Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14 | Kedua?

Semilir angin tengah malam adalah satu-satunya yang menemani Sana malam ini. Pergerakan bulan yang timbul tenggelam di balik awan-awan yang bergerak malas menunjukkan hampir tengah malam. Seharusnya siapapun sudah lama terhanyut dalam arus mimpi. Tapi malam ini mata gadis itu sulit sekali terpejam hingga akhirnya ia memutuskan untuk diam-diam berjalan-jalan di taman samping keputren.

Mungkin perasaannya lah yang membuat pikiran Sana enggan beristirahat, yang akhirnya mempengaruhi daya sadarnya pula. Tanpa sadar ia menghela nafas dan langkahnya berhenti. "Sana, berhenti memikirkan hal itu, ku mohon..." Sana memijat pelipisnya, berdialog dengan diri sendiri dan berharap sugestinya berhasil membuat otaknya berhenti berputar.

Tapi tidak bisa.

Cerita Arga tadi sore telah berhasil membawa perasaan Sana teraduk-aduk. Betapa malangnya pangeran muda itu. Kisah cintanya dengan si gadis bernama Rengganis.. Siapa gadis yang tidak ingin dicintai sedalam itu? Dari tatapan Arga yang terus menerus menerawang sepanjang percakapan mereka sore tadi saja Sana bisa menandai betapa besarnya perasaan Arga. Betapa Arga mencintai Rengganis. Satu-satunya orang yang membawa dunia Arga bersamanya.

"Aku dan Rengganis sudah bersama sejak kami masih anak kecil yang murni dan tak tahu apa-apa. Kami tumbuh bersama. Mengalami banyak hal bersama. Kami berdua saling menopang, saling menguatkan," jeda. "Aku sendiri yakin aku tidak akan bisa berada di sini sekarang jika bukan karena Rengganis," otak Arga memutar sebuah kenangan. Ada satu waktu dimana kematian telah begitu dekat dengan Arga, dan Rengganis yang masih amat belia berhasil menyelamatkannya. Itu kisah yang amat heroik.

"Entah sejak kapan kami saling memendam perasaan. Aku punya banyak pertimbangan dan ketakutan, meski sejujurnya aku merasa Rengganis pun merasakan hal yang sama. Namun aku tidak pernah berani mengungkapkannya dengan kata-kata. Aku berharap dia bisa melihat perbuatanku dan menyadarinya lebih dulu. Tapi apa sih yang bisa ku harapkan dari Rengganis yang tidak peka?" seulas senyum tipis menarik sudut bibir Arga. Sorot matanya lembut sekali, sampai-sampai Sana iri betulan pada gadis yang tengah diceritakan Arga.

"Sampai akhirnya Paman membawa kabar seleksi prajurit di kotaraja telah dibuka," sampai sini nada Arga berubah pahit. "Aku.. Dengan tololnya mengiyakan. Keberangkatan kami tinggal beberapa hari, namun aku tidak bisa meninggalkan Rengganis begitu saja tanpa bicara. Siapa yang tahu apa yang akan ku alami di medan perang? Bisa saja aku mati. Dan kalau itu terjadi, sungguh bodohnya aku. Maka aku mengajak Rengganis pergi ke puncak Argopuro. Di sana aku melamarnya."

Sana merasa isi dadanya diremas saat mata Arga.. Seolah kosong dan hampa. "A-Apakah dia menolak Anda?" tanya Sana ragu-ragu.

Arga spontan menoleh. "Menolakku?"

Sana seketika mengutuki mulutnya. Bagaimana dia bisa bicara kurang ajar begitu?!

"E-eh, maaf, Pangeran. H-Hamba tidak bermaksud--"

"Dia tidak pernah menolakku. Kami sudah memendam perasaan yang sama bertahun-tahun, ternyata," potong Arga. Ia bahkan tidak memedulikan keformalan Sana lagi. "Hari itu dan sepanjang perjalanan kembali ke desa, aku merasakan kebahagiaan yang belum pernah kurasakan seumur hidup. Tapi kini aku tidak lagi punya kebahagiaan yang tersisa. Dan kurasa kau tahu kenapa."

Kemudian hening. Arga kembali diam. Pun sama, Sana juga tidak tahu harus menanggapi bagaimana.

Sebagai manusia yang belum pernah jatuh cinta, Sana tidak mengerti apa yang harus dilakukan untuk menghibur orang yang putus cinta. Tapi karena ia melihat betapa senyum Arga hanya muncul saat menceritakan sosok Rengganis, Sana nekat saja bertanya. "Seperti apa Rengganis, Pangeran? Apakah Anda berkenan menggambarkannya pada saya?"

Benar saja. Mendung di wajah Arga pupus dengan cepat seperti awan tertiup angin. "Hm.. Bagaimana Rengganis ya? Dia adalah salah satu gadis paling bersinar yang pernah ku lihat seumur hidup. Bahkan sepupu-sepupuku di sini tidak ada yang bisa menandinginya." senyum tipis sekali lagi muncul. "Ia cerdas, kuat, mandiri. Ia bisa menembak menjangan lebih cepat daripada aku mengayunkan pisau terbang. Ia bisa menghajar maling yang masuk ke rumahnya seorang diri sampai babak belur saat ayahnya sedang pergi. Ia pandai meramu obat..."

Sana terus mendengarkan kalimat demi kalimat Arga dengan seksama. "Hebat sekali. Bisakah Anda menggambarkan bagaimana sosok Rengganis, Pangeran? Saya sungguh penasaran. Semoga suatu saat saya bisa bertemu dengannya."

"Rengganis tak seberapa tinggi. Tingginya hanya segini," Arga menyentuh bahunya. "Tubuhnya langsing. Kulitnya kuning sedikit coklat karena biasa terkena matahari. Matanya coklat, berbinar-binar cerdik namun jahil. Rambutnya bergelombang, ikal mayang sepanjang punggung. Rengganis suka sekali menggelung rambutnya setengah dan menggerai sisanya. Dan.. Oh iya. Ia hampir mirip denganmu. Saat pertama kita bertemu, ku pikir kau adalah Rengganis. Makanya aku kaget sekali."

"Benarkah?" Sana menelengkan kepala. Mata jernihnya berbinar. "Wah, sungguh kebetulan!"

"Tapi seperti ku bilang, dia berkulit coklat dan tangannya jauh lebih kasar darimu karena terbiasa bekerja dan memegang senjata."

Dari percakapan mereka tadi, Sana bisa menyimpulkan Arga benar-benar secinta itu pada Rengganis. Hati Sana benar-benar tersentuh. Seumur hidupnya yang masih seumur jagung, belum pernah ia mendengar secara langsung kisah asmara yang begitu murni seperti kisah Raden Inu Kertapati dan Dewi Candra Kirana.

Namun sekali lagi fakta bahwa Yang Mulia Raja telah menetapkan Arga sebagai pasangan Tuan Putri di masa depan... Hati Sana berdenyut nyeri. Ia benar-benar ikut berduka. Pantas saja pemuda itu akhir-akhir ini sedikit aneh.

Ah. Kalau saja ia bisa melakukan sesuatu... Sana tanpa sadar melirik ke arah keputren yang telah gelap. Tapi sekali lagi Sana tersadarkan oleh kenyataan bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Gadis itu menatap langit. "Hyang Widhi, bisakah aku melakukan sesuatu?" gumamnya lirih.

Tanya Sana hanya dibalas goyangan angin yang semakin dingin.

---------------

Pagi telah beranjak siang di kaki Pegunungan Hyang. Kehidupan telah dimulai sejak pagi buta. Begitu pula dalam rumah kecil keluarga Adaka di desa.

Cahaya matahari yang redup menembus celah-celah atap dan dinding kayu, mencipta larik-larik tipis di dalam ruang tengah, tempat Adaka tengah memandangi gulungan daun lontar yang ia terima hari ini, utusan Ki Benowo mengantarkannya pagi-pagi sekali.

Pekan kemarin sesampainya ia di desa, Adaka segera mengirim surat berisi pertanyaan mengenai lamaran Ki Benowo untuk putranya, dan pagi ini ia menerima balasannya. Ki Benowo memohon maaf dalam suratnya, menyatakan bahwa putra yang ia maksud telah menikahi gadis lain karena Adaka terlalu lama memberi jawaban. Namun jika Adaka masih menginginkan pernikahan ini, Ki Benowo dengan kerendahan hati menerima Rengganis sebagai menantunya, sebagai istri kedua dari putra satu-satunya.

Adaka menengadah, menghembuskan nafas keras-keras dari mulut. Ah, ia tidak pernah membayangkan dalam mimpinya sekalipun Rengganis akan menjadi istri kedua seseorang. Rengganis jelas tidak pantas menjadi sekedar istri kedua yang posisinya jauh lebih lemah daripada istri tua.

Tapi ia tidak punya pilihan. Ia dikejar waktu. Jangan sampai Rengganis mendengar kabar pernikahan Arga terlebih dahulu.

Jangan sampai ia tahu Arga batal menikahinya.

"Ada apa to, mas? Kenapa Kangmas tampak sangat tertekan?" tiba-tiba Gendhis Ayu muncul di belakang Adaka, membawa segelas wedang jahe untuk menghangatkan diri. Hari ini awan mendung menutupi cerahnya sinar mentari, meninggalkan petak desa mereka remang-remang. Meski begitu, tadi sejak matahari belum terbit Rengganis dan beberapa gadis desa yang magang di balai pengobatan desa sudah pergi ke 'hutan mencari bahan-bahan obat-obatan hingga rumah mereka sepi.

Adaka menatap Gendhis Ayu sedih. "Aku memikirkan Rengganis." jawab Adaka. Ia mengusapkan tangan ke wajah, menyugar rambutnya yang dihiasi banyak helai berwarna putih. Uban pria paruh baya itu seperti bertambah drastis seminggu terakhir, begitu pula kerutan-kerutan di dahinya, menandakan betapa banyaknya beban yang dibawa Adaka sepanjang pekan.

Gendhis Ayu duduk disamping Adaka, di atas dipan mereka. Lembut ia memijat bahu Adaka yang tegang. Bukannya Gendhis Ayu tidak tahu sejak kepulangan Adaka dari kotaraja ia seperti memendam sebuah beban berat, namun ia belum bertanya karena waktunya belum tepat.

Pagi ini mungkin Adaka mau menceritakan masalahnya kepada dirinya.

Adaka menggenggam tangan Gendhis Ayu yang berada di bahunya. "Berjanjilah untuk tidak menangis dan mengatakan apapun pada Rengganis." pinta Adaka.

Gendhis Ayu mengerutkan kening. Ada apa gerangan? Tumben sekali Adaka memintanya merahasiakan masalah dari Rengganis?

Gendhis mengangguk saja, mengiyakan permintaan Adaka. Melihat anggukan Gendhis, Adaka menghela nafas lagi. Entah untuk keberapa kalinya. Kali ini melihat Adaka menghembuskan nafas berkali-kali untuk menenangkan hati, Gendhis Ayu langsung merasakan firasat buruk.

"Kemarin Arga nembung ingin menikahi Rengganis," kata Adaka. "Aku menyetujuinya."

Gendhis menelengkan kepala. "Kalau begitu apa masalahnya? Bukankah memang yang Kangmas dan Mbakyu Sekar inginkan seperti itu? Bukankah Rengganis juga sangat menyukai Arga?"

Adaka menelan ludah di tenggorokannya yang tercekat mendengarkan kalimat istrinya. Sepertinya bukan cuma dia yang merasakan betapa dalamnya perasaan Rengganis pada kakak sepupunya itu. Ia berdeham, menghilangkan kekeluan yang melanda lidahnya untuk sesaat. "Masalahnya, sesampainya kami di istana, Raden Manggala baru memberitahuku kalau Gusti Raja akan memberi dekrit kepada Arga."

Gendhis berfikir sejenak. Sebagai putri seorang bangsawan, meski bangsawan rendahan saja, ia paham bagaimana cara dekrit raja bekerja. Dekrit itu bisa berisi apa saja. Bisa perang, hadiah, penugasan, ketetapan, dan lain-lain. Tapi kalau Adaka sampai sekalut ini mengetahui dekrit raja untuk Arga..

Apakah dekrit itu berisi perjodohan?

Ia sejenak terkesiap dengan dugaannya. "A-apa dekrit itu adalah dekrit perjodohan?" tanya Gendhis, tergagap.

Adaka menatap istrinya yang menebak jitu apa isi dekrit itu. Kecerdasan istrinya adalah salah satu hal yang sangat dikagumi Adaka hingga ia tidak perlu banyak-banyak menjelaskan. Nelangsa, Adaka mengangguk pelan, membenarkan jawaban Gendhis.

Gendhis betulan terkejut saat Adaka mengangguk. Astaga. Kalau begitu lamaran Arga pada Rengganis otomatis batal. Pernikahan yang diidam-idamkan anak semata wayangnya akan menjadi wacana belaka. "Siapa?" Gendhis Ayu menatap suaminya penuh tanya, maksudnya siapa yang dijodohkan dengan Arga.

Jika gadis itu bangsawan, dari kasta ksatria, bagaimanalah Rengganis bisa bersaing dengannya? Gendhis saja hanya seorang ksatria rendahan yang terusir karena berkeras menikah dengan Adaka yang sudra..

Sungguh mulut Adaka rasanya berat sekali menyebut calon istri Arga. Ia menyadari betul betapa jauhnya Rengganis mereka dengan Tuan Putri, calon ratu masa depan Tarangga. "Siapa dia, Kangmas?" Gendhis memaksa Adaka.

Adaka memejamkan mata. "Putri Mahkota, Dyah Kinendraduhita." Ia memaksa lidahnya yang kelu untuk menyebut nama gadis itu. Sebelumnya ia tidak memiliki perasaan apapun pada putri mahkota selain hormat dan segan. Namun kini setelah perjodohan itu terbentuk, ia mulai membenci gadis itu, meski sebenarnya bukan salahnya kalau Gusti Raja menjodohkannya dengan Arga.

Ini hanya salahnya yang membiarkan rasa cinta pada Arga tumbuh subur di hati anaknya.

Tangan Gendhis Ayu menutup mulutnya yang terbuka. Yang dijodohkan dengan Arga adalah putri mahkota? Gadis yang merebut posisi putri mereka disisi Arga adalah anak kesayangan gusti raja?

Mendadak Gendhis dilanda tremor. Tubuhnya gemetar, tak percaya pada pendengarannya. Hatinya mulai menjerit nestapa, masih belum bisa menerima betapa cepatnya perubahan nasib menimpa putri mereka.

"Aku berencana menerima lamaran Ki Benowo untuk putranya." Adaka melanjutkan, berhati-hati karena dilihatnya Gendhis masih syok sekali. "Tapi.." suara Adaka memelan. "Rengganis hanya akan menjadi istri kedua.."

Sungguh Gendhis ingin pingsan mendengarnya.

Putri mereka yang cantik dan cerdas menjadi istri kedua?

Bahkan mimpi pun ia tidak pernah.

Tanpa disadari, wajah wanita paruh baya itu telah basah. "Ka-Kangmas.. Kenapa takdir langit begitu kejam pada putri kita?" sesunggukan Gendhis bertanya. Namun sama, Adaka juga tak mampu menjawab pertanyaan itu.

Sementara kedua orangtuanya tengah merasa nelangsa, di hutan Rengganis tengah sibuk memetik dedaunan semak di hadapannya, memilah-milah mana daun yang baik untuk dikeringkan dan dijadikan obat, mana yang sebaiknya tidak dipetik karena cacat. Disisinya ada Miratih, teman kecilnya yang sama-sama magang di balai pengobatan. Meski tampaknya fokus, diam-diam keduanya asyik mengobrol.

"Jadi kakang Arga sudah melamarmu?" tanya Miratih antusias, berbisik dengan suara lirih sekali hingga yang bisa mendengar hanya Rengganis saja.

Rengganis mengangguk malu-malu. Aduh, diingatkan soal lamaran Arga masih saja membuatnya tersipu-sipu seperti anak gadis yang sedang kasmaran. Walaupun memang Rengganis masih kasmaran sih.

"Iya. Tapi aku tidak tahu sudahkah Kakang matur kepada Romo.." Rengganis balas berbisik.

"Wah, selamat." Miratih menatap Rengganis berbinar-binar. Ia benar-benar turut bahagia untuk sahabatnya. Akhirnya dua orang ini sama-sama menyadari perasaannya. Sejak dulu Miratih memang geregetan sekali dengan sepasang sepupu yang saling menyukai tapi terjebak kakak adik-zone itu.

Jika diingat kembali, sepertinya Miratih adalah orang yang pertama kali menyadari ada sesuatu yang 'berbeda' dalam interaksi Arga dan Rengganis. Ya, berhubung mereka seumuran, sudah berteman dan terbiasa bermain bersama sejak kecil, Miratih bisa dibilang melihat secara langsung perkembangan Rengganis dan Arga, baik secara fisik maupun perasaan mereka.

Meski terlambat bertahun-tahun, Miratih senang akhirnya perasaan mereka bisa bersatu.

Rengganis tersipu, "Halah, aku saja belum menikah sudah diselamati. Lagipula, aku yang seharusnya memberimu selamat. Kau sedang mbobot*, kan?" ia berusaha mengalihkan topik. Rasanya wajahnya sudah semerah buah mahkotadewa yang busuk.

Miratih tertawa pelan. "Hei, ini kan hanya kehamilan biasa. Toh juga ini akan jadi anak ketiga.."

"Wah gila. Kamu sudah hampir punya anak tiga, aku menikah saja belum.." canda Rengganis.

Keduanya tertawa akibat kelakar Rengganis. "Ku sih terlalu setia menunggu Kakang Arga. Coba kalau kamu dulu mau menerima pemuda-pemuda yang menyukaimu. Mungkin sekarang kamu malah sudah punya anak empat.." kelakar Miratih.

Rengganis menggeleng, "Tidak. Di hatiku hanya ada Kakang saja. Kalau tidak dengan Kakang, aku lebih baik sendiri." katanya.

"Hus, jangan bilang begitu." Miratih menampar lengan Rengganis pelan. "Nanti kalau Hyang Widhi mendengar lalu dikabulkan bagaimana?"

"Maka biarkan terjadi." ucap Rengganis mantap.

Miratih geleng-geleng melihat sikap kawannya. Siapa yang berani berkata seperti itu selain Rengganis? Untung saja ia sudah terbiasa melihat sikap ceplas ceplos Rengganis yang begini. Coba kalau dia berkata seperti itu didepan orang lain, mungkin mereka sudah mengatai Rengganis gila.

Rengganis sendiri hanya berkata sekenanya saja.

Satu hal yang tidak Rengganis sadari. Setiap kalimat dalam hidup kita tidak pernah hilang. Ia hanya akan berputar-putar dalam kungkungan semesta dan menunggu waktu untuk termanifestasi.

Rengganis hanya belum sadar.

-----------

Pare, 14 Desember 2021

auliael

2159 words

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro