Kisah Masa Lalu
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Jadikan masa lalu sebagai bahan pembelajaran, bukan sebagai ajang menimbun kebencian, apalagi dendam."
°°°
Terkadang orang dengan sisi humor yang tinggi, menyimpan luka yang teramat pedih dan membalutnya dengan tawa adalah seni untuk menutupi duka, seolah mengatakan pada seisi dunia bahwa dirinya baik-baik saja.
Kamuflase terkadang diperlukan, agar orang lain tak terlalu ikut campur dalam kehidupan. Biarkan mereka berpikir bahwa diri ini selalu diliputi kebahagiaan, padahal pada nyatanya kedukaanlah yang kerapkali membayang.
"Mama harus ke rumah sakit buat cuci darah," bujuknya lembut pada sang ibu yang tengah terbaring lemah di pembaringan.
Wanita setengah baya yang sudah terlihat pucat dengan tubuh kurus itu menggeleng pelan. "Mama mau di rumah saja."
"Haidar ada uangnya, Mama gak usah khawatir," katanya seraya tersenyum lembut.
"Simpan uangnya, jangan dihambur-hamburkan hanya untuk membiayai pengobatan Mama," sahut Hera sembari mengelus tangan sang putra yang berada di dekatnya.
Hera merasa sudah terlalu banyak membebani sang putra, yang setiap hari harus peras keringat. Tapi uangnya justru habis tak tersisa hanya untuk membeli obat ataupun cuci darah.
Kondisi ginjal yang sudah parah, mengharuskan Hera untuk cuci darah setiap dua sampai tiga kali dalam seminggu. Hal itu jelas membuat Haidar pontang-panting mengais rupiah. Dia sudah terlalu banyak menyusahkan sang putra, tapi kesembuhan belum kunjung menyapa.
"Kita ke rumah sakit sekarang," putus Haidar tegas seraya membantu sang ibu untuk bangun dari berbaringnya.
"Mama gak papa, gak usah," tolaknya enggan menuruti kemauan Haidar.
Pria berusia 27 tahun itu menghela napas berat. "Apa harus Ayah yang membujuk Mama?"
Hera menunduk dan terdiam.
Haidar tersenyum samar lantas berujar, "Haidar ke rumah Ayah sekarang, tapi Mama harus janji mau cuci darah."
Orang tuanya berpisah sejak Haidar masih dalam kandungan, tapi komunikasi di antara mereka masih terjalin hingga sekarang. Terlebih dua tahun belakangan, saat sang ibu divonis gagal ginjal, ayahnya yang walau sudah memiliki keluarga baru masih sudi menjenguk dan membantu dirinya membujuk.
Hera memang selalu susah jika diajak cuci darah dan kontrol ke rumah sakit. Selalu beralasan ini dan itu, tapi setelah sang mantan suami ikut turun tangan hatinya meluluh dan bersedia menjalani pengobatan.
"Mama istirahat dulu yah," katanya seraya menyelimuti tubuh ringkih sang ibu.
"Haidar gak akan lama," pamitnya setelah mendaratkan sebuah kecupan singkat di dahi Hera.
°°°
Terlihat seorang wanita setengah baya tengah menyiram tanaman yang tumbuh di pekarangan rumah. Senyum sumringah tak pernah pudar sedikit pun, bahkan bibir mungil itu tak pernah lelah melantunkan shalawat.
Gerakan tangannya terhenti kala melihat sebuah motor yang tak begitu asing di depan pagar rumah yang tingginya hanya sebatas pinggang tersebut. Dia bergegas untuk menghampiri serta membukakan akses masuk.
"Ayah ada, Bi?" tanya Haidar setelah melepas penutup kepala dan menyalami wanita di hadapannya.
"Ada, yuk masuk," ajaknya begitu ramah.
"Mama kamu apa kabar?" tanya Asma—ibu sambung Haidar—di tengah perjalanan menuju ruang keluarga.
Haidar tersenyum tipis lantas berujar, "Masih sama, bahkan mungkin lebih parah dari sebelumnya."
"Inalillahi, cuci darahnya masih rutin, kan?" sahut Asma terkejut sekaligus iba.
"Masih tapi ya gitu, harus dibujuk dulu supaya mau. Maaf kalau kedatangan Haidar membuat Bibi gak nyaman," katanya sungkan.
Walaupun Asma berstatus sebagai ibu sambungnya, tapi dia tak cukup berani untuk menyebut beliau dengan sebutan ibu ataupun mama.
"Duduk dulu, Ibu buatkan minuman yah," tutur Asma sebelum dirinya berlalu ke dapur, tapi tak lupa dia memanggilkan suaminya terlebih dahulu.
Dia sudah menganggap Haidar seperti putranya sendiri. Dia selalu menyambut sukacita kedatangan anak sambungnya tersebut. Menjalin hubungan baik dengan mantan istri serta anak dari sang suami adalah keharusan.
"Kopi dengan madu seperti biasa," kata Asma setelah meletakkan minuman tersebut di atas meja lengkap dengan kue kering kesukaan Haidar.
Haidar memang penikmat kopi yang disandingkan dengan madu, dia kurang begitu suka gula. Bahkan dia akan lebih memilih kopi pahit tanpa pemanis, jika memang ada.
"Makasih, Bi," sahut Haidar.
"Aa mau minum apa? Teh atau kopi?" tanya Asma pada sang suami.
Beliau menggeleng sebagai jawaban.
"Untuk hari ini Ayah gak bisa menemani mama kamu cuci darah. Ada beberapa pekerjaan yang harus Ayah selesaikan," tuturnya berhasil membuat Haidar mengembuskan napas kecewa.
"Bantu Haidar membujuk Mama saja, setelah itu Ayah bisa pulang," sahut Haidar mencoba bernegosiasi.
"Haidar mohon, Yah. Haidar takut Mama kenapa-napa," timpalnya lagi.
Asma mengusap lembut punggung tangan sang suami, meminta beliau untuk menuruti pinta putranya.
"Besok. Ayah pasti ke sana, untuk sekarang benar-benar gak bisa," tukas beliau.
Haidar bangkit dari duduknya, dia tersenyum kecut lantas berkata, "Haidar tahu kita bukan lagi prioritas Ayah, tapi setidaknya kalau Ayah masih menganggap Haidar sebagai anak, Ayah bisa mengerti ketakutan itu. Hanya Mama yang Haidar punya."
Langkah Haidar begitu tergesa-gesa keluar, bahkan dia sampai bertabrakan dengan seseorang yang baru saja muncul di ambang pintu.
"Bang Haidar," sapanya hangat.
Haidar hanya menarik simpul kedua sudut bibirnya lantas berlalu begitu saja.
"Bang! Bang Haidar!"
Haidar tak menghiraukan teriakan dari seseorang yang tak lain berstatus sebagai saudara seayahnya. Dia sudah kepalang kecewa atas penolakan yang dilakukan oleh sang ayah.
"Bu kok Bang Haidar buru-buru pulang? Kenapa?" tanyanya saat sudah mendudukkan diri di sofa.
"Jangan terlalu dekat dengan Haidar," tutur sang ayah tiba-tiba. Keluarga besarnya memang tak pernah menganggap kehadiran Haidar.
Asma dan sang putra saling berpandangan. Keduanya tak mengerti dengan maksud dan perkataan beliau. Bukankah sejak dulu hubungan di antara mereka baik-baik saja?
Kenapa sekarang harus ada sekat?
"Kita saudara, darah Bapak mengalir di tubuh Arhan dan Bang Haidar," sahutnya tegas.
"Tapi kalian lahir dari rahim yang berbeda."
Arhan terdiam. Menatap tak suka pada sang ayah yang terlihat berbeda dari biasanya.
"Aa jangan berbicara seperti itu, mau bagaimana pun Haidar dan Arhan sama. Darah daging kamu," timpal Asma.
"Tapi kita berbeda!"
Setelah mengatakan kalimat itu, Anjar berlalu dan meninggalkan istri serta putranya yang tengah dilanda kebingungan.
"Bapak kenapa, Bu?" tanya Arhan setelah beberapa saat terdiam.
"Kedatangan Bang Haidar ke sini untuk meminta bantuan Bapak agar mau membujuk mamanya untuk cuci darah. Tapi Bapak menolak dengan dalih pekerjaan, padahal beliau tidak mau berurusan lagi dengan Mama Hera," jawab Asma.
"Kenapa?"
Asma tersenyum tipis lantas berkata, "Mama Hera masih mencintai Bapak. Fakta yang minggu lalu diketahui itu, membuat Bapak enggan berhubungan lagi, Bapak ingin menjaga perasaan Ibu."
"Bukankah pernikahan Bapak dan Mama Hera sudah berakhir sejak lama?"
"Pernikahannya memang sudah selesai, tapi perasaannya belum usai. Mereka berpisah karena perbedaan dan keadaan, bukan karena keinginan."
Arhan mendekat dan memeluk erat sang ibu.
"Ibu takut Haidar membenci Ibu, kilatan di matanya begitu terpatri kuat. Ibu gak bisa menyalahkan dia, tapi Ibu gak mau kebencian tumbuh di hatinya," tutur Asma lirih.
"Bang Haidar baik, Bang Haidar gak mungkin membenci Ibu," sahut Arhan menenangkan.
Asma hanya berkawan geming, dan berharap ketakutannya takkan pernah terjadi.
°BERSAMBUNG°
Padalarang,
Rabu, 19 Oktober 2022
Hai ... Hai ... Ketemu lagi kita🙈
Bagaimana? Apakah ada yang penasaran dengan kelanjutannya?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro