Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Arhan Vs Haidar

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Cinta memang tak kasatmata, tapi denyutannya terasa begitu nyata. Mampu Meluluhlantakan siapa saja yang terjangkit virusnya."

°°°

Anin yang tengah melipat mukena selepas melaksanakan salat duha tersentak kala mendengar suara seorang pria yang memanggil namanya. Suara itu berasal dari shaf depan, tapi Anin tak memiliki cukup keberanian untuk menyingkap kain penghalang.

"Anindira Maheswari."

"Ya."

"Saya Arhan, maaf sampai saat ini belum bisa menepati apa yang sudah saya katakan. Saya tak bermaksud untuk menggantung Anin dalam ketidakjelasan, bukan pula hanya sekadar memberi janji-janji manis. Hanya saja ada beberapa hal yang membuat niat baik saya itu tertunda," katanya di tengah keheningan mushola.

Keduanya berbincang dengan kain lebar sebagai penghalang. Mereka memang saling berhadapan, tapi tak ada satu pun yang berani menyingkap kain pembatas yang membentang.

"Jika boleh saya tahu, apa alasannya?" sahut Anin seraya menggigit kukunya gugup.

"Saudara seayah saya baru saja tertimpa musibah. Dua hari lalu ibu beliau meninggal dunia, saya tidak mungkin berbahagia di tengah kedukaan yang tengah beliau rasakan," jawab Arhan jujur apa adanya.

Selepas pemakaman, Haidar diboyong pulang ke rumahnya. Kondisi pria itu benar-benar kacau. Dia yang selalu ceria, gemar bercanda, dan tertawa, tapi kini menjelma sebagai sosok lain yang begitu pendiam dan sangat sulit untuk berkata.

Di tengah kedukaan yang mendera, Arhan tak mungkin merealisasikan niat baiknya. Dia masih memiliki simpati dan juga empati, tidak mungkin tega dan malah bersuka cita dia atas duka yang tengah menimpa sang saudara.

Anin cukup tercengang mendengar jawaban Arhan. Dia pun terdiam beberapa saat. Dia memang belum mengenal Arhan, bahkan latar belakang keluarganya saja tidak mengetahui. Mereka hanya sebatas tahu nama, sekadar cangkang luar pun sepertinya tidak sampai sana.

"Saya paham dan bisa mengerti, saya turut berduka cita atas musibah tersebut," tutur Anin setelah berhasil menguasai diri.

"Jika tangan saya tak kunjung mengetuk pintu rumah Anin, dan ada yang lebih dulu melakukan hal itu. Orang tua meridai dan sreg di hati, in syaa allah saya ikhlas," ucapnya dengan suara bergetar.

Anin berkawan geming, dia masih belum percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

"Saya tak ingin menghalangi langkah Anin, dan saya pun masih belum bisa memberi kepastian kapan saya akan datang untuk meminang. Menunggu bukanlah sesuatu yang mudah, dan saya juga tak ingin menjebak Anin dalam ketidakjelasan."

Arhan menarik napas panjang dan mengembuskannya kasar. Rasa sesak sangat menyiksa, dadanya begitu sulit untuk bernapas. Pasokan udara seperti kian berkurang.

"Saya ada sesuatu untuk Anin, saya simpan di sini dan tolong buka di rumah. Saya pamit, assalamualaikum," tukasnya lalu berjalan menuju ke luar mushala.

Langkahnya terasa sangat berat, seperti ada yang memborgol kakinya agar tetap bertahan di sana. Dia menatap ke segala penjuru mushola, mungkin beberapa waktu ke depan dirinya takkan menumpang untuk salat duha lagi di tempat ini.

"Wa'alaikumusalam," jawabnya melirih.

Anin menyingkap kain pembatasnya beberapa saat setelah Arhan menghilang. Dia terpaku melihat bungkusan kotak berwarna cokelat, serupa dengan bingkisan yang dulu pernah Arhan berikan.

Tangan itu dengan lembut meraba setiap inci benda tersebut, tak lama dia pun memeluknya erat. Rasa sesak di dada begitu menyeruak hebat, satu tetes air mata meluncur bebas dari pelupuk mata.

°°°

"Teh Anin dari tadi ada yang nyari dan nungguin di area outdoor meja nomor 19," suara Sari langsung menyambut Anin kala perempuan itu baru saja sampai di meja barista.

Anin melirik arlojinya yang menunjukkan pukul sepuluh, dia terlalu asik menikmati rasa sakit, bahkan sampai satu jam lamanya.

"Iya," sahut Anin lantas bergegas pergi.

Langkah Anin terhenti tepat di meja nomor 19, dan dia mendapati punggung tegap seseorang yang sudah tidak asing baginya.

"Mas Haidar," sapa Anin saat melihat Haidar dengan wajah sedikit pucat, mata sipit yang membengkak, kantung mata yang menghitam, dan tubuh yang terlihat ringkih tak bertenaga.

Haidar tersenyum tipis sebagai jawaban.

Anin duduk di kursi kosong yang berhadapan langsung dengan Haidar. "Ada apa, Mas?"

"Bolehkah saya meminta waktu Teh Anin sebentar?" tanyanya tanpa menjawab pertanyaan Anin terlebih dahulu.

Anin pun mengangguk sebagai respons.

"Saya butuh teman cerita," katanya dengan pandangan sayu.

Anin tersenyum ramah lantas berujar, "Boleh, silakan."

Dia seperti asing dengan sosok pria di hadapannya, Haidar tidak seperti biasanya. Dia begitu menyedihkan dan membuat rasa iba seketika datang. Anin tahu, Haidar sedang tidak baik-baik saja.

"Ibu saya meninggal, hanya beliau yang saya miliki, tapi Tuhan malah membawanya pergi. Takdir begitu tak adil. Perjuangan beliau untuk sembuh terasa sia-sia. Jerih payah saya pun tidak ada artinya!"

Mata Anin membola sempurna. Dalam waktu yang berdekatan dia mendapat kabar duka. Inalillahi, maut memang tidak pernah permisi jika ingin menjemput.

"Mungkin itu cara Tuhan untuk mengangkat penyakit ibu Mas Haidar. Raganya memang berpulang, tapi jiwanya akan senantiasa berada di dekat Mas, di hati Mas Haidar," sahut Anin berusaha memberi aura positif dan suntikan semangat.

"Tapi saya belum siap untuk kehilangan beliau, saya sangat menyayanginya," lirihnya dengan mata yang sudah memerah menahan tangis.

"Saya tahu ini sangat berat untuk Mas, tapi sebagai manusia kita tidak bisa menentang takdir Yang Kuasa. Mas Haidar memang menyayangi beliau, tapi Tuhan jauh lebih menyayanginya. Tuhan tidak ingin beliau terlalu lama bertahan dalam kesakitan," ungkap Anin selembut mungkin.

Anin merogoh saku gamisnya, di sana terdapat sapu tangan yang dulu pernah Haidar berikan untuk membersihkan tumpahan kopi, dan saat ini dia kembalikan untuk menghapus air mata Haidar yang hendak memberontak keluar.

Anin menyerahkan sapu tangan itu di meja, tak jauh dari jangkauan Haidar. Tapi, lelaki itu tak mengambilnya dan justru menghapus kasar air matanya dengan tangan.

"Saya terlalu cengeng untuk ukuran seorang pria," katanya setelah berhasil menguasai gejolak dalam diri, dan mengembuskan napas berat beberapa kali.

Anin menggeleng tegas. "Tidak ada standar ataupun aturan bahwa seorang lelaki tidak boleh menangis. Itu hal yang manusiawi, bahkan terkadang air mata seorang pria lebih jujur daripada air mata seorang wanita."

"Menangis di hadapan seorang perempuan, terlihat sangat lemah bukan?"

"Lemah tidak, tapi saya lebih suka melihat Mas dengan canda dan tawa. Mas Haidar yang saya temui saat ini sangat berbeda," kata Anin berusaha untuk menghibur Haidar agar sejenak menyingkirkan kedukaan yang tengah dirasa.

"Teh Anin suka sama saya?"

Anin gelagapan dibuatnya, bahkan tanpa sadar dia menggigit kukunya untuk mengalihkan rasa gugup. "Bu-bu-kan, begitu maksud saya."

Haidar menarik lepas kedua sudut bibirnya, Anin terlihat lucu dan menggemaskan jika tengah seperti ini. Pemandangan langka yang harus diabadikan melalui lensa kamera, jika memang ada.

"Kalau suka juga gak papa, malah saya senang mendengarnya," timpal Haidar dengan kekehan.

Sifat usilnya mendadak naik ke permukaan, bahkan dia sudah bisa tertawa lepas hanya karena kegugupan wanita di hadapannya.

Anin tersenyum lega, melihat canda dan tawa Haidar yang kembali hadir. "Alhamdulillah Mas Haidar sudah bisa tertawa lagi, saya harap selalu seperti ini."

"Terima kasih," tuturnya seraya tersenyum lebar. Untuk sementara waktu dirinya mampu sejenak melupakan kepahitan.

Sebuah anggukan Anin berikan. "Sama-sama, Mas."

"Saya selalu suka jika Teh Anin memanggil saya dengan sebutan itu. Sangat nyaman didengar," cetusnya spontan.

"Kenapa?"

Haidar mengedikkan bahunya. "Terdengar manis dan romantis di telinga saya."

"Astagfirullahaladzim!"

Pria itu malah tertawa mendengar lantunan istighfar dan juga raut keterkejutan di wajah Anin.

—BERSAMBUNG—

Padalarang,
Selasa, 25 Oktober 2022

Nah lho, kalian tim siapa nih?🙈 #AninArhan atau #AninHaidar 🤭🤧

Kalau perang saudara seru kali yah😂✌️

Ada yang nunggu kelanjutannya?

Vote komennya jangan lupa yah 😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro