Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Hati ke Hati

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Saling mencintai tapi tak bisa saling memiliki. Hanya sebatas dipertemukan, tidak sampai dipersatukan."

°°°

Anin cukup terkejut saat mendapati sebuah amplop putih yang diselipkan di bawah kain pembatas antara shaf laki-laki dan perempuan. Dia yang semula akan beranjak pun urung dilakukan, dan memilih untuk mengambil amplop tersebut.

"Amplop itu amanah dari Bang Haidar, maaf jika tidak sopan dan harus seperti ini cara menyampaikannya," ungkap Arhan saat melihat amplop yang tadi disimpan sudah ditarik oleh sepasang tangan.

"Terima kasih, tapi kenapa harus dititipkan? Memangnya Mas Haidar ke mana?"

Hati Arhan mencelos begitu saja, dia tersenyum kecut mendengar sapaan 'mas' yang meluncur bebas dari bibir mungil Anin. Dadanya terasa sesak bukan main.

"Sedang ada urusan." Hanya tiga kata itu yang mampu Arhan ungkapkan.

Anin mengangguk singkat. "Baik, terima kasih sekali lagi."

"Iya." Bibir Arhan benar-benar kelu.

Rasa sakit yang kini mendera membuat kerja otaknya kurang berfungsi. Beginilah jika terlalu mudah melabuhkan hati, ujungnya pasti patah hati.

"Boleh saya bertanya sesuatu?" tanya Anin dengan suara pelan tapi masih mampu Arhan dengar.

"Silakan."

"Boleh saya tahu, kenapa Aa tidak melanjutkan lamaran secara resmi pada orang tua saya?" cicitnya.

Arhan tak langsung menjawab, dia menarik napas panjang lantas mengembuskannya kasar. "Saya tidak ingin ada perpecahan dalam keluarga saya, terlebih hubungan persaudaraan saya dengan Bang Haidar. Semula saya tak berniat untuk mengakhiri, hanya sejenak menunda dan memastikan kondisi baik-baik saja setelah kedukaan yang menghimpit keluarga kami. Tapi, saat saya sudah memantapkan hati untuk melanjutkan lamaran, ternyata takdir Allah berkata tidak demikian. Abang saya mengaku tengah mencintai seorang wanita, dan wanita itu ternyata kamu. Wanita yang juga saya cintai."

Anin terpaku, sekujur tubuhnya bergetar. Apa yang dia pikirkan dan khawatirkan memang benar. Seharusnya dia bisa mengerti dan memahami, tapi kenapa rasanya sakit sekali.

"Apa Mas Haidar tahu tentang ini?"

Arhan tersenyum getir. "Tidak, saya sengaja merahasiakan kebenaran ini. Cukup saya saja yang sakit hati, tidak dengan Bang Haidar. Dia sudah cukup menderita, dan saya tidak ingin menambah lukanya."

"Kalau ternyata bukan hanya Aa yang tersakiti bagaimana?"

"Maksud Anin bagaimana?"

"Apakah Aa tahu bagaimana perasaan saya terhadap Mas Haidar, dan Aa seperti apa? Aa hanya menyimpulkan dari satu pihak, tidak melibatkan saya sebagai orang yang juga seharusnya dilibatkan."

Anin merapatkan matanya beberapa saat, bahkan helaan napas berat menguar tanpa bisa ditahan. "Saya menaruh harap lebih pada Aa. Maaf jika ucapan saya lancang dan tidak sopan, hati saya sudah tertawan sejak pertemuan pertama kita di kereta."

Keheningan begitu sangat mencekam, keduanya saling bungkam dan terdiam. Bahkan, sekadar embusan napas pun tak terdengar.

Anin meraup wajahnya kasar, dia seperti kehilangan rasa malu karena dengan begitu lancang mengungkapkan isi hatinya. Namun, jika terus dipendam sendiri hanya akan semakin melukai dirinya sendiri.

Arhan benar-benar dibuat tidak bisa berkata-kata. Dia masih belum mempercayai pengakuan Anin. Ini sangat di luar ekspektasi, dan dia bingung harus menanggapi dengan kalimat seperti apa.

Mungkin jika kondisinya tidak seperti ini, dia akan senang dan bahagia kala mendengar kejujuran Anin dalam mengungkap perasannya. Namun, sekarang rasanya lain. Ini justru akan semakin memperumit keadaan.

"Saya tidak bermaksud apa-apa, saya hanya ingin mengutarakan apa yang selama ini saya pendam. Jika pun keputusan Aa tetap sama, tidak apa. In syaa allah saya akan menerimanya," imbuh Anin karena tak kunjung mendengar suara Arhan.

"Maaf saya telah melukai hati, Anin, dan maaf saya pun telah menghancurkan harapan yang sudah Anin percayakan," sahut Arhan.

Hanya kata maaf yang saat ini mampu diucapkan. Dirinya benar-benar bingung harus menyusun kalimat seperti apa untuk menanggapi kejujuran Anin.

"Tidak perlu meminta maaf, bukan salah Aa. Ini murni kesalahan saya sendiri, saya yang terlalu berekspektasi tinggi."

Mendapati respons seperti itu, justru semakin membuat rasa bersalah Arhan semakin mendarah daging. Dirinya berada dalam posisi yang menyulitkan. Memilih Anin sama seperti dengan menggadai tali persaudaraan, dan memilih Haidar sama seperti menyakiti perasaan tulus wanita yang dicintainya.

Benar-benar seperti buah simalakama.

"Saya terlalu gegabah dan terburu-buru, jika tahu akhirnya akan serumit ini mungkin saya tidak akan melibatkan Anin terlalu jauh. Saya sudah menyakiti perasaan kamu," tutur Arhan dengan suara bergetar.

Anin berusaha untuk terlihat tegar, bahkan dia pun beberapakali menghalau kasar lelehan air matanya. "Semua berjalan sesuai dengan skenario Allah, tidak perlu ada yang disesalkan. Mungkin memang sudah takdirnya seperti ini."

"Hati saya inginkan untuk terus berjuang, tapi saya tidak bisa mengesampingkan perasaan Bang Haidar. Maafkan sa—"

"Saya mengerti dan memahami posisi Aa, saya pun tidak memaksa untuk terus diperjuangkan. Mungkin takdir kita memang hanya sampai di sini, tidak berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan," potong Anin cepat.

Dia tak ingin terus menerus menerima permohonan maaf dari Arhan. Lelaki itu tidak sepenuhnya salah, dia hanya ingin mempertahankan tali persaudaraan. Keputusan yang tepat, dibandingkan harus melawan arus dan memperjuangkan dirinya. Perempuan yang bahkan baru ditemui beberapa bulan ke belakang.

Anin cukup tahu diri dan juga sadar diri.

"Saya harap selepas Bang Haidar pulang, Anin bisa menerima kehadirannya dengan senyuman lebar," ungkap Arhan sebisa mungkin mengenyahkan rasa sakit yang kini merongrong.

Arhan ingin Anin tidak terlalu mempedulikan perasaan dirinya, anggap saja bahwa di antara mereka tidak terjadi apa-apa. Tidak pernah terlibat perbincangan seserius ini.

"Apakah itu sebuah permintaan yang wajib saya tunaikan?"

Arhan menggeleng lantas berujar, "Tidak wajib, tapi jika Anin berkenan untuk melakukannya saya akan sangat berterima kasih."

"Menyambut dengan senyum lebar, mungkin bisa saya lakukan. Tapi, jika lebih dari itu saya tidak bisa menjanjikan," sahut Anin tegas.

Arhan terdiam beberapa detik, lantas setelahnya berucap, "Saya tidak berhak untuk mengatur perasaan Anin. Keputusan ada di tangan Anin, saya tidak memiliki andil untuk ikut campur."

"Saya akui Mas Haidar pria yang baik, sopan, dan sangat menghargai wanita. Saya kagum akan perangainya, hanya sebatas itu, tidak lebih."

Ada rasa cemburu kala bibir mungil merah muda itu menyebutkan secara detail kekagumannya pada pria lain, bahkan pria yang dimaksud berstatus sebagai kakaknya sendiri.

Kalimat pujian yang Anin sampaikan begitu terngiang-ngiang dan sangat sulit dienyahkan. Bara api cemburu sangat mengakar kuat di hati. Namun, sebisa mungkin Arhan mengesampingkan perasaan tersebut.

Setan begitu gencar mengompori, dan dia tak ingin sampai terjebak terus menerus seperti ini.

"Saya rasa untuk mencintai pria seperti itu bukanlah sesuatu yang sulit?"

"Mungkin, tapi tidak bagi saya yang sulit jatuh cinta."

Setiap kalimat yang Anin layangkan selalu berhasil menusuk hatinya yang terdalam. Seperti ada hujaman yang begitu menyakitkan.

"Aa tahu apa itu renjana?"

Refleks Arhan pun menggeleng. "Maksudnya?"

"Renjana itu rasa hati yang kuat. Sebuah perasaan yang tidak mudah digoyahkan, apalagi dienyahkan dalam waktu singkat. Sebagaimana rasa yang dihadirkan dalam secangkir renjana, hitam pekat tapi mampu memikat dan membuat para penikmat terpikat. Seperti itulah perasaan saya terhadap seorang pemuda bernama Arhan Azhari."

Setelah mengatakan kalimat itu, Anin bangkit dari duduknya mengambil amplop yang tadi Arhan berikan lantas memacu langkah. Namun, sebelumnya dia pun berucap, "Saya pamit, assalamualaikum."

—BERSAMBUNG—

Padalarang,
Minggu, 11 Desember 2022

DUHHHHH! Gimana nih?🙈🤣
Kata-kata Anin bener-bener nusuk sampai tulang😂

Dadahhhh 👋👋👋
Sampai ketemu lagi di bab selanjutnya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro