunggu.
"Allahuakbar."
Anin yang tengah memakai mukena terdiam beberapa saat kala mendengar suara takbir yang begitu merdu dan asing di telinga. Biasanya yang menjadi imam salah satu karyawannya, tapi jika mendengar dari suara takbir yang dilantunkan, ini tidak seperti biasanya.
"Rekrut imam baru, Teh?"
Anin menoleh ke arah samping kanan dan berujar, "Gak."
"Suara takbirnya aja merdu bikin adem kayak ubin masjid, apalagi bacaan Alquran-nya. Duhhh, mendadak melting saya, Teh," timpal yang lainnya.
"Salat, bukan malah ghibah sambil ngayal," peringat Anin.
Perbincangan itu menjadi penutup, setelahnya mereka menunaikan salat. Anin tak bisa khusuk, suara sang imam mampu menggetarkan dada. Bahkan sampai salam terdengar pun getaran itu malah kian menjadi saja. Ada apa?
Setelah memastikan semua karyawatinya sudah mulai menghilang, Anin melongok ke arah depan. Di sana hanya terdapat satu orang pria yang duduk bersila di tengah-tengah musholla. Terlihat tengah khusuk bermunajat kepada-Nya.
Anin pun mundur dan segera melepas mukenanya. Dia merutuki kebodohannya yang begitu lancang mengintip shaf depan, dia sudah gagal dalam menjaga nafsu dan pandangan hanya karena rasa penasaran. Astagfirullahaladzim.
"Istighfar, Anin, istighfar," gumamnya sepanjang jalan menuju pintu keluar musholla.
"Assalamualaikum."
Anin dibuat terperanjat saat mendapati suara salam seseorang dari arah belakang. Dia pun menoleh dan membatu di tempatnya.
—BERSAMBUNG—
Padalarang,
Kamis, 01 September 2022
Note :
[1]. Ngahuleng = Melamun.
[2]. Sarua keneh = Sama saja.
Nah lho kira-kira siapa yah? 🤔
Feel-nya nyampe gak sih, aku kok berasa aneh dan agak gimana gitu 😂 . Kalau ada krisar boleh disampaikan yah 😊
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro