Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Pengakuan

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Selesaikan sesuatu yang sudah dimulai, tidak boleh lari apalagi lepas tangan. Semua harus dipertanggungjawabkan."

°°°

Rasa cemas selalu menghantui, apalagi jika sedang berjauhan dan tak terlibat komunikasi sama sekali. Berulang kali menghubungi, tapi hasilnya tetap nihil. Sudah sekitar tiga minggu Haidar menghilang tanpa kabar, dan Arhan cukup dibuat kelimpungan.

Entah berada di belahan kota mana sang kakak berada, sampai sangat sulit untuk dihubungi. Apa mungkin di pelosok kota dengan kualitas sinyal yang tidak mendukung? Jika memang benar begitu, untuk apa mengasingkan diri?

"Haidar sudah bisa dihubungi, Ar?" tanya Anjar.

Sebuah gelengan sang putra berikan. "Terakhir saling berkabar ya pada saat Bang Haidar sampai di tempat tujuan. Sisanya gak ada, bahkan sampai sekarang panggilan Arhan hanya dijawab operator."

Anjar menghela napas berat. "Anak itu sebenarnya ke mana? Bapak bener-bener mencemaskannya. Bapak takut dia kenapa-napa."

"Kamu gak tahu abang kamu pergi ke mana, Ar?" Kini sang ibu ikut larut dalam perbincangan.

"Arhan gak tahu, Bu."

Keheningan seketika menyelimuti, ketiganya bergelut dengan pikiran masing-masing. Bahkan, pisang goreng dan teh manis yang terhidang di meja pun dianggurkan.

"Mungkin Haidar kurang nyaman tinggal sama kita, jadi dia memutuskan untuk hidup seorang diri saja," tutur Asma melirih.

"Gak mungkin seperti itu, Bu. Bang Haidar malah betah tinggal di sini, tapi katanya ada kepentingan yang tidak bisa ditinggalkan dan itu memakan waktu yang tidak sebentar," sanggah Arhan mencoba menenangkan sang ibu.

"Semoga saja seperti itu, Ar."

Arhan termenung, mengingat percakapan terakhir dirinya dengan sang kakak. Dan dia baru teringat sesuatu, sebuah amplop yang Haidar titipkan untuk disampaikan pada Anin. Dia yakin, di dalamnya pasti ada petunjuk ihwal keberadaan sang saudara.

Sepertinya besok, dia harus mempertanyakan hal tersebut pada Anin. Walaupun harus kembali terjebak kecanggungan serta perbincangan yang pasti serius dan menusuk hati. Tapi apa boleh buat, mungkin memang hanya itu jalan keluar satu-satunya.

"Masih terjebak lampu merah, Ar?" tanya Asma mencoba mengalihkan pikirannya agar tak berpusat pada Haidar terus menerus.

Arhan meringis. "Sepertinya begitu, akan tetap merah dan tidak mungkin berubah."

"Kalian lagi ngomongin apa? Kok bawa-bawa lampu merah?" seloroh Anjar merasa paling bodoh dan tak tahu menahu ihwal perbincangan anak dan istrinya.

"Kisah percintaan Arhan yang kandas sebelum berperang. Meredup sebelum dinyalakan, dan terjebak di persimpangan jalan karena lampu merah yang tak kunjung menghijau."

"Siapa perempuannya?" tanya Anjar penasaran.

Asma mengedikkan bahu. "Sampai sekarang Arhan gak pernah ngasih tahu siapa perempuan itu, mungkin dia malu karena ditolak dan tidak kunjung mendapat restu."

Arhan tak mampu menjawab, mau mengiyakan ataupun menyangkal tidak akan merubah keadaan. Jika dia berterus terang, malah takut permasalahannya kian melebar.

Anjar mengembuskan napas kecewa. "Kirain kamu belum ada calon, Ar. Tadinya Bapak mau lamarin Anin buat kamu. Kalau dilihat-lihat kalian cocok, Bapak juga sudah sreg sama orang tuanya. Mau mempererat tali persaudaraan, jadi besan."

Sontak Arhan pun menyemburkan teh yang masih berada di dalam mulutnya, bahkan lelaki itu sampai terbatuk-batuk.

Arhan kaget bukan kepalang!

"Nah iya bener apa kata bapak kamu, Ar. Daripada ngejar yang belum pasti, mending sama Anin aja. Dia perempuan yang baik dan shalihah," imbuh Asma menimpali.

Arhan meringis dibuatnya. Dia tak bisa menjawab apa pun.

Mereka tidak tahu saja kemelut kisah percintaan antara Anin, Arhan, dan Haidar. Penuh intrik dan cukup pelik.

"Kenapa Bapak sampai berpikir untuk menyatukan Arhan sama Anin dalam pernikahan?" tanyanya setelah beberapa saat terdiam.

"Beberapa waktu lalu Bapak terlibat perbincangan dengan Kang Haruman, beliau mencemaskan putrinya yang belum kunjung mendapat tambatan hati. Padahal Anin sudah pernah dilamar, tapi pada saat akan diresmikan lelaki itu justru menghilang. Bapak kasihan sama dia, perempuan sebaik dan se-shalihah Anin masih ada aja yang nyakitin."

Penuturan Anjar menohok perasaan Arhan. Dia diam membisu dengan pikiran bercabang, dan pandangan kosong menerawang. Sejahat itu memang dirinya. Tidak mampu bertanggung jawab atas perbuatan dan ucapannya sendiri.

"Bapak gak akan maksa kamu untuk menikahi Anin, Bapak gak ada hak untuk melakukan itu. Jangan terlalu dipikirkan, Ar. Bapak hanya sekadar bercerita," tutur Anjar merasa tak enak hati karena melihat perubahan mimik wajah sang putra yang sangat signifikan.

"Arhan mau buat satu pengakuan sama Bapak dan Ibu," katanya setelah mengembuskan napas berat.

"Apa?" Anjar dan Asma berseru kompak.

Arhan menatap lekat secara bergantian orang tuanya. Berusaha untuk mencari kosakata terbaik untuk menjelaskan duduk perkara yang terjadi di antara dirinya dan Anin.

"Arhan menyukai Anin, dan laki-laki yang Bapak ceritakan tadi adalah Arhan."

Anjar dan Asma terdiam, mereka saling berpandangan. Masih mencerna dengan seksama pengakuan sang putra. Apa mereka tidak salah mendengar?

"Maksud kamu apa, Ar? Jelaskan semuanya sama Bapak!"

"Arhan pernah bilang sama Bapak untuk melamarkan perempuan yang Arhan suka, Anin orangnya. Gak ada sedikit maksud untuk mempermainkan perasaan Anin, apalagi Arhan pun menaruh ketertarikan sama dia, tapi Arhan gak bisa mengesampingkan perasaan Bang Haidar yang juga ternyata menyukai Anin. Arhan memutuskan untuk mundur," terangnya dengan diakhiri senyum tipis.

Rasa sesak di dada kini kembali menyeruak dengan begitu hebatnya. Bahkan untuk sekadar bernapas saja dia merasa begitu sesak.

Anjar memijat pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut pusing. Bahkan, kini tubuhnya sudah menyandar di sofa. Kenapa fakta ini baru sampai di telinganya?

Dia merasa malu sekaligus tak enak hati pada keluarga Haruman, karena untuk memberitahu kelakuan sang putra harus menggunakan kode-kode rahasia. Tapi, yang lebih membuat kepalanya pening tiada terkira adalah fakta bahwa kedua putranya mencintai gadis yang sama.

Anjar tak bisa berat sebelah. Baik Arhan maupun Haidar sama-sama darah dagingnya. Tidak ada yang dibeda-bedakan, dia tengah belajar adil pada keduanya. Cukup dulu saja dia mengabaikan Haidar, tidak dengan sekarang. Tapi, dia pun tak bisa menutup mata bahwa Arhan menaruh atensi lebih pada Anin.

Apa yang harus dilakukannya saat ini?

Takdir Allah memang tidak pernah bisa diterka, bahkan terkadang tak masuk logika. Namun, Anjar percaya bahwa Allah tidak pernah salah memilihkan takdir untuk setiap hamba-Nya. Pasti akan ada kebaikan di dalamnya.

"Sejak kapan masalah ini kamu pendam sendirian, Arhan? Seharusnya kamu libatkan Bapak dan juga Ibu," tutur Asma tak habis pikir.

"Arhan kira akan bisa menyelesaikan semuanya sendiri, tapi ternyata malah semakin pelik."

Dia benar-benar kehabisan kosakata untuk menimpali. Kejujuran sang putra sangat amat mengejutkannya.

"Secepatnya kita harus menemui keluarga Anin. Masalah ini harus kita tuntaskan, lamaran kamu juga gak bisa dibatalkan secara sepihak. Saat kamu sudah memutuskan untuk meminang perempuan, maka kamu juga harus bertanggung jawab atas itu. Apalagi orang tua Anin sudah mengetahuinya. Ini bukan masalah kecil, Arhan," ujar Haruman.

"Bagaimana dengan Bang Haidar?"

—BERSAMBUNG—

Padalarang,
Minggu, 18 Desember 2022

Huft! Akhirnya para orang tua sudah sama-sama tahu🙈😂 ... Nah lho kira-kira keputusan apa yang akan mereka ambil yah?🤔

Jangan bosan-bosan untuk vote dan komen yah 🤭😅

Dadahhh 👋 sampai ketemu di bab selanjutnya 😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro