Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ada Cerita di Kedai Mang Darsa

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Rencana Allah tak pernah terduga dan tak bisa diterka oleh logika manusia. Semua sudah terancang indah, hanya tinggal menunggu tanggal mainnya saja."

°°°

Selepas melaksanakan salat magrib berjamaah, lalu dilanjutkan dengan membaca surah Al-Kahfi yang dipimpin oleh seorang ustaz. Surah yang terdiri dari 110 ayat serta dianggap sebagai perisai agar terhindar dari fitnah Dajjal.

Ada beberapa ulama yang menyatakan bahwa di dalam sepuluh ayat pertama surah Al-Kahfi terdapat keutamaan yang luar biasa. Salah satunya dapat terhindar dari fitnah Dajjal. Karenanya, umat muslim dianjurkan untuk membaca dan lebih baik bila menghafal surah tersebut.

Banyak dari pengikut Dajjal adalah kaum wanita, karena kebanyakan kondisi iman wanita di akhir zaman sangat rapuh. Maka Nabi menganjurkan jika Dajjal datang ke suatu negeri maka ikatlah wanita-wanita kalian pada tiang agar mereka tidak pergi mengikuti Dajjal.

Keutamaan membaca surah Al-Kahfi di malam Jumat pun begitu hebat. “Siapa yang membaca surat Al-Kahfi, maka jadilah baginya cahaya dari kepala hingga kakinya, dan siapa yang membaca keseluruhannya maka jadilah baginya cahaya antara langit dan bumi.” [1]

Setelahnya dilanjut dengan kajian singkat sembari menunggu waktu salat isya datang. Jamaahnya didominasi oleh para lelaki, dengan ada beberapa kaum hawa di shaf belakang yang terhalang kain pembatas. Semua khidmat menyimak dan mendengarkan, terlebih kajian yang diangkat bertema kematian.

Hal yang ditakuti beberapa orang, bahkan topiknya sangat dihindari karena terdengar menakutkan. Padahal kematian menjadi pengingat paling mujarab agar kita senantiasa berbuat taat dan takut bermaksiat.

Setiap yang bernyawa pasti akan mati, itu adalah hal mutlak yang tidak dapat dihindari. Mau bersembunyi di ujung dunia sekali pun jika ajalnya sudah sampai, pasti akan datang. Maka dari itu kita harus senantiasa mempersiapkan bekal, agar pada saat waktunya tiba kita tidak lagi khawatir menghadapi hari penghisaban kelak.

"Allahuakbar! Allahuakbar!"

Suara kumandang azan isya menguar, rata-rata jamaah melaksanakan dua rakaat salat qobliyah setelahnya, dan tak lama dari itu lantunan iqamah terdengar.

"Allahuakbar." Sang imam salat mengumandangkan takbir, sebagai tanda dimulainya salat berjamaah.

Sedangkan di lain tempat, tepatnya di pelataran masjid terlihat seseorang yang sedari tadi mencuri dengar. Hatinya terasa damai dan tentram, terlebih kala mendengar lantunan ayat suci al-quran yang menguar ke indra pendengar.

Dia benar-benar hanyut di tengah keheningan malam. Niat hati ingin melanjutkan kegiatan membaca pun urung dilakukan. Dirinya lebih tertarik untuk menjadi pendengar dan penikmat, bahkan matanya sesekali terpejam rapat. Menyelami kekosongan hati yang kini mulai terisi.

"Pulang, Bang."

Perkataan Arhan dengan dibarengi sebuah tepukan di bahu membuat Haidar terlonjak kaget.

Haidar bangkit dari duduknya dan hanya mendapati Anjar dan juga Arhan. "Bibi ke mana?"

"Masih di dalam, mungkin masih melipat mukena," jawab Anjar sudah hapal betul kebiasaan Asma yang sedikit lambat jika diajak salat berjamaah di masjid.

"Arhan lapar, Pak, baru minum air putih saja tadi. Arhan tunggu di kedai mie ayam gak papa?" selorohnya seraya memegangi perut yang sudah keroncongan dan berbunyi.

Anjar mengangguk. "Nanti Bapak sama Ibu nyusul, kalian duluan," cetus beliau mengizinkan.

Arhan melajukan motornya dengan Haidar yang duduk di kursi penumpang. Setelah sampai di tempat yang dimaksud, dengan segera dia menepikan motornya di tempat yang tersedia.

"Mie ayam dua, Mang," ucap Arhan sebelum duduk di kursi plastik berwarna hijau.

Keduanya duduk saling berhadapan dan asik berbincang hal-hal konyol sekaligus random.

"Mie ayam tiga dibungkus seperti biasa."

Mendengar suara yang tak begitu asing, sontak membuat Arhan dan Haidar mengehentikan kegiatannya. Mereka menoleh ke objek yang sama, dan senyum sumringah terpatri indah di sana. Tak lama, setelahnya mereka memalingkan pandangan lagi.

"Gak jadi dibungkus, Mang, makan di sini saja," serobot Arini yang baru saja datang bersama dengan sang suami.

"Tambah dua porsi lagi," imbuh Haruman membuat Anin bingung.

"Buat siapa, Yah?"

"Kang Anjar dan istrinya," ucap Haruman santai.

Kala mendengar nama sang ayah dan ibu disebut refleks Arhan pun kembali melihat ke arah Anin yang masih fokus berbincang dan tak menyadari akan keberadaannya.

Mata Anin mengerjap dan menatap ke sekitar, sampai pada akhirnya dia bersitatap dengan mata seseorang yang sudah lama tidak ditemui, tengah melihat ke arahnya lantas dengan cepat membuang pandangan.

Anin membatu di tempat, saat melihat punggung tegap yang sudah sangat dikenalinya, bahkan dia pun menahan napas beberapa saat kala objek di depan sana memutar tubuh dan bertemu langsung dengan lelaki pemilik mata sipit tersebut.

Kepala perempuan itu mendadak pening, terlebih saat menyadari posisi duduk Arhan dan Haidar yang berhadapan. Apakah mereka saling mengenal?

"Ayo duduk, malah bengong," bisik sang ibu seraya menarik lengan putrinya untuk ikut bergabung dengan keluarga Anjar.

Anin meneguk ludah susah payah, rasa lapar yang tadi merongrong tak tahu diri mendadak pergi.

Meja berbetuk persegi panjang, di sisi lebar mampu menampung masing-masing satu orang, sedangkan di sisi panjangnya bisa dipakai oleh sekitar tiga orang.

Haidar duduk berdampingan dengan Asma dan juga Anjar, di seberangnya duduk nyaman Arhan, Haruman, dan juga Arini. Sedangkan Anin duduk di sisi kosong, antara Arhan dan Haidar, di sisi lebar meja.

Sedari tadi perempuan itu menunduk dalam, bahkan tangannya sudah memilin resah ujung khimar di bawah meja sana. Rasanya dia ingin melenyapkan diri sekarang juga.

"Perkenalkan Kang Haruman, ini Haidar putra saya," tutur Anjar begitu bangga memperkenalkan sang putra.

Mata Anin hampir meloncat dari tempatnya. Putra? Rasa pening di kepala kian menjadi saja. Anin benar-benar tak habis pikir, sesempit inikah dunia?

"Salam kenal," katanya disertai senyuman lebar.

"Saya kira putra Kang Anjar hanya Arhan, ternyata ada dua sama Haidar," ucap Haruman seraya menepuk bahu Arhan.

Arhan yang pada saat itu tengah minum, mendadak tersedak dan terbatuk-batuk karena mendapat serangan tak terduga dari Haruman. Dirinya benar-benar gugup dan mati kutu.

"Kalau minum pelan-pelan, gak usah grogi gitu," goda Anjar dengan diselingi tawa riang.

Arhan semakin panas dingin, berdampingan dengan Haruman, dan duduk tak jauh dari Anin benar-benar menyiksa dan membuat dadanya berulah tak terkendali.

"Grogi kenapa memangnya?" tanya Arini penasaran.

"Grogi kare—"

Ucapan sang ayah terpotong karena mie ayam pesanan mereka datang, dan hal itu membuat Arhan bernapas lega.

"Selamat menikmati," ungkap Mang Darsa seraya meletakkan satu persatu mie ayam di atas meja.

"Terima kasih banyak, Mang," sahut Arhan merasa terselamatkan.

Mereka tak lagi melanjutkan perbincangan, dan lebih memilih untuk menyantap hidangan yang tersaji. Semangkuk mie ayam di malam hari, dengan udara dingin serta sedikit dihiasi rintik hujan sungguh kombinasi yang pas.

Rasa manis, gurih, dan pedas bercampur jadi satu. Mienya yang kenyal, sawi hijau yang segar, pangsit yang renyah, dan tentu saja suwiran ayam kecap semakin menambah kenikmatan.

"Jangan banyak-banyak sambalnya."

Peringatan yang berasal dari Arhan dan Haidar membuat gerak tangan Anin terhenti dengan pandangan linglung. Sedangkan para orang tua hanya senyum-senyum jahil menggoda putra dan putri mereka.

Arhan dan Haidar saling berpandangan, keduanya tak menyangka akan melontarkan kalimat yang sama dan dalam waktu yang berbarengan pula.

"Arhan masih sendiri, Haidar pun masih asik melajang. Apakah Anin sudah ada calonnya?" tanya Asma berhasil membuat Anin tersedak dan terbatuk-batuk.

Dua gelas teh tawar hangat berada di depan matanya, yang satu berasal dari Haidar, dan satu lagi jelas bersumber dari Arhan.

Anin meringis dan menelan ludahnya susah payah, dia lebih memilih untuk mengambil minuman miliknya. "Saya bisa sendiri."

Anjar dan Haruman tak lagi bisa menahan tawa, sedangkan Asma dan Arini terkikik geli.

Lain halnya dengan Arhan dan Haidar, udara dingin sama sekali tak terasa. Dua pria yang merupakan saudara itu merasa kegerahan, bahkan peluh menghiasi kening mereka.

"Pilih yang mana, Nin. Berkemeja atau bersarung?"

Wajah Anin sudah semerah tomat, terlebih saat mendengar godaan sang ibu yang berhasil membuat dirinya panas dingin.

—BERSAMBUNG—

Padalarang,
Kamis, 03 November 2022


Catatan Kaki

[1]. HR. Ahmad

Akhirnya mereka bertiga berjumpa dalam tempat yang sama yah🙈😂 ... Gimana nih, gimana?🤣✌️

#AninArhan atau #AninHaidar

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro