Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15 | Runtuh

Hari-hari berlalu dengan lambat. Seperti biasa. Monoton. Apa sih yang bisa diharapkan dari tinggal di desa kecil nan terpencil seperti ini? Hal-hal yang bisa kau lakukan juga pasti setiap hari kau lakukan. Apalagi jika orang yang membuat hari-harimu seru tidak berada di sini.

Itu juga yang dirasakan Rengganis sejak Arga pergi. Seperti... Tidak ada lagi hal yang bisa membuatnya bersemangat. Ada harapan yang diam-diam tumbuh di hati Rengganis. Semoga Arga cepat-cepat pulang dan membawanya kemana saja. Rengganis pasti tidak akan bosan selama berada di dekat Arga.

"Nduk."

Tiba-tiba suara Adaka menyadarkan Rengganis yang melamun tanpa sadar. "Dalem, Romo?"

Adaka melangkah masuk dari ambang pintu rumah, membuat sebagian besar cahaya yang masuk terhalang . Mata Rengganis menyipit karena perubahan curah cahaya yang mendadak. Saat pupilnya telah beradaptasi, Adaka telah berdiri di hadapannya.

Kulit Adaka yang legam terbakar matahari berkilat karena keringat. Rengganis buru-buru bangkit. "Romo pasti lelah dari ladang. Duduk dulu, Rengganis buatkan wedang."

Pria paruh baya itu menurut. Ia melepas capingnya dan menggunakannya untuk kipas-kipas sementara Rengganis beranjak membuatkan minuman untuk ayah dan ibunya. Belum lagi tengah hari begini tumben mereka sudah kembali. Biasanya Rengganis yang harus menyusul ke sawah sambil membawa makan siang. Tapi Rengganis tidak ambil pusing sih.

Singkat saja dan Rengganis sudah kembali membawa dua gelas yang mengepul. Wangi khas rempah-rempah yang diseduh mengudara di sekitar mereka. "Wah, harum sekali wedang buatanmu. Wedang ibumu saja kalah," Adaka memuji sebelum ia meneguk isi gelas.

"Siapa yang barusan berkata wedang buatanku tidak enak ya? Huh, aku tidak akan mau membuatkan wedang buatnya lagi."

Tepat saat itu Gendhis masuk, tangannya menenteng daun-daun melinjo muda yang akan dimasak nanti. Mata ibunya melotot, membuat Adaka yang sedang minum tersedak.

"Tidak, tidak. Maksudku bukan seperti itu, Nduk..." Adaka kelabakan.

"Huh, awas saja Kakang menyuruhku membuat wedang lagi," Gendhis menyipitkan mata. Namun Rengganis saja tahu, ibunya hanya tengah menggoda sang ayah.

Namun berhubung Adaka adalah bucin Gendhis nomor satu, sedikit saja pelototan dan ancaman, dijamin ia pasti akan kelabakan.

Rengganis terkekeh saja. Interaksi kedua orang tuanya adalah salah satu hal yang sudah kenyang ia telan sejak belia. Adaka dan Gendhis adalah sepasang figur idamannya dalam menjalani sisa hidup.

Memiliki orang yang benar-benar mencintai dan menyayangimu dengan sepenuh dan setulus hati adalah hal yang diinginkan siapapun bukan?

Apakah nanti kehidupannya dengan Arga seperti itu?

Ah. Rengganis sih berharap seperti itu juga. Ia bahkan seolah bisa melihat dirinya terbangun pagi-pagi setiap hari, menyiapkan sarapan untuk Arga dan sosok-sosok belia yang mewarisi wajahnya dan Arga...

Hei! Stop! Rengganis refleks menepuk-nepuk jidatnya. Kenapa sih akhir-akhir ini ia suka membayangkan hal-hal seperti itu?

"Kenapa, Nduk? Apa kau sakit?"

Rengganis nyaris terlonjak saat Adaka menegurnya. "Eh, tidak kok, Romo."

"Lalu kenapa kau menepuk-nepuk kepalamu seperti itu?"

"Tadi ada nyamuk sepertinya. Ku tepuk-tepuk supaya mati," Rengganis sigap berkilah.

"Oalah." Adaka manggut-manggut, tidak memperpanjang urusan. Tentu saja Rengganis menghela nafas lega karenanya. Beruntung rumah mereka yang dikelilingi kebun membuat nyamuk jadi sebuah permasalahan yang biasa. Terima kasih nyamuk, kau sudah mau ku jadikan kambing hitam.

"Oh iya, Nduk. Tadi budhemu berpesan, katanya kalau kau ada waktu luang nanti datanglah ke rumah. Ada sesuatu katanya."

Jantung Rengganis... rasanya seperti hampir macet. Budhe? Menyuruhnya datang ke rumah? Rumah siapa? "Rumah budhe?" Rengganis memastikan.

"Memangnya rumah siapa lagi? Masa' rumah Arga?" celetuk Adaka sembarang. Pria itu sibuk lagi menyeruput wedangnya. Ia tidak sadar kalimatnya barusan membuat anaknya jadi menghalu lagi.

Hng.. Kalau rumah kakang Arga.. Berarti nanti rumahku juga dong?

Ah, sial. Kenapa sih otaknya tidak bisa diam?! Sungguhan Rengganis ingin menjedukkan kepala ke tembok.

"Baiklah. Nanti aku ke sana," putus Rengganis. Ia sampai tidak bertanya kenapa tidak Budhe saja yang kemari seperti biasanya.

Maksud Rengganis nanti itu nyatanya hanya seperempat bakaran dupa kemudian. Ia keburu tidak sabar mencari tahu kenapa Budhe menyuruhnya menemuinya.

Tak butuh waktu lama bagi Rengganis untuk sampai. Memang jarak rumahnya dengan rumah Arga tidak terlalu jauh. Bisa dibilang hanya sepelemparan batu. Ia mengetuk pintu, dan setelah Sekar menyuruhnya masuk, Rengganis mendorong pintu yang tertutup.

"Ada apa Budhe memanggilku?" Rengganis bertanya riang sambil mendekati wanita paruh baya yang tengah duduk di bale-bale ruang tengah. Rengganis diam-diam memandang sekeliling, berharap melihat sosok Arga yang biasanya berkeliaran di sini setiap ia berkunjung. Yah, walaupun ia tahu itu tidak mungkin.

Kakang ada di kotaraja. Sedang berusaha mewujudkan mimpinya supaya nanti mereka bisa menikah.

Aduh, berhenti, Rengganis!, gadis itu mengusir pikiran-pikiran yang membuat wajahnya memerah sedikit. Tepat saat itu langkahnya berhenti di samping bale-bale.

"Kemari, duduklah," Sekar menepuk sebelah, meminta Rengganis duduk dengan senyumnya yang keibuan. Sayang Rengganis sibuk menetralkan pikirannya hingga ia luput melihat kesedihan di balik raut wajah Sekar.

Rengganis patuh duduk di samping sang bibi. Ia mengamati dengan antusias saat wanita paruh baya itu mengambil sesuatu dari balik tubuhnya.

"Kakangmu menitipkan ini." Sekar mengangsurkan sebuah papan sedang berlapis kain. Meski bertanya-tanya, Rengganis memilih untuk mencari tahu sendiri dengan membuka kain selubungnya.

Dan serta merta mata Rengganis diserang rasa panas, berbanding lurus dengan dadanya yang diserbu rasa hangat.

Di atas papan itu ada gambar kasar lanskap kotaraja. Rumah-rumah besar, sebuah lapangan luas dengan pohon-pohon beringin di sekitarnya, serta dinding tinggi dari bata merah. Di belakangnya ada pegunungan yang berbaris bagai gigi. Itulah pegunungan Hyang. Indah sekali. Sangat indah.

Rengganis tahu hasil gambar Arga memang tidak pernah mengecewakan. Pemuda itu jelas mewarisi kelihaian Sekar dalam gambar menggambar. Menggambar asal saja bagus, ini...

Buncah perasaan Rengganis menatapnya. Tangan Rengganis bahkan gemetaran. Sketsa ini jelas dibuat Arga sepepenuh hati, terlihat dari gurat-guratnya yang detail dan tidak asal.

Seolah mengerti keponakannya tak mampu berkata-kata, Sekar berbaik hati menjelaskan. "Gambar itu dibuatnya sendiri. Berhari-hari ia menggambarnya. Dia harap kau menyukainya."

Ketika akhirnya butir pertama air terjun dari mata Rengganis, ia memeluk papan itu erat-erat. Siapapun yang menatap Rengganis saat ini pasti bisa melihat cahaya yang amat terang memancar dari mata jernihnya, begitu pun Sekar. Cahaya yang muncul dari perasaan yang amat kuat...

Hati Sekar benar-benar perih. Nduk, maafkan budhemu ini....

---------

Suasana hati Rengganis sepanjang sisa hari benar-benar baik berkat 'titipan' dari Arga. Tak henti-hentinya ia memandangi papan itu dengan hati hangat, sesekali menyusuri gurat yang memudar dengan ujung jari. Rengganis tak peduli jemarinya ikutan kotor karena residu arang.

Yang jelas ia bahagia.

Papan ini akan ia simpan baik-baik sampai tua nanti. Supaya nanti mereka bisa melihatnya berdua atau memamerkannya pada anak cucu mereka nanti.

"Nduk! Nduk!"

Suara ibunya yang mendadak memanggil mengejutkan Rengganis. Ia buru-buru meletakkan papan itu di atas dipan dan keluar. "Dalem, Ibu!"

Rengganis keluar dari kamarnya di belakang, menuju ruang tengah dimana suara ibunya berasal. "Ada apa, Ibu?" tanya Rengganis saat akhirnya ia sampai di depan orang tuanya. Adaka duduk bersandar, selonjoran ala bapak-bapak. Gendhis di sisinya, memijit-mijit kaki sang suami. Perlahan gadis itu duduk di samping mereka.

Adaka mengubah posisi duduknya saat Rengganis telah sempurna duduk. Begitu pula Gendhis. Rengganis sedikit heran, tapi ia sadar kalau sudah begitu ada hal penting yang akan disampaikan orang tuanya. Sekejap rasanya ada kupu-kupu beterbangan dalam perut Rengganis. Apakah.. Apakah Kakang Arga sudah matur kepada Romo? Apakah mereka akan menyampaikan lamaran itu kepadanya?

Kalau itu benar, sudah pasti jawaban Rengganis adalah iya!

Seperti kebiasaan bapak-bapak manapun setiap akan membuka sebuah forum penting, Adaka berdeham kecil.

"Nduk, putriku Kusuma Rengganis yang ku cintai." Adaka menatap Rengganis penuh kasih. "Tak terasa sudah beranjak dewasa putriku yang cantik. Sudah tumbuh menjadi gadis cerdas dan menawan putri yang dulu ku timang-timang. Kesayangan dan kebanggaan kami, dan selamanya akan selalu begitu, Nduk."

"Tapi aku dan ibumu, kami sadar masa adalah sesuatu yang tidak bisa kita lawan. Waktu yang selalu mengalir ke depan akan membawa putri kesayangan kami akhirnya pergi. Kau akan menjadi milik suamimu. Kau akan membangun sebuah keluarga sendiri, berpisah dengan kami. Tapi sekali lagi, kasih sayang kami tak akan putus meski kau telah berpisah dari kami."

Apakah Rengganis berlebihan jika ia mulai merasakan arus deras tengah berusaha menjebol pelupuk matanya? Ia tahu kemana ini akan mengarah. Ia juga berdebar-debar, menunggu nama Arga disebut ayahnya. Tapi kasih sayang ini... Adaka memang tidak pernah segan menunjukkan rasa cintanya kepada keluarganya. Tapi kalimat-kalimat ini baru sekali ini ia dengar.

Rengganis terlampau fokus pada dirinya sendiri sampai ia tidak sadar Gendhis tengah menahan isak yang hampir meluncur. Hati lembut wanita paruh baya itu sangat sakit. Ia tidak bisa membayangkan seberapa besar efek keputusan mereka bagi hidup Rengganis.

Tapi yang mereka mau hanya yang terbaik bagi Rengganis.

Harusnya Rengganis bisa mengerti, kan?

"Anakku tersayang," Adaka berhenti sejenak. Ah. Tenggorokannya seolah tersumbat. Lidahnya kelu. Ia tahu ia seolah sedang membawa bom besar yang pasti meluluhlantakkan Rengganis. Tapi.. Ini yang terbaik yang bisa diusahakannya. "Telah datang sebuah lamaran untukmu sejak lama. Dan kami dengan penuh pertimbangan memutuskan untuk menerimanya."

Sampai situ Rengganis mulai sedikit bertanya-tanya. Lama? Ah. Tapi lamaran Arga kepadanya juga sudah cukup lama. Sudah ada sebulan lebih. Rengganis menenangkan hatinya yang merasa sedikit terganjal.

"Lusa, pihak keluarga pria akan datang kemari. Persiapkan dirimu," ucap Adaka.

Rengganis memberanikan diri mengangkat wajah, menatap ayahnya. "K-kalau Rengganis boleh tahu, siapa lelaki itu, Romo? Siapa pria yang berhasil membuat Romo menerimanya dengan mudah, bahkan tanpa mempertanyakan persetujuanku?"

Sungguh. Kalau jantung Rengganis adalah alat musik, sudah pasti dentamnya sudah bisa digunakan mengiring sebuah pertunjukan tari.

Rengganis pun tidak tahu betapa berjuangnya Adaka menahan sumpalan di lehernya supaya ia bisa berbicara sambil lalu saja. "Putra Ki Benowo, kepala desa sebelah. Romo menerima lamarannya."

Kalimat itu butuh waktu amat lama untuk diproses telinga Rengganis. Tunggu dulu. Putra Ki Benowo? Bukan.. Bukankah yang melamarnya Arga? K-Kenapa jadi Putra Ki Benowo?

Saking banyaknya pertanyaan yang meledak, Rengganis tak bisa berkata-kata. "B-Bukan Kakang Arga?" tanpa sadar ia bertanya lirih.

Adaka menelengkan kepala. "Apa, nduk?"

Rengganis mengerjapkan mata. Seluruh tubuhnya panas, namun yang paling panas adalah matanya. Pada saat bulir-bulir bening telah menganak sungai di pipinya, Rengganis menatap Adaka terluka. "Romo, Romo seharusnya tidak menerima lamaran itu. Kakang Arga sudah melamarku duluan!"

"Arga? Melamarmu?" sungguh, Adaka lebih terima diperintahkan maju sendirian ke garis depan musuh saat perang dibandingkan melihat luka yang jelas-jelas terlihat di mata Rengganis. "Kapan? Kenapa ia tidak bilang langsung kepadaku?"

Dusta. Itu adalah kebohongan. Adaka mengepalkan tangan diam-diam. Maafkan Romomu ini, nduk. Sakit sekali. Hyang Widhi, kenapa Engkau membuatnya harus menggores luka di hati putri kesayangannya? Namun sebuah usapan lembut turun di bahu Adaka. Pria itu menoleh dan menemukan sorot sedih namun teguh dalam tatapan istrinya.

Tapi kedua manusia itu sadar kalimat Adaka betulan sudah meruntuhkan segala istana harapan milik Rengganis.

Kusuma Rengganis, putri mereka yang riang dan ceria mulai hari itu kehilangan kebahagiaannya.

-------------

Pare, 16 Desember 2021

auliael

1726 words

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro