Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Malioboro

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Mandiri itu perlu karena tidak semua orang bisa membantu. Tak usah ragu, semoga Allah senantiasa menyertai setiap langkahmu."

°°°

Kereta Api Argo Wilis mengantarkan Anin ke kota Yogyakarta tepat pukul setengah tiga sore, setelah lelah menempuh perjalanan kurang lebih enam jam, perempuan itu akhirnya bisa beristirahat dengan tenang di sebuah hotel yang berjarak sekitar 300 meter dari stasiun.

Hotel Unisi Yogyakarta menjadi pilihannya, bukan tanpa alasan karena hotel ini berada tepat di pusat kota. Fasilitasnya cukup lengkap, ada kolam renang, WiFi di setiap lantai, hingga layanan resepsionis selama 24 jam.

Hotel ini pun dekat dengan beberapa destinasi terbaik di Yogyakarta. Mulai dari Malioboro, Tugu Yogyakarta, Pasar Beringharjo, dan Titik Nol Yogyakarta. Bahkan, beberapa di antaranya bisa ditempuh dengan berjalan kaki saja.

Anin akan menghabiskan waktu sekitar dua hari di sana, dia berencana untuk menjajal beragam tempat wisata dan mengabadikannya lewat lensa kamera. Dia memang sangat suka traveling, dan dia pun cukup berani bepergian ke kota orang hanya seorang diri saja.

Me time itu perlu, dan mandiri dengan tidak bergantung pada orang lain itu harus. Maka dari itulah dia selalu membiasakan diri untuk ke mana-mana sendiri. Semula memang tidak mendapatkan izin dari orang tua, sebab dia adalah anak satu-satunya. Sebagai orang tua mencemaskan sang putri adalah sebuah kewajaran, bukan?

Namun, lambat laun akhirnya izin pun didapatkan, dan hal itu jelas disambut suka cita olehnya. Jika ada waktu dan kesempatan Anin pasti akan melancong ke kota orang, hanya untuk sekedar menikmati segala destinasi yang ditawarkan.

Tepat saat kumandang azan ashar menguar Anin terbangun dari tidurnya, dia bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka dan segera merapikan barang-barangnya. Saat ini perempuan itu tengah kedatangan tamu bulanan, maka dari itu dia terbebas dari kewajibannya.

"Ish, novel aku ke mana coba? Jangan sampai ketinggalan di kereta, mana itu novel kesayangan lagi," gerutunya seraya mengobrak-abrik isi tas selempang beserta kopernya.

"Allahuakbar! Gak ada!" Dia menggeram frustrasi.

Kehilangan novel baginya adalah bencana, malapetaka, dan dia sangat tidak suka. Secinta dan sesayang itu Anin pada buku, sampai dia pun pernah menangis karena bukunya ketumpuhan air pada saat dipinjam orang lain.

Hanya sekadar lembar halamannya terlipat saja dia akan bad mood bukan main, apalagi sekarang, bukunya hilang entah di mana. Kepala perempuan itu rasanya pusing seketika, ini bukan hanya tentang nominal uangnya, tapi tentang tanda tangan penulisnya, karena tidak semua buku bisa mendapatkan itu.

Anin merebahkan diri di kasur dan menatap langit-langit kamar, suasana hatinya benar-benar dibuat hancur berantakan. Dasar ceroboh! Baru hari pertama di Yogyakarta, dia sudah dibuat merana.

"Buku itu emang bukan rezeki kamu, Anin. Ikhlaskan, mungkin ada orang yang lebih membutuhkan, dan melalui kehilangan kamu itu dia mendapatkannya," gumamnya berusaha untuk membesarkan hati.

"Sepulang dari sini aku harus beli buku itu lagi, dan aku harus bisa mendapatkan tanda tangan penulisnya," ucap Anin penuh semangat.

°°°

Malioboro di malam Minggu penuh sesak oleh pengunjung dari berbagai tempat, wisatawan mancanegara, lokal, bahkan pribumi pun ada. Lampu-lampu yang menyala terang menjadi pemanis di tengah kegelapan, jajaran kursi-kursi kayu yang dipadati orang, bahkan becak dan delman pun setia berjajar di pinggir jalan.

Sungguh pemandangan yang sangat sayang untuk dilewatkan, sedari tadi Anin tak pernah lelah memotret setiap sudut Malioboro. Kamera yang menggantung di leher itu setia menemani langkahnya, Anin benar-benar menikmati suasana seperti ini. Mungkin jika novelnya tidak hilang, dia akan menjadikan buku itu sebagai objek utama di setiap jepretannya.

Mendapati kursi kosong, tanpa membuang banyak waktu dia pun segera duduk di sana. Kakinya terasa sedikit pegal karena sudah berjalan cukup jauh, dan berisitirahat sejenak seraya menikmati kendaraan yang berlalu lalang adalah hal yang menyenangkan.

Tangannya bergerak mengambil botol minum yang sengaja dia bawa, bahkan tak lupa dia pun membawa biskuit Nissin Lemonia, camilan manis dengan sedikit rasa asam itu tak pernah absen berada dalam tasnya. Sesekali dia pun memotret, dan melihat hasil jepretannya yang entah sudah berjumlah berapa, yang pasti sampai puluhan.

"Ikut duduk boleh, Mbak?" tanya seseorang sebelum akhirnya Anin iyakan.

Tak ada alasan untuk menolak, toh kursi yang saat ini dia tempati adalah fasilitas umum, walau tak dapat dipungkiri rasa tak nyaman di hati itu ada, sebab dia tak terbiasa duduk di samping seorang pria.

"Kalau pakai jasanya berapa, Mbak?"

Anin seketika menoleh, dahinya mengernyit heran. "Maksud, Mas?"

Pria yang tidak Anin ketahui namanya itu menunjuk ke arah kamera dan berkata, "Jasa foto, Mbak."

Anin tersenyum samar dan berujar, "Saya bukan fotografer, Mas, ini hanya hobi saja."

Dia hanya manggut-manggut paham, lantas tak lama dari itu berucap, "Bolehkah saya meminta tolong?"

"Apa?"

Dia sedikit menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal, rasa gugup dan malu bercampur jadi satu. "Fotokan saya, itu pun kalau Mbaknya tidak keberatan. Menolak pun tak apa," katanya sungkan.

Mereka tidak saling mengenal, bahkan keduanya pun tidak tahu nama masing-masing. Masa iya, di awal pertemuan sudah merepotkan. Sungguh memalukan sekali, bukan?

Anin mengangguk setuju. "Boleh, Mas."

"Serius?" Pria itu menatap tak percaya ke arah Anin. Dia pikir, penolakanlah yang akan diterimanya.

"Iya."

Keduanya berdiri, dan Anin mengarahkan pria tanpa nama itu untuk bergaya, tapi yang dia lakukan justru hanya sekadar berdiri dengan sebuah senyuman terbingkai. Terlihat sangat kaku, di mata Anin pria itu seperti tidak pernah terjamah oleh kamera, sangat kentara jelas dari gestur tubuhnya.

"Terima kasih banyak, Mbak. Maaf merepotkan," katanya setelah Anin menyerahkan gawai milik sang pria.

Semula Anin menawarkan diri untuk memotret sang pria dengan kameranya, tapi pria itu lebih memilih untuk menggunakan gawai miliknya. Kamera Anin terlalu bagus, dan sayang jika digunakan untuk memotret dirinya. Takut pecah dan rusak.

Anin menarik lepas kedua sudutnya bibirnya dan berkata, "Sama-sama, Mas."

"Kalau bukan mama saya yang minta, tidak mungkin saya mau berfoto di depan umum. Tidak biasa saya," ungkapnya tanpa diminta.

Anin tertawa kecil. "Sudah saya duga, pantas saja kaku seperti robot," kekehnya yang disambut gelak tawa oleh sang lawan bicara.

"Saya ini anti kamera, Mbak. Musuhan sama benda yang saat ini menggantung di leher, Mbak," tuturnya.

"Kenapa?" tanya Anin penasaran.

Jika dilihat dari kacamata manusia, pria di sampingnya ini bisa dikatakan bagus rupa dengan alis tebal, mata bulat hitam, hidung bangir, serta bibir yang tipis nan kecil. Tubuhnya pun jenjang, sangat cocok jika menjadi model. Namun, anehnya pria ini mengatakan anti kamera. Sungguh tidak habis pikir.

"Karena saya merasa tidak percaya diri saat di depan kamera, dan lagi untuk apa juga senang dipotret toh tidak akan saya panjang juga, apalagi dipasang menjadi baliho, kan tidak mungkin yah?" jawabnya diakhiri dengan kekehan kecil.

"Zaman sekarang, kan musimnya sosial media. Apa, Mas tidak tertarik untuk memajangnya di sana?" seloroh Anin.

Pria itu menggeleng cepat dan berucap, "Tidak tertarik."

Anin hanya manggut-manggut dan tak lagi memperpanjang obrolan.

"Mbak mau saya fotokan?" tanyanya setelah hening beberapa saat.

Refleks Anin pun menoleh. "Tidak, saya memang hobi fotografi, tapi untuk menjadikan diri sebagai objek foto bukanlah hal saya gemari."

Pria itu mengangguk paham. "Terima kasih untuk hasil fotonya, dan terima kasih juga untuk waktunya karena berkenan berbincang dengan orang yang tidak dikenal."

Anin tersenyum dan berujar, "Iya, sama-sama, Mas."

"Permisi," pamitnya yang hanya Anin balas anggukan serta sunggingan.

—BERSAMBUNG—

Padalarang,
Senin, 22 Agustus 2022

Masih adakah yang setia menanti kelanjutannya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro