Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

36: Lost in the Fire

2 Juni 2019, malam terjadinya ledakan.

Thomas memperhatikan ombak kecil bergulung dari laut, hanya untuk akhirnya lebur bertemu pantai. Banyak orang bilang, pantai terlihat indah di malam hari. Sudah lama sekali dia penasaran ingin membuktikan apakah ucapan itu benar adanya. Malam ini, dia mengakui kebenarannya. Langit tampak cerah—beberapa bintang terlihat mungil, berkelap-kelip dengan indah.

Thomas menarik napas panjang. Hidup rasanya indah sekali malam ini.

Diperhatikannya Lilly, yang sudah mendahuluinya melepas sandal dan berlari menuju air. Senyum Thomas mengembang. Dia senang sekali Lilly bisa pergi bersamanya malam ini karena Thomas punya pertanyaan penting yang harus dia ajukan. Pantai ini tampaknya akan jadi tempat yang cocok sekali untuk menanyakannya. Namun, pertanyaan itu harus disimpan untuk sementara. Dia akan menyusul Lilly bermain air dulu.

"Airnya dingin sekali!" seru Lilly. Kakinya sudah sedikit terendam.

"Benarkah?" Thomas berdiri di sebelah Lilly. Air laut memang terasa dingin seperti es. "Apa menurutmu kita sebaiknya kembali—"

Ucapan Thomas terpotong saat merasakan cipratan air di badannya. Lilly, si pelaku, menyeringai lebar sekali dan melanjutkan perbuatannya. Thomas tertawa. Dia ikut membungkuk, menangkup sedikit air, lalu mencipratkannya ke arah Lilly. Untuk beberapa saat, mereka saling mencipratkan air. Lilly tertawa puas sekali, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Thomas pun tertawa lebar.

Mereka berhenti saat Lilly terlihat sudah gemetar. Thomas memaksanya untuk menyudahi permainan mereka. Bisa gawat kalau dia malah sakit.

"Kalau kau bekerja sebagai ahli biologi kelautan, kau pasti akan ke pantai setiap hari," kata Lilly dengan senyum lebar.

Thomas mengambil jaketnya dan menyampirkannya di bahu Lilly. "Aku pasti akan sering ke pantai, tetapi mungkin tidak setiap hari juga."

Mereka duduk di pinggir pantai, memperhatikan laut untuk sesaat. Napas Thomas sedikit terengah-engah akibat bermain air. Dia menoleh pada Lilly yang masih saja fokus memperhatikan laut. Dari samping begini, Lilly terlihat manis sekali. Rambut pirangnya yang panjang diselipkan di balik telinga, menunjukkan sorot matanya yang teduh dan senyumnya yang memesona. Hidungnya terlihat sedikit memerah.

"Aku rasa akan menyenangkan sekali tinggal di pinggir pantai," kata Lilly. "Aku tidak keberatan melihat pemandangan ini setiap malam."

Thomas menyetujuinya, walaupun dia yakin pemandangan yang Lilly maksud berbeda dengan yang ada dalam pikirannya. Thomas tidak akan keberatan memperhatikan wajah Lilly setiap malamnya. Rasanya hidup itu merupakan hidup yang sempurna. Menjadi seorang ahli biologi kelautan, tinggal di rumah pinggir pantai, dan melihat Lilly setiap malamnya. Thomas ingin hidup seperti itu.

"White Lilly," panggil Thomas. Jantungnya mulai berdebar kencang sekali.

Lilly menoleh. "Hm?"

"Maukah kau—"

Ucapan Thomas terpotong oleh suara ponselnya. Sial. Padahal momen yang dia punya sedang sempurna sekali untuk mengutarakan pertanyaannya. Thomas membuka ponselnya, menemukan nama Tony di layar. Thomas menolak panggilan itu dan menyalakan mode getar. Dia sedang tidak ingin diganggu.

"Maaf," kata Thomas. "Sampai di mana tadi. Oh, ya." Thomas berdeham. "White Lilly, maukah kau menjadi—"

Ponsel Thomas bergetar keras sekali, mengejutkan mereka berdua. Nama Tony kembali muncul di layar. Thomas kesal sekali melihat panggilan dari Tony, yang lagi-lagi merusak momen yang sudah dia bangun. Kenapa juga Tony harus meneleponnya saat ini?

"Angkat saja," kata Lilly setelah mengintip layar ponsel Thomas. "Pasti penting kalau dia sampai menelepon."

Dengan berat hati Thomas menjawab panggilan Tony. "Tony, kenapa kau meneleponku—"

"Thomas!" seru Tony, keras sekali hingga Thomas harus sedikit menjauhkan ponsel dari telinganya. "Akhirnya kau mengangkat!"

Thomas bisa mendengar kepanikan dalam suara Tony. Pasti ada yang salah. Tony tidak akan menelepon seseorang jika apa yang akan dia katakan tidak penting—pemuda itu anti berbicara di telepon. Tingkat kewaspadaan Thomas meningkat tajam. "Aku sedang sibuk, Tony. Cepatlah katakan apa yang ingin kausampaikan."

"Er, Thom, apakah aku bisa meminjam uang?" tanya Tony. "Aku, eh, berutang pada seseorang. Dia akan, er," Tony menurunkan nada suaranya, "membunuhku jika aku tidak membayar utangku malam ini."

Thomas terdiam. Jika harus menebak, Tony pasti terlibat masalah narkoba. Dia pernah terlibat dalam masalah yang sama karena dia malah menghabiskan narkoba yang seharusnya dia jual. Thomas benar-benar tidak ingin terlibat dalam masalah seperti itu, tetapi ancaman yang disebutkan Tony membuatnya khawatir. "Berapa banyak?"

"Seribu dolar."

"Seribu? Kau pasti gila!"

"Kumohon," ucap Tony, terdengar begitu memelas. "Ini adalah tiketku keluar dari kelompok ini, Thom. Aku berjanji akan mengembalikannya nanti. Aku akan mengirimkan alamatnya kepadamu. Tolong aku, ya?"

Tony mematikan panggilan setelahnya. Dia mengirimkan sebuah alamat di daerah pinggir kota. Haruskah Thomas menolong Tony? Jumlah yang diminta Tony tidak sedikit. Rasanya agak mustahil Thomas bisa mengambil uang sebanyak itu dalam waktu singkat. Tony pasti sudah gila. Apa yang harus Thomas lakukan?

"Apa yang terjadi?" tanya Lilly. "Ada masalah?"

Thomas mempertimbangkan apakah dia harus bercerita pada Lilly atau tidak. Haruskah Lilly tahu? Namun, dia kemudian memutuskan untuk menceritakannya. Bagaimanapun, Tony juga merupakan teman Lilly. Lilly pasti ingin tahu apa yang terjadi pada Tony.

"Astaga!" seru Lilly. "Kita harus menolongnya. Aku punya sedikit tabungan dari pekerjaanku dulu—aku belum memakainya sama sekali—jadi mungkin kita bisa mengambilnya dan pergi ke sana."

"Lilly, ini berbahaya," sahut Thomas. "Aku tidak tahu apakah aku akan melakukannya. Lagipula, jika aku harus melakukannya, aku akan pergi sendiri. Kau tidak usah ikut."

"Kau sendiri yang bilang Tony akan dibunuh jika dia tidak mendapatkan uang itu! Tentu saja kita harus menyelamatkan dia—kita, Thomas, itu tidak bisa ditawar. Kita akan menyelamatkan Tony bersama-sama."

Karena bujukan Lilly, dan kenyataan bahwa Thomas tidak akan bisa memaafkan dirinya jika terjadi sesuatu pada Tony, Thomas akhirnya setuju. Mereka segera meninggalkan pantai. Untung saja terdapat sebuah mesin ATM di dekat sana. Setelah mengambil jumlah yang dibutuhkan, Thomas bergegas mengarahkan motornya ke lokasi yang dikirimkan Tony kepadanya.

Mereka tiba di sebuah rumah kecil dua lantai kira-kira 15 menit kemudian. Rumah itu tampak ramai sekali, seakan-akan sedang ada pesta berlangsung di sana. Tidak ada yang mendengar saat Thomas mengetuk pintu. Dia akhirnya mencoba menghubungi Tony tanpa hasil. Kemudian, dari lantai dua, sebuah jendela terbuka. Kepala Tony muncul dari jendela itu.

"Thomas!" Tony berteriak. "Naiklah!"

Thomas benar-benar tidak ingin masuk ke rumah itu, tetapi Tony sudah keburu menghilang sebelum Thomas sempat melayangkan protes. Lilly menggelayuti lengannya dan menolak untuk menunggu di luar saja. Thomas seharusnya tidak menyetujui rencana ini. Setiap langkah yang membawanya memasuki rumah ini membuatnya semakin menyesali keputusannya.

Seorang gadis kurus yang tidak Thomas kenali membuka pintu. Dia menyuruh Thomas mengikutinya. Tidak ada siapa-siapa di lantai pertama. Ruang tamu rumah ini tampak sedikit kotor. Banyak baju menumpuk di salah satu kursi di pojok ruangan. Sebenarnya, ini rumah siapa? Apa yang Tony lakukan di sini?

Begitu tiba di lantai dua, Thomas melihat peralatan yang tampak seperti laboratorium kimia di sekolahnya. Thomas langsung paham. "Laboratorium" ini pastilah tempat seluruh barang yang Tony jual berasal. Tony membawanya langsung ke sebuah pabrik narkoba. Sial. Thomas seharusnya tidak menyetujui permintaan Tony.

Tangan Lilly semakin mencengkeram lengan Thomas dengan erat. Thomas menyentuh tangan Lilly sambil mengusapnya pelan, mencoba menenangkannya.

"Wah, wah, datang juga," kata seorang pemuda yang tampak familier—sepertinya Thomas pernah melihatnya di sekolah. "Lihat, bahkan dia membawa seorang gadis cantik bersamanya."

Thomas mengabaikan ucapan pemuda itu dan berjalan mendekati Tony yang berdiri di dekat jendela. Tanpa sadar, Thomas menyuruh Lilly berjalan di belakangnya, melindunginya dari pemuda itu. Rasa-rasanya Thomas pernah melihatnya di sekolah. Mungkin dia orang yang menjerumuskan Tony ke dunia berbahaya ini.

"Ini," kata Thomas, menyerahkan dompet yang dia bawa. "Awas saja jika kau masih terlibat masalah setelah ini. Aku akan memblokirmu kalau itu terjadi."

"Tidak akan," balas Tony. Dia kemudian menyerahkan dompet itu kepada pemuda yang menyapa Thomas tadi. "Terima kasih, Thomas. Maaf."

Thomas tidak menggubrisnya dan bergegas meninggalkan tempat ini. Semakin lama dia berada di sini, semakin berbahaya. Dia tidak mau hal-hal buruk terjadi padanya, atau pada Lilly. Beberapa pemuda di sini tampak memperhatikan mereka dengan tatapan yang tidak disukai Thomas. Jika pandangan mereka bisa beraksi, mungkin saja Thomas dan Lilly sudah diterkam habis.

Pemuda tadi menghalangi langkah Thomas. "Eh, kenapa terburu-buru sekali? Ayolah, tinggal lebih lama. Kau bisa bermain-main dengan hal baru. Siapa tahu kau dan gadis cantik ini akan menyukainya."

Thomas menepis tangan pemuda itu, yang sudah akan menyentuh Lilly. "Singkirkan tangan kotormu darinya."

"Aiden, biarkan mereka pergi," ujar Tony seraya mendekat. "Mereka sudah memberikanmu apa yang kauinginkan."

"Ayolah, Tony," kata Aiden. "Kau yakin akan melewatkan kesempatan untuk berdua dengan gadis itu? Kalian—"

Belum selesai Aiden berbicara, Thomas sudah menghajarnya. Cengkeraman Lilly di lengannya sudah tidak lagi terasa—semoga saja Tony sempat menyelamatkan Lilly. Aiden tidak terima dan balas menghantam Thomas. Thomas tidak jago berkelahi, tetapi amarah telanjur menguasainya. Dia melayangkan beberapa pukulan, yang mendarat pada Aiden dan beberapa pemuda lain yang ikut menyerangnya.

Entah bagaimana awalnya. Yang jelas, pertengkaran kecil itu membuat zat-zat berbahaya yang memenuhi ruangan ini dilahap api. Api kecil itu membesar, dan dalam waktu singkat berubah menjadi sebuah ledakan kuat yang menghancurkan seisi ruangan. Thomas berusaha pergi, tetapi dia tidak mungkin sempat menyelamatkan diri dari lidah api yang begitu kuat.

Thomas hanya bisa berharapWhite Lilly-nya baik-baik saja.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro