Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1 | Naik

Hai, guess we're gonna meet again after you finished this very early part.

Ini sebetulnya sudah dipost sejak zaman baheula dan barusan saja aku republish. Tapi ternyata karena aku nggak nyaman dengan work yang kemarin, I deleted it and change to a brand new work. Jadi maklum kalau readers dkk masih bakal melompong walau aku bilang ini work lama.

Anyway, silakan lanjut scroll ke bawah. I bet you won't regret. Dan sebagai bentuk ketidak menyesalanmu membaca cerita ini, bisakah kamu tinggalkan jejak apa pun di sini? Thanks in advance.

Fasten your seatbelt and enjoy the ride!

------------

Kemul halimun masih pekat mengambang di antara pepohonan. Pucuk-pucuk rumput yang berhias embun pun masih segar, belum terinjak kaki-kaki makhluk lain di atasnya. Cuit burung dan lenguh hewan meramaikan suasana pagi yang sunyi, menemani langkah dua anak manusia yang berjalan pasti melintasi jalur setapak di tengah belantara punggung pegunungan Hyang.

Dua orang itu, lelaki dan perempuan, masing-masing membawa banten janur kuning berisi aneka hasil tani dan kembang setaman di atas surai hitam mereka yang mengkilap. Mereka tampaknya telah hapal seluk beluk tempat itu melihat mereka bahkan tak perlu menunduk untuk mengawasi kaki mereka.

Atau tidak.

"Hati-hati," si lelaki yang berjalan di depan memperingatkan gadis di belakangnya tanpa menoleh. "Perhatikan langkahmu."

Si gadis nyengir lebar. Kakangnya ini tahu saja ia hampir tersandung akar pohon yang mencuat tinggi dari tanah.

Mereka terus berjalan. Sebuah perjalanan yang lambat sebenarnya, karena selain jalan setapak yang basah karena embun, hewan-hewan liar yang sering melintas tiba-tiba -dari celeng, rusa, sampai ular yang melata, medan yang mulai menanjak juga menguras energi hingga  terkadang mereka harus berhenti sebentar karena pemuda itu memberikan adiknya jeda waktu untuk beristirahat. 

"Kita berhenti dulu," si pemuda berbalik, menatap gadis yang menyunggi persembahan itu. Ia segera menurunkan bawaannya dan membantu si gadis meletakkan pinggan di atas kepalanya dengan hati-hati ke tanah. "Kakang akan berburu untuk sarapan kita," ia mengeluarkan belati-belati kecil dari buntalan kain yang ia geletakkan di atas batu besar di tepi sungai kecil tempat mereka berhenti.

"Kenapa ndak pakai panah saja?" gadis itu memandangi sang kakak heran. "Kan aku bawa panah."

"Belati lebih enak di tempat yang pohonnya lebat begini," jawab pemuda itu. "Kau tunggu dulu. Jangan suka melamun dan jangan lupa isi wadah air di mata air!"

Si gadis memutar bola mata. "Iya, iya, bawel." ia memonyongkan bibirnya.

Sang kakak menepuk kepala adiknya pelan sambil tertawa, "Kalau ada apa-apa teriak saja. Kakang tidak jauh-jauh kok."

Sekali lagi gadis itu memutar mata. "Sudah sana! Jangan bersikap seperti aku tidak pernah main ke sini, dasar paranoid!" usirnya. Sang kakak tertawa, kemudian berbalik dan menjauh.

Gadis itu, Rengganis namanya. Ia memandangi punggung gagah kakangnya yang menjauh sembari menekuk kakinya.

Ah, kakang ..., Rengganis meletakkan dagunya di atas lutut. Rambutnya tergerai bebas di kanan kiri tubuhnya, tertiup angin sepoi yang berhembus tenang. Matanya masih memandangi arah kakangnya pergi meski sosoknya sudah hilang di balik semak-semak tinggi dan pepohonan.

Benaknya sibuk berpikir. Sungguh tidak biasanya sang kakak mengajaknya naik gunung untuk beribadah.

Ada apa?

Bukannya kakang Arga tidak religius sih, tapi ya, menurut Rengganis kakangnya bukan tipe orang yang dalam kondisi biasa akan senang hati mengajaknya mendaki gunung Argopuro untuk beribadah di pura pada pagi buta seperti ini. Apalagi mendaki gunung tertinggi di pegunungan Hyang memakan tak hanya satu dua hari. Lumrahnya penduduk desa terakhir, itu desa mereka, akan menghabiskan setidaknya dua hari untuk naik dan tiga hari untuk turun.

Belum lagi, perkara Romo dan Ibu bisa membiarkannya pergi berdua saja dengan kakang ... Tidakkah itu aneh? Biasanya kan jika ada salah satu dari mereka yang ingin pergi beribadah ke pura puncak, keluarga mereka selalu pergi ke puncak bersama-sama.

"Tuh, kan. Apa yang kakang bilang soal jangan suka melamun di alas begini?" mendadak sebuah suara menyapa gendang telinga Rengganis dari jarak yang amat dekat.

Rengganis berjengit kaget. Nyaris saja ia terjengkang jika ia tidak buru-buru menarik sesuatu, yang sialnya adalah helai-helai rambut kelam panjang yang merupakan benda terdekat yang bisa digapainya.

"ADUH!" pemuda itu kontan saja mengaduh. Dijambak biasa saja sakit, apalagi ini dijambak dengan sepenuh rasa dan karsa.

Butuh beberapa saat bagi Rengganis untuk mengembalikan denyut jantungnya ke ritmenya yang normal. Ia melepaskan tangannya begitu sadar siapa yang mengusilinya.

"KAKANG, BISA TIDAK SIH JANGAN MENGAGETKAN ORANG?!" Rengganis memelototi kakangnya, yang tengah mengusap-usap kepalanya.

Arga mendecak. "Sudah, tidak perlu marah-marah. Kakang langsung dapat balasannya tuh." ia menunjuk beberapa helai rambutnya yang rontok di antara jemari adiknya. "Memikirkan apa, hm? Kenapa wajahmu mikir jero sekali?" pemuda itu berjongkok beberapa hasta dari Rengganis di bantaran sungai. Ia meletakkan dua ekor kelinci liar gemuk yang berdarah-darah di tanah dan mulai mengulitinya.

Melihat kakangnya mulai bekerja, Rengganis beranjak. Ia mengambil bumbung bambu berukuran sedang yang sudah dilubangi ujungnya sebelum turun ke sungai yang alirannya bening sekali, khas mata air pegunungan. Rengganis tahu sumber sungai kecil itu tak jauh dari sini, jadi ia santai saja mengambil air dari sungai itu untuk mengisi bumbung bambu wadah perbekalan air mereka.

"Tidak apa-apa," jawabnya singkat. Bumbung bambu itu segera penuh. Rengganis menyandarkannya ke batu, lalu beranjak mengumpulkan semak kering dan kayu yang bertebaran di sekitar mereka untuk membuat api.

Arga diam-diam menatap sosok gadis ayu berkemben jarik itu di sela-sela kegiatannya membersihkan daging kelinci. Tanpa bisa ditahan, memorinya memutar kembali kejadian beberapa hari yang lalu.

Alasan mengapa ia memutuskan untuk mengajak gadis itu naik gunung hari ini.

------------

"Ngger Arganendra," suara ibu memecah derik serangga yang mengiringi Arga ke alam mimpi. "Sini sebentar, Le."

Arga yang tertidur di bale-bale ruang tengah segera bangun mendengar suara ibunya.

"Iya, Bu," ia patuh. "Sebentar, Arga cuci muka dulu."

Pemuda itu beranjak ke belakang untuk membasuh wajah dari bejana air bersih yang biasa disimpan ibunya untuk memasak, baru kemudian beringsut mendekati ibu yang ternyata tengah mengobrol dengan seseorang di pendopo depan.

Pada hari-hari biasa, biasanya sih Arga akan ikut menimbrung ketika ada tamu yang datang berkunjung. Desa ini tidak besar. Praktis Arga kenal baik semua orang di sini. Dan jika mereka datang ke rumah, berarti mereka akan membahas hal-hal yang cukup penting. Dan sebagai satu-satunya putra Nyi Sekar yang sudah dewasa, Arga-lah yang menjadi perwakilan dari keluarga mereka. 

Namun hari ini ia lelah sekali habis menemani Rengganis yang merengek ingin makan daging kijang bakar berburu di hutan seharian, jadi ia langsung merebahkan dirinya di ruang tengah dan dengan cepat terlelap hingga tak sadar rumah mereka kedatangan tamu.

Tak butuh waktu terlalu lama bagi Arga untuk bergabung di atas alas tikar anyaman ilalang bersama ibu dan sosok yang ternyata pamannya. "Lho, paman kapan tiba?" sapa Arga.

Paman mengunyah pinang dan sirih dalam mulutnya sekali sebelum menjawab, "Tadi siang sampai. Selepas surup kemari."

Arga mengangguk paham. Sudah hampir setengah bulan yang lalu Paman Adaka berangkat ke kotaraja untuk menjual hasil panen ladang mereka. Perjalanan pulang pergi ke Kotaraja memang memakan waktu yang panjang karena jauhnya.

"Tumben Paman langsung kemari. Ada perlu dengan Ibu?" tanya Arga sambil lalu. Ia tidak benar-benar serius bertanya sih, cuma berseloroh saja.

Namun tanpa pemuda itu sadari, paman dan ibu saling bertukar pandang penuh makna seolah bertanya siapa yang akan berbicara duluan.

Akhirnya Paman Adaka yang buka mulut. "Paman dengar Gusti Raja memberi titah perekrutan prajurit muda." paman berintro. "Sinuwun ingin membangun armada militer yang kuat untuk mengantisipasi serangan kerajaan lain karena Mitreka Satata Majapahit mulai tidak kondusif." mata paman terpancang lurus pada Arga, menantikan reaksinya.

Seperti dugaannya, sorot mata Arga langsung menunjukkan ketertarikan. "Sungguh, paman?" Arga berusaha menekan antusiasme-nya, namun siapapun tahu anak itu benar-benar tertarik. Adaka tersenyum saja.

Melihat respon Arga tak urung membuat Sekar menghela nafas diam-diam. Berbagai perasaan sekilas bergantian muncul di wajahnya. Namun jejaknya sudah hilang saat Arga menoleh kepadanya."Ibu, bolehkah aku ikut pendaftaran prajurit?" tanyanya. Suaranya melirih di ujung kalimat, mendadak teringat kejadian yang lalu-lalu.

Menjadi prajurit kerajaan adalah mimpi terbesar Arga, dan semua orang dalam keluarga mereka tahu betul obsesi Arga untuk menjadi abdi negara. Kapan tepatnya keinginan itu muncul, Arga juga lupa. Yang jelas sejak usianya lima belas ia sudah berkali-kali matur ingin mendaftar ke kesatuan militer di kotaraja pada ibu. Tapi ibu selalu saja menolak. Dan keputusan ibu pun diamini paman Adaka, hingga akhirnya ia tidak pernah lagi memohon kepada ibu supaya ia diizinkan pergi.

Tapi malam ini entah kenapa ibu tampak tidak menolak keinginan Arga. "Boleh," jawab Sekar pendek.

Arga sudah mempersiapkan diri kembali menerima penolakan, jadi jawaban singkat ibu benar-benar membuatnya terkejut setengah mati.

"Benarkah?" suaranya sarat ketidakpercayaan, namun matanya berkilau oleh kebahagiaan.

Sedikit bagian hati Sekar tercubit melihat binar di mata putranya. Terangnya cahaya di mata Arga bahkan mampu menggantikan gemerlap bintang kejora. Menatap betapa bahagianya Arga, lidah Sekar kelu. Jadi ia hanya mengangguk saja untuk menjawabnya.

"Sungguh, bu?" sekali lagi Arga memastikan, seakan takut jawaban ibunya tadi hanyalah bagian dari halusinasinya.

"Sungguh."

Senyum lebar Arga betulan tak bisa ditahan. Rasanya begitu bahagia. Sudah lama tak ada hal yang membuatnya merasa bagai dilempar ke kahyangan seperti ini.

Serius dia boleh mendaftarkan diri jadi prajurit kerajaan di ibu kota sana?

Arga begitu tenggelam dalam euforia sesaatnya sampai tidak sadar ada berbagai emosi terpendam yang berusaha kembali disembunyikan ibunya di balik mimik wajahnya.

Adaka diam-diam menatap mbakyu-nya. Sepertinya hanya dirinya yang menyadari emosi macam apa yang berkelindan dalam hati Sekar Mirah.

Arga kembali menatap Paman Adaka dengan rasa tidak sabar yang tak bisa ditutup-tutupi. "Paman, apakah Paman bisa mengantarku ke kotaraja?"

Adaka terkekeh pelan. "Kenapa kau tampak begitu buru-buru, hm? Kotaraja tak akan lari kemana-mana, Ngger."

Arga tampak malu. "Maaf, Paman."

"Tak perlu risau. Ibumu tak akan membatalkan persetujuannya. Namun ada syaratnya."

"Apa syaratnya?" Arga menatap kedua orang tua di hadapannya. Arga menatap mereka seperti anak anjing yang penuh harap, membuat hati keduanya jadi luluh saja.

"Ibumu bilang dia harus ikut ke Kotaraja mengantarmu," Paman menyempatkan diri meludahkan saliva merah hasil menginangnya ke cepuk kecil miliknya. "Kalau tidak kau tidak jadi boleh pergi ke Kotaraja."

Arga serta merta mengerutkan kening. "Ibu, kenapa memaksakan diri?" ujarnya tak setuju. "Kotaraja kan jauh. Nanti kalau ibu masuk angin bagaimana?"

"Jangan meremehkan ibumu ini, Ngger. Memang ibu setua itu sampai-sampai kau khawatir ibumu ini akan masuk angin sampai disana?"

"Memang sudah tua!" tak hanya Arga, Adaka kompak menjawab pertanyaan Sekar tanpa tedeng aling-aling.

Sekar menatap kedua pria di depannya tak percaya. Campuran kesal dan geli membuatnya sampai tidak tahu harus tertawa atau menangis melihat kekompakan menyebalkan paman dan keponakan ini.

"Pokoknya ibu ikut. Kalau tidak, ya sudah jangan harap ibu merestuimu pergi ke kotaraja." akhirnya Sekar mengeluarkan jurus ancamannya.

Arga menatap paman dengan raut wajah tak setuju tapi tidak berdaya. Adaka sendiri hanya mengedikkan bau, mempersilahkan Arga memilih.

"Hhh, ya sudah. Tapi ibu harus pakai pakaian tebal sepanjang perjalanan." ucap Arga, menyerah karena ibu menatapnya menantang.

Sekhawatir-khawatirnya Arga pada kesehatan ibu, tetap lebih penting restu untuk pergi ke kotaraja dong. Toh mereka akan pergi bersama Paman Adaka yang notabene hafal seluruh seluk beluk jalur menuju kotaraja.

"Lalu kapan kita akan berangkat?" Arga beralih ke Adaka.

"Semingguan lagi lah. Biarkan kudaku beristirahat dulu setelah dipakai pulang pergi ke kotaraja. Sudah tua si Kopi itu." Paman menyebut nama kudanya. Sekali lagi ia meludah. "Persiapkan saja apa-apa yang harus dibawa. Paman pulang dulu. Aku sampai belum beristirahat demi mampir kemari." ujarnya sambil bangkit.

Sekar dan Arga ikut bangkit. "Terima kasih banyak, Paman." senyum lebar tak henti muncul di bibir Arga. 

Adaka menyahut sekenanya sebelum berjalan. 

Arga mengantar kepergian Adaka dari undakan pendopo saja bersama Sekar. Namun bagai teringat sesuatu, ia segera mengejar Adaka yang sudah hampir menuruni undakan. "Paman,"

"Apa?"

Arga memberi Adaka gestur mendekat. Adaka mengangkat alis heran, namun tak urung mendekatkan telinganya pada Arga pula. Di belakang mereka Sekar memandangi mereka sambil menghela nafas dan geleng-geleng.

Kadang kedewasaan mereka bisa dibandingkan, Adaka dan Arga itu. Di mayoritas waktu Adaka memang bijaksana, seorang kepala desa yang baik. Namun jika sudah bersama Arga dan Rengganis putrinya, ia bisa bersikap seperti ABG tua yang sok gaul.

"Paman, bolehkah aku mengajak Rengganis munggah dulu sebelum berangkat?" bisik Arga pelan.

Tentu saja Adaka mengangkat alisnya tinggi-tinggi mendengar permintaan Arga. "Munggah sembahyang ke pura?" tanya Adaka.

Arga mengangguk.

"Kenapa kau hanya mengajak Rengganis? Kenapa tidak kita semua saja bersama-sama naik?" tanya Adaka.

Arga melotot kecil pada Paman kala suaranya terlalu keras. "Paman!"

Adaka justru terkekeh puas. "Wani piro, hayo?"

"Besok aku bawakan daging menjangan muda sewaktu turun," tawar Arga.

"Kalau begitu, sepakat." Adaka tertawa sambil mengibas tangan. "Dan jangan lupa kembalikan anakku utuh-utuh. Kalau tidak.." Adaka memberi gestur gores di leher.

"Kapan sih aku pernah mengembalikan Rengganis tidak utuh?" gerutu Arga pelan.

"Pernah, dulu kalian pulang dan Rengganis sudah menangis sambil mencincing kembennya karena ndelasar waktu kalian balapan lari di jalan dekat ladang."

"Itu kan sudah bertahun-tahun yang lalu, Paman! Lagi pula, dia kan jatuh sendiri."

"O tidak, tidak. Karena kau yang meminta izin berarti kau harus sepenuhnya bertanggung jawab atas apapun yang terjadi pada anakku," Paman menggoyangkan telunjuknya di muka Arga. "Ah, kalau begitu aku berubah pikiran. Izin ditar-"

"Baik, baik. Kali ini aku pasti akan menjaganya baik-baik." Arga buru-buru memotong.

"Apakah kalian akan terus-terusan berdebat di depan pagar seperti itu?"

Waduh.

Adaka dan Arga langsung diam mendengar suara Sekar.

"Baik, lusa berangkatlah sembahyang. Berangkatlah pagi-pagi supaya tidak panas saat berangkat." Adaka berpesan sebelum buru-buru pulang. Sementara Arga mesem mesem bahagia.

Tidak sia-sia punya ibu yang ditakuti paman seperti ibunya.

Arga mendekati ibu yang masih menatapnya di atas kloso. Tanpa babibu Arga langsung memeluk ibunya. "Terima kasih banyak, ibu," ucapnya. "Aku sayang sekali pada ibu."

Arga tidak tahu betapa sebenarnya Sekar ingin menangis mendengar kalimat Arga.

"Begitu pula ibu, ngger. Begitu pula ibu,"

----------------

"Sudah selesai 'menurunkan makanan'?" Arga bertanya setelah mereka rampung menandaskan seluruh daging terwelu hutan yang dipanggang. Tumpukan tulang kelinci yang ada di depan Rengganis menjelaskan kenapa gadis itu masih juga malas bergerak dari tempatnya.

Rengganis mengangkat tangan sejenak sebelum suara sendawanya terdengar keras. "Sebentar, aduh, aku masih kekenyangan."

Arga tidak bisa tidak tertawa melihat bentukan Rengganis yang kekenyangan. "Makanya kalau makan tuh kira-kira. Kau ini gadis tapi porsi makanmu seperti kuli."

"Salah siapa kelinci bakarnya enak? Huh, siapapun yang bakal menikah denganku pasti senang dan gemuk karena aku pintar masak."

"Kebetulan saja bumbumu hari ini enak. Biasanya juga kau diomeli bibi karena keasinan," tukas Arga jahil.

"Hei, jangan sok tahu ya!"

"Memang tahu kok, hahaha," Arga terbahak. "Bibi kan bolo-ku,"

Rengganis tidak bisa tidak memajukan bibir mendengar ucapan Arga. "Daripada kakang, sekalinya masak air pancinya sampai gosong gara-gara ditinggal tidur."

"Kapan?"

"Seingatku sih seminggu yang lalu, soalnya budhe cerita waktu aku main ke rumah kakang. Hehe."

"Tidak benar!"

"Mana mungkin budhe berbohong?" Rengganis mengangkat sebelah alisnya tengil. "Budhe kan bolo-ku," gadis itu membalas dengan nada yang sama seperti Arga tadi.

"Baik, aku menyerah," Arga angkat tangan. "Aku tidak pernah bisa menang berdebat denganmu atau dengan ibu."

"Bagus, karena untuk mengendalikan laki-laki seperti kakang dan romo hanya bisa dilakukan oleh wanita-wanita seperti aku dan budhe," balas Rengganis sombong.

"Terserah kau saja. Yang penting kau senang," Arga mendecak pasrah. "Sudah, ayo jalan lagi. Sudah mulai panas."

"Yuk."

Arga mengulurkan tangan, membantu Rengganis bangun dari duduknya sebelum mereka sama-sama mengangkat banten sesajen lagi dan mulai berjalan.

Sepanjang perjalanan mereka selanjutnya, mereka beberapa kali berganti posisi. Kadang Rengganis di depan, Arga di belakang. Kadang sebaliknya. Kadang mereka berjalan bersisian jika jalan sedikit lebar dan medan yang dilalui tidak terlalu berbahaya. Toh dua-duanya sama-sama hafal jalur yang harus dilewati menuju pura tertinggi di seantero kerajaan itu.

Saat malam tiba, mereka akan mencari tempat yang sekiranya aman untuk mendirikan tenda. Arga akan berjaga sampai pukul empat pagi, sementara Rengganis dibiarkan tidur.

Dan malam-malam sunyi di tempat yang jauh dari peradaban manusia itu adalah waktu yang tepat untuk memilah-milih masalah-masalah yang menjejali pikiran Arga.

Jika kalian bertanya-tanya mengapa Arga hanya mengajak Rengganis saja dalam perjalanan mendaki Argopuro, itu karena ...

Arga ingin menyatakan perasaannya pada Rengganis setelah mereka rampung sembahyang.

Ya, Arga memiliki afeksi yang lebih dari sekedar rasa sayang kakang kepada adiknya pada gadis itu.

Tepatnya kapan rasa itu muncul, Arga tidak tahu. Kali ini betul-betul tidak tahu, tak seperti masalah keinginannya menjadi prajurit yang ia lupa saking lamanya.

Yang jelas ia juga baru menyadarinya akhir-akhir ini.

Awalnya ia ingin memendam perasaan ini dalam-dalam. Tapi malam itu, saat paman Adaka beranjak keluar dari ruang depan, Arga mendadak menyadari sesuatu.

Jika ia pergi, ia akan berada nun jauh di Kotaraja, jauh sekali dari Rengganis yang berada di desa kecil mereka di kaki Gunung Argopuro.

Membayangkan hidupnya tanpa celotehan dan tingkah konyol Rengganis saja sudah membuatnya hampa, apalagi jika ia harus betul-betul melakukannya?

"Ah, seharusnya memang aku tidak menunda-nunda," Arga merutuk sendiri di depan api unggun yang dibuatnya. Ia melemparkan ranting kering lagi ke dalam nyala api. "Harusnya sejak awal aku bilang saja padanya.." Arga memelankan suaranya, takut Rengganis terjaga dan mendengar ia merutuk-rutuk sendiri begini.

Bucin boleh, tapi harus tetap pencitraan dong di depan gadis pujaan.

Kalau saja dirinya tidak terlalu pengecut, mungkin sekarang ia tidak berada disini. Mendaki puncak Argopuro demi berdoa pada Hyang Widhi supaya hatinya siap menerima segala jawaban gadis itu.

Sejujurnya Arga takut sekali gadis itu akan menolaknya dan menganggapnya aneh karena selama ini mereka selalu bersama sebagai kakak adik. Kasih sayang diantara mereka seharusnya platonik, bukan rasa cinta yang membuat Arga enggan melihat gadis itu dimiliki lelaki lain. Bukan rasa sayang yang mebuat Arga menginginkan Rengganis menjadi teman hidupnya sampai ujung usia.

"Nis, apakah kamu betul-betul akan menolakku?" Arga bergumam lirih sembari menatap pintu tenda yang sedikit tersibak karena angin, menunjukkan Rengganis yang sedang terlelap pada Arga.

Ingin rasanya Arga mengusap pipi Rengganis dan mencubitnya seperti kala ia gemas, -sepertinya ia sudah gila karena menganggap wajah ngiler Rengganis menggemaskan. Tapi ia tidak ingin tidur gadis itu terganggu.

Sekali lagi netra Arga terarah pada Rengganis. "Bolehkah kakang minta kau jangan menolakku, Nis?" gumamnya lirih. "Bolehkah?"

---------------

Auliael

Jogja, 13-10-2020  02.44  2188 words

(edited  Jakarta, 06-12-2022  11.14  2794 words)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro