Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12 | Keputusan

Huhuy, welcome back me to this work! Maap ya sekian lama tergantungkeun. Maklum mood ini naik turun bagai roller coaster. Monggo, enjoy your read~

----------

Manggala menatap istrinya. Ada rasa tidak rela dan sedih membayang dalam tatapannya. "Diajeng, kau yakin hendak kembali ke desa?" tanyanya sekali lagi pada Sekar yang mengemasi semua barangnya.

Ah, tidak semua. Yang dibawa wanita itu hanya baju-baju sederhana dan barang yang memang ia bawa dari desa. Semua baju-baju dan perhiasan yang ia berikan ketika Sekar datang ke istana sama sekali tidak ia sentuh.

Sekar mengangguk tanpa kata. Matanya masih menyisakan sembap yang begitu kentara di wajahnya yang pucat. Hidungnya bahkan masih merah.

Melihat kondisi Sekar seperti itu, mana bisa Manggala mengizinkannya pergi?

Tapi Sekar tetaplah Sekar Mirah yang keras kepala. Sekali ia punya keinginan tidak ada yang bisa mengubahnya.

"Kenapa begitu mendadak?" Manggala tak menyerah walau tak mendapat respon dari istrinya. "Diajeng?"

Sejujurnya Sekar tidak ingin berbicara atau air mata yang ditahannya akan meluncur jatuh kembali. Tapi ia tidak tega melihat betapa mengibanya ekspresi Manggala. "Aku.. Aku tidak sanggup melihat putraku-" belum saja kalimatnya selesai, tangis Sekar pecah lagi.

Manggala langsung menarik Sekar dalam pelukannya. "Diajeng.." hati Manggala bagai dipecut melihat deras air mata istrinya. "Nduk, maafkan aku tidak bisa mencegah keinginan kanda prabu.. Maafkan aku tidak memberitahumu.. Ini semua salahku.." perlahan namun pasti air mata pun mulai menggenangi mata sang senopati.

Semua ini ia tanggung sendiri atas sumpahnya pada sang raja untuk tidak mengatakan rencananya pada siapa-siapa. Manggala boleh saja kejam di medan perang, tapi ia tidak akan melanggar sumpahnya sendiri. Sama seperti Adaka, Manggala terlampau ksatria untuk mengingkari sebuah janji.

Ingatan Manggala kembali memutar memorinya, waktu ia harus menghadap sang kakak.

Siang itu tak biasanya Prabu Sang Surawardhana memanggilnya. Kabar yang beredar ia tengah kurang enak badan. Kalau begitu kenapa ia yang dipanggil, bukannya tabib? Apalagi pesan Ki Sedajantra supaya ia datang secepatnya tanpa diketahui orang lain.

Firasat Manggala sudah tidak enak.

Ruang pribadi raja adalah salah satu tempat terindah dalam kompleks istana. Luasnya mungkin seperti dua paviliun Arga dijadikan satu. Dindingnya terbuat dari kayu jati berukir halus, diwarnai dengan warna warni cerah, -Manggala tahu sang kakak dulu mengimpor pewarna-pewarna khusus dari berbagai pedagang asing-. Di dindingnya tergantung hewan-hewan eksotis hasil perburuan raja yang diawetkan dengan teknik khusus. Segala perabotnya berasal dari berbagai daerah, seperti ranjang kayu jati super besar dari Jepara, kelambu sutera dari Dinasti Ming beserta guci-guci antiknya. Permadani yang terhampar di atas lantai kayu pun menguarkan aroma negeri jauh bernama Persia. Dan jangan lupakan segala mas raja brana yang menyepuh sudut-sudut ruangan.

Terima kasih atas selera mahal sang raja sejak muda untuk menyulap kamarnya menjadi salah satu ruangan paling penuh harta di istana Tarangga.

Ketika Manggala masuk ke sana, sang kakak tengah berbaring di ranjangnya. Hanya ada Ki Sedajantra di sudut ruangan, berjaga-jaga. Ki Sedajantra menyembah tanpa suara, dibalas anggukan oleh Manggala. Pria paruh baya yang masih tampan itu mendekati ranjang. "Kanda.." sapa Manggala.

Mata sang raja perlahan terbuka. "Kau sudah datang.." gumamnya lemah. Wajahnya pucat dan Manggala bisa melihat pelipisnya berkedut-kedut tanda tengah menahan rasa sakit yang luar biasa, namun ia masih berusaha tersenyum pada adiknya.

Sejenak Manggala termangu. Sejak kapan kakaknya terlihat setua ini? Kakanda Jayendra yang diingatnya adalah sosok yang penuh senyum, bugar dan awet muda. Bagaimana bisa waktu sebentar saja berhasil mengambil vitalitasnya?

"Kau terlihat tua." ucap Manggala tanpa tedeng aling-aling.

Jayendra ingin tertawa, tapi yang keluar hanya suara lirih yang lebih mirip sengal. "Bisakah kau sedikit lebih sopan? Aku ini kakakmu dan jelas lebih tua darimu."

Manggala mengangkat bahu, namun cengiran di wajahnya membuat Jayendra terkenang masa lalu, ketika mereka masih sangat muda dan bebas berkejaran di tamansari tanpa perlu peduli urusan orang lain. "Maaf, tapi aku hanya sedang berusaha membuatmu jadi muda lagi. Sepertinya akhir-akhir ini kau jarang tertawa jadi kau kelihatan setua kakek-kakek."

"Bukannya aku memang sudah pantas menjadi kakek?"

Manggala menatap Jayendra penuh perhitungan. "Hm, betul juga. Kalau begitu perintahkan saja Sindhupala segera menikah. Dia memang sudah masuk usia menikah."

Jeda sejenak karena sang raja terbatuk. Batuknya lama, sampai Manggala merasa perlu mengulurkan sapu tangannya. Jayendra menolak, masih tetap terbatuk selama beberapa saat. Ki Sedajantra hendak mendekat juga, tapi Jayendra melambai, memerintahkan Ki Sedajantra tetap berada di tempatnya. Akhirnya Manggala hanya bisa memandangi saja sampai Jayendra selesai batuk.

Segalanya mungkin biasa saja kalau saja tak ada sisa lelehan darah di bibir Jayendra.

"Kanda! Kau batuk darah!" Manggala kaget. Sigap ia mengulurkan sapu tangannya untuk menyapu sisa darah di sudut bibir Jayendra. "Hyang Widhi!" mata Manggala semakin lebar melihat noda darahnya begitu pekat, merahnya hampir berwarna kehitaman. "Bagaimana bisa kau tidak pernah memberitahuku, kanda?" tatapan Manggala menuntut penjelasan.

"Tenang, Manggala. Tenangkan dirimu dulu." alih-alih gentar oleh wajah beringas Manggala, Jayendra justru tampak tenang. Seolah ia memang sudah berencana membiarkan Manggala tahu.. Hari ini.

"Bagamana aku bisa tenang kalau kau batuk-batuk sampai begini di depan mataku?!" Manggala nyaris meraung kalau saja wajah kalem sang kakak tidak membuatnya curiga. "Atau.. Kau memang sudah berniat menunjukkannya kepadaku?"

Jayendra tersenyum muram. "Pada akhirnya, di sini aku hanya bisa percaya padamu dan Sedajantra saja." hanya begitu, dan Jayendra seolah tenggelam dalam pikirannya.

Manggala mengerjap, berusaha memahami clue yang diberikan Jayendra. "Kanda, kau.. Sakitmu ini.. Karena racun?" walau Manggala tak sepandai Jayendra di bidang logika, ia masih bisa menebak dengan benar.

Jayendra sekali lagi tertawa muram. "Kurang lebih begitu."

Manggala terperangah. "..bagaimana bisa?"

Jayendra menggeleng. "Aku pun tidak sadar. Kalau bukan karena Sedajantra curiga dan memanggil salah satu tabib terkenal dari luar Tarangga, pasti tidak akan ada yang tahu kematianku adalah sebab racun.."

"Kau tidak boleh berkata seperti itu!" Manggala memasang wajah tak setuju. "Kau akan sembuh dan harus sembuh. Tarangga masih membutuhkanmu."

Jayendra tersenyum tipis yang segera dijeda oleh batuk lagi. Manggala sabar menunggu hingga sang kakak selesai. "Tapi tetap saja, Manggala. Manusia tidak pernah tahu kapan kematian akan menjemput." ujar Jayendra. Tatapnya menerawang, seolah mampu menembus sekat kayu yang tengah mengelilingi mereka menuju apa yang disebut tak terbatas oleh manusia. "Aku sudah.. Mempersiapkan diri, kalau sewaktu-waktu Yamadipati akan menjemputku. Tapi aku belum bisa mati dengan tenang kalau aku meninggalkan Tarangga tanpa pewaris yang kuat."

Meski tidak setuju dengan ucapan Jayendra yang bagai orang putus asa, Manggala harus setuju mengenai pandangan Jayendra. "Ku lihat Sindhupala akan cukup kuat untuk membantu adiknya mengurus pemerintahan." kata Manggala hati-hati.

"Ku rasa begitu. Tapi Kinendra butuh orang lain sebagai penyeimbang.. dari pengaruh Sindhupala." Jayendra menatap Manggala penuh maksud. Ada sendu membayang dibaliknya. "Kau pasti paham apa maksudku."

Manggala mengangguk pelan, teringat karakter Sindhupala. Manggala sendiri tidak bisa disebut dekat dengan putra sulung Jayendra. Ia lebih banyak tinggal di medan perang daripada istana, jadi sudah lama sekali ia tidak mengikuti perkembangan anak-anak kakaknya.

"Maka dari itu. Aku butuh seseorang yang netral untuk mendampingi Kinendraduhita." Jayendra memasang wajah serius. "Dan aku sudah menemukannya."

"Oh, ya? Siapa?"

"Dia.." sang raja menatap adiknya dalam-dalam. "Kaesang Arganendra. Putramu."

"APA?!" Manggala tahu seharusnya ia tidak bereaksi sekeras itu pada kakaknya yang tengah sakit, tapi keterkejutan tengah purna menyelubunginya sampai ia melupakan tatakrama. Bagaimana Jayendra bisa tahu.. Tidak. Itu pertanyaan konyol. Tentu saja sebagai penguasa Tarangga ia punya informan dimana-mana. Sesaat Manggala mengutuki diri sendiri karena meminta Arga dan Sekar tinggal lebih lama di istana.

Harusnya ia tahu akan ada lebih banyak masalah setelahnya.

"Maafkan aku, kanda. Tapi ku rasa Arga masih terlalu muda untuk menikah." akhirnya Manggala berhasil menguasai diri lagi.

Jayendra sudah menduga Manggala akan menolak idenya mentah-mentah. Tapi ia sudah menyiapkan amunisi. "Aku tidak berkata mereka akan menikah secepatnya. Jalannya menjadi senopati Tarangga masih sangat panjang. Kau sendiri baru bertemu dengannya. Tentu saja ada banyak hal yang ingin kau turunkan padanya, termasuk ilmu kanuragan dan ajian yang kau miliki."

Manggala dalam hati sekarang : bingung level maksimal. Dewata, apa-apaan dengan 'jalannya menjadi senopati Tarangga' dan 'menikah secepatnya'?

Aduh, kalau begini bagaimana caranya menolak?!

"Kanda benar. Ada banyak sekali hal yang harus ku ajarkan kepadanya. Jadi ku rasa sebuah ide yang buruk untuk menjodohkan Arga dengan Kinendra."

"Tapi aku melihat potensi teramat besar dalam diri putramu. Ia cerdas, ku rasa aku harus berterima kasih pada istrimu karena kepandaiannya jelas menurun darinya. Ilmu kanuragan dan senjatanya mumpuni. Dia juga bisa baca tulis, itu adalah hal yang sangat bagus untuk memulai."

"Tapi yang paling menonjol darinya adalah sikap ksatria, ketegasan, dan kemurnian hatinya.. Aku belum pernah menemukannya dalam diri pangeran-pangeran negeri lain yang pernah ku temui." sumpah mati, Manggala betulan dibikin mati kutu ketika Jayendra -untuk pertama kalinya seumur hidup- menatap Manggala penuh permohonan. "Dengan itu, aku yakin ia bisa menjadi penasehat yang baik untuk Kinendraduhita nantinya."

"Bagaimana?" Jayendra bertanya.

Manggala betul-betul berada dalam dilema. Di satu sisi, ia tahu betul Arga tidak nyaman tinggal di istana. Anak itu diam saja sih, tapi Manggala tidak sebegitu bodohnya juga sampai tidak sadar gestur tidak nyaman yang tampak dari sikap Arga. Di sisi lain, ia tahu Jayendra akan terus terusan mengejar Arga.

Semakin lama, semakin banyak alasan yang membuat Manggala bagai diganduli beban berton-ton.

Akhirnya, Manggala hanya bisa menjawab, "Beri aku waktu untuk memutuskannya." sebelum akhirnya pamit dan beranjak keluar.

"Manggala,"

Manggala berbalik lagi. "Ya?"

"Berjanjilah untuk tidak pernah mengatakannya pada siapa-siapa." ucap Jayendra serius. "Sekarang ini siapa kawan siapa lawan, kita tidak tahu. Lebih baik berjaga-jaga."

Sedikit bagian dalam dirinya ingin menyangkal. Dari siapapun yang ada di istana, Sekar dan Arga sendiri tidak mungkin menjadi musuh. Mereka sama sekali tidak tahu intrik istana. Tapi toh pada akhirnya Manggala mengangguk juga. "Baiklah."

"Kalau begitu pergilah. Ku harap kau tidak mengecewakanku." Jayendra berkata ringan, seakan itu hanya sebuah kata-kata tak bermakna. Namun Manggala tahu lebih baik.

Sang kakak tengah mengancamnya.

"Maafkan aku, diajeng. Maafkan aku." berkali-kali Manggala mengecup puncak kepala Sekar, sementara Sekar masih saja sesunggukan. Sisi keibuannya tak tahan mengingat betapa hancurnya Arga karena dekrit itu, tapi ia harus kembali. Ia tak bisa berhenti mengingat kata-kata Arga kemarin malam.

Sekar terduduk lemah menghadap pintu ganda yang tertutup rapat. Matanya merah, dadanya sesak. Tapi yang lebih sakit adalah hatinya. Raut wajahnya lugas menunjukkan betapa hancurnya dia meski remang cahaya oranye dari obor-obor di selasar tidak memberikan cukup penerangan dalam gulita.

Sejak kembali dari pisowanan, Arga mengurung diri di kamarnya. Enggan bertemu siapa-siapa, bahkan pada Sekar yang seketika berlari ke paviliun Arga begitu kabar dekrit itu sampai di telinganya sore hari.

Sekar tak peduli pada prajurit-prajurit Manggala yang serba salah melihatnya terduduk dan menangis berjam-jam di depan kamar putranya. Hendak melapor pada Manggala tapi Sekar telah mengancam akan memberi hukuman pada siapa pun yang berani memberitakan keadaannya pada Manggala.

Tentu saja ancaman Sekar hanya sekedar ancaman kosong. Siapalah dia sampai berani-beraninya memberi hukuman pada anak buah suaminya? Tapi para prajurit muda itu keder duluan karena sudah melihat dengan mata kepala sendiri betapa senopati mereka tampak begitu merawat istrinya pasca Sekar diboyong ke istana utara.

"Ngger," Sekar mengetuk pintu, pelan sekali seolah ia tak lagi kuasa mengeluarkan tenaganya lagi. "Hukumlah ibumu ini tapi jangan kau sakiti dirimu sendiri.. Yang berdosa ini ibumu, nak.." Sekar terisak, kepalanya tertunduk. Wanita itu membiarkan air matanya menetes terus-menerus ke atas pangkuannya. Selendangnya entah kemana, mungkin jatuh di jalan karena ia tadi berlari seperti dikejar demit kemari.

Ah, jangankan selendangnya. Segala nyamuk besar-besar yang sedari tadi menghinggapi bahunya yang terekspos saja ia tidak peduli.

"Ngger, putraku.. Keluarlah! Hukumlah ibumu ini!" Sekar kembali mengetuk lemah pintu berukir itu. Ia bahkan tidak peduli kulit-kulit jarinya berdarah setelah berjam-jam mengetuk pintu Arga tanpa hasil.

Tapi ia tidak menyerah. Ia tahu Arga tidak akan bisa mendengarnya menangis seperti ini terlalu lama. Jadi ia terus bertahan mengetuk kamar Arga bahkan sampai pergantian jam jaga tiba.

Sekar tak berhenti mengiba. Ia tak peduli saat ini ia tampak seperti pengemis yang memohon-mohon di depan pintu yang tertutup. Ia ibu Arga. Ia tahu betul putra kesayangannya akan tahan mendiamkannya lama-lama. Jadi Sekar bersumpah akan tetap duduk di depan kamar Arga sampai anaknya membuka pintu.

"Le, kau boleh terus menutup pintu sampai kapanpun. Tapi Ibu bersumpah demi Dewa Siwa Ibu akan tetap duduk disini sampai kau mau berbicara pada Ibu."

Hanya sunyi yang menyambut kata-kata penuh niat Sekar. Sama sekali tak ada suara dari dalam sampai-sampai Sekar takut anaknya melakukan hal bodoh di dalam sana.

Namun Sekar tak lagi memaksa. Ia akhirnya duduk dengan tenang sambil menerawang pada hamparan taman indah yang tak kelihatan dalam keremangan malam. Lantai batu terasa dingin di bawah tubuhnya, sementara hembusan angin lembap yang membawa aroma hujan mulai membuatnya bersin-bersin.

Selayaknya manusia paruh baya lainnya, Sekar mulai gampang sakit akhir-akhir ini. Biasanya kalau ia terlalu lama terkena angin, esok harinya ia akan mulai demam seperti ketika mereka berangkat ke kotaraja. Biasanya pula Arga akan mengomelinya khawatir saat ia mulai sakit, dan ia akan berjaga sepanjang hari di sampingnya tanpa sekalipun mengeluh.

Untuk anak setulus itu, Sekar merasa tidak pantas lagi menjadi ibunya.

Kalau saja ia tak membawa Arga kemari.. Sekar harusnya tahu putranya akan selalu menuai perhatian dimana pun ia berada. Arga ibarat matahari pagi, memancarkan sinar terang dan kehangatan serta janji untuk hari baru. Siapa yang tidak tergoda ingin memonopoli matahari untuk dirinya sendiri? Sekar saja pernah berada dalam fase tidak rela anaknya berkeliaran bersama teman-temannya atau berlatih bersama Adaka dan mendapat celaka.

Sekar bersin lagi. Tanpa selendang menyelubungi bahunya yang terbuka, Sekar mulai menggigil. Tapi ia sama sekali tidak bergeming. Ia menyandarkan kepala ke pintu dan memejamkan mata, sebelum ia mulai bersenandung pelan. Lagu yang biasa ia dendangkan untuk menidurkan Arga waktu kecil dulu.

Di tengah-tengah nyanyiannya mendadak telinganya menangkap suara Arga dari balik pintu. Lirih, tapi Sekar bisa mendengarnya. Mungkin.. Karena sejak tadi Arga pun tengah duduk di balik pintu.

"Ibu." suara Arga terdengar parau.

Sekar menghentikan senandungnya. "Le?" ia berbalik, menempelkan telinga ke pintu dengan rasa lega membanjiri dirinya.

"Ibu, kembalilah." tebalnya helai pintu tak bisa menyembunyikan kekeringan dalam suaranya, seolah seluruh emosi Arga telah terkuras habis sejak pintu kamarnya tertutup.

"Kembali?" Sekar tak tahu harus berkata apa. Ia senang Arga mau berbicara padanya, tapi kenapa satu-satunya kata yang keluar setelah Ibu adalah kembali? "Maksudmu, kau meminta ibu kembali ke desa?"

Ada jeda singkat dimana Sekar bisa membayangkan Arga tengah mengangguk. "Kenapa ibu harus kembali? Ibu tidak mau kembali kalau kau masih begini." tolak Sekar.

Jeda lagi. "Ibu sebaiknya kembali. Ajak Paman Adaka pulang." sekali lagi Arga mengatakan hal yang sama.

"Tidak mau! Mana mungkin Ibu meninggalkanmu sendirian disini?"

"Tempat ini bukan tempat ibu." jawab Arga datar dan.. Dingin. Seumur hidup belum pernah Arga berbicara dengan nada sedingin itu kepadanya. Tapi andai Sekar tidak terlalu syok, ia pasti akan memperhatikan kepahitan terkandung dibaliknya. "Ibu sebaiknya kembali."

"Le,"

"Aku, Pangeran Kaesang Arganendra, memerintahkan anda untuk segera kembali ke desa bersama Tumenggung Mahesa Adaka." kali ini Arga bahkan tak lagi memosisikan diri sebagai putranya. Ia telah memosisikan dirinya sebagai Pangeran Kaesang Arganendra, seorang pangeran Tarangga yang berdaulat setelah raja mengukuhkan dirinya di depan nyaris semua orang dari tiap kasta pada pisowanan ageng.

Dinginnya intonasi Arga saja sudah melukai dirinya. Apalagi ini..

Dimana ia sebagai seorang sudra tak punya hak apa-apa untuk menentang perintah atasannya.

Air mata segera berjatuhan kembali di wajah Sekar. Ia hendak berkata-kata, tapi mulutnya hanya terbuka-tutup tanpa suara. Ada sakit yang teramat sangat menghantam ulu hatinya.

Tapi sebelum Sekar bisa berkata-kata, Arga berbicara lagi. "D-dan katakan pada Kusuma Rengganis.. Maaf aku tak bisa memenuhi janjiku yang disaksikan semesta. Ia harus mendapatkan lelaki yang lebih baik daripada aku." getar dalam suara Arga sudah menyiratkan segalanya. Segala pedih, perih, kecewa, tertekan, berdosa, terpaksa, apa pun yang putranya rasakan bisa Sekar rasakan pula dari sana. Betapa berat beban yang harus Arga lawan untuk mengatakan hal yang bertentangan dengan perasaannya.

Saat itulah Sekar sekonyong-konyong paham.

Dan Sekar tak lagi menolak kata-kata Arga. "Baiklah. Ibu akan segera kembali." suara Sekar terdengar mantap.

Senyap sesaat, seolah-olah Arga tengah berusaha mengikat perasaannya kembali dan menguburnya erat-erat jauh di dasar hati. "Ibu," panggilnya pelan. "Terima kasih."

Sekar entah bagaimana tahu Arga berusaha setengah mati menahan rasa tercekat, suatu perasaan yang muncul ketika manusia hampir menangis. Tak bisa ditahan, Sekar mengelus pintu lembut, seolah ia bisa menembusnya dan membusai pipi Arga seperti dulu. "Tak perlu berterima kasih, Le. Ini kewajiban Ibu."

Seperti dikomando, begitu Sekar menyelesaikan kata-katanya, langkah-langkah berderap terdengar keras dari ujung selasar. "DIAJENG!"

Itu Manggala. Lelaki itu tiba dengan wajah khawatir bersama prajurit yang waktu shift-nya sudah habis. "Diajeng," Manggala meraba wajah dan bahu Sekar. "Dingin sekali! Kemana selendangmu?!" Manggala nyaris stres sendiri melihat istrinya menggigil. "Ayo kembali!" tanpa basa basi ia langsung meraih Sekar dan membopongnya ke paviliunnya sendiri.

Setelah itu Sekar demam seharian, membuat Manggala panik dan menunda segala urusannya untuk menjaga istrinya. Untungnya demam itu segera turun berkat ramuan terbaik yang diminta Manggala dari tabib istana.

Sayang, satu-satunya permintaan Sekar begitu ia membaik adalah pulang ke desa.

Sekar sudah menguatkan diri pulang. Tapi.. Meski separuh hatinya sudah menerima keputusan Arga untuk mengirimnya kembali ke desa, separuh hati Sekar yang lain masih berontak. Ia tidak ingin meninggalkan anak semata wayangnya di tempat ini. Tapi.. Inilah takdir Arga. Takdir Pangeran Kaesang Arganendra. Dan sebagai ibunya, Sekar harus berusaha sebaik-baiknya mendukung setiap langkah putranya.

"Ku antar kau sampai tempat Adaka." putus Manggala, melepaskan pelukannya dan menyeka air mata dari pipi istrinya.

Sekar mengangguk. Ia mendongak pada wajah tampan yang kini menatapnya lembut.

Seumur hidupnya, ia tidak pernah menyesal menikahi lelaki ini. "Aku mencintaimu." ucap Sekar. Lalu wanita itu mencium Manggala.

Sebuah hadiah perpisahan, seperti dulu ketika ia melepas Manggala pergi ke medan perang.

Bedanya kini ia yang pergi, meninggalkan Manggala bersama putra mereka. "Aku titip Arga." ucapnya ketika mereka kembali bertatapan.

Manggala mengangguk. "Aku akan menjaganya dengan nyawaku sendiri."

---------

Adaka dan Sekar duduk berhadapan, sama-sama diam. Ekspresi keduanya muram, tak ada yang berminat membicarakan dekrit sialan itu padahal sudah tiga hari mereka berada dalam perjalanan kembali ke desa.

Malam ini mereka menginap di losmen kecil yang penjaganya terobsesi kepada Adaka, di kampung tempat Arga matur pada Adaka beberapa waktu yang lalu. Mereka kini berada di warung makan yang sama, di meja yang sama dengan meja mereka kemarin. Yang berbeda hanyalah kesedihan yang menggelayut pekat di langit-langit, mencengkeram kedua manusia paruh baya itu. Kontras sekali dengan suasana saat terakhir mereka kesana.

Adaka mendesah berat. Ia memijat-mijat pelipisnya yang sedari kemarin terasa tegang, terlalu dalam memikirkan reaksi Rengganis jika ia tahu.. Arga tak akan mungkin menikahinya. "Mbakyu, apa yang harus aku lakukan?" bisik Adaka. Sorot matanya pilu. Siapapun yang punya mata pasti bisa melihat kesedihan tengah menggerogoti sang mantan tumenggung. Ia benar-benar tidak tahu apa yang harus dia lakukan setelah ini.

Sekar tertunduk. Ia tidak tahu harus berkata apa sementara rasa bersalah mencekik dirinya. Ia berutang begitu banyak hal pada adik laki-lakinya. Adiknya berhak marah dan memaki-makinya, berhak melampiaskan segala emosinya, tapi alih-alih begitu ia malah bersikap seolah tak ada apa-apa.

Adaka mampu bersikap biasa pada Manggala ketika ia mengantarkan Sekar ke tepi alun-alun, tempat Sekar dalam suratnya meminta Adaka menunggunya. Padahal baik ia maupun Manggala sama-sama sudah bersiap menerima apapun yang akan dilakukan Adaka.

Hal itu justru terasa semakin membebaninya.

Sampai sore tadi, waktu mereka sampai ke desa ini. Kesan Sekar tentang desa ini baik, tapi kenangan yang tersimpan di tempat ini kini terasa menyakitkan.

Hal itu sepertinya tak hanya dirasakan Sekar. Adaka pun akhirnya menyerah, pada akhirnya ia mencurahkan perasaannya dalam sebuah tanya yang penuh kesedihan.

"Le, maafkan mbakyu," Sekar menahan tangis. "Jika saja aku tidak berkeras membawa Arga ke istana, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini.."

"Jangan menyalahkan dirimu sendiri, mbakyu," Adaka menggeleng lemah. "Ini sudah pepesthen. Takdir. Bahkan jika Rengganis menikah dengan Arga duluan, gusti raja tetap akan menemukan cara untuk memisahkan mereka."

Mendengar kalimat Adaka, Sekar betul-betul tak kuasa menahan tangis. Adaka bisa saja menimpakan semua kesalahan kepadanya -diakui atau tidak ia memang terlibat dalam kekacauaan ini kan?. Namun Adaka selalu begitu. Ia tidak suka menyalahkan orang lain. Nrimo ing pandum, katanya.

Melihat Sekar menangis, Adaka segera berpindah ke samping kakaknya, lalu memeluknya seperti yang biasanya ia lakukan untuk menenangkan Sekar. "Wes, wes, tidak perlu menangis, mbakyu," ucap Adaka. "Ini adalah takdir mereka. Selamanya hanya bisa menjadi saudara meski perasaan yang ada di hati mereka akan selalu ada," suaranya pun bergetar. Duh anakku sayang, kenapa dewata memberimu takdir yang begini kejam?

Adaka yang tampaknya mampu menenangkan Sekar sebenarnya lebih ambyar daripada kakaknya. Pertanyaan 'apa yang harus ku lakukan' berputar kencang di otaknya sebelum mendadak sebuah fragmen ingatan muncul di otaknya.

Beberapa bulan yang lalu, kepala desa sebelah yang kenal akrab dengannya mengajukan lamaran untuk putranya, yang masih belum ia terima karena tahu Rengganis pasti akan menolak.

"Mbakyu," panggil Adaka separuh melamun. "Dengan dekrit raja itu, apakah lamaran Arga untuk Rengganis terbatalkan dengan sendirinya?"

Sekar mendongak, menatap Adaka dengan matanya yang memerah. "Tentu saja.." suara Sekar menggantung. Ia menimbang sejenak apakah ini waktunya ia mengatakan maksud Arga. Tapi bahkan sebelum ia menyuarakan pikirannya, Adaka sudah memotong.

"Kalau begitu bolehkah aku menerima lamaran Ki Benowo untuk anaknya?" tanya Adaka. Matanya menerawang, sedang menghitung masalah ini dalam hati.

Sekar mengingat-ingat siapa Ki Benowo yang dimaksud Adaka. "Ki Benowo.. Kepala desa sebelah?" tanyanya memastikan.

Adaka mengangguk. "Ya. Beberapa bulan yang lalu sebenarnya ia pernah meminta Rengganis untuk anak lelakinya. Tapi aku belum menjawab karena.." suara Adaka melirih di ujung kalimat, tak ada kata-kata yang terucap. Tapi Sekar seakan mampu mendengar kata-kata bergema di antara mereka. Ku kira Rengganis akan berakhir dengan Arga seperti harapan kita.

"Maafkan aku." sekali lagi Sekar meminta maaf.

Adaka mengerutkan kening. "Ku hitung-hitung mbakyu sudah hampir seratus kali mengatakannya sepanjang perjalanan kita. Jangan meminta maaf lagi. Aku capek menghitungnya."

Sekar menghembuskan nafas tapi berusaha menyimpan rasa bersalahnya. "Saranku, terima saja lamaran Ki Benowo. Dan mungkin kita bisa mencari hari baik tercepat supaya.. " Sekar meneguk ludah, tenggorokannya mendadak kering. "Supaya Rengganis tidak perlu dengar soal pernikahan Arga."

Adaka mengangguk pelan. Saran kakaknya masuk akal. Setidaknya kalau Rengganis menikah duluan, ia tidak akan patah hati sendirian.

Dalam hati Adaka, sebuah tekad muncul.

Ia akan secepatnya menulis surat untuk Ki Benowo begitu kembali. Pernikahan ini harus secepatnya dilaksanakan. Lagipula putra Ki Benowo itu tidak buruk. Walau tidak sesempurna Arga, ia masih lumayan. Dan Adaka yakin putra Ki Benowo mampu membuat Rengganis jatuh cinta kepadanya sebelum ia mendengar kabar pernikahan Arga.

Semoga saja Rengganis bisa menerimanya. Dia harus paham ini semua demi kebaikannya.

----------

Siang itu Rengganis berada di sawah -seperti biasa- saat seorang anak kecil berlarian ke Rengganis, memberitahukan kedatangan Adaka dan Sekar.

"Lek Nis, Pakdhe Adaka sudah pulang lho!" teriaknya heboh.

Rengganis dan ibunya menoleh serentak. Lek Nis, maksudnya Rengganis. Panggilan itu memang panggilan paten Rengganis di kalangan anak kecil. Pasalnya rata-rata anak-anak kecil yang berkeliaran di desa mereka sekarang ini adalah anak-anak kawan Rengganis. Yang barusan menghampirinya itu pun juga anak temannya, Miratih, si sulung yang tahun ini berusia 4 tahun.

Sepertinya Rengganis sudah pernah bilang kan kalau sesungguhnya ia sudah mendapat predikat perawan tua karena tak kunjung menikah di usianya yang 16 menuju 17 tahun?

Ibu bangkit dari posisinya, membetulkan caping di kepala dan menoleh pada Rengganis yang balas menatapnya penuh harap. "Ya sudah, pulang duluan saja. Nanti saat matahari tepat diatas kepala ibu pulang," kata ibunya, memahami perasaan tak sabar yang melanda Rengganis. Pasti ia tidak sabar menanyakan Arga.

Rengganis antusias mengangguk. "Siap, bu," ia buru-buru melepas capingnya dan meletakkannya sembarangan. "Aku pulang duluan!" lalu ia langsung berlari pulang tanpa menunggu balasan ibu.

Di belakang Rengganis, Gendhis Ayu hanya menggeleng saja melihat polah putri semata wayangnya. Anaknya itu memang terkesan slengean dan tidak kalem seperti lumrahnya gadis-gadis di desa ini. Tapi justru keceriaannya lah yang membuat hari-harinya dan Adaka berwarna. Rengganis adalah matahari mereka, dan mereka bersyukur sekali memiliki Rengganis di kehidupan ini.

Dan mereka memastikan putri mereka memiliki senyum yang merekah di bibirnya setiap hari.

Makanya meski usia Rengganis sudah terhitung tua, mereka masih santai saja dan tidak terburu-buru menikahkan Rengganis. Nanti kalau Rengganis menikah, rumah mereka akan sepi..

"Tapi untung saja sepertinya Arga juga menyukai Rengganis," gumam Gendhis. Bibirnya mengulum senyum. Semoga saja Rengganis akan semakin bahagia bersama Arga kedepannya..

Sementara itu Rengganis tergopoh-gopoh berlarian diantara pematang ladang, tak mengendurkan sedikitpun kecepatannya sampai ke jalan desa, sebuah jalur tanah yang secara alami terbuat karena sering dilalui kuda dan manusia.

Sungguh Rengganis tak sabar bertemu romo dan budhe, tak sabar bertanya bagaimana keadaan kakang kesayangannya. Apa kabarnya? Apa ia berhasil menjadi prajurit di kotaraja? Tinggal dimana kah ia? Apakah budhe sudah memastikan bagaimana kakang hidup kedepannya? Apakah kakang menitipkan salam untuknya?

Apakah kakang sudah matur pada romo soal keinginan mereka?

Pipi Rengganis bersemu kemerahan, campuran antara terik matahari, tubuhnya yang berlari, dan rasa malu memikirkan pertanyaan terakhirnya. Hus, Rengganis cepat-cepat mengusir pikiran itu. Gapura desa sudah tampak didepan sana. Semakin dekat jarak Rengganis ke rumahnya, semakin cepat debar jantungnya terasa.

"Romo!" Rengganis menghambur masuk rumah, buru-buru mencari sosok Adaka di seluruh penjuru rumahnya, bahkan sampai lupa mengucapkan salam. "Romo!" Rengganis mengitari setiap sudut rumahnya tapi tak menemukan sosok Adaka.

"Ada apa to nduk, datang-datang kok jerat jerit.." tiba-tiba Adaka muncul dari belakang rumah. Wajah dan rambut ayahnya basah, sepertinya habis dari sungai, mandi membersihkan diri dari debu-debu perjalanan.

Tanpa malu-malu Rengganis langsung memeluk Adaka, tak peduli pada titik-titik air yang masih menetes dari rambut ayahnya. "Romo, bagaimana kakang Arga?" tanya Rengganis bersemangat. Ia menenggelamkan wajahnya di ceruk leher ayahnya hingga luput melihat ekspresi sedih di wajah Adaka.

Rengganis tidak tahu betapa perihnya hati Adaka melihat Rengganis yang tak sabaran menanyakan Arga, yang tanpa disadari Rengganis sendiri telah menunjukkan betapa besarnya perasaan yang ia miliki pada Arga.

Seharusnya memang aku tidak pernah mendukung perasaanmu pada seseorang yang jelas-jelas akan berada dalam dunia yang berbeda dengan kita, nduk.., benak Adaka sedih.

Namun tentu saja Adaka tidak menyatakan pikirannya. Ia hanya mengelus lembut rambut kelam Rengganis sambil berkata, "Mbok sabar.. Romo iki masih capek lho.." kelakar Adaka. Tak sadar ia memeluk Rengganis semakin erat. Andai bisa ia ingin seumur hidup bisa melindungi Rengganis seperti saat putri cantiknya masih kecil dulu, ketika tangisannya paling banter karena kaget kejatuhan cicak atau jatuh tersandung batu. Tak perlu ada rasa sakit yang mengancam senyumnya, tak perlu ada sesak yang menyakiti hatinya.

Tapi Kusuma Rengganisnya sudah dewasa. Tugasnya melindungi Rengganis hampir purna. Begitu ia telah menikah, selesai sudah, ia tidak bisa sepenuhnya melindungi Rengganis lagi.

Ada sesak meraja dalam hati Adaka.

Rengganis terkekeh merasakan dekapan ayahnya yang semakin erat. "Hehe, habis Rengganis penasaran.."

"Sambil duduk saja ya, boyok e romo beneran sakit ini, pegal semua.." pinta Adaka. Rengganis mengangguk. Ia dengan lembut menuntun Adaka ke bale-bale yang terletak di ruang tengah.

"Lha ibumu mana, nduk?" tanya Adaka. "Masih di ladang?"

"Hu-um," Rengganis mengangguk. Ia beranjak ke dapur, membuatkan wedang untuk ayahnya. Beberapa saat kemudian ia sudah kembali dengan sebuah gelas bambu dengan asap mengepul diatasnya.

"Ayo, romo cerita," Rengganis meletakkan gelas itu di sisi Adaka lalu duduk disamping Adaka yang menyelonjorkan kakinya, mulai memijiti kaki Adaka.

Adaka berpikir sebentar sebelum mulai bercerita, "Kakangmu berhasil lolos seleksi prajurit. Sekarang dia tinggal di barak kesatuan prajurit kerajaan Tarangga, minggu-minggu ini akan menerima pelatihan dasar-dasar keprajuritan..."

Rengganis mendengar cerita Adaka dengan tekun, tak menyadari Adaka memandangi dirinya nanar dan sedih. Maafkan romo, nduk. Romo tidak ingin kamu terluka.., batin Adaka sendu.

Diam-diam Adaka menghela nafas. Menatap Rengganis yang tersenyum dengan wajah berbinar-binar membuat bahu Adaka serasa menerima lebih banyak beban. Sungguh, jika ada pilihan yang lebih baik, Adaka tak akan segan mengambilnya demi mempertahankan senyum di wajah Rengganis.

-----------------

~auliael

Jogja, 23/02/2021  01.25  4590 words

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro