
7 | Kejutan
Siap-siap dapet kejutan <3
--------------
Arga menatap bangunan ramping menjulang yang berdiri beberapa dpa di hadapannya, tidak bisa tidak terpesona melihat betapa besar dan megahnya gerbang istana. (Dpa = depa; 1 depa = 1,5 s.d 2 meter)
Arga tahu dimana-mana istana pasti adalah bangunan paling megah dan paling indah di seluruh kerajaan. Bangunan itu merepresentasikan harga diri dan martabat seluruh bangsa, pandangan pertama mengenai citra sebuah kerajaan akan disebarkan utusan melalui penampakannya.
Semakin indah dan megah sebuah istana berarti semakin kaya dan makmur pula kerajaannya.
Semalam saja Arga sudah terpana melihat benteng istana yang menjulang bermandikan cahaya obor yang digoyang-goyang angin. Kini saat ia menatapnya di bawah keagungan sinar mentari, Arga makin tak bisa berkata-kata.
Benteng itu tinggi, kira-kira lima tombak tingginya, berwarna merah cerah karena bata yang menjadi material utamanya. Gerbangnya menjulang lebih tinggi daripada dinding-dindingnya, sama-sama terbuat dari batu bata namun bagian atasnya meruncing seperti undak-undakan. Ukir-ukiran rumit menghiasi teritisnya, lengkap dengan Kalamakara di atas dan kedua sisinya. Gerbang itu dibuat lebih tinggi daripada permukaan tanah, disambung dengan tangga yang terbuat dari bata merah juga. Patung raksasa yang membawa gada setinggi satu setengah tombak ikut menjaga di kanan dan kirinya, tepat di belakang prajurit-prajurit bersenjata tombak besar mengilat dengan seragam khusus prajurit penjaga istana yang berwibawa. (satu tombak = 1,3 meter)
Ada yang seolah meledak dalam dada Arga, semacam rasa tidak sabar ingin buru-buru menyelesaikan ujian seleksi supaya ia bisa mengenakan seragam serupa dengan milik prajurit-prajurit yang berlalu lalang, saling melaporkan update terkini pos masing-masing.
Adaka berjalan didepan Arga dan Sekar, memimpin dengan langkah pasti menuju gerbang istana dengan raut wajah datar dan berkharisma. Beberapa orang memandangi mereka saat berpapasan, namun tak ada yang menatap mereka dua kali saat mereka semakin dekat ke gerbang.
Bukan sebuah hal yang aneh kalau pada pagi hari ada rakyat biasa yang datang ke bale manguntur keraton Tarangga. Setiap pagi Yang Mulia Raja selalu menyelakan waktu untuk menemui rakyatnya yang ingin mengadukan masalah atau meminta solusi darinya.
Namun berbeda dengan orang-orang yang berlalu lalang, prajurit-prajurit penjaga langsung menyilangkan tombaknya saat mereka sampai di depan pintu masuk.
"Ada perlu apa, kisanak?" tanya salah satu prajurit pada mereka. Intonasinya biasa, namun ada sesuatu dalam diri Arga yang merasa prajurit itu memandang rendah mereka.
Adaka tak berkata apa-apa, hanya menunjukkan sesuatu, sebuah pin lencana kalau Arga tak salah lihat karena paman Adaka hanya sekilas saja menunjukkannya, lantas ekspresi kedua penjaga itu sesaat mengucapkan ketidak percayaan sebelum mereka beralih menatap paman tunduk. Segan, bahkan seolah agak takut.
"Antarkan aku ke istana utara." ucap Adaka dingin, tak terpengaruh oleh gestur yang ditunjukkan kedua prajurit di hadapannya.
"Baik, tuan." Keduanya mengangguk patah-patah, sejenak saling sikut memerintah satu sama lain mengantar rombongan kecil itu sebelum salah seorang penjaga, bukan yang tadi berbicara segera membungkuk, tergopoh-gopoh mengantarkan mereka ke dalam.
Tak ayal tanda tanya besar bergaung dalam benak Arga. Apa-apaan itu? Kenapa mereka seperti langsung tunduk begitu, seakan lencana yang diperlihatkan paman Adaka adalah sebuah benda yang sangat ditakuti?
Tapi Arga tidak bisa bertanya karena mereka telah memasuki lingkungan istana. Tadi sebelum berangkat, paman sudah mewanti-wanti supaya ia tidak sembarangan berbicara. Hati-hati berucap. Di istana semua benda punya mata dan telinga, Le. Begitu katanya.
Akhirnya Arga memilih memandangi sekitar sementara langkah-langkah membawa mereka melintasi taman cantik yang memanjakan mata yang mengelilingi sebuah pendopo luas, Arga tebak merupakan balai pertemuan raja. Prajurit yang mengantar mereka memimpin melewati jalan setapak dari bebatuan yang cukup jauh dari bale manguntur, untuk kemudian berbelok ke utara, memasuki sebuah regol yang lebih kecil daripada gerbang istana namun dihiasi oleh ukir-ukiran rumit.
Di depan pintu ganda besar itu lagi-lagi berdiri dua orang penjaga. Namun alih-alih tombak seperti di luar istana, prajurit yang ini hanya membawa sebilah keris yang tersandang di pinggang. Arga sempat melihat sekilas gagang kerisnya diukir dengan ukiran yang indah namun menyeramkan, serupa butho yang menelan ujung keris dengan wajah bahagia. Prajurit regol utama yang mengantar mereka maju ke depan, sedikit berbisik pada rekan sejawatnya yang ditanggapi dengan anggukan. Salah satu dari mereka sigap beranjak ke dalam, sementara prajurit yang pertama pamit undur diri kembali ke pos jaganya.
Selama beberapa saat mereka menunggu di depan gerbang sampai prajurit yang tadi melapor kembali dan mempersilahkan mereka masuk, duduk di sebuah gazebo kecil yang asri dan nyaman di depan sebuah bangunan yang megah meski ukurannya tak begitu besar.
"Silakan tunggu sebentar," ujar prajurit sebelum undur diri, meninggalkan hanya mereka bertiga di tempat yang sama sekali baru.
Arga masih tidak bisa menahan keterpesonaannya pada segala sesuatu tempat ini. Setiap tanaman, patung, bahkan sekedar batu kerikil yang tersebar di beberapa tempat tertentu memiliki citarasa keindahan yang tidak bisa ditemukan di tempat lain.
Ah, apalah harganya sebuah kerikil. Cita rasa keindahan yang paling mencolok dari tempat ini justru adalah gazebo tempat mereka bernaung saat ini.
Setiap bagian gazebo ini dibangun dengan kayu jati berkualitas, bisa diketahui hanya dari warna dan gelondong kayunya yang diampelas halus, setiap incinya diukir dengan ukiran rumit dan ketelitian luar biasa, tampak sangat regal dan mewah. Di atasnya terhampar sebuah permadani tebal dan empuk, serta bantal-bantal apik bersarung sutra yang seumur-umur baru sekali ini dilihat Arga. Atapnya pun dibuat dari blabak-blabak kayu kehitaman, entah apa namanya Arga belum pernah menemui kayu seperti itu di hutan, yang jelas kayu atap itu terlihat kokoh dan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda keropos. Keempat sisi gazebo ini memiliki tirai yang kini diikat ke tiang-tiang penyangga, lagi-lagi terbuat dari kain sutra tipis, fungsinya untuk menghalau panas sinar mentari dan tempias air ketika hujan mengguyur.
"Paman, apakah paman perlu menemui seseorang dahulu baru kita bisa pergi ke tempat seleksi?" tanya Arga kepo.
Adaka mengangguk. "Ya. Teman lama paman sewaktu paman masih mengabdi pada negara."
Arga membulatkan mulut.
Sudah pernahkah Arga memberitahu kalian bahwa Paman Adaka dulu pernah menjadi prajurit Kerajaan Tarangga?
Asal kalian tahu, kiprah Paman Adaka di dunia militer dahulu sangat cemerlang, ibarat bintang utara di langit malam. Namun karena suatu hal, setelah bertahun-tahun mengabdikan diri pada negara, Paman akhirnya memutuskan untuk pensiun dan tinggal nun jauh di kaki gunung Argopuro sana.
Jangan tanya Arga kenapa, karena seperti masalah ayahnya, tidak ada seorang pun di keluarga mereka yang pernah memberitahu dia detail ceritanya. Tidak dia, tidak juga Rengganis.
Kekompakan ibu, paman, dan bibi dalam hal ini mau tidak mau membuat Arga menerka masalah pensiunnya paman ada hubungannya dengan ayahnya yang tak pernah pulang.
Arga diam-dam menghela nafas saat teringat ayah. Ia sudah dekat sekali dengan jejak-jejak ayah.
Ayah, ku harap aku benar-benar berharap akan diberi kesempatan untuk menemuimu dalam kehidupan ini.
Diam-diam pemuda itu menghela nafas, lalu untuk mengalihkan fokusnya, Arga menatap ke sekeliling. Ia mencoba mengenali jenis-jenis tanaman apa yang ada di sekitarnya.
Berkat seringnya ia diseret menemani Rengganis pergi ke hutan mencari obat, Arga cukup jago mengenali jenis-jenis tumbuhan meski tidak sampai fasih seperti gadis itu. Arga berhasil mengenali beberapa bunga dan tanaman, ada teh-tehan, anggrek, melati, tebu, bambu kuning, kemuning, dan lain-lain, namun sepertinya ada lebih banyak yang tidak ia ketahui. Entah karena jenis tanaman ini tidak tumbuh di alam liar atau pengetahuan Arga tentang tanaman kurang.
Hm, sepertinya dua-duanya benar, pikir Arga tak berdaya.
Sejenak Arga teringat ekspresi serius yang selalu terpasang di wajah Rengganis ketika memilih-milih obat.
Ah, rindu memang berat. Arga sekali lagi menghela nafas kala sesak menghampiri sudut hatinya. Ia rindu celoteh gadisnya. Berapa lama lagi sih sampai ia bisa bertemu Rengganis?
Adaka diam saja, namun inderanya tak lepas mengamati Arga. Setiap helaan nafas Arga, ia tahu. Setiap ekspresi yang silih berganti muncul di wajahnya, Adaka mengamati.
Ia telah mengenal Arga belasan tahun. Sejak keponakannya lahir, bahkan sejak pertama kali ia menghirup nafas pertamanya, Adaka telah berada di sisinya.
Arga sudah serupa putranya. Adaka membiarkan pemuda itu memandang punggungnya sebagai panutan seumur hidupnya, membiarkan Arga menerima segala keterampilan bertarungnya dan pengetahuan-pengetahuan umum dasar dari istrinya bersama dengan putri kandungnya.
Ada alasan lain kenapa ia menggembleng Arga bersama Rengganis keras-keras sejak kecil.
Ia ingin Rengganis kelak mampu menjadi partner yang bisa mendampingi Arga di setiap kesempatan. Ia membiarkan Rengganis belajar hal-hal yang tidak lumrah dikuasai perempuan jelata karena..
Ia berharap Rengganis cukup pantas bersanding dengan Arga.
Walau ia telah menerima jaminan mbakyu, tapi tetap saja rasanya ada sesuatu yang mengganjal. Dan kekhawatirannya tentu bukan sesuatu yang tidak beralasan.
Ia melirik Sekar yang memasang wajah datar. Mbakyunya sama sekali tidak berbicara sejak mereka meninggalkan rumah Wanara tadi pagi, itu saja sudah cukup menjelaskan bahwa yang merasa gelisah sekarang bukan cuma ia saja.
Adaka diam-diam menatap ujung jalan. Semoga tak ada masalah. Semoga rencana pernikahan Arga bisa tetap terlaksana.
Sementara ketiga manusia di gazebo tengah sibuk dengan pikiran masing-masing, seseorang tengah tergesa menyusuri jalan menuju tempat tamunya menunggu. Ada kegembiraan dalam sorot matanya, tak sabar sekali karena mendadak rasanya jarak dirinya dengan gazebo yang aslinya hanya beberapa tombak jadi begitu jauh.
Tapi tepat ketika ia sampai di ujung jalan, mendadak langkahnya melambat. Dari posisinya, ia bisa melihat sosok-sosok yang tengah duduk di tempat ia biasa menerima tamu pribadi.
Matanya mengamati lekat-lekat tiga orang yang duduk di gazebo khusus tamu pentingnya. Hanya tampak dari samping, namun siluetnya tak akan pernah lekang dari ingatan. Sosok Adaka, ia langsung bisa mengenalinya dalam pandangan pertama. Lelaki itu sama sekali tidak berubah sejak terakhir mereka bertemu. Sosok wanita di sampingnya..
Hatinya bergetar. Tak salah lagi. Itu dia.
Ketika langkah-langkah akhirnya membawa ia tiba di depan gazebo, matanya tak bisa lepas dari sosok yang membuat hatinya bergetar.
Ketika mata mereka bertemu, tak ada lagi hal di dunia ini yang lebih penting daripada mata coklat yang balas memandangnya dengan keterkejutan dan kerinduan yang tak bisa disembunyikan.
Adaka langsung berdiri dan memberi hormat, disusul Sekar, lalu Arga yang tampak sedikit bingung namun tanpa perlu disuruh segera mengikuti sikap Adaka dan Sekar.
"Salam pada Gusti Senopati," ucap Adaka, tegas dan dalam, sekaligus mewakili Sekar dan Arga yang kini juga separuh berjongkok, menunduk sambil melekatkan kedua tangan di dahi, tak berani menatap sosok yang kini sedang menatap Sekar lekat-lekat.
"Bangun." suara berat membalas ucapan Adaka, menandakan mereka bisa kembali berdiri. Tatapannya tak lepas dari kedua orang di belakang Adaka. Ah, sudah berapa lama waktu berlalu?, pikirannya mengembara, mengingat masa-masa yang telah lampau begitu lama.
"Ayo, ayo, duduk kembali," setelah beberapa saat mematung menatap Sekar dan Arga, sang jenderal Tarangga tersadar.
Mereka berempat lantas kembali duduk di gazebo. Pria gagah yang baru saja tiba itu mengambil posisi duduk di sisi Sekar, sementara Adaka dan Arga berhadapan dengan mereka. Jujur saja Arga tak bisa menahan rasa heran dalam hatinya, meski rasa segan dan inferior lebih banyak merambati perasaannya.
Ia tengah berhadapan dengan Gusti Senopati, yang merupakan pucuk kepemimpinan militer Tarangga. Sedikit pengetahuan ini ia dapatkan ketika dulu bibi Gendhis menjelaskan sistem keprajuritan Tarangga.
"Sistem kemiliteran kerajaan umumnya terdiri dari beberapa kelompok, seperti prajurit berkendaraan dan prajurit tanpa kendaraan. Prajurit yang menaiki kendaraan biasanya biasanya bersenjatakan panah, pedang, atau penembak, sedangkan prajurit tanpa kendaraan biasanya bersenjatakan tombak, keris, dan tameng." Bibi Gendhis menjelaskan.
"Kekuatan militer kerajaan sendiri punya beberapa tingkatan kepemimpinan. Di tingkatan paling rendah ada prajurit biasa. Lalu di atasnya ada bekel prajurit, yang mengepalai sekelompok kecil prajurit biasa. Lalu lurah prajurit, di bawahnya ada beberapa kelompok bekel. Lalu setelah lurah ada tumenggung. Ia yang memimpin lurah-lurah. Dan di puncak paling atas, yang membawahi para tumenggung adalah senopati. Ia adalah seseorang yang langsung bertanggung jawab kepada Gusti Prabu mengenai kemiliteran kerajaan."
"Ibu, aku ingin bertanya!" Rengganis menyela. "Aku dengar katanya romo adalah prajurit yang hebat. Kalau begitu apakah dulu romo memiliki pangkat?"
Saat itu, bibi Gendhis hanya tersenyum saja dam berkata, "Soal itu, tanyakan saja sendiri kepada romomu."
Jawaban bibi tentu saja tak memuaskan Rengganis. Dan setelahnya ia beberapa kali bertanya pada paman, yang selalu ditanggapi paman dengan jawaban main-main sampai akhirnya Rengganis malas sendiri.
Diam-diam Arga membatin, paman betulan prajurit yang cemerlang ternyata. Bergaulnya tidak hanya dengan rakyat biasa seperti Paman Wanara, bahkan panglima perang saja dikenalnya. Hebat.
Selama beberapa saat hanya ada keheningan. Mata Sang Senopati tak juga lepas dari sosok wanita yang duduk di hadapannya.
Akhirnya Adaka-lah yang berinisiatif memecah keheningan. "Kedatangan kami hari ini adalah untuk memenuhi perintah Gusti Senopati tepat delapan belas tahun yang lalu." ucap Adaka, tetap menunduk.
Sebagai orang yang derajatnya lebih rendah, ia tidak bisa begitu saja menatap wajah bangsawan.
Teknisnya, ia terikat tata krama yang membuatnya tak berani mengangkat wajah di hadapan Raden Arya Manggalanaratama, adik kandung Prabu Sang Surawardhana Jayendra Bhayanaka sekaligus panglima besar kerajaan Tarangga yang hebat.
Manggala mengangguk. "Hari itu telah tiba rupanya."
Hanya Manggala, Adaka, dan Sekar yang memahaminya.
"Tinggalkan kami sendiri, Adaka."
"Sendhiko." Adaka kemudian beringsut pergi, diiringi tatapan bingung yang diam-diam dilontarkan Arga. Bukannya yang punya keperluan paman ya? Lantas kenapa paman malah pergi?
Manggala tak memperhatikan ke mana Adaka pergi. Fokusnya kini sempurna pada Sekar, yang tertangkap basah sedang menatapnya diam-diam.
"Diajeng..." panggilnya lembut. Matanya menatap Sekar dengan segenap kelembutan dan rasa rindu. "Sudah lama sekali, ya?"
Kedua tangannya terulur, berhenti di bahu Sekar yang masih tertunduk malu-malu. Rona merah jelas terlihat menghiasi wajah Sekar yang menurutnya tidak bertambah tua sejak terakhir kali ia melihatnya belasan tahun yang lalu.
Ah, betapa menggemaskannya. Sama sekali tidak berubah sejak pertama kali mereka bertemu.
Berbanding terbalik dengan Adaka yang bertubuh kekar dan berwajah garang, Sekar Mirah bertubuh mungil dengan wajah ayu yang lembut, mewarisi kecantikan khas gadis-gadis jawa yang manis.
Mendengar panggilan lembut Manggala membuat rasa yang terpendam dalam-dalam di hati Sekar meruah. Sekar tak bisa menahan diri lagi untuk tidak balas menatap wajah Manggala, wajah yang sudah bertahun-tahun lamanya hanya bisa Sekar bayangkan kehadirannya.
"Kakanda.." gumam Sekar pelan.
Air mata telah memburamkan pandangannya, namun tangannya tetap terulur, hendak menyentuh wajah tampan dengan jambang halus yang masih sama persis seperti yang diingatnya saat mendadak Arga batuk-batuk.
"UHUK! UHUK! UHUK!"
Sontak momen haru yang baru saja terbentuk musnah seketika.
Baik Manggala maupun Sekar menatap Arga dengan tatapan sepertiga terganggu sepertiga malu dan sepertiga canggung, sementara yang bersangkutan pura-pura tidak sadar kalau ia sudah telak menghancurkan momen reuni penuh nostalgia yang sedang terjadi di hadapannya.
"Ah, maafkan aku lupa memanggil dayang menyediakan minum." Manggala, yang biasanya selempeng patung, tidak bisa menahan kegugupannya. Ia bahkan meminta maaf, yang mana baru pertama kali Arga saksikan. Seorang senopati meminta maaf pada dirinya yang rakyat jelata? Sepertinya Arga harus membuat sebuah buku khusus untuk merekamnya.
"Prajurit! Perintahkan dayang-dayang membawa wedang dan kudapan kemari!" seru Manggala.
"Sendhiko!" Dua orang prajurit yang berdiri sedikit jauh dari mereka segera lintang pukang menuju dapur istana.
Keadaan kembali canggung untuk beberapa saat. Arga berusaha menghindari tatapan ibu dan lelaki yang tidak bisa ia lihat wajahnya itu. Pemuda itu pura-pura memandangi serumpun bunga anggrek yang mekar di batang pohon trembesi besar dan berkonsentrasi mengagumi keindahannya sehingga ia tidak perlu merasa awkward.
Ratusan pertanyaan menyesaki kepalanya. Dari mulai sejarah bagaimana Adaka bisa mengenal sang Senopati hingga kenapa pria paruh baya itu memandangi ibunya dengan tatapan 'semacam itu'? Otaknya hampir meledak karena segala pertanyaan itu dan tahu-tahu.. BOOM! Ibunya dan sang senopati sudah bertukar sapaan mesra.
Sebenarnya apa sih yang sedang terjadi?!
Sekar-lah yang akhirnya berinisiatif memecahkan suasana tidak enak yang mengambang di antara mereka.
"Kakanda, ini..." untuk sesaat suara Sekar melirih. "Putra kita, Kaesang Arganendra."
DUAR!
Tak terkira seberapa besar efek kata-kata ibu berpengaruh pada Arga. Kalau ada seseorang yang iseng menyalakan sumbu meriam di samping telinganya, pastilah itu tidak akan semengejutkan ini. Kalimat ibu seolah bergaung di dalam kepalanya dan semakin Arga mendengarnya, semakin absurd itu terdengar. Arga sampai sama sekali tidak tahu harus berbicara apa.
Sekar menatap Arga penuh permohonan maaf. "Le, perkenalkan, beliau adalah ayah kandungmu. Panglima besar kerajaan Tarangga sekaligus adik kandung Prabu Sang Surawardhana, Raden Arya Manggalanaratama."
Arga seketika mendongak. Untuk sesaat yang terasa bagai selamanya, matanya bertemu dengan mata sang senopati.
Mata ayahnya.
Arga telah bertemu ayah.
--------
Sekar mengubah posisi duduknya gelisah, tidak nyaman dengan senyap yang meraja di dalam gazebo yang kini tertutup tirai sutra, memberikan mereka privasi yang dibutuhkan untuk memberi tahu Arga kebenaran tentang silsilahnya.
Atau bisa dibilang seharusnya begitu, karena setelah hampir setengah bakaran dupa mereka duduk di sana baik Sekar maupun Manggala diam saja, tidak tahu harus memulai dari mana sementara Arga membuang muka, enggan menatap keduanya.
Dalam hati, kedua orang tua yang bingung itu bisa memaklumi sikap Arga yang sebetulnya kurang sopan, mengingat keduanya merupakan orang tua Arga sendiri dan... posisi Manggala yang jauh lebih mulia daripada mereka.
Ayahanda Arga bukan orang biasa, kalau itu perlu ditegaskan. Statusnya sebagai jenderal perang Tarangga saja sudah sangat terhormat, ditambah lagi hubungan darahnya dengan sang raja yang menguasai Tarangga.
Tapi yah, bagaimanapun ini memang akan sedikit sulit diterima Arga.
Sekar menghembuskan nafas. Sejak kecil Arga adalah anak yang mandiri dan tidak suka merepotkan orang lain, lebih suka memakai logika daripada emosi dalam berpikir, serta berhati lapang. Namun ketika ada sesuatu yang menyentuh 'batas'-nya seperti ini, ia pasti akan diam, menolak bicara dan membuang muka jika ada yang membujuknya.
Jika sudah begitu, butuh beberapa waktu untuk membuat Arga kembali bersikap seperti biasa.
"Le," panggil Sekar pelan.
Arga tetap membisu, mengalihkan pandangan, dari hamparan taman yang terlihat lewat sela-sela kerai sutra yang berayun tertiup angin, ke karpet empuk yang mereka duduki kini. Ke mana saja yang penting tatapannya tak lagi berserobok dengan salah satu dari dua orang di depannya.
Ah, seandainya paman Adaka disini pasti rasanya tidak akan secanggung ini, Arga mendesah dalam hati, menyesali perintah sang Senopati pada Adaka tadi.
Faktanya kebenaran mengenai ayahnya terasa begitu absurd dalam otaknya. Aku? Anak seorang pangeran? Haha, tangio le, turu mu kemiringen. (Bangun nak, kamu tidurnya terlalu miring)
Rasanya aneh sekali memikirkan ayah yang selama ini ia kira seorang prajurit biasa seperti paman Adaka ternyata tidak seperti apa yang ia bayangkan. Ayahnya seorang prajurit hebat, hal itu jelas benar, namun seorang panglima besar?
Apa ini alasan paman dan ibu enggan menyebut-nyebut ayah di desa?
Tapi kenapa?
Kepala Arga pusing memikirkannya. Apa yang sebenarnya terjadi dalam hidupnya? Apa ia dulu pernah membuat marah dewata sampai hidupnya mendadak jungkir balik begini?
Namun di luar kekagetan yang seolah mengambil separuh akalnya, tak bisa dipungkiri ada rasa senang meletup-letup dalam dada Arga saat ia pertama kali menatap 'ayah'.
Kesan pertama Arga pada sosok ayahnya adalah hormat.
Ayahanda adalah lelaki yang tinggi dan gagah, berwibawa dan menggentarkan, memikat dan berkarisma. Wajahnya tampan meski bekas luka terlihat dimana-mana, bukti valid bahwa ayahnya adalah seorang petarung yang telah berkali-kali terjun ke medan perang. Kulitnya sewarna tembaga yang diseraki gurat-gurat putih bekas luka yang telah pulih.
Segala yang kharisma sang Senopati memancarkan aura mendominasi sampai-sampai dalam balutan baju harian tanpa pakaian kebesaran panglima saja, beliau memancarkan aura haus darah yang begitu kuat, mengukuhkan gelarnya sebagai jenderal besar angkatan militer kerajaan. Arga sempat menangkap busana yang dikenakan sang Senopati, berupa kain sutra merah yang diikat sedemikian rupa sebatas perut dan diikat dengan sabuk emas berpola rumit dan jubah sewarna darah yang dipatri dengan hiasan emas intan lainnya.
Lelaki sehebat ini adalah ayahnya? Arga rasa butuh waktu yang sangat lama sampai ia terbiasa dengan kebesaran ayahnya.
Arga menghela nafas sejenak, berusaha mengurai rasa kaget dan berhenti bersikap kekanakan. Ayolah, ia adalah pemuda berusia delapan belas tahun, sudah dewasa dan tak seharusnya bersikap kekanak-kanakan seperti ini lagi.
"Ibu, bisakah ibu menceritakan semuanya dari awal?" akhirnya mulut Arga terbuka. Rasa terkejutnya kini sudah jernih, otaknya kembali melakukan segalanya berdasarkan logika bukan hanya perasaan sesaat.
Sekar terdiam sekejap. Ah, sepertinya Arga sudah berhasil memulihkan sisi logisnya, meski sepertinya ia masih kesulitan menganggap pria di hadapannya sebagai ayah.
"Baiklah." Sekar mengangguk, perlahan mulai menceritakan segalanya dari awal. Ia memandang Manggala yang sedari tadi diam dengan tatapan lembut, dibalas senyum penuh nostalgia dari suaminya. Dan Arga menyimak kisah ibu dengan serius.
------------
Tangan Sekar semakin erat menggenggam tangan Manggala, rinai hujan turun dari matanya. "Apa kakanda benar-benar akan pergi?" tanya Sekar lirih. Ia tertunduk, menatap jarik yang melapisi kakinya, enggan menatap suaminya yang duduk di sampingnya, di atas pembaringan mereka.
Manggala menatap istrinya nanar. "Aku harus pergi, Diajeng. Medan perang sudah memanggil. Prajurit Tarangga menunggu panglima mereka," ucap Manggala.
Ada kesedihan dalam suaranya, namun rasa tanggung jawab dan pengabdian erat membingkainya, tak membiarkan hatinya luluh karena perasaan melankolis enggan meninggalkan istrinya yang tengah hamil besar. Anak pertama mereka, buah cinta yang sudah ditunggu-tunggu kehadirannya.
Pemberontakan berkepanjangan di timur sudah berlarut-larut. Ditambah rong-rongan prajurit Kediri di perbatasan selatan, itu sudah cukup membuat Manggala tidak bisa lagi duduk diam.
Apa daya takdir menetapkan Manggala harus pergi ke medan perang saat kehamilan istrinya sudah memasuki tanggal kelahiran. Manggala jelas tidak akan bisa menyaksikan saat anaknya menghela nafas pertamanya nanti.
Perang seringkali memakan waktu lebih lama dari rentang waktu kandungan wanita.
"Diajeng," Manggala mengangkat dagu Sekar lembut, lalu menyeka sungai yang telah menganak deras di pipi halusnya. "Jujur aku juga tidak tahu kapan perang ini akan berakhir. Namun aku berjanji kelak anak kita akan mengenal aku sebagai ayahnya-"
"Bagaimana dia bisa mengenalmu, kalau melihatmu saja belum tentu bisa?" Sekar menepis tangan Manggala kasar. Ia tidak butuh ditenangkan. Ia hanya butuh Manggala tinggal, berada disisinya saat waktu paling mendebarkan dalam hidupnya terjadi.
Sekar tidak peduli sikapnya barusan tidak pantas. Luweh alias bodo amat. Suaminya tidak bisa mengerti. Ditambah lagi perasaan wanita hamil memang sangat sensitif, sedikit hal terasa mengesalkan saja Sekar bisa menangis seharian.
Penuh kesabaran Manggala merengkuh Sekar dalam peluknya. "Kelak jika Hyang Widi masih memberiku nafas untuk berhembus, tepat delapan belas tahun setelah putra kita lahir datanglah ke istana utara," bisik Manggala, tangannya mengusap-usap rambut Sekar lembut. Tampak jelas betapa Manggala menyayangi istrinya dari gerakan halusnya menenangkan Sekar.
"Jika dia laki-laki beri dia nama Kaesang Arganendra, dan jika dia perempuan, terserah kamu ingin memberinya nama siapa."
Sekar sesenggukan di dada Manggala. "Kenapa begitu? Kenapa kakanda tidak mau memberi nama jika anak kita perempuan? Apa kanda tidak akan menyayanginya jika dia perempuan?" isak Sekar mengeras saat kalimat panjangnya berakhir. "Aku pikir kanda tidak akan se-kolot lelaki lain.."
Manggala mendesah pelan, paham sikap dramatis akibat kehamilan istrinya sedang muncul. "Tentu saja aku akan menyayanginya. Bagiku tak penting apakah dia laki-laki atau perempuan. Dia adalah darah daging kita, sudah kewajiban kita untuk menyayanginya," ucap Manggala lembut.
"Aku ingin kamu yang memberi dia nama karena.. Sejujurnya aku tidak bisa membuat nama yang indah untuk anak perempuan." suara Manggala memelan. Tangannya menggaruk tengkuknya pelan.
Aduh, ini memalukan.
Sejak muda dulu Manggala tidak pernah menyukai pelajaran sastra dan tetek bengeknya seperti Kakanda Jayendra. Ia lebih suka belajar strategi dan olah kanuragan, sesuatu yang jelas-jelas lebih bermanfaat untuknya kini. Namun urusan membuat nama yang indah untuk 'anak perempuan'-nya itu beda perkara.
Kenapa pula aku dulu tidak kepikiran mencari tahu nama yang bagus untuk anak perempuanku kelak?, pikir Manggala menyesal.
Manggala menatap Sekar yang menatapnya dengan tatapan tak percaya. Pasti ia akan secantik Sekar jika anakku benar-benar perempuan.
Tanpa sadar bibirnya tersenyum lembut. "Jika anak kita benar-benar perempuan, diajeng tak perlu khawatir. Aku menugaskan Adaka untuk menjaga kalian berdua saat kalian bertahan di sini. Saat ia beranjak dewasa nanti ia akan dikenal sebagai putri panglima besar Manggalanaratama. Kelak ia akan menikah dengan seorang ksatria yang kupilih sendiri, dan kupastikan dia sanggup menjaga putriku dengan seluruh hidupnya," ujar Manggala pasti.
"Jika dia laki-laki?" tanya Sekar. Tangisnya seketika mereda karena ucapan Manggala telah menangkan gundah yang berbulan-bulan ia pendam sendiri.
Pada era mereka, kebanyakan pria bangsawan hanya ingin menimang anak laki-laki. Makanya lumrah bagi mereka memiliki istri lebih dari satu, karena istri pertama mereka dinilai tidak bisa memberi putra sebagai penerus keluarga. Istri mana pun yang melahirkan penerus keluarga akan sangat meningkat statusnya, sementara istri-istri dengan anak perempuan selamanya menjadi selir rendahan, meski secara hukum mereka merupakan istri tertua.
Wajar bukan jika Sekar begitu khawatir? Apalagi suaminya ini adalah seorang panglima perang yang jelas sering mendapatkan wanita cantik sebagai hadiah kemenangan.
Manggala tersenyum menatap istrinya. Memang betul-betul menggemaskan si Sekar ini. Iris matanya yang gelap menatap Manggala ingin tahu, ujung hidungnya memerah karena menangis. Jejak air mata masih nyata menghiasi wajahnya, namun bibirnya yang mengerucut menambah keimutannya.
Penuh rasa gemas, Manggala mencubit ujung hidung Sekar. "Kalau ia laki-laki, aku akan memerintahkan Adaka mengajarinya keterampilan bersenjata dan kanuragan. Ia akan tumbuh menjadi seorang pemuda hebat yang membanggakan, seorang naga muda yang akan menguasai medan perang. Kepadanya kelak aku akan menyerahkan posisi jenderal kerajaan, dan orang-orang akan mengenal nama besarnya berkat kemampuannya yang nggegirisi, bukan hanya karena namaku saja."
Mendengar penegasan panjang Manggala sempurna menenangkan hati Sekar. Sebagian beban pikirannya telah sirna. Hatinya terasa lebih ringan. Namun ia masih enggan merelakan kepergian Manggala.
"Apa aku benar-benar tidak bisa ikut kakanda ke timur?" Sekar tertunduk. Ia memilin ujung bajunya, kebaya sederhana seperti lazimnya penduduk desa kecil, menunjukkan kegelisahannya pada Manggala.
"Tentu tidak." tolak Manggala tegas. "Medan perang sangat berbahaya, Sayang. Aku tidak akan pernah mengizinkan kau menginjakkan kaki di medan perang."
"Tapi aku ingin bersama Kanda."
Manggala menggeleng. "Tidak," tegasnya.
Sekar tertunduk, sedih. Kalau begitu, apakah ia harus menghabiskan waktunya menunggu Manggala sendiri di sini? Di rumah kecil di pinggiran Kotaraja?
"Aku akan memerintahkan Adaka tinggal di sini menjagamu, tidak perlu menyertaiku ke timur." seolah paham apa yang tengah dipikirkan Sekar, Manggala kemudian tersenyum dan mengelus perut besar Sekar lembut. "Jaga anak kita baik-baik, Diajeng. Aku pamit."
Dengan begitu, Manggala pun meninggalkan Sekar bersama jabang bayi mereka di pinggiran Kotaraja sebelum ia bertolak menuju perbatasan timur.
Tiga hari setelah kepergian Manggala, Sekar mengalami kontraksi hebat. Dengan bantuan seorang dukun beranak tua, lahirlah seorang bayi lelaki di tengah malam yang gulita.
"Selamat, Mbakyu. Putramu sangat tampan, seperti ayahandanya." Adaka tersenyum semringah, ia dengan lembut membuai si bayi yang baru saja dibersihkan dalam lengannya, walau jelas sekali kelihatan kaku. Adaka pasti takut menyakiti bayi rapuh itu saat memegangnya.
Tangannya adalah tangan prajurit. Ia terbiasa memegang senjata, bukan bayi.
"Kemari," Sekar melambai lemah. Wajahnya masih pucat dan berkeringat, namun senyumnya seketika mengembang begitu ia menimang putranya. "Putraku." gumamnya lirih, penuh kasih menatap sang anak yang tertidur. "Putraku dan kakanda, Adaka. Lihat betapa tampannya dia."
"Ya, Mbakyu. Dia sangat mirip dengan Gusti Sen-"
"Sst!" Sekar melirik tajam pada dukun bayi yang masih beredar di sekitar mereka.
Adaka mengangguk, tatapannya penuh permohonan maaf. "Siapa namanya, Mbakyu?" Adaka mengalihkan topik.
Suara Manggala terngiang di benak Sekar bersama senyum lembutnya. "Kaesang. Kaesang Arganendra." jawab Sekar lirih.
Adaka mengangguk. "Selamat datang ke dunia, Kaesang Arganendra. Semoga Hyang Widhi selalu memberkatimu."
-----------
~auliael
Jogja, 18-10-2020 21.27 3491 words
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro