Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Rendezvous (10)

[BEBERAPA BAB TERAKHIR SUDAH MULAI DIHAPUS, DAN AKAN MULAI DILAKUKAN PENGHAPUSAN PADA BAB-BAB LAINNYA]

PENULIS BERHAK UNTUK MENGHAPUS NASKAH INI SEWAKTU-WAKTU, DENGAN ATAU PUN TANPA PEMBERITAHUAN. JIKA ANDA SEPAKAT DAN DAPAT MENGHARGAI HAK TERSEBUT, SILAKAN LANJUT MEMBACA. JIKA TIDAK, SILAKAN MENINGGALKAN POSTINGAN INI DAN TIDAK PERLU PROTES. 

TERIMA KASIH.

============

SEPULUH

============

Ada 3 faktor yang membuat Kenvin tampak istimewa di mata Nadia:

1. Kenyamanan

Nadia baru dua kali bertemu dengan Kenvin, tetapi rasanya seperti sudah belasan kali. Kalau sudah begini, Nadia bakal percaya pada konsep reinkarnasi. Mungkin, di kehidupan masa lalunya, Nadia dan Kenvin adalah sepasang manusia yang saling mengenal atau bisa jadi memiliki ikatan. Kalau nggak kayak gitu, pertemuan kembali mereka di mall pada sore itu bakalan lumayan awkward. Tapi, kenyataannya malah seru.

Karena cukup pesimis nggak bakalan dapet tempat duduk di J.co, Kenvin pun mengajak Nadia dan kedua sahabatnya pergi ke tempat lain. Kalau kalian pikir Kenvin mengajak mereka pergi ke kafe yang super-cozy dengan AC yang super-adem dan alunan musik yang jazzy abis, ya, betul. Kalian betul-betul salah. Kenvin mengajak mereka ke foodcourt. Ya, ke foodcourt yang rame, berisik, dan nggak adem itu. Dia membawa Nadia dan kedua sahabatnya pada sebuah kedai jajanan pasar.

Jangankan akrab dengan nama-nama jajanan pasar seperti Naga Sari, Onde-Onde (kalau Onde-Onde sih yakin deh masih pada tau), Getuk Lindri, Putu Ayu, Surabi, Ongol-Ongol, dan sebagainya, Nadia bahkan nggak tau kalau di foodcourt itu ada kedai yang menjualkan jenis-jenis makanan tradisional yang disajikan dengan sentuhan modern. Nadia juga nggak begitu yakin kalau ia bakal menikmatinya. Tapi kemudian ia malah ketagihan Putu Ayu.

"Oh, jadi kue ini namanya Putu Ayu?" Tanya Nadia kepada Kenvin sambil menikmati kue berwarna hijau muda yang ditaburi parutan kelapa itu. "Terakhir kali aku makan kue ini kapan, ya? Udah lama banget. Dan aku nggak tau namanya apa. Tau-tau, kue itu ada di lemari es. Dan enak banget. Tapi, karena jarang nemu di toko-toko kue modern, jadinya ya kue ini terlewatkan dan terlupakan gitu aja. Seneng deh, akhirnya bisa kembali ketemu sama Putu Ayu ini."

Nadia nggak berlebihan. Nggak juga ngomong kayak gitu cuma untuk menarik perhatian Kenvin. Yang diomonginnya itu beneran, kok. Tapi, kalau ternyata kemudian ia menangkap gelagat positif dari Kenvin, itu sih namanya bonus.

"Nggak heran sih, kalau kamu suka makan kue Putu Ayu. Keliatan dari wajah kamu yang ayu banget itu."

Duh, Nadia langsung meleleh cuma karena modusisasi—err... istilah yang aneh. Oke, ganti, deh. Nadia langsung meleleh cuma kerena kalimat rayuan standar kayak gitu.

Tapi, ini beneran gelagat positif, kan? Buktinya, Kenvin nggak ngerayu Ines dan Rere. Iya sih, nggak mungkin juga dia bilang, "Ines, kamu cakep banget deh, kayak Onde-Onde," atau, "Ya ampun, Rere, wajahmu indah bagaikan Surabi yang dilumuri larutan kinca." Salah mereka sendiri, nggak makan kue Putu Ayu.

Oke. Lupakan soal kue Putu Ayu dan rayuan itu. Sekarang beralih pada gelagat lain. Nadia merasa tatapan Kenvin terhadap dirinya itu berbeda dengan tatapan Kenvin terhadap kedua sahabatnya.

Bedanya emang di bagian mana?

Kenvin selalu menatap Nadia lebih lama. Bahkan, Nadia benar-benar menghitungnya. Tatapan Kenvin terhadap dirinya rata-rata nggak kurang dari 5 detik, sedangkan terhadap Rere dan Ines paling cuma 2 sampai 3 detik. Beneran! Nadia bukan sedang menghibur dirinya sendiri.

Gelagat positif berikutnya adalah, ketika Nadia tiba-tiba ngajak nonton bareng di bioskop, Kenvin oke-oke aja. Nggak nolak sama sekali. Nggak sok milih-milih film dan bioskop (soalnya, bioskop di mall itu adalah bioskop kelas B menurut Krisan). Mereka nonton film animasi yang tokoh utamanya cewek, dan Kenvin bilang nggak masalah, sebab dia mencintai semua produk animasi (kecuali Barbie, kali ya). Oh, Nadia paham. Kenvin kan, memang tukang gambar komik. Dia pasti menyukai apa pun yang ada unsur ilustrasinya.

Di dalam bioskop, Kenvin memilih tempat duduk paling pinggir, tepat di sebelah Nadia. Hal itu membuat Nadia nggak konsen selama film diputar. Nadia nggak peduli film itu mau seru atau garing sekalipun. Yang jelas, ia merasa senang dan nyaman banget berada di dekat Kenvin.

Nadia mengelus perutnya sendiri, memastikan apakah ada kupu-kupu di dalam sana yang sedang terbang dan menari-nari.

Yang membuat Nadia nyaman banget bersama Kenvin nggak cuma soal itu saja. Salah satu hal lain yang cukup penting adalah, selama mereka mengobrol saat berada di kedai jajanan pasar itu, Kenvin selalu menjaga kontak mata. Dia benar-benar menghargai lawan bicaranya dengan cara: nggak sekali pun ngecek ponselnya. Beda banget sama Krisan yang sebentar-sebentar ngecek ponsel buat update status atau ngunggah foto, atau buat mastiin notifikasi, buat bales komen, dan buat segala tetek-bengek aktivitas dunia sosial medianya yang nggak penting itu. Jangankan waktu sedang ngobrol, saat sedang mengendarai sepeda motor pun, Krisan masih sempat-sempatnya nge-twitpic situasi dan kondisi lalulintas buat di-share ke akun Twitter infobandung.

*

2. Kedewasaan

Dari pembicaraan mereka di kedai jajanan pasar itu, Nadia berhasil mengorek lumayan banyak informasi tentang Kenvin. Informasi pertama adalah, Kenvin udah kuliah tingkat satu. Berarti, usianya setahun lebih tua dari Nadia. Dan itu kabar baik. Tadinya, Nadia pikir, Kenvin seumuran dengannya, walaupun badannya memang tinggi banget dan atletis. Soalnya, banyak juga teman-teman sekelasnya yang punya tampang dan badan nggak sesuai dengan usia mereka yang masih 17.

Kenvin mengaku berasal dari Surabaya. Dia pindah ke Bandung karena harus kuliah di sebuah sekolah tinggi seni desain. Di Bandung, dia tinggal bersama keluarga tantenya. Dia bilang, sebaik apa pun tantenya, tetep aja rasanya nggak enak kalau judulnya "Numpang". Jadi, belakangan ini, dia lagi sibuk cari kos-kosan.

Kenvin lahir di Surabaya. Saat usianya 5 tahun, papanya dipindahtugaskan ke kota Bandung, dalam rangka ekspansi perusahaan tempat beliau bekerja. Kemudian, saat Kenvin kelas IX, papanya meninggal dunia akibat serangan jantung. Papanya pun dikebumikan di Surabaya, di samping makam isterinya yang sudah lebih dulu ada beberapa saat setelah Kenvin dilahirkan. Kenvin pun memilih untuk kembali ke kampung halamannya dan tinggal bersama nenek dan kakeknya.

Nadia sempat larut dalam suasana haru ketika ia mau tak mau jadi membayangkan betapa sulitnya hidup tanpa seorang ibu, kemudian harus kehilangan ayah di usia 14. Terlebih, selama itu, ayahnya tidak lagi menikah dan berusaha mengurus serta membesarkan Kenvin seorang diri, dan hanya sesekali mendapatkan bantuan dari adik perempuannya. Nadia lantas berpikir, situasi dan kondisi seperti itulah yang membentuk Kenvin menjadi sosok seperti sekarang ini. Kesulitan hidup tidak selalu membuat seseorang menjadi lebih buruk, malah bisa jadi membuat dia lebih baik daripada orang-orang yang hidup dengan kemudahan.

Tiba-tiba, Nadia teringat pada Krisan. Betapapun, Krisan juga harus berpisah dengan papanya, saat dia berusia 7 tahun. Tapi, setelah itu, Krisan tidak hidup sendiri. Masih ada mama dan adik perempuannya. Mamanya bahkan bukan perempuan biasa. Dengan tangannya sendiri, Bu Hapsari mampu membangun dan mengelola Hapsari Katering dengan sangat baik. Belakangan ini, Krisan sering cerita kepada Nadia kalau mamanya semakin sibuk karena kebanjiran proyek-proyek besar.

Oke, skip soal Krisan-nyebelin-yang-memilih-pergi-seneng-seneng-bareng-Viona. Kembali ke Kenvin.

Karena Kenvin memutuskan untuk ngekos, dia pun mengungkapkan rencananya untuk mencari pekerjaan paruh waktu. Tapi, kayaknya sulit mencari perusahaan yang mau nerima anak kuliahan tingkat satu dan mencocokkan jam kerja dengan jadwal kuliahnya. Kenvin sendiri nggak masalah mau kerja di bagian apa pun, asalkan dia sanggup ngelakuinnya. Meskipun begitu, Nadia pikir, Kenvin nggak bakal nekad buat jadi tukang cuci piring di restoran. Seenggaknya, Kenvin perlu pekerjaan paruh waktu yang sesuai dengan minat dan bakatnya.

"Ken,"—Nadia sempat memanggil Kenvin dengan sapaan Kakak, tapi Kenvin ngerasa lebih nyaman dipanggil Kenvin atau Ken—"Nanti aku coba rekomendasiin kamu deh, di digital printing punya...," Nadia berpikir sejenak. Kayaknya, ia nggak harus bilang kalau digital printing itu dan toko alat tulis kantor itu punya papanya. Nanti Kenvin jadi sungkan. Jadi, Nadia melanjutkan, "...oom-ku. Itu lho, digital printing yang waktu kamu ngeprint komik-komik kamu...."

"Ooh... yang waktu kita tabrakan, lalu hasil print-nya jatuh berantakan dan kesiram Pop Ice kamu? Terus kita saling ngeganti kesalahan, kamu ngeprinin ulang, dan aku traktir kamu Pop Ice, dan kemudian kamu buru-buru pergi setelah ngedenger bunyi ringtone lagu dangdut itu...."

Wah, ini gawat. Ringtone lagu dangdut itu masuk ke dalam kesan pertama tak terlupakan bagi Kenvin mengenai pertemuan pertamanya dengan Nadia. Tiap inget kejadian itu, Nadia ngerasa jadi orang paling malu-maluin sedunia. Ini gara-gara papanya. Sejak kejadian itu, Nadia memaksa papanya untuk mengganti ringtone.

"Gimana? Di sana, pasti ada banyak hal yang sesuai dengan kemampuan kamu. Mau? Kalau mau, kamu tinggal bikin CV dan lamaran freelance aja. Nanti titip ke aku. Biar aku yang ngadepin pap—maksudku, oomku itu."

"Siap!"

Dan pada Minggu pagi itu, Kenvin menelepon Nadia, mengabarkan bahwa CV dan lamarannya sudah siap dikirimkan. Gila aja. Kenvin menelepon saat Nadia masih tidur. Kira-kira jam 5:30 pagi. Nadia yang biasanya cuma setengah nyawa (atau kadang suka ngambek) nanggepin orang yang nelepon sepagi itu mendadak segar bugar saat menjawab panggilan telepon dari Kenvin. Pembicaraan itu pun berkembang menjadi ajakan lari pagi bareng. Dan, Nadia yang biasanya paling males diajak lari pagi (termasuk ajakan dari Krisan sejak mereka berpacaran) pun mendadak jadi orang yang paling bersemangat. Mamanya sampai kaget sekaligus senang melihat anak gadisnya serajin dan sebersemangat itu di Minggu pagi.

Saat Nadia hendak pergi, mamanya sempat berkata, "Krisan-nya suruh masuk dulu. Udah beberapa hari ini Mama nggak ketemu dia. Kangen juga rasanya."

Nadia pura-pura nggak denger, dan langsung berpamitan.

*

3. Kesamaan dengan Nadia

Kenvin suka menamai benda-benda kesayangannya, dan terkadang menganggap benda-benda tak bernyawa itu sebagai makhluk hidup. Benda-benda itulah yang menjadi karakter-karakter di dalam komik buatannya. Kenvin nggak suka menggambar manusia atau hewan. Dia lebih suka menggambar benda-benda yang diperlakukan selayak makhluk hidup itu.

Ada karakter yang berwujud sepatu Converse kiri berwarna pink, dengan mata, hidung, bibir, telinga, rambut, tangan, juga kaki yang bersepatu; dan dia menamai tokoh itu 'Shoesi'. Diceritakan bahwa Shoesi bersahabat dengan Socki sang kaos kaki belang-belang hijau-kuning. Selain kedua karakter itu, masih ada karakter-karakter lain yang merupakan perwujudan dari benda-benda di sekitarnya.

Kenvin juga kadang-kadang suka ngobrol sama benda-benda itu. Ini sama sekali nggak aneh buat Nadia. Justru sebaliknya. Menambah nilai plus. Sebab ia pun demikian. Dan kalian tahu kan, gimana rasanya ketika kita menemukan seseorang yang sama aneh—uhm, unik deh. Oke, diulang. Kalian tahu kan, gimana rasanya ketika kita menemukan seseorang yang sama uniknya dengan diri kita? Bahagia. Ternyata, kita nggak sendirian. Ternyata, Nadia bukan satu-satnya orang yang seperti itu.

Dan kesamaan berikutnya adalah... tanggal dan bulan lahir mereka sama.

Apakah ini kebetulan? Ataukah takdir?

Apa pun itu, Nadia percaya bahwa, segala sesuatu terjadi untuk sebuah alasan. Mungkin, pertemuannya dengan Kenvin adalah jalan supaya Nadia bisa melupakan Krisan.

Tapi mungkin juga bukan.



=============

repost bab 11 ada di sini: https://www.wattpad.com/204051347-repost-rendezvous-bab-11


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro