Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 33

^^

Hanin menuruni tangga rumahnya untuk sarapan karena kebetulan hari ini dia shift pagi. Namun ia memelankan langkahnya ketika mendengar suara yang tidak asing tengah bercakap dengan ayahnya.

"Ada Bian di ruang depan. Dia kayanya sengaja datang pagi-pagi buat minta maaf sama kamu." Ucapan Ibunya membuat Hanin tanpa sadar melihat arlojinya yang baru menunjukkan pukul 6 lewat 15 menit.

"Aku sarapan dulu Ma," ucap Hanin dan mengambil beberapa lembar roti.

"Tunggu makanannya matang dulu Nin. Kita sarapan bareng," ucap Mama.

"Hanin bisa terlambat Ma," ucap Hanin dan melanjutkan kegiatannya mengolesi roti dengan selai coklat kesukaannya.

"Ma, Hanin berangkat dulu ya," ucap Hanin setelah menyelesaikan sarapannya, sementara mama nya masih bergelut dengan masakan.

"Yaudah, hati-hati. Jangan marah-marah sama Bian, kalau kamu takut emosi gak tertahan mendingan diam aja." Pesan mama dan Hanin hanya menganggukkan kepala kemudian mencium punggung tangan ibunya.

Sesampainya di ruang tamu Hanin melihat Bian yang saat ini posisi nya memunggunginya.

"Nin mau berangkat?" tanya ayahnya.

"Iya Yah. Hanin permisi dulu ya." Pamit Hanin

"Gak sarapan dulu?" tanya ayahnya.

"Hanin udah makan roti," jawab Hanin.

"Loh, Ayah pikir kamu mau nungguin masakan mama matang, kita sarapan bersama. Kasihan Bian pagi-pagi udah kesini," ujar ayahnya membuat Hanin menggerutu dalam hati, orang macam ini untuk apa dikasihani!

"Hanin takut telat Yah, sekarang shift pagi." jawab Hanin.

"Hanin benar Om, gak papa kok kita lain kali aja sarapan bersama," ucap Bian.

"Yaudah kalau gitu, kalian hati-hati," ucap ayahnya.

Mereka pun melangkah bersama menuju keluar rumah.

"Nin soal semalam..." Bian menjeda ucapannya mencoba melihat ekspresi Hanin.

"Jangan bahas dulu apa-apa. Aku gak mau pagi ku sudah buruk," ucap Hanin sambil melihat ke arah traffic light yang berubah warna menjadi hijau.

"Tapi aku gak mau kita salah paham dalam jangka waktu yang lama," ucap Bian keras kepala.

"Siapa juga yang salah paham? Memangnya apa yang membuat kita berada dalam situasi salah paham? Bukankah semalam juga kamu udah ngasih tahu aku bahwa ada urusan mendadak?" jawab Hanin masih mencoba menahan emosinya.

"Tapi kamu gak balas pesan aku. Aku tahu kamu marah," ucap Bian.

"Jika aku tidak marah karena kelakuan kamu akhir-akhir ini, apakah aku masih bisa disebut perempuan normal?" Hanin berkata dengan sarkas.

"Nin, aku mohon sama kamu. Buang semua pemikiran buruk yang sekarang tengah berkecamuk dalam pikiran kamu. Aku ada operasi mendadak semalam, dan aku lupa gak hubungi kamu dulu karena panik."

Hanin melunak mendengar ucapan Bian. Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri, menghapus pemikiran negatifnya dan mencoba mengisi dengan hal-hal yang positif.

"Nin ..." panggil Bian karena tak kunjung mendapat jawaban dari Hanin.

"Aku mencoba untuk memahaminya, jadi kumohon jangan dulu bicara denganku," jawab Hanin. Ia tahu saat ini yang harus dilakukannya hanyalah menenangkan pikirannya.

***

Tiga hari sejak dia bertemu dengan Bian dan Hanin belum pernah berbincang lagi dengan pria itu, rasanya sangat sulit sekali bahkan untuk sekedar melihat wajah Bian. Hanin sering berpikir, apakah segitu sibuknya pria itu sampai sangat sulit untuk ditemui?

"Permisi, dokter Bian nya ada?" tanya Hanin pada perawat yang bertugas di ruangan Bian.

"Dokter udah pulang Mbak," jawab perawat itu dan tersenyum ramah.

Hanin hanya menghembuskan napasnya dan duduk di kursi depan perawat itu.

"Akhir-akhir ini dokter Bian memang sering pulang cepat Mbak," ucap perawat itu lagi karena memang telah mengenal Hanin.

"Oh ya, tiga hari yang lalu apakah dokter Bian pernah ada operasi mendadak di malam hari?" tanya Hanin. Bukannya tidak percaya, dia hanya ingin memastikan.

"Tidak ada Mbak. Kebetulan satu minggu ini dokter Bian tidak mengambil operasi." Jawaban dari perawat membuat Hanin terkejut. Jadi feeling nya selama ini itu benar?

"Sus saya permisi dulu." Pamit Hanin dengan mata berkaca-kaca. Rasanya ia ingin menangis saat ini, tapi pekerjaan masih menantinya.

***

Setelah mengetahui hal itu, berhari-hari Hanin mengabaikan panggilan maupun pesan dari Bian. Untunglah Bian tidak datang ke rumahnya atau bertemu dengan dirinya di rumah sakit. Selama ini Hanin memang sengaja selalu mengambil shift malam, dan beruntung temannya mau bertukar shift dengan Hanin.

Hanin kecewa, sungguh kecewa. Baru kali ini Bian membohonginya. Dan apa maksud dari pria itu dengan berbohong kepadanya? Ada apa sebenarnya dengan pria itu? Sikapnya pun kini Hanin nilai semakin berbeda.

Me : Bi kamu bisa antar aku pulang hari ini?

Pada akhirnya Hanin mengirim pesan pada Bian setelah hampir seminggu dia mendiamkannya.

Hanin menanti dengan perasaan yang tak karuan, kenapa pria ini begitu lama membalas pesannya? Bukankah seharusnya dia langsung membalas ketika ada pesan dari seseorang yang sudah cukup lama mengabaikannya?

dr. Nyinyir : Nin maaf aku ada keperluan penting dengan rekan kerjaku hari ini. Besok aja ya aku jemput kamu ke rumah.

Hanin menghela napas, pria ini sepertinya benar-benar tidak ingin meluruskan apa-apa. Hanin pun beranjak dan mengambil perlengkapannya untuk pulang. Ketika Hanin keluar dari basement, tanpa sengaja dia melihat mobil Bian baru keluar dari rumah sakit, dan tanpa pikir panjang dia pun mengikuti kemana mobil itu pergi.

Hanin terus merapalkan do'a dalam hatinya, semoga tempat tujuan Bian bukan seperti yang ada dalam bayangannya. Pasalnya, Hanin mengetahui jalan yang dilewati ini menuju ke rumah siapa.

Namun kenyataan pahit di depannya sukses membuat hatinya tercabik, pria itu menemui Carrol dan saat ini tengah berbincang sambil tertawa di teras rumah wanita itu. Apa ini alasan Bian sangat sulit ditemui akhir-akhir ini, apakah ini juga alasan Bian tempo hari membohonginya? Merasa tak kuat melihat pemandangan di depannya, Hanin pun akhirnya melajukan motornya dan meninggalkan tempat itu.

***

Hanin menatap pria yang kini tengah sibuk dengan ponselnya, berulang kali Hanin terus-terusan meminum kopi yang tersaji di depannya. Ia harus menenangkan diri dulu sebelum bicara dengan pria itu.

"Bi ..." panggil Hanin dan membuat Bian mendongakkan kepala dari ponselnya.

"Kenapa Nin?" tanya Bian dan menyimpan ponsel kedalam saku kemeja nya.

"Ada yang ingin aku katakan," jawab Hanin.

"Katakan saja," ucap Bian.

"Sebaiknya kita akhiri saja hubungan ini," ucap Hanin dengan pandangan lurus pada Bian.

"Apa maksudmu Nin?" Bian cukup kaget dengan ucapan Hanin. Mereka akan segera menikah bukan?

"Aku tidak tahu apa yang terjadi selama ini. Beberapa Minggu ini kamu sulit dihubungi." Hanin menghela napasnya sejenak.

"Tempo hari dan juga kemarin kamu bahkan berbohong padaku," ucap Hanin sambil memalingkan wajahnya sejenak. Hanin berusaha untuk menahan air mata yang telah mendesak untuk keluar.

"Bohong? Apa maksudmu? Apa karena kecurigaan tak berdasar itu yang membuatmu tidak mengangkat telponku semalam?" Bian berbicara dengan nada yang cukup tinggi.

"Tidak berdasar katamu? Kemarin kamu bilang tidak bisa pulang denganku karena ada hal urgent dengan rekanmu. Tapi apa yang aku lihat? Kamu menemui wanita lain dan bahkan tertawa bersamanya. Bagaimana aku harus memahami situasi ini?" tanya Hanin dengan nada lirih di ujungnya.

Bian terdiam setelah menyadari bahwa Hanin mengetahui tentang dirinya yang menemui Carrol.

"Hanin aku bisa menjelaskan tentang itu semua."

"Carrol dia mengalami syok berat setelah kehilangan ibunya. Akulah satu-satunya orang yang dia butuhkan untuk saat ini. Kamu tahu bukan Carrol menyukaiku? Dan bahkan dia menggantungkan segalanya padaku. Dokter bilang dia bisa saja mengalami hal yang lebih buruk jika aku meninggalkannya."

"Lalu kenapa kamu tidak pernah menceritakan itu padaku?"

"Aku ... aku tidak bisa Nin. Maaf selama ini aku berpikir itu adalah sebuah rahasia dan kelemahan Carrol yang orang lain tidak boleh tahu."

"Jadi selama ini kamu anggap aku apa Bi? Jadi selama ini aku hanya orang lain bagimu? Selama ini kamu tidak pernah menganggap aku bagian dari hidupmu?"

"Bukan seperti itu Hanin ..."

"Aku mengerti! Baiklah aku tidak suka menyia-nyiakan energiku pada permainan emosional yang kekanak-kanakan ini. Sebaiknya memang kita-" ucapan Hanin terpotong oleh Bian

"Permainan emosional? Kamu anggap hubungan kita hanya sebatas permainan emosional? Sepertinya ucapanmu tadi, memang benar kita akhiri saja," ucap Bian dengan mata yang tepat membidik mata Hanin.

Hanin hanya tersenyum miris dengan air mata tertahan yang siap membobol pertahanannya.

"Terima kasih telah memberikan pengalaman yang begitu berharga ini Bian. Aku memang serakah. Seharusnya kita tidak saling kenal. Ini semua salahku! Akulah yang memasuki duniamu yang awalnya begitu damai. Semoga kamu menemukan kebahagiaan." Setelah mengucapkan itu Hanin pergi meninggalkan Bian tanpa mau mendengarkan jawaban dari Bian.

Ia berjalan perlahan dengan air mata yang sudah membanjiri pipinya.

Bian hanya terdiam memandangi punggung Hanin yang bergetar. Wanita itu pasti menangis. Tapi egonya tersentil ketika Hanin mengatakan ini hanyalah permainan emosional yang kekanak-kanakan. Padahal dalam dirinya ia serius dengan ucapan cintanya terhadap hanin.

Ini tentang membunuhnya dalam hatiku. Aku akan berhenti mencintainya!






Tadinya gak mau update dulu, tapi melihat kalian berkomentar di lapak aku, membuat diriku tergoda untuk update><

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro