Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9 | Sana

Siap?

----------

"Kau bilang beberapa hari yang lalu Mahesa Adaka datang ke istana utara bersama wanita dan seorang pemuda?"

Malam telah merambat ke puncaknya, namun sebuah ruangan sederhana yang masih terang oleh pijar lampu minyak masih menyimpan percakapan antara dua orang lelaki.

Sosok di balik meja itu menatap tertarik. Lelaki yang satunya, yang tertunduk di bawah menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti 'benar, tuan'.

"Kau yakin dia Mahesa Adaka?"

Lelaki di bawah mengangguk. "Yakin, tuan. Pria itu menunjukkan lencana Tumenggung Mahesa Adaka, dan salah satu prajurit senior yang telah puluhan tahun bekerja di militer sudah memverifikasinya."

Benak lelaki di balik meja berputar. Seorang wanita dan pemuda datang bersama Mahesa Adaka ke istana utara...

Wanita itu bisa saja istrinya. Dan pemuda itu anaknya. Tapi buat apa ia membawa anak istrinya ke istana utara?

Semakin banyak spekulasi di benak lelaki itu. Mahesa Adaka. Nama itu seperti legenda di antara prajurit-prajurit Tarangga. Sosok sakti dan hebat itu tiba-tiba menghilang di tengah kecemerlangan kariernya, dan tidak diketahui rimbanya sampai sekarang.

Setelah belasan tahun, mengapa kini ia kembali?

"Apa yang dia lakukan di Istana Utara?"

"Menurut laporan mata-mata, mereka dibawa ke saung pribadi Gusti Senopati dan berbicara dengan Gusti Senopati sendiri. Tak lama Mahesa Adaka di sana karena ia langsung pergi beberapa saat setelahnya. Tapi wanita dan pemuda itu bertahan lama sekali di saung."

Tunggu dulu.

"Kau bilang wanita dan pemuda itu lama sekali berada di dalam saung?"

"Benar, tuan."

Tidak masuk akal. Kalau wanita itu istri Adaka, mengapa ia tetap berada di saung padahal Adaka sudah pergi?

Keadaan ruangan begitu hening selama lelaki itu diam. Wajahnya menampilkan ekspresi berpikir keras dan penuh pertimbangan sebelum tiba-tiba suara gebrakan terdengar keras. "Kenapa kau baru lapor sekarang, hah?!" si lelaki berpakaian mewah menampilkan ekspresi marah. "Bukankah aku sudah bilang hal apa pun yang berkaitan dengan senopati dan istana utara harus dilaporkan kepadaku saat itu juga!"

"A-ampun, tuan! Bawahanmu ini juga baru mendengar laporannya sore tadi begitu kembali dari tugas di Selatan." takut-takut si bawahan menimpali.

Lelaki di balik meja berusaha menetralkan nafasnya yang memburu. Kemungkinan yang terbentuk dalam kepalanya semakin luas dan memusingkan, padahal tabib bilang ia tidak boleh terlalu emosi dan banyak pikiran kalau tidak mau kepalanya berdenyut-denyut nyeri lagi. "Lalu apa kalian memerintahkan orang untuk mengawasi mereka? Dimana mereka sekarang?"

"Ampun, Tuanku, tapi hamba rasa tidak perlu mengintai mereka karena.." si bawahan menatap ke atas takut-takut. "Senopati telah memboyong wanita dan pemuda itu ke istana utara dalam sebuah rombongan kecil dan gerak rahasia yang berhasil diketahui mata-mata kita."

Ekspresi terkejut muncul di wajah sang tuan. "Senopati membawa mereka ke dalam istana?" ia merasa aneh. Namun mendadak ingatan tentang sebuah kabar simpang siur yang pernah didengarnya muncul hingga sebuah kesadaran seolah menghantamnya. "Tak salah lagi. Wanita itu bukan istri Mahesa Adaka. Dia pasti kakaknya, si wanita sudra yang gosipnya adalah istri senopati. Dan pemuda itu.." dahinya berkerut. "Apakah pemuda itu anaknya dengan Senopati?"

"Kami belum bisa memastikan, tuan. Tapi kemungkinannya 60-70%,"

Sang tuan terdiam. "60 sampai 70% adalah kemungkinan besar." ucapnya. "Jadi kau lebih yakin dia adalah putra senopati daripada kemungkinan bahwa dia adalah anak Adaka?"

Si bawahan tertunduk. "Sikap Senopati terang-terangan menunjukkan pemuda itu tidak hanya sekedar keponakannya, tuan. Lagi pula Mahesa Adaka sendiri tidak ikut tinggal di istana. Kalau benar pemuda itu adalah putra Adaka, tidak mungkin ia akan meninggalkan ayahnya dan tinggal di istana bersama kakak ayahnya."

Balasan anak buahnya terdengar logis. Dia benar. Kecil sekali kemungkinannya pemuda itu adalah anak Adaka sendiri.

Sekali lagi sang tuan termenung. Dalam benaknya ada perhitungan-perhitungan rumit.

Baginya, Senopati Manggala adalah salah satu pion penting yang baru beberapa waktu terakhir berhasil ia kendalikan dengan modus super halus. Sedikit susah memanipulasi pikiran yang murni seperti sosok Sang Senopati, namun pada akhirnya semua berada dalam genggamannya.

Tapi kehadiran satu variabel lain yang tidak terduga bisa mengobrak-abrik rencananya.

Jika benar pemuda itu putra Sang Senopati, segala rencana yang ia susun dengan cermat dan teliti bisa hancur.

Kerutan di wajahnya semakin dalam seiring rahangnya yang mengetat. Informasi-informasi terbaru yang baru saja dilaporkan anak buahnya mengalir begitu saja. Termasuk soal laporan tentang audiensi raja dengan senopati tadi pagi.

Sayang sekali ia tidak berhasil mengetahui apa yang dibicarakan raja dengan adiknya karena abdi dalem kepercayaan raja sangat hati-hati dan setia pada raja.

"Apa yang mereka bahas? Jangan-jangan mereka tengah membahas pemuda itu?" gumamnya. Intonasinya berhati-hati dan penuh perhitungan. Anak buahnya diam saja. Ia sendiri tidak tahu pasti apa yang tengah dipikirkan sang atasan.

Lelaki berpakaian mewah meninju meja keras-keras. Ah, sial. Ia tidak akan bisa tidur kalau belum tahu kebenarannya. Urat-urat kebiruan tercetak jelas di pelipisnya. Denyut mengganggu di kepalanya muncul kembali.

"Tumenggung, pastikan status pemuda itu." jeda sejenak. "Laporkan secepatnya! Kita harus membuat rencana cadangan jika dia benar-benar putra senopati." mata sang tuan mencorong menakutkan.

"Sendhiko, Tuan."

Seulas senyum miring muncul di wajah lelaki di balik meja. "Aku tidak akan kalah hanya karena serpihan kerikil sepertinya."

"Kehebatan Anda tidak bisa pudar hanya karena kerikil seperti dia, tuan."

Sang tuan terbahak. "Kau bisa pergi." ujarnya sambil mengibas tangan.

Si bawahan memberi hormat. "Berkat dewa untuk Anda. Selamat malam, tuan."

------------

Pagi baru sejam dua jam menyambangi hari. Matahari mengintip malu-malu dari balik awan yang bertaburan. Semilir angin meniupkan aroma embun pekat ke dalam ruang-ruang yang baru dibuka pintunya.

Tak terkecuali di ruangan Arga.

Pemuda itu tengah termenung di depan jendela kamarnya yang terbuka. Wajahnya menunduk, mengamati gurat-gurat ukiran halus yang melapisi hampir seluruh permukaan kusen. Sesekali ia mendongak, menatap ke arah tamansari yang asri.

Ya, sudah beberapa hari ini ia tinggal di istana, sesuai permintaan ayahanda.

Bagi kebanyakan orang, istana adalah tempat impian. Tempat di mana semua impian bisa diraih. Kekayaan, status, kekuasaan...

Lucunya Arga malah tidak nyaman berada di istana. Bahkan sejak saat ayahanda memintanya dan ibu ikut ke istana utara, ia sudah tak nyaman. Perasaannya tidak enak. Mungkin campuran rasa tidak nyaman dan asing yang membuatnya begitu.

Ingin menolak, tapi mana mungkin ia sanggup ketika raut wajah ibu begitu bahagia, sama dengan ekspresi penuh rindu yang mewarnai wajah ayahanda?

Dari cerita ibu beberapa hari yang lalu, bisa ia simpulkan bahwa paman dan ibu memang sudah sekongkol untuk membawanya dengan segala cara ke Kotaraja. Kata-kata paman soal rekrutmen prajurit baru itu benar, memang fakta, tapi ibaratnya iming-iming itu hanyalah umpan supaya Arga mau ikut mereka ke Kotaraja.

Terima kasih pada keinginan Arga untuk menjadi prajurit.

"Hah.. Harusnya aku kemarin memaksa paman ikut kami tinggal di istana." sesal Arga.

Kemarin ketika orang-orang ayahanda senopati menjemput mereka di rumah Paman Wanara, Paman Adaka berpesan supaya dia baik-baik di istana.

"Kenapa paman tidak ikut?" Arga mengerutkan dahi.

"Paman ada urusan," jawabnya pendek. "Sudah, baik-baik di istana dan jaga ibumu." Adaka menepuk pelan bahu Arga.

Arga mengangguk walau hatinya berat. Ia tidak mungkin merengek ingin tinggal di rumah Paman Wanara saja kan? Pemuda itu beranjak menaiki kereta kuda, namun ia berhenti sejenak.

"Tapi kita besok akan pulang ke desa bersama kan?" Arga menatap Adaka sungguh-sungguh.

Adaka tersenyum. "Tentu saja. Mana mungkin aku membiarkanmu ingkar janji pada anakku?"

Mendengar itu, seketika senyum Arga mengembang. "Oh, aku mengerti. Kurasa urusan paman itu berkaitan dengan persiapan upacara?"

Adaka terkekeh. "Tidak." ia melambai. "Sudah sana, hus! Nanti kirim kabar kalau kau dan ibumu mau mulai belanja keperluan upacara."

"Siap, paman!"

Ah, Arga jadi rindu paman. Sejak ia resmi tinggal di istana, ia belum pernah sekalipun bertemu lagi dengan Adaka.

Sekali, Arga menghela nafas. Rasa jenuhnya sudah sampai di ubun-ubun.

Rutinitas selama ia berada di istana benar-benar tidak menarik. Kemarin ayahanda berpesan kepadanya jangan berkeliaran terlalu jauh di istana karena ia belum tahu benar denah istana seperti apa. Dan karena ibu juga mengamininya, Arga tidak bisa apa-apa.

Terkurung di dalam paviliunnya di istana ayahanda membuat rasa rindu Arga pada desa bertambah. Di desa, jam segini ia sudah pergi ke ladang, mengecek aliran air, kadang menyiangi gulma atau mencari pakan untuk kerbau peliharaannya. Sedikit lebih siang ia akan kembali ke rumah, istirahat sejenak sebelum bertolak ke rumah paman untuk latihan kanuragan dan olah senjata sampai beranjak sore. Waktu senggang di sore hari biasa ia pergunakan untuk berburu di hutan dekat desa atau menangkap ikan di sungai bersama Rengganis.

Kesempatan ketika paman pergi berniaga hasil bumi mereka adalah waktu paling asyik untuk pergi menjelajah hutan dari pagi sampai sore. Sejauh ini mereka sudah menjelajahi nyaris seluruh isi hutan radius dua puluh kilometer dari desa.

Kecuali Alas Wetan. Ada pantangan yang membuat Arga selalu menolak ide Rengganis untuk berjalan-jalan sampai sana.

Sial. Arga ingin sekali pulang.

"Apa aku bilang saja ya ke ibu?" gumam Arga. "Kurasa ibu akan mengerti."

Pikiran itulah yang akhirnya membawa Arga bertandang ke ruangan ibunya di Paviliun Cempaka sepagi ini. Kini Arga duduk berhadapan dengan Sekar di depan meja bulat dari kayu berukir mewah. Seperangkat peralatan minum dari porselen antik menghiasi bagian atasnya, bersama sebuah jambangan berisi bunga-bunga mawar segar yang dirangkai cantik.

Itu pasti hasil karya ibu. Di rumah mereka pun ibu sering membuat rangkaian bunga seperti itu.

"Ada apa, Ngger? Tumben kau pagi-pagi sudah kemari," ucap Sekar. Jemari lentiknya lincah menjumput sedikit daun kering dari wadah, memasukkannya ke poci dan menuang air panas dengan hati-hati.

Arga terdiam sesaat. Ah, kenapa keberaniannya jadi hilang setelah berhadapan dengan ibu?

"Ada masalah?" tanya Sekar. Ia fokus mengaduk isi poci pakai adukan sebentar sebelum menutup poci tersebut, baru menatap anak lelaki semata wayangnya penuh sayang. "Kalau kau ada masalah, cerita pada ibu."

Arga menutupi perasaannya dengan tawa kecil. "Ngomong-ngomong, ibu pagi ini cantik sekali. Warna hijau lumut cocok di kulit ibu."

Arga tidak berbohong. Ibu benar-benar terlihat cantik pagi ini dengan kemben hijau lumut dan selendang kuning lembut melingkari bahu rampingnya. Tidak ada lagi setelah baju lusuh tapi bersih yang biasa dipakai ibu. Setahu Arga begitu mereka sampai di istana ini, ayahanda langsung mengundang berbagai pedagang terkenal dari negeri-negeri jauh untuk membawa semua kain dan perhiasan terbagus yang mereka miliki dan memberikannya pada ibu. Pun Arga. Ayahanda memberinya setumpuk wdihan, kain pakaian untuk lelaki, serta segala mas inten pelengkapnya.

Jujur Arga tidak bisa tidak terharu merasakan kasih sayang ayahanda kepadanya. Bukan hadiahnya yang membuatnya terharu, tapi kasih sayang ayahanda yang teramat jelaslah yang membuatnya tersentuh. Jadi begini rasanya punya ayah.

Tapi tetap saja. Nyaman tidak nyamannya hati bukan sesuatu yang bisa dipaksa.

Sekar tertawa. "Kau kemari hanya untuk bilang ibu cantik? Jadi menurutmu sebelumnya ibu tidak cantik?"

"Bukan begitu." Arga buru-buru menyanggah. "Bagiku ibu tetap wanita tercantik sedunia. Selain Rengganis tentunya, hehe."

"Oh, jadi kau kemari karena ingin mengobrol tentang Rengganis?" Sekar tersenyum.

Arga garuk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal. "Hm..."

"Kau rindu Rengganis?"

Arga mengalihkan pandang, enggan bertatapan dengan ibunya. "Ibu ini seperti tidak pernah merindukan ayahanda saja."

"Padahal kau baru berpisah dengannya beberapa hari saja lho. Mana bisa dibandingkan dengan ibu yang merindukan ayahandamu belasan tahun?"

Arga mendesah pasrah. "Iya, iya. Ibu menang. Arga kalah."

Sekar terkekeh sembari mengangkat tutup poci. "Ah, sudah jadi." ucapnya. "Kau ingin pulang ke desa?" Sekar mengangkat poci, menuangkan isinya dengan gerakan halus ke dalam cangkir kecil di hadapan Arga, baru menuangnya di cangkir sendiri.

Arga tak menjawab. Ia justru mengomentari wedang yang baru saja dituang Sekar. "Wedang apa ini, ibu?" Arga mengendus sedikit uapnya. "Aromanya belum pernah kucium."

Sekar menyeruput isinya dahulu, meneguknya baik-baik sebelum menjawab. "Ini namanya seduhan teh. Kata ayahandamu, ia membeli daun kering ini dari pedagang sipit yang hendak pergi ke Jambudwipa."

"Teh? Tanaman apa itu? Aku belum pernah mendengarnya." Arga menatap tertarik.

"Ibu sendiri belum pernah melihatnya. Tapi dahulu ketika ayahandamu diutus raja ke negara asal pedagang sipit itu, ia pernah melihat hamparan hijau yang memenuhi beberapa gunung sekaligus. Semuanya adalah tanaman teh ini. Ayahandamu mulai suka minum teh setelah ia dipersilahkan mencicipi seduhan daun mudanya di sana."

"Wah. Hebat." mata Arga berbinar-binar mendengar cerita Sekar.

"Coba kau rasakan wedangnya."

Arga menurut. Ia menyeruput teh panas perlahan-lahan dan mencecap rasa baru yang belum pernah ia rasakan. Tidak sepahit seduhan daun pepaya yang biasa dibuat ibu. Ringan dengan cita rasa asing yang menyapa lidahnya, nikmat dan hangat. "Enak sekali, Bu."

Sekar tersenyum. "Tak heran bukan jika ayahandamu menyukainya?"

Arga mengangguk, matanya membulat menggemaskan seperti orang buta pertama kali melihat matahari. "Sepertinya aku juga menyukainya, bu."

Melihat ekspresi Arga, Sekar tidak bisa tidak merasa senang. Tidak sia-sia ia berusaha mengingat kembali langkah-langkah menyeduh teh yang dulu diajarkan Gendhis sewaktu ia baru menjalin hubungan dengan Manggala. Sekar meletakkan cangkirnya ke atas tatakan. "Nah. Sekarang jawab ibu. Apa kau ingin segera pulang ke desa?"

Arga diam sejenak sebelum mengangguk perlahan. "Ya."

"Apakah ayahandamu belum memberitahumu?"

"Memberitahu apa?" tanya Arga heran.

"Kau baru bisa pulang setelah ayahandamu mengajakmu sowan pada Gusti Raja."

"Apa? Kenapa harus bertemu raja?"

"Bahkan ayahandamu saja tidak tahu. Dugaan awal, mungkin raja ingin mengenal keponakannya." Sekar menggeleng. "Tapi kemudian ayahandamu baru teringat nanti siang adalah waktu pisowanan rutin yang akan dihadiri segenap bangsawan dan pejabat berpengaruh Tarangga." Sekar menatap Arga dalam-dalam. "Ku rasa raja punya maksud lain.."

Punggung Arga seketika dingin.

"M-maksud ibu.."

"Ya, kau harus bersiap diperkenalkan sebagai putra Senopati Manggalanaratama, ngger."

Mendadak Arga merasa beban seberat gunung ada di pundaknya. Dewata, kenapa sih hidupnya di istana penuh dengan kejutan tak mengenakkan?

Arga menghela nafas gamang.

Apakah keputusannya mengikuti kehendak ayahanda tinggal di istana ini salah?

-----------

Beban yang mengganduli Arga akibat ucapan ibu bahkan terus mengikutinya sampai ia kembali ke ruangannya sendiri. Perasaannya campur aduk.

"Hyang Widhi, kenapa Gusti Raja ingin memperkenalkan aku sebagai putra ayahanda? Apa gunanya? Tidak dia tahu kenyataan yang seperti ini saja sudah membebaniku?" Arga menarik nafas dalam-dalam dan menghempasnya kuat-kuat.

Jujur bukannya ia tidak suka memiliki ayahanda seorang senopati. Bukan pula statusnya yang mendadak melejit tinggi dari sekedar pemuda desa menjadi putra orang paling berpengaruh di kemiliteran Tarangga.

Ia lebih takut ekspektasi orang kepadanya.

Bagaimana jika selama ini ia belum cukup keras berlatih? Bagaimana jika selama ini ia masih belum pantas menjadi putra senopati?

Bagaimana jika ia tidak berhasil memenuhi ekspektasi orang terhadapnya?

Pikiran-pikiran itu semakin membuat Arga mulas dan galau.

Ah, ia butuh bertemu Adaka. Sepertinya hanya Adaka yang bisa memberi nasehat untuk menenangkan hatinya yang gundah.

Arga memandang langit dari jendela yang terbuka. Belum pukul 8. Masih ada dua tiga jam lagi sebelum pisowanan berlangsung. Ia bisa menemui Adaka cepat-cepat dan langsung kembali.

Bayangannya sih begitu. Realitanya, Arga justru nyasar entah di bagian mananya istana.

Arga menatapi jalan di depannya. "Kanan atau kiri?" pemuda itu menghela nafas lagi, tidak tahu untuk ke berapa kalinya seharian ini. kedua jalan di persimpangan ini sama. Ujungnya pun sama-sama berupa dinding batu berukir cantik yang sepertinya berfungsi sebagai pintu penghalang menuju tempat di baliknya. "Atau aku balik saja ya?" Arga menengok ke belakang. "Tapi kalau aku kembali, harus berputar semakin jauh. Waktuku tidak akan cukup. Ah, ke mana sih para prajurit atau dayang-dayang? Kenapa tidak ada seorang pun yang menjaga tempat ini?" gerutu Arga.

Apes sekali dia. Sudah mood-nya buruk sejak pagi, masih juga ia tersasar di bagian antah berantah tanpa satu pun manusia begini.

Akhirnya Arga secara random memilih jalan ke kiri. Logikanya, sejak tadi kan ia sudah berbelok dua kali ke kiri. Belokan ketiga pasti akan membawanya kembali ke istana utara. Iseng-iseng ia melongok langit dari tepi koridor.

Dan seketika ia syok melihat matahari sudah hampir berada di puncak peredarannya.

Arga sekonyong-konyong mempercepat langkahnya. Pikiran Arga kalut, dipenuhi bayangan-bayangan buruk sampai ia acuh pada lingkungan di sekitarnya. Kekhawatiran karena waktu pisowanan tinggal sebentar lagi membuatnya begitu tergesa. Ia tidak mau ayahandanya dilabeli buruk karena ia membuatnya terlambat di hadapan bangsawan dan pejabat Tarangga.

Saking kalutnya, bahkan pemuda itu sama sekali tidak sadar ada suara-suara dari balik dinding.

"Ayo cepat.." Drap. Drap. Drap. "... Sudah hampir terlambat.."

Segalanya berlangsung cepat. Dari balik dinding muncul dua orang wanita dan ya, kalian pasti bisa menebak kelanjutannya.

BRUK.

Tabrakan pun tak terelakkan.

"AH!" si gadis memekik ketika ia jatuh terduduk. Sesaat ia dilanda kebingungan. Demi dewa, apa yang barusan ia tabrak? Apa Kinasti tadi berjalan sambil tidur sampai mereka menabrak dinding?

Tunggu dulu. Tapi dinding kan di belakangnya.

Arga sendiri hanya terjajar dua langkah ke belakang tanpa jatuh. Ya jelas, tubuhnya saja dua kali lipat lebih besar dan kokoh ketimbang gadis-gadis itu. Kalau sampai ia ikut jatuh, malulah Arga pada ototnya.

"Maafkan aku, Nyisanak. Aku terburu-buru." Arga tahu ia tengah terburu-buru, tapi refleks tubuhnya tak bisa ditahan. Ia mengulurkan tangan, seperti biasanya ketika Rengganis terjatuh di dekatnya. Matanya menyorotkan permohonan maaf yang tulus pada dua gadis di depannya.

Namun ia tercekat menyadari sesuatu ketika ia melihat lebih jelas salah satu dari dua gadis itu.

"B-bagaimana kau bisa berada di sini?" ada rasa tak percaya di mata Arga. Tanpa basa basi, ia meraih tangan gadis itu untuk menariknya berdiri. Namun gadis yang satu, yang tadi menuntun gadis dalam genggamannya segera bangkit dan menepis tangan Arga. Arga hanya sempat memegang telapak tangannya yang halus, dan mendadak tersadar.

Bukan. Sepertinya ia hanya terlalu merindukan Rengganis sampai-sampai merasa gadis yang masih terduduk itu serupa dengan Rengganis.

"Berani-beraninya kau pegang-pegang?" gadis itu berkacak pinggang. Wajahnya galak, meski dari setelan baju dan perhiasan yang ia kenakan. "Kau siapa? Bagaimana bisa berada di sini?"

Arga balas menatap gadis itu. "Saya tersasar, Nyisanak. Kalau boleh, bisakah Nyisanak memberitahu saya bagaimana caranya pergi ke-"

"Ke Bale Manguntur? Kau ini buta atau sok bodoh?! Jelas-jelas Bale Manguntur ada di depan sana. Kau seenaknya masuk kemari." gadis itu sama sekali tidak memberikan Arga kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya.

Sabar, sabar, pikir Arga. "Maafkan aku, Nyisanak. Aku benar-benar tersesat."

"Enak saja kau minta maaf. Asal kau tahu, lingkungan ini terlarang untuk orang luar! Ketika kau menginjakkan kaki di sini, kau pikir kau ini siapa, heh?!" gadis itu menunjuk-nunjuk batang hidung Arga. "Lagi pula, kau juga berbicara dengan bahasa kasar. Sungguh tidak sopan! "

Kesabaran Arga yang tinggal seuprit musnah sudah. "Aku sudah minta maaf, itu sudah menunjukkan penyesalanku. Urusan bahasaku kasar atau tidak, itu bukan urusanmu. Lebih baik menyingkir. Aku buru-buru!" ujarnya dingin. Mendadak udara di sekitar mereka dingin.

Atau hanya perasaan gadis itu saja?

Si gadis yang masih terduduk perlahan bangkit. Pakaian putihnya sedikit kotor, tapi ia seolah tak peduli. Ia menatap Arga, ada sesuatu dalam gerak geriknya yang menggambarkan keanggunan nan elegan. "Maafkan kami juga, Kisanak. Tapi Kinasti benar. Bagaimana Anda bisa kemari? Bukankah Bale Manguntur ada di depan?"

Mata Arga menyorot kedua gadis itu dingin. Sama sekali tidak ada jejak kesopanan yang tadi terlihat. Auranya.. Mengintimidasi. Diam-diam kedua gadis itu saling merapat, sedikit jerih melihat wajah datar Arga. "Sudah kubilang aku tersesat. Sudahlah, kalian ini membuang-buang waktu. Minggir!" tanpa belas kasih, Arga mendorong mereka ke samping sampai mereka nyaris jatuh lagi.

"HEI, LANCANG!" mata gadis menyebalkan tadi semakin bulat, saking lebarnya ia melotot sampai-sampai gadis yang satunya merasa harus menadahkan tangan di bawah wajahnya supaya bola matanya tidak menggelinding ke bawah.

Arga mengacuhkan mereka, terus saja berjalan. Sosoknya hampir hilang di balik dinding batu berukir ketika si gadis anggun melesat, menahan lengan Arga. "Maafkan ketidaksopanan kami, Kisanak. Tapi ini adalah area keputren milik Putri Mahkota. Tidak sembarangan orang bisa masuk." jelasnya, sopan dan lembut.

Arga tidak tahu apakah suara lembut gadis itu yang berhasil menahannya melangkah lebih jauh atau perasaan bahwa gadis itu benar-benar serupa dengan Rengganis mode kalem. "Tapi..." Arga masih kalut. Namun tanpa sadar sikapnya melunak, entah karena kalimat sopan gadis itu atau apa. "Saya harus sampai di istana utara secepatnya. Tadi saya tersasar jauh, dan kalau saya memutar balik mungkin butuh waktu lama juga untuk sampai di istana utara."

"Istana utara?" alis gadis itu naik sedikit. Wajahnya tampak berpikir sebentar. "Kisanak benar. Kalau lewat jalan ini butuh waktu hampir setengah bakaran dupa. Karena sepertinya Kisanak begitu terburu-buru, mari saya antar melewati jalur khusus."

Ekspresi sungguh-sungguh di wajah gadis itulah yang akhirnya membuat Arga menurut. Toh dengan adanya gadis itu, ia tidak akan tersasar lagi di tempat ini.

Gadis itu menyeret temannya yang galak ikut. Mereka melintasi sebuah taman yang dipenuhi bunga-bunga aneka warna. Ada kesara, melati, cempaka, dan lebih banyak lagi yang Arga tidak ia ketahui namanya. Di tengah taman terdapat sebuah kolam ikan jernih nan resik, berisikan ikan-ikan berwarna keemasan besar-besar, sepertinya hampir sebesar telapak tangan Arga. Ada gazebo mungil di dekatnya, di bawah rimbun pohon kamboja berbunga putih yang menguarkan bau wangi.

Jangan tanya Arga bagaimana bentuk bangunan yang berada di sisi kanannya. Luar biasa indah menurut Arga yang seumur hidup hanya melihat bangunan kayu polos atau anyaman bambu. Seluruh sisinya penuh ukiran rumit. Dindingnya dari bata oranye yang ditata begitu rapi. Berbagai tanaman digantung dengan media sabut kelapa dan tali pilin. Tanaman berbentuk seperti cabai berwarna hijau pucat berselang seling dengan bunga putih dengan kelopak bergerigi, entah apa namanya. Di samping teras ada parit ukuran sedang yang full bunga teratai warna-warni. Merah, pink, kuning, putih, biru.. Arga tidak tahu dimana sang putri mahkota mendapatkan bunga-bunga ini, tapi jujur Arga ingin sekali memetik satu dan memberikannya pada Rengganis ketika ia pulang nanti.

Rengganis pasti senang sekali menerima bunga istimewa ini.

Kira-kira boleh tidak ya kalau aku minta sebatang untuk dibawa pulang ke desa?, benak Arga. Ah, jangan ngawur kau. Mana mungkin putri mahkota mau memberimu bunga keramat itu. Eh, tapi bukankah berarti putri mahkota itu sepupuku? Iya kan? Kan ayahanda adalah adik gusti raja...

Pikiran tentang status putri mahkota sebagai sepupunya bertahan dalam kepala Arga sampai ia melihat sebuah gerbang kecil yang lagi-lagi dibangun super cantik. Bahkan jika dibandingkan, tentu saja regol istana utara tidak ada apa-apanya.

"Kisanak, lewat sini dan Anda sudah sampai di area istana utara." ucap si gadis anggun. Seulas senyum tipis muncul di bibirnya.

Arga berusaha menguatkan hati. Amboi, senyum tipis gadis itu.. Bagaimana bisa serupa dengan senyum Rengganis ketika malu-malu?

Ada dorongan dalam diri Arga untuk meraih gadis itu ke dalam pelukannya, berharap bahwa dia adalah Rengganis yang diundang Adaka untuk memberinya kejutan di sini. Tapi Arga realistis. Tidak mungkin paman mengizinkan Rengganis berkuda sejauh itu hanya karena mereka ingin memberinya kejutan.

Lagi pula, jelas-jelas ia tahu gadis di depannya bukan Rengganis. Telapak tangannya jelas meneriakkan hal yang sama. Bekas kapalan karena terlalu sering memegang senjata adalah sesuatu yang sulit dihilangkan. Amat sangat tidak mungkin tangan Rengganis yang kasar seperti miliknya bisa berubah jadi selembut itu hanya dalam beberapa hari.

"Terima kasih banyak atas bantuan Nyisanak." Arga mengangguk kecil. "Aku akan mengingat kebaikan ini di kemudian hari."

Senyum gadis itu semakin lebar merekah. "Tidak perlu sampai begitu, Kisanak. Hanya lain kali berhati-hatilah ketika berjalan sendiri di dalam istana. Kebanyakan orang baru memang sering tersasar karena bangunannya mirip-mirip. Tapi itu tidak akan bertahan lama kok." ujarnya, manis. "Oh iya, kalau boleh, bolehkah saya berteman dengan Kisanak? Sepertinya Kisanak masih baru berada di sini dan mungkin butuh teman untuk menjelaskan denah istana.."

Gadis galak di sampingnya langsung melotot dan membisikkan entah apa ke telinga gadis anggun. Namun si gadis anggun tetap tersenyum, seolah apa yang diucapkan temannya tidak berpengaruh. "Maukah Anda menjadi teman saya?"

Memiliki teman di istana kedengarannya tidak buruk. Akhirnya Arga mengangguk. "Baiklah." pemuda itu ikut tersenyum melihat senyum tulus gadis itu. "Namaku Arganendra. Dan kau?"

"Namaku Janithresana. Kau bisa memanggilku Sana." gaya bicara Sana berubah jadi sedikit lebih informal.

"Senang berteman denganmu, Sana."

"Senang berkenalan denganmu, Arganendra."

--------------------

Ps. Amboi, bayangin senyum Sana tuh sesuatu banget..

~auliael

Jogja, 6.11.2020  12.43  3764 words

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro