Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10 | Kenangan

Hola! Akhirnya setelah sekian purnama, cerita ini update juga. Mon maap ye aslinya mau diupdate kmearen ahad tapi ngga jadi soalnya belum selesai. Nah, here it is. 

Silakan menikmati chapter nostalgia and enjoy!

---------

Sana terus berjalan menuju tujuannya, sepenuhnya mengabaikan ocehan Kinasti soal kegegabahannya mengajak pemuda antah berantah berteman. "Kau seharusnya tidak grasah grusuh seperti itu. Kau belum ada lima detik mengenalnya tapi kau sudah mengajaknya berteman. Kalau dia orang jahat bagaimana?"

"Aku tahu dia orang baik, Kinasti." jawab Sana kalem.

Kinasti mendengus. "Tahu dari mana? Dari firasatmu? Kau tidak ingat dulu pernah hampir dibawa pergi penjual budak gara-gara kau terlalu polos?"

Sana tidak menjawab. Ia hanya melangkah lebih cepat sampai Kinasti kesulitan mengikuti langkahnya. "SANA!"

"Sst! Jangan berisik atau Ki Sedajantra mengusirmu!" Sana merapatkan telunjuknya ke bibir, memberi isyarat bagi Kinasti untuk menghentikan segala repetannya.

Kinasti mengerucutkan bibir. Tapi ia menurut saja kala langkah mereka mendekati Bale Manguntur.

Sana mengerutkan dahi ketika dilihatnya suasana Bale Manguntur sepi. "Lho, kenapa sepi?"

Mendengar ucapan Sana, Kinasti ikut memandang ke depan. "Aneh. Bukankah pisowanan ageng-nya hari ini?" Kinasti menoleh. "Mari bertanya."

Kedua gadis itu bergegas mendekati salah satu prajurit yang berjaga. "Kisanak, kenapa sepi sekali? Bukankah pisowanan-nya hari ini?" Kinasti segera merentetkan pertanyaan.

Si prajurit memberi hormat sebelum menjawab, "Beberapa saat yang lalu Pangeran Sindhupala dan Ki Sedajantra memberi perintah mengundur pisowanan ageng selama beberapa hari sampai Gusti Raja pulih dari gerah."

"Hyang Widhi," Kinasti menutup mulut kaget. Begitu pula Sana. "Gerah apa yang menimpa Gusti Raja?"

"Mohon ampun, Pangeran Sindhupala dan Ki Sedajantra tidak berkata apa-apa."

Kinasti dan Sana saling tatap, saling memahami apa yang sedang tidak terucap di antara mereka sebelum berterima kasih dan buru-buru beranjak.

"Kinasti, kau memikirkan apa yang ku pikirkan?" tanya Sana pelan ketika mereka bejibaku kembali ke keputren putri mahkota.

Kinasti diam sejenak sebelum perlahan mengangguk. "Ya." balasnya lirih. "Semoga ini bukan pertanda buruk."

Sana mengangguk. "Semoga."

------------

Hari-hari berlalu lagi, wuss.. Bagai desau angin yang mengibas rumput-rumput ilalang di sabana-sabana liar.

Selesai sarapan bersama ibu dan ayahanda, Arga bergegas menuju depan Bale Manguntur. Ia kini tak lagi ragu melangkah karena setelah kemarin ia tersasar di dalam kompleks istana, ayahanda mengutus salah satu prajurit muda yang bertugas di istana utara untuk memperkenalkannya pada jalur-jalur yang perlu diketahuinya.

Dan untungnya setelah penjelasan singkat dari prajurit yang kemudian menjadi temannya, Arga sudah hafal jalur menuju Bale Manguntur, tempat kemarin Sana menyuruhnya datang supaya gadis itu bisa memenuhi janji mengantar Arga jalan-jalan di area istana.

Tak butuh waktu lama dan Arga sudah sampai di depan bangunan serupa joglo yang luas dan berhias apik itu. Belum tampak sosok semampai Sana di sana.

Akhirnya Arga memutuskan berhenti di bawah naungan pohon kamboja putih yang tumbuh subur di depan Bale Manguntur. Aroma khas yang wangi menguar tajam begitu kaki Arga menapak bunga-bunga putih yang melapisi tanah.

Arga mendongak. Ah, menatap kamboja putih membuatnya teringat Rengganis. Gadis itu sering sekali memintanya memasangkan sekuntum bunga harum yang tengah merekah ke telinganya.

"Kakang! Pasangkan!" Arga seolah mampu melihat bayang Rengganis berlari riang ke arahnya sambil mengacungkan bunga kamboja yang ia petik sendiri. "Pasangkah di sini! Yang bagus, jangan sampai mencong!"

Rasa rindu sekali lagi menghantam Arga bagai air bah. Sepenuh perasaan, Arga meraih sebuah bunga di cabang terendah dan memetik bunganya yang paling indah. Pemuda itu tengadah, merasakan larik cahaya yang menerabas pucuk pohon jatuh menghangatkan wajahnya. Bibirnya komat kamit mengucap doa sederhana, doa supaya Rengganis selalu baik-baik saja di desa sana.

Tepat ketika angin kencang berhembus, Arga membuka mata dan menjumpai sosok gadis berada di hadapannya. Gadis itu tengah mendongak, tangannya terentang berusaha menangkapi bunga-bunga yang berguguran seperti ditabur. Rambut kelamnya berkibar dihembus angin lalu jatuh dengan lembut ke bahu rampingnya yang dililit selendang kuning kunyit.

Arga tak bisa menahan senyum sendu.

Ah, Kusuma Rengganis. Kakang rindu..

"Berhasil!" seruan Sana mengembalikan Arga ke alam sadarnya. Otomatis kepala Arga tertoleh pada gadis itu, tepat ketika Sana juga menoleh dengan wajah berbinar-binar. "Lihat! Cantik sekali kan?" ia menyodorkan bongkah bunga yang berhasil ia tangkap sebelum menyentuh tanah. Semburat kuning pada bagian tengahnya seperti bias cahaya mentari terbit.

Senyum dan binar mata Sana begitu hidup.

Begitu mirip Regganis.

Arga tersenyum, lalu sebelum pemuda itu sadar, tangannya sudah menepuk ringan kepala Sana tiga kali. Seperti apa yang sering ia lakukan pada Rengganis.

Untuk sesaat Sana terdiam. Bukan, bukan apa-apa. Pasti itu hanya karena seumur hidupnya belum pernah ada orang lain yang menyentuh kepalanya seperti ini.

"Baiklah. Sepertinya sudah mulai siang. Lebih baik kita mulai tur-nya sekarang sebelum pisowanan ageng-nya dimulai." Arga menelengkan kepala. "Aku tidak mau terburu-buru lagi dan terlambat. Apalagi kalau harus melewati keputren milik putri mahkota.." ujar Arga, dan sesaat kemudian ia sudah melangkah melalui jalan setapak.

Sana terkekeh saja. "Kenapa memang? Bukankah taman pribadi putri mahkota sangat indah?" tanyanya, mulai berjalan perlahan di samping Arga. Tingginya yang hanya sebatas bahu Arga membuatnya harus mendongak untuk menatap wajah Arga.

"Memang. Tapi aku sungkan karena belum pernah bertemu dengan putri mahkota." jawab Arga jujur. "Bukankah tidak sopan kalau aku berkali-kali melewati kediaman orang tanpa pernah bertemu dengannya langsung?"

Sana manggut-manggut. "Untung kau belum pernah bertemu putri mahkota."

Mendengar nada Sana, otomatis Arga memandangi Sana tertarik. "Memang kenapa?"

Sana mengedikkan bahu. "Ya untung saja kau belum pernah bertemu putri mahkota."

"Apakah putri mahkota sebegitu menakutkannya sampai kau berkata seperti itu?" Arga mengerutkan dahi.

"Menakutkan?" Sana mengernyit. "Hm, tidak juga. Tapi gusti putri mahkota adalah putri kesayangan Gusti Raja sekaligus adik kesayangan Pangeran Sindhupala, pangeran tertua yang diangkat menjadi pejabat penting istana. Begitu sayangnya Raja dan Pangeran Sindhupala terhadapnya sampai siapa pun lelaki yang berani mengintip sosok Gusti Putri ketika lewat akan dibutakan matanya." Sana bergidik.

Mendengar cerita Sana, Arga diam-diam ikut bergidik. Hanya melihat sosoknya lewat saja sudah dihukum buta. Bagaimana jika melihat wajahnya?

"Bagaimana jika ada lelaki yang menatap wajahnya?" tanya Arga penasaran.

"Seingatku ada beberapa yang dihukum cungkil mata hidup-hidup beberapa tahun yang lalu karena berani melihat wajah sang putri ketika tengah jalan-jalan bersama Pangeran Sindhupala keluar istana. Setelah itu, Gusti Raja dan Pangeran Sindhupala tidak pernah mengizinkan Putri Mahkota pergi keluar istana lagi."

Arga menghembuskan nafas, separuh ngeri separuh kasihan. "Berarti sudah berapa tahun Putri Mahkota tidak pernah keluar istana?"

Sana berpikir sejenak. "Usia sang putri kala itu sekitar sembilan atau sepuluh tahun. Berarti sekitar lima sampai enam tahun."

Arga meneguk ludah. Enam tahun terkurung di istana, bagaimana rasanya? Ia yang kurang dari sebulan saja sudah tidak betah sama sekali.

"Entah kenapa aku kasihan pada Putri Mahkota." gumam Arga. Matanya menerawang.

Sana terkekeh. "Hus, jangan keras-keras. Nanti ada yang dengar bisa berbahaya." ucapnya dengan ekspresi yang dibikin seolah serius.

Setelah itu hening. Arga dan Sana sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Arga diam-diam menghela nafas, merasa canggung jauh di dalam hatinya. Berjalan bersama Sana tidak seperti berjalan bersama Rengganis.

Tentu saja. Keduanya adalah dua pribadi yang sangat bertolak belakang. Sana adalah pribadi yang tenang dan kalem -itu adalah kesimpulan yang bisa ditarik Arga setelah beberapa hari terakhir berinteraksi dengannya-, sementara Rengganis adalah gadis riang yang tak pernah bisa diam.

Keceriaan Rengganis membuat hari-harinya tak pernah membosankan.

"Arga, ini adalah kompleks peribadatan keluarga istana." perlahan Sana menjelaskan tempat-tempat yang mereka lewati. Arga menyimak tanpa komentar. Hanya sekali dua kali, ketika mereka melewati tempat-tempat yang katanya tidak boleh dilalui oleh orang luar.

"Apakah hanya keluarga istana saja yang boleh melewati jalan ini?" tanya Arga, menatap jalur yang membentang lurus, koridor yang kemarin kapan membawanya ke keputren putri mahkota.

Sana mengangguk. "Ya."

Arga menghembuskan nafas lega dari mulutnya. "Huft, untung saja kemarin aku tidak bertemu putri mahkota atau keluarga istana lain. Kalau tidak, mungkin sekarang aku hanya tinggal nama."

Sana tersenyum sedikit. "Ya. Untung kau bertemu denganku." candanya.

Kalimat Sana membawa tatapan Arga kepadanya. "Ya. Terima kasih, Sana." ujarnya serius, kemudian seulas senyum lebar muncul di wajah Arga sampai Sana sejenak tak bisa berkata-kata.

"Omong-omong, dimana barak prajurit? Tidakkah markas mereka ada di dalam istana?" tanya Arga.

Sana menelengkan kepala, memandang Arga dengan sedikit sorot heran di matanya. "Kau sepertinya bukan orang kotaraja ya." ucapnya. "Barak prajurit ada di timur dan barat alun-alun."

Arga ber-oh ria. "Aku memang datang dari jauh dan langsung bekerja di istana utara. Karena tugasku cukup banyak, aku belum sempat pergi berjalan-jalan di sekitar sini."

"Kalau aku boleh tahu, kau bekerja pada siapa? Setahuku istana utara adalah istana Gusti Senopati Manggala."

"Aku bekerja pada Gusti Senopati sendiri." jawab Arga enteng. "Lalu apa istana punya perpustakaan? Sejak tadi aku belum melihat bangunan perpustakaan." pemuda itu segera mengalihkan pembicaraan.

Sana sendiri langsung menjawab antusias, sepertinya tidak sadar Arga tengah berusaha mengalihkan pembicaraan. "Bangunan perpustakaan ada di bagian istana luar. Tepat di belakang dinding itu." Sana menunjuk ke sisi pagar sebelah kanan mereka. "Kau mau melihatnya? Kau bisa membaca?"

"Aku bisa membaca." jawab Arga. Matanya berbinar antusias. "Bisakah kau menunjukkan jalannya? Aku tak sabar membaca ilmu-ilmu baru dari sana."

Sana tersenyum lebar. "Baik. Mari kesana!" ia riang melangkah, disusul Arga.

Benak Arga dipenuhi antusiasme. Ia harus banyak-banyak membaca buku sebelum pulang supaya nanti bisa menceritakan pengetahuan-pengetahuan baru pada Rengganis.

Rengganis, tunggu kakang kembali. Kakang akan membawa banyak pengalaman baru untuk dibagi padamu.

-------------

"Kau dari mana?"

Pertanyaan ibu menyambut Arga sepulangnya ia dari perpustakaan. Keheranan lugas mewarnai wajah Sekar melihat betapa senang ekspresi putranya.

"Arga dari perpustakaan, ibu."

Wanita itu menelengkan kepala. "Kau sendiri pergi ke sana? Tumben tidak pakai nyasar lagi."

Arga terkekeh. "Tidak. Tadi aku bersama teman baruku. Dia mengantarku pergi ke perpustakaan dan kami membaca sebagian syair dari pujangga kuno. Syairnya sangat indah. Kata-katanya bermakna dalam, diksinya pun indah dilantunkan. Isinya tentang peperangan suci antara Pandawa dan Kurawa."

"Baguslah kalau kau sudah punya teman di sini." ucap Sekar, ikut senang melihat binar wajah Arga. "Sudah sana bersiap. Sebentar lagi kau dan ayahandamu harus mengikuti pisowanan ageng kan?"

Arga mengangguk. "Baiklah. Kalau begitu Arga kembali dulu." sebelum pemuda itu pergi, ia menghadiahi ibunya kecupan di pipi, yang dibalas Sekar dengan elusan lembut di bahu putranya.

Beberapa saat Sekar memandangi punggung gagah anaknya yang menjauh. Entah kenapa, perasaannya tidak enak sekali sejak kemarin, ketika ia beberapa kali memergoki Manggala seolah menyimpan sesuatu tapi tak mau dibaginya pada Sekar.

Sejujurnya barusan Sekar hendak membagi kegelisahannya pada Arga. Namun ia tak sampai hati menghilangkan binar senang yang baru hari ini muncul di wajahnya.

Apa yang disembunyikan Manggala, Sekar sungguhan tidak tahu. Ada bagian hatinya yang merasa sedih karena Manggala enggan membagi bebannya, seolah ia adalah orang asing bagi suaminya.

Mungkin benar, waktu adalah algojo paling kejam. Tak peduli seberapa keras usahamu menjaga segalanya agar tetap sama, waktu tetap punya kuasa penuh mengubah segalanya.

Sekuat apa pun ia menjaga cinta dalam hatinya, tetap ada jurang tak terlihat yang memisahkannya dengan Manggala. Jurang itu bernama derajat, jurang itu telah ada sejak belasan tahun lalu ia membuat kesediaan mendampingi Manggala sepanjang hidupnya, namun baru benar-benar terasa hadirnya setelah ia bertemu lagi dengan suaminya.

Ada kelebat kenangan yang memasuki mata Sekar.

Kala itu sore hari. Mentari yang tadinya membakar permukaan bumi perlahan condong ke ufuk peraduannya. Sekar muda tengah memetik daun-daun singkong muda untuk dimasak ketika derap kuda berhenti di depan rumah kecilnya.

Sekar pikir itu Adaka hingga ia memanggilnya keras-keras. "ADAKA! KEMARILAH AKU DI BELAKANG!" teriak Sekar. Sayuran yang ia pegang masih kurang untuk makan malamnya bersama Adaka. Kemarin adiknya bilang hari ini ia akan mengajak kawannya makan malam di rumah. Jadi sejak siang tadi ia sibuk memasak jamuan.

Ada langkah kaki mendekat. Sekar cuek bebek, masih berpikir itu Adaka walau sejujurnya ia sedikit heran karena bunyi langkahnya tak seperti langkah Adaka. "Tolong pegangkan ini!" Sekar tak ambil pusing, mengulurkan tangan tanpa menoleh.

Jeda sejenak. "Dak, pegangkan sebentar! Masih kurang beberapa pohon lagi." ucap Sekar lagi kala ia tak menerima respon.

Akhirnya tumpukan daun di tangan Sekar diambil. Sekar masih saja positif thinking, mungkin saja Adaka sedang sariawan atau tadi waktu latihan gelar perang bibirnya tak sengaja kepentok senjata kawannya. Ia santai saja lanjut memetik daun. "Menurutmu enaknya daun-daun singkong ini disayur apa? Bobor atau pecel?" tanya Sekar. "Hm, mungkin lebih baik bobor saja. Ku rasa waktunya mepet kalau hendak membuat pecel. Pasti temanmu sebentar lagi sampai."

"Saya lebih suka pecel daun singkong daripada bobor."

Sekar membeku.

Itu bukan suara Adaka.

Sekar segera berbalik begitu berhasil menguasai diri kembali hingga ia langsung berhadapan dengan dada bidang seseorang. Gadis itu harus mendongak supaya bisa menatap orang asing itu.

"Selamat sore, saya kawan yang diundang Adaka makan malam nanti."

Seulas senyum mempesona adalah hal yang pertama kali dilihat Sekar. Terlalu mempesona sampai ia tak bisa berkata-kata. Butuh beberapa saat sampai Sekar bisa bertanya dengan nada malu, "Kemana bocah itu? Kenapa anda datang sendiri?".

Lelaki itu masih mempertahankan senyumnya, senyum yang entah bagaimana bisa terlihat begitu polos seperti anak kecil. "Tadi ia bilang hendak mampir membeli sesuatu di pasar, jadi dia menyuruh saya pergi duluan." ucapnya. "Ada sesuatu yang bisa saya bantu lagi?"

Aduh. Wajah Sekar rasanya panas sekali. Malu betul karena sudah terlanjur memerintah teman Adaka seenaknya. Tatapannya turun ke tangan pemuda yang tengah memegang hasil petikan Sekar. "Ma-maafkan aku. Ku pikir anda Adaka." Sekar tertunduk, tak berani mengangkat wajah lagi.

"Santai saja, nona. Tidak perlu sungkan. Lagipula saya lebih suka ikut membantu apa pun daripada hanya tinggal duduk menikmati." suara pemuda itu begitu menenangkan. "Oh iya, perkenalkan nama saya Manggala. Dan anda?"

Sekar ragu sejenak. Namun akhirnya ia menjawab. "Saya Sekar Mirah, kakak Adaka."

Kalau saja Sekar berani mendongak sekarang, ia pasti sekali lagi bisa menatap senyum indah di wajah Manggala. "Nama anda cantik, seperti orangnya."

Tak bisa dipungkiri, degup jantung Sekar menggila sesaat setelahnya.

Hanya berkat sikap ramah dan grapyak Manggala saja, sesorean itu mereka bisa berakrab-akrab ria di dapur. Manggala keukeuh ingin membantu walau Sekar sudah menyuruhnya duduk saja di bale-bale.

"Kalau begini sudah matang belum?" Manggala menunjukkan daun di atas centong sayur dari batok kelapa.

Sekar yang tengah mengulek bumbu pecel menatap sekilas. "Sebentar lagi." jawabnya singkat. "Sudah, tutup saja dan duduklah. Cicipi bumbu ini. Terlalu pedas? Terlalu asin?" Sekar melambai, meminta Manggala duduk di dekatnya.

Manggala menurut. Ia duduk di dekat Sekar Mirah, hanya terhalang cobek tembikar di tengah-tengah mereka. Sesaat Manggala menatap Sekar tanpa suara. Betapa cantiknya seorang wanita ketika serius. "Coba rasakan." Sekar mencolek sedikit bumbu kecoklatan itu menggunakan kacang panjang rebus yang sudah matang. "Buka mulutmu."

Kalau Manggala merasa sikap Sekar terlalu barbar, ia tidak mengatakannya. Ia menurut saja, membuka mulutnya hingga Sekar bisa memasukkan sayuran berlumur bumbu pecel ke dalamnya.

Sayangnya mereka tidak sadar Adaka telah sampai di rumah dan melihat interaksi mereka tersebut.

"HYANG WIDHI! APA YANG KALIAN LAKUKAN?!!"

Tentu saja keduanya terkejut mendengar gelegar suara Adaka. Manggala tersedak sampai wajahnya merah semua, bumbu pecel Sekar cukup pedas untuk membuat tenggorokan dan hidungnya seperti terbakar. Sekar buru-buru menuang air dari kendi dan mengangsurkannya pada Manggala. "Adaka! Kau bisa tidak sih kalau datang ketuk pintu atau katakan sesuatu? Tiba-tiba masuk dan teriak-teriak, kau pikir kami tuli?!"

Sejenak Adaka tak bisa berkata-kata. kenapa jadi Sekar sih yang marah-marah? Bukannya yang seharusnya marah-marah itu dia ya?

Adaka ganti menatap Manggala yang memelototinya. Kalau tatapan Manggala diartikan kurang lebih artinya jangan-coba-coba-bilang-yang-sebenarnya.

Aduh, mendadak Adaka pusing.

Pada akhirnya jamuan makan malam itu berjalan lancar karena Adaka tidak memperpanjang masalah suap-menyuap tadi setelah Sekar menjelaskan. Tangan Manggala penuh angus, dan Manggala sendiri menunjukkan tangannya yang dipenuhi abu dan jejak-jejak jelaga. Jadi Adaka tidak bisa mengomeli mereka.

Ketika Manggala dan Adaka hendak kembali ke barak, hal yang paling diingat Sekar adalah senyum lebar Manggala dan janjinya untuk bertandang kembali lain waktu. Sekar terlampau fokus pada Manggala hingga ia tak sempat melihat ekspresi berat yang pekat di wajah Adaka.

Butuh hampir sebulan kemudian sampai Sekar mengetahui fakta bahwa Manggala adalah seorang pangeran. Awalnya ia marah, tentu saja. Apalagi ia mengetahui fakta itu dari bibir Adaka yang sudah tidak tahan lagi untuk tidak memperingatkan Sekar supaya jauh-jauh dari Manggala. Adaka mengkhawatirkan Sekar. Baik hatinya maupun hidupnya.

Tapi bagaimanalah? Sekar sudah terlanjur jatuh ke dalam pesona senyum polos Manggala. Begitu pun Manggala yang tergila-gila pada sikap Sekar yang apa adanya.

Butuh tiga bulan bagi Manggala untuk kembali meluluhkan Sekar, dan butuh dua bulan bagi Sekar untuk menerima lamaran Manggala yang diucapkannya di tengah hutan, ketika mereka tengah mencari madu di hutan.

"Sekar," panggil Manggala ketika dilihatnya Sekar tengah sibuk mencari sarang lebah hutan. Ia memegang sengget, sebuah tongkat panjang untuk menyibak-nyibak daun di tempat yang biasanya ada sarangnya.

"Ya?" Sekar tidak menoleh, tetap saja menyibak-nyibak dedaunan dengan ekspresi serius.

Ekspresi serius yang tak pernah gagal membuat Manggala jatuh cinta berkali-kali pada pemiliknya.

"Menikahlah denganku."

Rasanya jantung Sekar hampir copot. Ia langsung menoleh pada Manggala yang menatapnya sungguh-sungguh. "Apa tadi kau bilang?"

Manggala mendekat, meniadakan jarak antara ia dan Sekar. Mata tajamnya menatap Sekar serius. "Menikahlah denganku."

Ada ledakan-ledakan melanda hati Sekar. Bahagia? Pasti. Tapi.. "Sepertinya aku tidak bisa." pada akhirnya, justru kalimat penolakan lah yang keluar dari bibir tipisnya.

Manggala menatap Sekar, campuran sedih dan kecewa hadir dalam sorot matanya. "Kenapa? Apa karena perbedaan kasta kita?"

"Itu salah satu alasan." Sekar mengangguk. "Alasan lain, aku tidak siap harus mendengarkan cercaan orang-"

"Kau hanya perlu menutup telingamu."

"Tapi aku tidak akan bisa menutup telingaku selamanya. Kecuali kalau suatu saat nanti aku tuli.."

"Hus, jangan berkata jelek."

Sekar mengacuhkan kalimat terakhir Manggala. "Apalagi.. Aku lebih tua darimu."

Manggala meraih bahu Sekar, "Sekar, tatap aku." ujarnya, nada rendah namun kental oleh perintah.

Sekar dengan berani menantang mata tajam Manggala. "Sudah. Terus?"

"Harus berapa kali aku bilang?"

"Salah." Sekar menggeleng. "Seharusnya kau bilang 'nabrak' begitu."

"Sekar, aku sedang serius."

"Aku juga tahu kau sedang serius."

Manggala nyaris mengacak rambutnya frustasi. "Lantas kenapa kalau usiamu lebih tua? Saat ini pun tidak ada yang tahu kau lebih tua dariku selain Adaka. Kalau kau menikah denganku, kau bisa menghabiskan seluruh waktumu untuk merawat diri supaya kelak aku yang menua lebih cepat daripada kau."

"Kau pikir aku bisa hidup hedonis seperti itu?" Sekar menghela nafas. "Daripada kau menyuruhku buang-buang waktu begitu, lebih baik aku pergi ke sawah atau memasak di dapur."

Bantahan Sekar membawa seulas senyum favoritnya kembali ke wajah Manggala. "Ini yang membuatku jatuh cinta berkali-kali kepadamu. Sikap dan pikiranmu jauh lebih memesona daripada apa pun di dunia."

"Jadi kau ingin menikahiku karena itu?"

"Itu salah satu alasannya." senyum itu semakin lebar. "Tapi lebih tepatnya, karena kau adalah kau. Aku jatuh cinta pada segala hal tentangmu. Maka dari itu, Sekar Mirah, menikahlah denganku."

Kalau boleh Sekar bilang, menolak orang yang sepenuh keyakinan memintamu adalah salah satu hal tersulit di seluruh dunia. Hari itu Sekar tidak menjawab. Namun berhari-hari kemudian, Adaka lah yang dibuat pekak oleh keluh kesah galau sang kakak.

"Mbakyu, sekarang lebih baik kau tanya hatimu sendiri, sebenarnya apa yang kau inginkan jauh di dalam dirimu? Sudah berkali-kali ku katakan aku melihat cinta dalam tatapanmu dan tatapan Gusti Pangeran. Kalau kau berani, jangan setengah-setengah. Kalau kau tidak berani, jangan coba-coba."

Kalau berani, jangan setengah-setengah. Kalau tidak berani, jangan coba-coba.

Apakah Sekar berani? Atau Sekar tidak berani?

Berani atau tidak berani, jika ia memutuskan untuk menolak Manggala, pasti di masa depan ia akan menyesal. Manggala adalah satu diantara seribu. Jika ia memilih pergi, siapa yang bisa menjamin ia bisa bertemu yang setulus Manggala lagi?

Beruntung sekali Sekar bisa memilikinya.

Begitulah. Akhirnya Sekar memantapkan diri menerima pinangan Manggala. Pernikahan mereka dilaksanakan kecil saja, hanya Adaka dan pandita yang menyaksikan betapa cinta tumpah dalam tatapan mereka kala itu.

Ya, kala itu.

Tapi sekarang?

"Hyang Widhi, apakah ini waktunya aku berhenti mendampingi kakanda?" gumam Sekar sedih.

-----------------

~auliael

Jogja, 24-11-2020  20.19  3061 words

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro