Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Antara Duha dan Senja

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Jika orang lain menyukai senja dan ada pula sebagian yang menyukai duha, maka saya lebih menyukai keduanya. Duha sebagai pembuka, dan senja sebagai penutupnya."

°°°

"Kenapa Teh Anin menyukai waktu duha?"

Anin menarik lepas kedua sudut bibirnya lantas berkata, "Ad-Duha, demi waktu duha. Di dalam al-quran sudah tertera dengan begitu jelas, dan tidak ada alasan untuk saya tidak menyukainya. Saya ini penikmat senja di sore hari, dan saya pun penikmat duha kala pagi hari."

"Saya rasa bukan hanya sekadar penikmat, tapi pecandu lebih tepatnya," sahutnya setelah meneguk renjana yang terhidang.

"Saya harap begitu, tapi untuk menjadi seorang pecandu sepertinya saya belum mampu. Terkadang, masih ada rasa malas yang merongrong, atau mengerjakannya dengan tergesa-gesa hanya karena urusan dunia," jawab Anin lalu menghirup aroma renjana yang begitu nikmat dan menyesapnya penuh seni.

Kopi sudah menjadi bagian hidup seorang Anindira Maheswari. Setiap aroma yang menguar, rasa yang menyambut indra pengecap, dengan sedikit rasa pahit yang berada di ujung lidah membuat perpaduan yang tercipta semakin lengkap dan nikmat.

"Iman terkadang naik turun, bukan?"

Anin mengangguk mengiyakan.

"Oh, ya ada kepentingan apa ke mari? Apa ada yang perlu saya bantu lagi?" tanya Anin begitu ramah.

Haidar menggeleng pelan. "Tidak, saya hanya ingin mengawali hari dengan secangkir renjana."

Anin hanya manggut-manggut saja.

Hampir setiap hari Haidar mengunjungi Senandika Cafe, entah itu pagi ataupun sore hari, bahkan jika weekend tiba malam-malam pun dia ada di sana. Sesekali sang owner menemani, jika memang ada suatu hal yang ingin dibicarakan. Sisanya Haidar habiskan seorang diri hanya dengan ditemani secangkir kopi.

"Akhir-akhir ini rutin ke sini, apa ada pekerjaan di sekitaran Bandung?" tanya Anin.

"Tidak ada, sudah satu bulan saya menjadi warga Bandung, tinggal bersama dengan keluarga ayah saya," jawab Haidar apa adanya.

"Syukurlah sekarang Mas Haidar menjalin hubungan baik dengan beliau," ungkap Anin ikut lega dan berbahagia mendengarnya.

"Sebenarnya sejak dulu pun kami menjalin hubungan baik, hanya saja tidak terlalu dekat karena jarak. Lain halnya dengan sekarang, dari bangun tidur sampai mau tidur lagi selalu bertemu dan bercengkrama," terang Haidar menjelaskan.

Sejak saat itu, Haidar jadi semakin terbuka pada Anin dan menjadikan perempuan tersebut sebagai teman berbagi cerita. Anin pun tak mempermasalahkan, sebab mereka hanya sekadar berbincang santai, di tempat kekuasaannya pula, dan tentu saja tidak hanya berduaan saja. Itu pun tak lama.

"Kenapa dalam Islam perempuan harus berkerudung?" tanya Haidar tiba-tiba.

Ibu sambungnya berkerudung lebar, bahkan jika di dalam rumah sekalipun. Dan Anin pun mengenakan penutup kepala sampai menutupi dada. Apa itu memang ada aturannya?

Untuk bertanya langsung pada Asma, dia belum cukup memiliki keberanian. Hanya pada Aninlah dirinya begitu mudah mengajukan pertanyaan, terlebih jika menyangkut tentang hal-hal sensitif seperti sekarang.

Anin mengambil dua buah churros yang berada di atas meja, membungkus salah satunya dengan tissue dan membiarkan yang lainnya tanpa pembungkus, lantas dia pun menjatuhkan keduanya ke lantai dan kembali memungutnya. "Mas Haidar pilih mana?"

Haidar mengambil churros yang terbungkus rapat oleh tissue. "Inilah, Teh."

Anin tersenyum dengan begitu lebar lalu berujar, "Tanpa disadari Mas sudah tahu jawabannya."

Kening Haidar terlipat, dia kurang mengerti dengan maksud dari perkataan lawan bicaranya.

"Kenapa Mas pilih yang terbungkus tissue?"

"Ya karena ini terbungkus rapat, bersih."

Anin mengangguk singkat. "Begitulah Islam menjaga wanitanya. Karena pakaian yang tertutup ini, kita terjaga, tidak ada yang boleh melihatnya apalagi pria yang bukan mahram. Dalam Islam wanita sangat dimuliakan."

Haidar tersenyum manis, dia bisa dengan mudah memahami penjelasan sederhana Anin. Perempuan itu selalu memberi jawaban-jawaban yang memuaskan.

"Teh Anin tidak pernah mau bersalaman dengan saya, kenapa?"

Anin terkekeh mendengar pertanyaan yang dilayangkan Haidar. "Bukan tidak mau, tapi harus ada password-nya kalau mau bersalaman dengan saya."

"Apa memang password-nya?"

Perempuan itu tak langsung menjawab, dia lebih memilih untuk menyesap renjana terlebih dahulu. "Mas tahu mendiang Ratu Elizabeth?"

Haidar mengangguk.

"Apa Mas bisa dengan mudah bersalaman dengan beliau?"

Haidar menggeleng.

"Wanita dalam Islam itu seperti ratu yang tidak mudah dipegang dan disentuh," katanya seraya tersenyum lebar.

Haidar mengerjap beberapa saat, merasa terjerat oleh kalimat dan juga senyuman Anin yang memikat.

"Islam sangat amat memuliakan seorang wanita, bahkan surga berada di bawah telapak kakinya. Pantaskah wanita bertelapak kaki surga disentuh oleh sembarang pria? Tentu saja tidak."

Pria itu pun mengangguk paham. "Password yang tadi apa?" tanyanya penasaran.

Anin tertawa mendengar pertanyaan polos tersebut. "Akad, Mas," singkatnya berhasil membuat Haidar terdiam cukup lama dengan pandangan yang sulit untuk diartikan.

"Apakah dalam Islam menikah beda agama diperbolehkan?"

Anin terbatuk-batuk dibuatnya. Mata perempuan itu membola tak percaya. Apakah dirinya tidak salah mendengar?

"Kenapa Mas tanya itu?"

Haidar mengambil churros yang tersaji di meja lantas memakannya dengan santai lalu berkata, "Hanya ingin tahu saja."

"Tidak diperkenankan, yang seiman lebih diutamakan," singkat Anin.

Sebisa mungkin Anin memilih kosakata yang sederhana, dan tidak menyinggung pihak mana pun. Jawaban yang singkat, jelas, dan padat.

"Apakah Teh Anin akan menerima pria yang memiliki agama berbeda dalam kehidupan Teh Anin?"

Anin meneguk ludah susah payah sebelum menjawab pertanyaan Haidar. "Dalam hal apa dulu? Jika hanya berteman ya tidak jadi masalah tapi jika lebih dari itu sepertinya tidak."

Haidar mengukir senyum tipis lantas berujar, "Dalam Islam bagaimana caranya memilih seorang perempuan untuk dijadikan sebagai pasangan?"

"Perempuan dinikahi karena empat perkara, kecantikannya, keturunannya, hartanya, dan yang paling utama ialah agamanya. Lelaki yang paling beruntung adalah dia yang lebih memilih perempuan dari agamanya, bukan hal-hal lain yang bersifat duniawi saja," terang Anin.

"Semua kriteria yang disebutkan sudah lengkap," katanya.

"Maksudnya bagaimana, Mas?" tanya Anin tak mengerti.

Haidar mengangguk seraya tersenyum tipis dan berucap, "Lengkap, semua kriteria yang disebutkan tadi sudah terpenuhi dalam diri Teh Anin. Laki-laki seperti apa yang akan Teh Anin jadikan sebagai suami?"

Spontan Anin pun menyemburkan renjana yang belum sempurna tertelan.

Allahuakbar!

Pertanyaan Haidar membuat dirinya jantungan.

"Apa ada yang salah dengan pertanyaan saya?" seloroh Haidar seraya melihat ke arah Anin yang tengah membersihkan sekitaran mulutnya yang kecipratan kopi.

Anin menggeleng lemah. "Tidak, saya hanya sedikit kaget saja."

"Lalu?"

"Apa?"

"Pertanyaan saya belum Teh Anin jawab," tagihnya menuntut jawaban.

Anin mengembuskan napas berat lalu berucap, "Tidak ada kriteria yang spesifik sebenarnya, tapi yang jelas harus seiman dan satu tujuan. Dia yang tidak hanya sekadar paham agama, tapi dia yang benar-benar mengamalkan ilmu yang dimilikinya. Diri ini masih memerlukan bimbingan serta pengarahan."

Haidar tersenyum tipis lalu berkata, "Saya tidak masuk dalam kriteria."

Mata perempuan itu membola sempurna, bahkan dia kesulitan untuk menelan salivanya. Apa maksud dari penuturan tersebut?

"Adik saya jauh lebih pantas untuk dijadikan sebagai kandidat calon suami, Teh Anin," gumamnya.

"Maksud, Mas?"

Haidar menggeleng pelan. "Tidak ada, jangan terlalu dipikirkan."

—BERSAMBUNG—

Padalarang,
Minggu, 30 Oktober 2022


Duhhh, makin ke sini makin ke sana saja jalan ceritanya🙈😂. Jadi maunya sama siapa Anin disandingkan?

Arhan yang seiman, atau Haidar yang berbeda aliran?🤭

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro