Sebuah Rencana
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Usaha bukan hanya tentang hasil dan pencapaian, melainkan tentang proses panjang yang memberi kita banyak pengalaman serta pelajaran."
°°°
"Ayah punya kenalan seorang desainer interior gak?" tanya Anin setelah melahap satu gigitan martabak dengan toping kacang kesukaannya.
Kening Haruman mengernyit. "Untuk apa?"
"Anin mau rombak lantai dua kafe. Anin perlu seorang profesional agar hasilnya maksimal dan Anin tinggal terima beres aja," terangnya.
Pengalaman dulu pada saat membangun Senandika Cafe dia benar-benar meng-handle semuanya seorang diri. Hasilnya memang memuaskan, tapi rasa letihnya sangat membekas dan sulit dilupakan.
Mungkin jika menggunakan jasa profesional, dirinya akan lebih santai. Cukup dikomunikasikan dan dikoordinasikan apa yang menjadi keinginannya. Itu terdengar jauh lebih masuk akal, walau harganya pasti sedikit lebih mahal.
"Memangnya mau diapakan kafe kamu, Nin? Bukankah itu sudah sesuai dengan prinsip kamu yah. Kamu gak mau terjadi campur baur antara ikhwan dan akhwat dalam satu ruangan, apalagi tempat yang kamu jadikan sebagai ladang pencaharian. Lantai dua juga, kan khusus untuk pasangan halal yang kerapkali membawa serta anak-anaknya."
"Rencananya Anin mau mendirikan studio foto mini, jadi space lantai atas dibagi dua, kayak lantai satu. Mau memaksimalkan ruangan dan juga penghasilan," jawabnya lantas meneguk teh tawar hangat yang dihidangkan sang ibu.
"Rencana kamu bagus, tapi apa kamu sudah mempertimbangkan baik buruknya?" seloroh Haruman.
"Maksudnya Ayah gimana?"
Haruman tak langsung menjawab beliau menyeruput kopi hitamnya terlebih dahulu lantas bertanya, "Apa saja fasiltas yang akan ditawarkan dari studio foto mini kamu?"
"Mungkin photobox, mini galery, dan juga ruangan foto baik diperuntukkan bagi singlelillah, pasangan, ataupun kelompok. Anin juga menyediakan figura-figura yang bisa dibeli oleh pengunjung, serta menjual pernak-pernik lain yang berhubungan dengan fotografi."
Haruman manggut-manggut paham. "Apa di studio foto mini kamu akan menerapkan konsep yang sama seperti yang kamu terapkan di Senandika Cafe? Setahu Ayah studio foto banyak digunakan oleh kaula muda yang tengah dimabuk asmara, khususnya photobox. Tak jarang juga ada pasangan yang menyewa untuk foto prewedding. Memangnya kamu gak takut ada khalwat dan ikhtilat di dalam lingkup kerja kamu?"
Anin termenung, memikirkan kekhawatiran sang ayah yang baru sekarang mampir dalam benaknya. Dia belum benar-benar merancang konsepnya, dan terkait apa yang dikatakan sang ayah memang ada benarnya.
Ternyata rencananya belum matang sempurna, dan dia melupakan satu point penting yang menjadi ciri khas dari Senandika Cafe. Sebuah tempat nongkrong yang mengedepankan aturan agama, tidak menjadikan tempat tersebut sebagai ajang untuk berkhalwat serta berikhtilat.
"Lalu menurut Ayah baiknya bagaimana?"
"Katanya, kan kamu ingin memaksimalkan ruangan dan juga penghasilan. Gimana kalau lantai dua itu tetap dijadikan sebagai space khusus untuk pasangan halal, tapi juga sekaligus untuk memajangkan berbagai hasil foto kamu. Dijadikan mini galery, promosi tipis-tipis, lah. Lalu setelahnya kamu buka jasa freelance fotografer. Nah kalau freelance fotografer, kan kamu bisa milih tuh mau ambil atau gak kerjaannya. Ayah saranin kamu ambil untuk acara wedding, maternity, atau juga foto produk. Ruangan kamu maksimal, penghasilan juga otomatis bertambah, bukan?" sarannya.
"Mama setuju sama Ayah, Nin. Pertimbangan Ayah masuk akal, apalagi konsep kafe kamu, kan modern, minimalis, dan islamic. Kalau pake saran dari Mama kayaknya terlalu keluar jalur," timpal sang ibu ikut angkat bicara.
"Tapi kalau kamu keukeuh mau bikin studio foto mini, mending kamu adakan fasilitas untuk photobox aja. Tapi harus ada karyawan yang jaga dan memastikan kalau yang foto di sana adalah pasangan halal, singlelillah, atau kumpulan muda-mudi yang satu gender. Kalau untuk ruangan foto Ayah saranin mending gak usah. Buat aja satu space yang instagramable dan anak muda banget, nah nanti kamu yang fotoin. Tapi dengan catatan tidak ada campur baur antara laki-laki dan perempuan." Haruman memberikan opsi lain pada sang putri.
Anin menimang-nimang beragam saran dari sang ayah seraya mengunyah martabak miliknya. Dia berpikir cukup keras untuk menyatukan ide sang ayah dengan keinginannya.
Percayalah mendirikan sebuah studio foto adalah mimpi Anin dari sejak lama, sebab dirinya sangat mencintai seni fotografi tersebut. Bahkan dia menabung mati-matian uang jajannya pada saat masa sekolah, hanya untuk membeli sebuah kamera.
Kemampuannya dalam membidik objek hingga menghasilkan potret yang ciamik pun tidak mudah. Dia telah melewati berbagai proses dan itu dilalui tanpa adanya bimbingan dari tenaga pengajar profesional. Dia otodidak serta hanya mengandalkan tutorial di media sosial.
"Ya udah deh Anin ambil jalan tengahnya aja. Anin akan menyedikan photobox di setiap space, baik di lantai satu ataupun lantai dua. Jadi, kan gak akan ada campur baur tuh, tapi khusus lantai atas Anin akan gunakan untuk memajang beragam hasil karya Anin, seperti yang Ayah bilang, promosi tipis-tipis. Jadi, di lantai dua itu tetap dibagi, tapi untuk mini galery dan juga menjual berbagai aksesoris menarik yang berhubungan dengan fotografi. Gimana, Yah, Ma?"
Untuk menjadi seorang freelance fotografer rasanya Anin belum mampu, terlebih setiap hari dirinya harus selalu memantau kafe dan ikut terjun langsung melayani kostumer.
Mencium aroma kopi sudah seperti candu, dan jika satu hari tidak menghirupnya serasa ada yang kurang. Bahkan pada saat bepergian pun Anin tak lupa membawa serta serbuk kopi dalam tasnya, hanya untuk sekadar menghirup aromanya saja.
Arini mengacungkan dua jempolnya setuju. Sedangkan Haruman mengangguk mantap dan tersenyum lebar.
"Saran Ayah jangan terlalu over budget, kamu juga harus hitung pendapatan dan juga pengeluaran kafe. Semua harus diperhitungkan dengan matang, jangan gegabah dan terburu-buru. Santai aja, yang penting hasilnya maksimal," ungkap Haruman.
"In syaa allah kalau soal itu sudah Anin perhitungkan dari sejak ide tersebut tercetus. Maka dari itu Anin perlu profesional yang lebih paham tentang ini, jadi budget-nya dibicarakan di awal agar sama-sama enak."
"Kalau gak salah anaknya temen Ayah ada yang jadi seorang desainer interior deh. Nanti Ayah coba hubungi beliau," sahut Haruman yang langsung disambut dengan pelukan hangat.
"Kalau kayak gitu, kan enak. Anin jadi bisa nego minta harga temen," katanya seraya terkekeh pelan.
Haruman menggeleng keras. "Gak boleh kayak gitu. Kita, kan pakai jasanya jadi kita harus bayar sesuai harga yang beliau berikan. Negosiasi itu memang diperbolehkan tapi jangan terlalu mencekik dan berlebihan, apalagi pake embel-embel 'harga teman'. Teman macam apa yang seperti itu?"
Anin tertawa kecil lantas berujar, "Mama tuh, Yah yang kalau nawar di pasar suka kelewatan. Parahnya kalau gak dikasih harga sesuai kemauan, suka pura-pura pergi supaya dicegah pembelinya. Alhamdulillah Anin mah gak kayak gitu."
Arini mendelik ke arah sang putri. "Mama nawar kalau harganya gak masuk akal doang," belanya.
Anin mendengkus kasar. "Jadi maksud Mama semua harga yang ada di pasar itu gak masuk akal semua? Sampai-sampai setiap belanja selalu ada sesi tawar-menawar."
"Kamu gak ngerti karena kamu belum jadi ibu-ibu, Anindira Maheswari!"
Haruman tak ada sedikit pun niatan untuk melerai, perdebatan kecil di antara istri dan putrinya seperti hiburan gratis yang sangat sayang untuk dilewatkan.
"Kode itu teh, Yah, uang belanjanya kurang," cetus Anin semakin melesak masuk dalam pelukan sang ayah.
Bersembunyi dari amukan sang ibu yang sudah bersiap akan melayangkan sebuah bantal pada tubuhnya.
"Masa uang bulanan 3 M gak cukup sih?"
Kelakar Haruman disambut gelak tawa Anin, sedangkan Arini berwajah masam karena kesal.
"Ayah kamu kalau halusinasi terlalu tinggi! Bukannya 3 Milyar ini malah 3 Milier."
Haruman dan Anin semakin puas tertawa dibuatnya.
"Kalau lier muntang, Ma!"
—BERSAMBUNG—
Padalarang,
Senin, 12 Desember 2022
Catatan Kaki
[1]. Lier = Pusing.
[2]. Muntang = Pegangan.
Hai ... Hai ... Hai ...
Ketemu lagi kita 🤭 ... Semoga suka sama ceritanya yah. Masih ada yang nungguin gak sih?🤔
Jangan terlalu tegang, rileks dulu aja🙈😂
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro