Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Rendezvous (7)

PENULIS BERHAK UNTUK MENGHAPUS NASKAH INI SEWAKTU-WAKTU, DENGAN ATAU PUN TANPA PEMBERITAHUAN. JIKA ANDA SEPAKAT DAN DAPAT MENGHARGAI HAK TERSEBUT, SILAKAN LANJUT MEMBACA. JIKA TIDAK, SILAKAN MENINGGALKAN POSTINGAN INI DAN TIDAK PERLU PROTES. 

TERIMA KASIH.

============

TUJUH

============

Hari ini, Krisan datang terlambat. Nggak tanggung-tanggung, dia baru tiba di gerbang sekolah saat upacara selesai. Semalam, dia nggak bisa tidur, lalu main GTA sampai hampir subuh. Pagi-pagi, alarmnya bunyi dan di-snooze sampai tiga kali. Krisan baru bangun setelah Bi Eti masuk kamar dan membangunkannya. Pintu kamarnya memang nggak dikasih kunci. Bu Hapsari, mamanya Krisan, memberlakukan aturan itu untuk alasan semacam ini. Dalam seminggu, ada hari-hari tertentu di mana Bu Hapsari harus pergi meeting di tempat klien, pergi ke distributor beberapa jenis bahan makanan untuk keperluan kateringnya, atau pergi untuk urusan lainnya. Dan terkadang, hal itu harus ia lakukan sejak pagi buta, sehingga ia tak bisa mengontrol kedua anaknya secara langsung.

Sudah pasti, Krisan bakal berurusan dengan guru piket. Kabar buruknya, guru piket hari ini adalah Bu Intan, wali kelasnya yang terkenal berdarah dingin itu. Dan kabar buruknya lagi, Krisan nggak cuma dapet Surat Tanda Datang Terlambat yang sudah dua kali diterimanya sejak kelas XII ini, melainkan juga dapet tanda silang di seragamnya.

Ah, sial. Krisan beneran nggak nyadar kalau bagian bawah kemejanya nggak dimasukkin ke dalam celana. Padahal, pada hari-hari biasanya, dia selalu berpenampilan rapi sesuai aturan. Bu Intan memang paling gatal terhadap siswa-siswinya yang nggak rapi dalam berpakaian. Dia nggak bakal segan-segan memberi tanda silang dengan spidol merahnya di bagian bawah kemeja siswa-siswinya itu, atau menggunting rok anak perempuan yang terlalu pendek. Apa yang harus Krisan bilang nanti kalau mamanya nanya soal tanda silang merah itu? Bilang aja, lagi musim, gitu? Atau, bilang aja kalau pas Marcel mau nyilang jawaban di kertas, dia malah salah tempat di seragam Krisan? Hm... mamanya bakal percaya, nggak, kira-kira?

Dan nggak cuma itu, Krisan juga harus menjalani hukuman. Bu Intan membawa Krisan dan enam orang siswa lainnya ke perpustakaan. Mereka harus membersihkan lantai, bangku, rak buku, lemari, juga kaca jendela perpustakaan. Itu artinya, dia bakal terlambat mengikuti pelajaran pertama hari ini.

Ketika siswa lainnya kembali ke kelas masing-masing, Krisan malah kebablasan tidur di perpustakaan. Waktu dia kebagian tugas membersihkan lemari di bagian paling pojok ruangan (yang gosipnya merupakan salah satu zona angker di sekolah ini), tau-tau dia kelelahan dan mengantuk. Dia pun tertidur dalam posisi duduk di lantai dan bersandar di sebuah lemari besar.

Terdengar langkah beberapa orang siswa mendekat ke arah Krisan. Salah satu dari mereka serta-merta menamparnya tanpa keraguan. Membuat Krisan terjaga seketika dengan tampang kebingungan. Pipinya terasa panas. Tamparan itu memang kenceng banget, sampai bunyinya kayak petasan meledak. Krisan mengerjap, dan mendapati tiga orang siswa berdiri di hadapannya.

“Heh, Anak Mami tukang ngadu! Bangun, lo!” Siswa yang menampar Krisan tadi, kini menjambak rambutnya. Krisan berusaha melawan, namun kedua orang lainnya memegangi tangan Krisan. “Gue udah peringatin elo supaya tutup mulut. Lo pikir, gue main-main, heh?” Dan sekarang, cowok itu mengempaskan kepala Krisan ke dinding.

Dinding perpustakaan berubah menjadi dinding ruangan lain setelah kepala Krisan terbentur di sana. Perlu beberapa detik bagi Krisan untuk berpikir dan mengidentifikasi di mana dirinya berada saat ini. Oh, ruangan ini mirip sebuah gudang. Dan kemudian, Krisan pun menyadari kalau ketiga cowok yang berdiri pongah di hadapannya itu adalah senior-seniornya kala SMP. Itu berarti, ruangan ini adalah gudang belakang di SMP-nya dulu.

Kemudian, Krisan mulai mengenali wajah orang-orang itu. Cowok yang menampar, menjambak, dan mengempaskan kepalanya itu bernama Xander, anak kelas IX yang sok berkuasa. Sedangkan dua kroconya bernama Roki dan Emil, yang berasal dari kelas IX dan VIII. Krisan pun ingat, sepulang sekolah siang itu, Emil memanggilnya, lantas mengajaknya ke taman belakang sekolah. Setiba di tempat yang sepi, Krisan merasakan sesuatu menghantam bagian tengkuknya, sebelum akhirnya dia pingsan.

Kenapa Krisan bisa berada di sini lagi, di masa lalu, dalam kenangan buruk lima tahun lalu yang selalu berusaha dia lupakan itu?

“Lo tau? Gara-gara mulut ember lo itu, dua hari yang lalu, Pak Andri manggil gue sama Roki ke ruangannya. Dia menginterogasi kita dengan penuh rasa curiga. Dari mana dia bisa tau soal masalah itu kalau bukan dari elo?!” Xander meremas kerah kemeja Krisan. “Bangun, lo!” Dan dia pun menarik tubuh Krisan untuk bangkit dan berdiri. Setelah itu, dia menghimpit tubuh Krisan ke dinding dengan sebelah tangan. Sebelah tangannya yang lain mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya.

Krisan mulai gemetar saat melihat sebilah pisau lipat diarahkan ke lehernya. Itu pisau beneran, dan keliatannya tajam. Sebelum Xander kalap dan melakukan sesuatu yang membahayakan keselamatannya, Krisan berusaha menjelaskan, “Dengerin penjelasan aku dulu, Kak. Aku nggak ngasih tau siapa-siapa soal masalah itu. Sumpah.”

Cowok berkulit pucat dan berkepala plontos itu menggeleng sangsi. “Nggak ada penjahat yang bakal ngaku salah. Nggak ada juga saksi mata yang bakal ngaku kalau dia melaporkan kejadian yang dilihatnya.” Dan pisau lipat itu pun mulai menyentuh kulit leher Krisan. Membuat Krisan semakin berhati-hati dalam membuat gerakan.

“Sumpah, Kak. Aku... nggak lapor... ke Pak—” Belum sempat Krisan menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba seseorang muncul dari balik barang-barang yang menghuni gudang dan langsung menyerang Xander.

Xander terjengkang ke belakang, menghantam Roki dan Emil, lalu mereka bertiga jatuh ke lantai.  Sosok itu sebenernya terlalu ceking untuk menjadi seorang pahlawan penumpas kejahatan. Tapi, dia punya cukup nyali dan kekuatan. Dia menghajar Xander, Roki, dan Emil dengan tangan kosong, di waktu yang bersamaan. Gila.

Krisan mulai merasakan perih di bagian lehernya yang sempat tergores pisau. Darah mengalir dari lukanya. Namun, Krisan berusaha mengabaikannya, dan kemudian membantu cowok itu melawan ketiga bajingan tengik sekolah. Bajingan tengik yang pada suatu sore pernah Krisan pergoki sedang mengisap rokok yang dilinting secara manual dan tampak mencurigakan, sambil meminum minuman keras bersama beberapa orang cowok berbaju bebas di sekitar pangkalan ojek belakang sekolah. Tempat itu lumayan sepi, dan Krisan melewatinya ketika dia pulang latihan ekskul sore hari. Krisan mempercepat langkahnya setelah Roki menemukan keberadaannya. Keesokan harinya, Xander dan Roki mendatangi Krisan di kelas dan mengancamnya. Krisan pun setuju untuk tutup mulut, sebab nggak ada untungnya berurusan dengan mereka. Dan Krisan berani bersumpah kalau dia nggak pernah mengatakan  hal itu kepada siapa-siapa. Jadi, kalau Pak Andri sampai tahu, mungkin itu karma buruk yang sudah semestinya diterima Xander dan teman-temannya.

Krisan berusaha menyerang sebisanya. Sebenarnya, dia tipe orang yang lebih suka menyelesaikan masalah secara baik-baik, alih-alih berkelahi seperti ini. Tapi, mau nggak mau, dia harus melakukannya, demi menyelamatkan dirinya sendiri dan seseorang yang telah menolongnya. Dua lawan tiga. Dan hasilnya dimenangkan oleh pihak Krisan.

Pendarahan di leher Krisan belum juga berhenti, dan malah semakin parah. Seseorang yang memasang name-tag bertuliskan nama Kenvin di seragam sekolahnya itu lantas mencemaskan keadaan Krisan dengan darah yang terus mengucur dari leher.

“Kamu baik-baik aja? Kamu masih bisa bertahan...?”

Dan ketika Kenvin lengah karena lebih fokus kepada Krisan, Xander yang sebelumnya terkapar di lantai sambil mengerang-ngerang pun bangkit dan menusukkan pisaunya ke bagian bahu belakang Kenvin.

***

“Kris, Krisan!” Sebuah suara menyebut namanya, dan sentuhan lembut menepuk-nepuk pundaknya. “Hei, bangun.”

Krisan membuka matanya secara perlahan. Terjaga dari sebuah lucid dream yang mengerikan dan sama persis dengan kejadian lima tahun silam itu masih menyisakan rasa sakit dan pusing yang perlu waktu lama untuk dipulihkan. Dia masih berada di perpustakaan, dengan posisi tidur terduduk di lantai, bersandar pada sebuah lemari besar.

Pemandangan blur di depannya pelan-pelan berubah menjadi sewujud wajah yang begitu cantik dan sangat dia rindukan. Wajah yang mampu meredakan segala kekhawatiran.

“Nadia....” Serta-merta Krisan memeluknya. Pelukan itu terasa melegakan dan menenangkan. Krisan merasa bahagia, ternyata Nadia masih peduli terhadapnya. Bahkan, Nadia adalah orang pertama yang dilihatnya saat dia terjaga dari mimpi dan kenangan mengerikan itu.

“Ehm, sorry. Ini gue, Viona. Bukan Nadia.”

Eh? Krisan nggak salah denger? Dia mengerjapkan mata, memulihkan kesadarannya sepenuhnya. Dan perasaannya mulai nggak enak ketika dia mulai menyadari bahwa cewek yang dipeluknya itu berambut pendek. Ya, ia memang Viona. Dan Krisan benar-benar menyesali pelukannya tadi. “S-sorry, Vi. Tadi gue....”

“Nggak apa-apa.” Cewek cantik yang konstan dengan rambut pendeknya itu tersenyum. “Tadi Bu Intan ke kelas dan nyariin kamu. Terus, dia nyuruh aku cari kamu di perpus.”

“Oh....” Krisan nggak tau harus berkomentar apa. Pikirannya masih cukup kacau gara-gara mimpi sekaligus kilas balik ingatannya tentang kali pertama dia dan Kenvin berjumpa.

“Ke kelas sekarang, yuk! Udah mulai jam pelajaran kedua, nih.”

Krisan mengangguk, lalu bangkit. Dan dia baru menyadari bahwa bukan cuma ada dirinya dan Viona di ruangan itu, melainkan juga beberapa orang siswa dan siswi lain yang sedang membaca atau mencari buku untuk dipinjam. Ada juga yang kelihatannya nggak punya motivasi apa-apa selain memandangi Krisan dan Viona dengan sorot mata yang enggak menyenangkan. Dan salah satu dari orang itu adalah Rere, sahabatnya Nadia.

Rere nggak ngeliat kejadian waktu Krisan tiba-tiba meluk Viona, kan?! Semoga enggak.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro