Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3 | Danau

Nanti kalo ada yang baper ngacung ya..

---------

Sepanjang malam mereka habiskan dengan saling bercanda sampai Rengganis ketiduran di bahu Arga.

"Terima kasih sudah mau mengalah demi mimpi kakang, Nis," ucap Arga sebelum ia melabuhkan sebuah kecupan di dahi Rengganis yang kemudian mengerutkan dahi terganggu.

Arga membawa Rengganis ke dalam tenda yang telah ia dirikan. Setelah memastikan gadis kesayangannya telah nyaman dan nyenyak tertidur, Arga baru keluar dan berbaring di atas tanah yang dialasi kain.

Pemuda itu memandangi konstelasi bintang yang tampak jelas dalam gelap yang menyelubungi puncak Argopuro. Benaknya memikirkan banyak hal, termasuk sebuah alasan kenapa ia begitu berkeras ingin jadi prajurit.

Adalah cerita-cerita tentang ayahanda yang tidak pernah ditemui Arga-lah yang paling banyak menjadi alasan hasratnya pada dunia prajurit.

Bukan, bukannya ayahanda Arga sudah meninggal atau bagaimana. Arga sendiri tidak tahu dimana ayahandanya berada, dan tak pernah sekali pun seumur hidup ia bertatap muka dengan lelaki yang kata ibu berbagi wajah yang hampir sama dengannya. Tubuh tinggi tegap, rahang dan tulang pipi yang terpahat tegas, hidung mancung yang kokoh, alis tebal, dan mata tajamnya adalah duplikat sempurna dari sosok ayah.

Hanya kisah-kisah heroik kepahlawannya di medan perang saja yang mau diceritakan mereka. Tentang ayahanda yang gagah berani menghadapi lawan. Tentang kemampuan bela diri dan bertarungnya yang pilih tanding. Tentang kiprahnya yang gemilang di militer Kerajaan Tarangga.

Tidak hanya sekali dua kali Arga mendesak ibu atau paman bercerita kemana ayahanda pergi supaya Arga bisa mencarinya. Tidakkah mereka paham betapa penasaran dan rindunya Arga pada sosok ayah? Namun mereka selalu menolak memberi tahu.

Seberapa kerasnya pun Arga mencoba, ia pada akhirnya akan selalu kalah pada gurat sedih yang pekat mewarnai wajah ibu setiap ia mendesaknya. Jadi Arga dengan sendirinya menganggap ayahnya telah wafat, meski kebungkaman ibu dan paman bisa jadi mengisyaratkan sesuatu yang lain.

Apapun itu, ada satu hal yang pasti bisa menjadi petunjuk mencari ayah. Ayah seharusnya meninggalkan jejak yang cukup jelas di barak militer ibu kota sana, kalau cerita-cerita ibu soal kiprah gemilangnya di dunia keprajuritan itu benar.

"Tunggu Arga, ayah. Arga akan segera menemukanmu," gumamnya lirih.

Hanya desau yang mendengar janjinya.

------------

Keesokan harinya, Arga dan Rengganis berkemas pulang sebelum matahari terbit. Mereka menyempatkan diri bersembahyang dahulu setelah turun ke air terjun terdekat untuk membersihkan diri, mumpung berada di dekat pura. Rengganis dan Arga tidak membuang-buang kesempatan berterima kasih pada Hyang Widhi atas terkabulnya doa-doa mereka.

Mereka turun dalam tempo lambat, tidak bisa terburu-buru karena jalur mereka selain curam juga dikepung jurang. Bisa dibayangkan untuk turun mereka harus betul-betul berhati-hati. Kalau tidak, dalamnya jurang di kanan kiri sudah siap menyambut mereka ke dasarnya.

"Kakang," Rengganis memanggil ketika Arga separuh merosot turun di jalur setapak yang terlampau curam.

"Apa?" Arga menjawab begitu ia sampai di bawah. "Ayo, turun." ia mengulurkan tangan.

"Nanti mampir ke danau dulu ya," pinta Rengganis sambil menerima tangan Arga. Ia merosot begitu saja, dan Arga langsung menerimanya sebelum pantatnya sukses mencium batu.

Dalam hati Rengganis tersipu-sipu. Jadi begini ya rasanya punya kekasih...

Enak juga ya.

"Baik," pemuda itu melepaskan Rengganis. "Nanti sekalian aku berburu kijang di sana."

Rengganis nyaris terharu. "Wah, kakang kok pengertian sekali sih aku ingin makan daging rusa?"

Arga menatap Rengganis, sedikit mengangkat alis dengan ekspresi meledek. "Heh, memang siapa yang mau berburu kijang buatmu? Aku mau mencari menjangan muda untuk paman kok," pemuda itu menatap Rengganis sambil menaik turunkan alis. "Cie, gede rasa."

Tentu saja Rengganis melotot keki. "Oh begitu. Jadi romo lebih penting dari aku?" Rengganis sok merajuk.

"Tentu saja. Kan restu ayahmu paling penting." Arga menaik turunkan alisnya tengil.

Rengganis merengut. "Kalau begitu kakang nikah saja gih dengan romo," ujarnya, langsung ngeloyor bete sementara Arga tak bisa menahan tawa ketika buru-buru menyusulnya.

"Ngambek ya?" ujar Arga.

"Tidak."

"Haha, kalau kau ngambek bilang saja."

"Buat apa ngambek hanya karena kijang?" Rengganis berdecih. "Aku juga bisa tuh berburu sendiri."

Arga terkekeh, lalu mengacak rambut Rengganis seperti biasa kala ia gemas. "Nanti kau istirahat saja di pinggir danau. Biar kakang berburu."

"Tidak. Aku mau berburu sendiri saja."

"Nanti kau capek."

"Tidak, kan nanti kakang yang bawa dagingnya sampai rumah," Rengganis menoleh pada Arga dan tersenyum licik. "Harus mau kalau tidak aku marah," ancamnya main-main.

Arga tertawa lagi. "Baik, tuan putri."

"Bagus, pengawalku."

Setelah melewati medan yang curam, mereka mulai masuk hutan. Arga berjalan di belakang sambil memenggendong buntalan, menjaga Rengganis sedangkan Rengganis melangkah riang sambil bersenandung kecil.

"Kau ini, kenapa bernyanyi lagu seperti itu sih?" Arga mengerutkan dahi mendengar senandung Rengganis.

Lilakno aku, ikhlasno aku,

Yen pancen iki wes ora perlu

Menjadikanku orang kedua,

Hatiku sungguh tak rela

Lagu itu terlalu galau. Arga entah kenapa tidak suka mendengarnya.

Gadis itu menoleh dengan ekspresi polos. "Memang kenapa? Itu kan hanya nyanyian ..." ia mengedikkan bahu.

"Kau tidak tahu ya? Semakin sering bibirmu mengulang suatu ucapan, semesta kemungkinan besar akan membuatnya menjadi kenyataan."

Rengganis menatap Arga aneh. "Tahu dari mana? Memang dia cenayang?"

"Entah. Tapi banyak orang yang membuktikannya."

Rengganis mendengus. "Halah, buktinya kakang sejak dulu berkoar-koar ingin jadi prajurit, sampai sekarang belum juga jadi prajurit."

"Tidak juga. Sebentar lagi kakang pasti akan menjadi prajurit," ucap Arga.

"Memang kakang bisa menjamin?"

"Kakang hanya optimistis saja."

"Dih."

"Mulai sekarang biasakan berkata hal-hal yang baik," ucap Arga. "Pada akhirnya, kita tidak akan pernah tahu kan ucapan mana yang akan dikabulkan Hyang Widhi sebelum itu terjadi."

"Hm ..." Rengganis menanggapi sekenanya.

Kemudian perjalanan mereka hanya berisi hening. Hanya sesekali Arga memperingatkan Rengganis atau Rengganis minta berhenti sesaat di sungai untuk minum. Selain itu mereka sama sekali tidak berbicara sampai mereka tiba di sebuah danau luas di kaki Argopuro berjam-jam kemudian.

"Danau!" Rengganis menghambur ceria begitu danau yang memantulkan awan-awan di langit itu tampak.

Arga tak bisa menahan senyum melihat antusiasme Rengganis. Ia memandangi sosok gadisnya yang tak sabar turun ke air tanpa kata.

Ah, pemandangan Rengganis, danau, gunung, dan langit sore yang cerah adalah hal yang akan terkenang dalam ruang memori Arga selamanya.

Arga meletakkan barang bawaan mereka di tempat yang agak jauh dari tepi danau. Dalam gerak cekatan, ia membongkarnya dan membangun tenda dari kulit sapi yang menjadi bungkus buntalan barang.

Cukup lama Arga membangun tenda, tapi Rengganis masih juga asyik bermain di tepi danau.

"Nis, kakang masuk hutan dulu!" Arga berteriak.

Rengganis melambai saja, mempersilahkan Arga pergi tanpa menoleh. Arga geleng-geleng, namun entah untuk keberapa kalinya seharian ini, Arga tersenyum tipis. Siapa tadi yang katanya mau ikut berburu?

Tapi Arga tak keberatan. Sama sekali tak keberatan karena toh sebentar lagi ia akan pergi cukup lama. Biarkan ia memanjakan Rengganis dahulu sebelum jarak memisahkan mereka.

-------------

Malam sudah turun dan kegelapan turun lebih cepat dari balik gunung yang menjulang. Gelap yang membungkus nyaris purna, tinggal sedikit cahaya kemerahan membias di ufuk barat sana. Sisa keindahan senja yang dinikmati Rengganis dan Arga bersama di depan api unggun.

Udara di sini hanya sedikit beda tingkat kedinginannya dengan di puncak. Rengganis yang sudah salin baju, setelah memaksa Arga menungguinya salin di balik semak-semak tentunya, bahkan mulai menggigil.

"Dingin?" tanya Arga perhatian.

Rengganis mengangguk. Arga mengambilkan kain jarik dari dalam tenda, lalu menangkupkannya di atas kepala Rengganis.

"Terima kasih, kakang." namun fokus gadis itu masih ada pada ubi bakar yang tengah dikupasnya.

Arga kembali duduk di samping Rengganis. Sebenarnya ia juga cukup kedinginan. Entah ya, padahal waktu di puncak semalam ia bahkan tidak merasa bagaimana-bagaimana walau tidur di ruang terbuka.

Atau karena semalam ia tidur di bawah tempias bunga es ya, jadi ia sekarang mulai merasa tidak enak badan?

Arga mengulurkan tangan ke api. Ah, hangat.

Beberapa saat kemudian, Rengganis selesai mengupas ubi-nya dan mulai makan ketika matanya tanpa sengaja melirik Arga yang tampak aneh. Rengganis menurunkan ubinya dan menoleh.

"Kakang, jangan dekat-dekat ke api nanti kulit kakang melepuh!" Rengganis serta merta menarik tangan Arga yang sudah melebihi batas aman dari lidah api.

Arga mengerjap. "Tapi tidak panas kok.." gumamnya lugu.

Justru Rengganis yang merasa panas menyentuh Arga. "Dewa Yang Maha Agung, kakang panas sekali." seketika gadis itu melupakan ubinya, ganti meraba kening Arga yang ternyata panas juga.

"Kakang kenapa tidak bilang kalau sakit?!" Rengganis tidak tahan untuk tidak mengomel. Ia melepas selimut dari atas kepalanya, menariknya sampai tersisa sedikit menggantung menutupi bahunya. "Kemari!"

Arga menyentuh dahinya. Baginya dahinya terasa dingin. Namun kelopak matanya terasa panas dari dalam. Hidungnya juga mulai kedat.

Ah, betul kata Rengganis. Sepertinya ia mulai demam. "Kakang tidak apa-apa," elaknya.

"Jangan coba-coba membodohi murid magang tabib desa ya," Rengganis melotot kecil. "Sini, kakang!" ia menarik Arga supaya duduk lebih dekat dengannya.

Mau tak mau Arga menurut. "Sini," Rengganis menepuk alas kain di sebelahnya. Lalu setelah Arga duduk, ia sigap menangkupkan kain panjang ke atas kepala Arga dan merapikannya supaya membungkus tubuh Arga.

Namun apa daya, kain itu memang sepertinya terlalu pendek untuk dipakai mereka berdua hingga ketika Rengganis menariknya untuk membungkus bahu Arga, kain di atas kepalanya tidak menutup bahu, dan sebaliknya.

"Kainnya pendek sekali sih," keluh Rengganis akhirnya. Menyerah menarik kain di bagiannya dan merelakan sebagian besar kain jarik itu menutupi tubuh Arga. Tidak apa-apa, kasihan kakang Arga kalau sudah sakit begini pun masih kedinginan.

Arga terkekeh pelan, namun tenggorokannya sakit. Tanpa kata, ia merengkuh bahu Rengganis sampai tubuh mereka merapat, kemudian menarik kain bagian Rengganis ke bawah supaya membungkus pundaknya. "Harus begini supaya muat," bisik Arga. Nafasnya yang panas menerpa tengkuk Rengganis yang membeku, tak mengira Arga akan memeluknya.

Arga meletakkan kepalanya di ceruk leher Rengganis dan menghirup udara dalam-dalam. Wangi. "Biarkan seperti ini dulu ya, Nis. Di sini dingin sekali." gumamnya kala Rengganis bergerak.

Kalau saja Arga tidak sedang memejamkan mata, ia pasti bisa melihat wajah Rengganis merah sekali seperti buah mahkota dewa yang sudah matang. Rengganis harus mengepalkan tangannya kuat-kuat untuk menahan diri supaya tidak berlari masuk ke dalam tenda.

Aduh, tahu Arga bakal menempel-nempel begini, kemarin ia sangu kembang setaman untuk mandi tadi sore.

"Hei, sepertinya lebih baik kakang masuk saja. Malam ini biar aku berjaga." lidah Rengganis nyaris keseleo karena mengucapkan kalimat itu dalam tempo super cepat.

Sial, Rengganis merutuk dalam hati. Mentang-mentang ini pertama kalinya Arga bermanja kepadanya setelah mereka mengetahui perasaan satu sama lain, ia jadi gugup begini.

Padahal sejak dulu Arga kan memang suka manja kalau sedang sakit.

Tidak tahu ya, rasanya beda saja.

Tapi kenapa sih ia harus pakai gugup segala? Memang apa bedanya Arga yang ini dengan yang sering manja-manja padanya kemarin-kemarin?

Bedanya dia sekarang kekasihmu, bodoh, ucap hati Rengganis.

"Tidak, kau saja tidur. Kakang tidak apa-apa." Arga bangkit dari ceruk leher Rengganis. Sinar oranye api berhasil menutupi ketiadaan rona dalam wajah pemuda itu. Namun mata sayunya sama sekali tidak bisa membohongi siapa pun.

"Mana ada? Kakang itu demam. Orang demam tidak boleh kena angin dingin." dahi Rengganis berkerut dalam. "Sudah sana kakang masuk saja."

"Kau saja. Nanti kau diculik penunggu gunung kalau ngeyel."

"Heh, memang aku anak kecil?" Rengganis menarik kerah baju Arga dari belakang. "Sudah masuk!"

"Kau saja."

"Kakang!"

Arga keukeuh enggan masuk tenda, berkeras supaya Rengganis saja yang tidur di dalam. Padahal suhu tubuhnya semakin panas saja. Bisa dirasakan Rengganis dari lengannya yang menempel pada tubuh Arga.

"Baik. Kalau kakang tidak mau tidur di tenda, aku juga tidak akan tidur di tenda." putus Rengganis.

Arga tidak menanggapi apa-apa. Hanya tangannya tak pernah sedetik pun meninggalkan bahu Rengganis.

Semakin malam udara semakin dingin. Itu yang bisa disimpulkan Rengganis setelah beberapa lama mereka berdiam di depan api unggun. Pantas kakang sakit. Ternyata memang dingin sekali, pikir Rengganis. Untung bagi Rengganis, suhu tubuh Arga yang cukup tinggi menghalau dingin darinya.

Mendadak Arga menarik diri lalu berbaring, begitu saja meletakkan kepalanya di pangkuan Rengganis. Ia menatap lurus ke langit kelam yang seperti kemarin-kemarin, dihiasi taburan bintang yang berkilau bagai berlian. Bedanya kini ia bisa melihat wajah Rengganis-nya juga dari bawah. "Di sini tenang sekali ya, Nis."

"Desa kita juga tenang kalau malam."

Arga terkekeh. Ia mengulurkan tangan, mengelus pipi Rengganis. "Beda. Di sini aku tenang karena selalu bersamamu."

Gombal. Rengganis tahu itu hanya gombalan semata tapi ia tidak bisa menahan diri untuk tidak tersipu. "Apa-apaan ..."

"Suatu hari nanti kalau uban sudah menghiasi rambut kita masing-masing, mari membangun rumah di sini, Nis. Kita akan hidup berdua. Setiap hari disambut mentari dari balik Argopuro, Setiap malam diberkati oleh bintang-bintang." ujar Arga. "Tiap hari kita akan naik ke pura untuk bersembahyang dan pulang dengan hati damai."

Mendengar narasi Arga, Rengganis seolah bisa melihat dirinya dan Arga berjalan, tangan keriput saling bertaut melangkah perlahan pulang dari sembahyang. Sosok Arga yang menua pasti akan tetap tampan di matanya.

"Itu.. Indah sekali." Rengganis bergumam lirih. Ia balas memandang Arga yang menatapnya.

"Kau pasti akan tetap cantik bahkan setelah uban memenuhi kepalamu," Arga tersenyum. Jenis senyum yang tak pernah gagal membuat hati Rengganis meleleh seperti garam yang dibiarkan terlalu lama di ruang terbuka.

"Coba ceritakan padaku rumah seperti apa yang kau inginkan untuk kita." perintah Arga.

Rengganis berpikir sejenak. "Aku ingin.." kemudian udara di sekitar mereka diisi oleh celoteh Rengganis. Sesekali Arga akan menanggapi dengan kalimat yang membuatnya sukses dihadiahi sebuah cubitan di lengan.

Obrolan mereka mengalir bagai air. Arga dan Rengganis sama-sama kehilangan orientasi waktu. Tak peduli gemintang perlahan condong ke barat. Obrolan mereka baru berhenti ketika baik Arga maupun Rengganis sama-sama telah dikuasai kantuk.

"Kakang, peluk ya," ucap Rengganis. Tidak terlalu jelas karena gadis itu sudah nyaris terlelap berbantalkan lengan Arga.

Kesadaran Arga masih sedikit lebih baik daripada Rengganis. Tapi ia sendiri sudah tidak sanggup menanggapi kalimat gadisnya, jadi ia hanya melingkarkan lengan tanpa kata pada tubuh Rengganis. Udara dingin, namun hatinya hangat. "Terima kasih sudah memberi kenangan indah sebelum kakang pergi, Nis," bisiknya lembut di ubun-ubun Rengganis sebelum ia membiarkan dunia mimpi menyeretnya menjauh dari realita.

Dimana jantung mereka berdebar dalam ritme yang sama.

-------------

Auliael

Jogja, 13-10-2020  23.17  2252 words

(edited in Jakarta, 06-12-2022  12.14  2244 words)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro