Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1: Part-Time Job

"Permisi, Mrs. Adams, apa kau punya waktu? Aku ingin berbicara denganmu."

Margaret Adams menoleh. Di hadapan manager toko sepatu Beverly Heels itu, seorang pekerja paruh waktu bernama Liliana Hayes. Maggie tidak yakin kenapa Lilly meminta waktunya. Selama ini, gadis pendiam itu selalu mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik dan tidak pernah terlibat masalah. Dia memang tampak menjaga jarak dengan semua orang dan sulit bekerja sama, tetapi hal itu tidak membuat pegawai lain terganggu.

"Tentu, kita bicara di kantorku saja," kata Maggie.

Mereka kemudian masuk ke kantor Maggie. Kantor itu sempit dan berantakan sekali — meja kerja Maggie penuh dengan laporan dan kotak-kotak kardus sepatu menumpuk di satu sisi dinding. Mengurus sebuah toko kecil seperti itu tidak mudah, terutama jika atasan terus menekannya untuk menaikkan penjualan. Maggie menyuruh Lilly duduk selagi dia berjuang untuk sampai di kursinya sendiri.

"Apa yang ingin kau bicarakan, Sayang?" tanya Maggie setelah memindahkan sebuah kotak sepatu yang ada di atas kursinya. Dia harus meluangkan waktu untuk membereskan semua ini.

"Maafkan aku, tetapi orang tuaku menyuruhku resign," kata Lilly malu-malu sambil menyodorkan sebuah amplop. "Sebentar lagi aku akan memasuki tahun senior. Mereka ingin aku fokus belajar."

Ah, begitu rupanya. Usia gadis itu sepertinya baru sekitar 17 tahun. Dia mengambil shift sore dan selalu datang dengan seragam sekolahnya. Lilly sepertinya memang tidak bekerja untuk mencari uang karena dia bersekolah di sekolah swasta yang bagus. Maggie memiliki beberapa pegawai paruh waktu seperti Lilly, jadi sesungguhnya keputusan Lilly untuk berhenti bekerja tidaklah membahayakan keberlangsungan toko.

"Tidak apa-apa, pendidikan memang harus diutamakan," kata Maggie, menerima amplop itu. Dibukanya surat Lilly sambil bertanya, "Kau sudah memikirkan akan melanjutkan kuliah di mana?"

"Belum," Lilly menggeleng. "Aku ingin menyusul kakakku — dia kuliah di Stanford — tetapi aku tidak yakin. Nilaiku tidak sebaik dia."

"Ah, tidak apa-apa, kau punya waktu untuk memikirkannya." Maggie meletakkan surat pengunduran Lilly di atas laporan penjualan yang belum selesai dia kerjakan. "Kalau begitu, kau bisa berhenti bekerja dua minggu lagi. Sudah peraturan toko, kuharap kau tidak keberatan."

"Tidak apa-apa. Sebenarnya aku belum ingin berhenti, tetapi orang tuaku sudah memaksa." Lilly kemudian berdiri. "Terima kasih, Mrs. Adams. Aku akan kembali bekerja."

Maggie mengangguk. Sepeninggal Lilly, dia menghela napas. Sebaiknya dia mulai mencari pekerja paruh waktu baru sebelum pekerjaannya semakin menumpuk.

Liliana Hayes melirik jam tangannya sambil menghela napas. Waktu terasa berjalan begitu cepat, padahal dia tidak ingin shift-nya cepat-cepat berakhir.

Hari ini adalah hari terakhirnya bekerja paruh waktu di sebuah toko sepatu bernama Beverly Heels. Pada umumnya, orang yang mengajukan surat pengunduran diri senang jika hari terakhir bekerja sudah tiba. Mereka biasanya sudah tidak tahan bekerja di tempat lama dan sudah menemukan pekerjaan baru. Atau, mereka memang sudah merasa tidak perlu lagi bekerja.

Masalahnya, Lilly dipaksa mengundurkan diri oleh orang tuanya. Dia sebenarnya belum ingin berhenti. Alasan Mom memang masuk akal — dia sudah akan masuk, dan tahun senior adalah tahun yang sulit. Akan ada ujian-ujian, juga kelas-kelas tambahan yang bisa membantunya mendapatkan tempat di universitas pilihannya. Lilly sangat berharap bisa mendaftar ke Stanford University mengikuti jejak Clara, kakaknya.

Namun, Lilly juga tahu kalau para siswa senior tidak hanya disibukkan dengan kelas-kelas tambahan dan ujian. Akan ada prom, senior prank, dan segala tradisi gila lainnya. Teman sekelasnya sudah ramai membicarakan semua itu sebelum libur musim panas. Bagi Lilly, yang tidak punya teman akrab di sekolah, semua tradisi itu sudah pasti akan menyiksanya, bahkan mengalahkan ujian.

Lilly menoleh saat dua gadis memasuki toko. Wajah mereka tampak familier, meski Lilly tidak tahu di mana dia pernah melihat mereka. Dia tidak segera menghampiri mereka — biasanya pelanggan tidak suka jika langsung didekati pelayan toko, jadi dia tetap berada di tempatnya sambil memperhatikan pelanggan. Gadis-gadis itu langsung menghampiri bagian sepatu hak tinggi.

Sedikit banyak, Lilly suka menjadi seorang pelayan toko. Menjadi pelayan toko tidak jauh berbeda dengan kehidupan aslinya selama ini: orang-orang mengabaikannya, berbicara dengannya jika mereka perlu saja, dan secara umum tidak suka jika dia mengikuti mereka. Terdengar begitu menyedihkan, tetapi sesungguhnya, Lilly tidak terlalu peduli. Dia akan selalu jadi gadis aneh yang tidak berteman dengan siapa-siapa.

"Permisi, apa sepatu ini masih ada?" tanya salah satu gadis itu sambil mengulurkan ponselnya. "Kemarin aku lewat dan melihatnya, jadi aku tahu kalian menjualnya."

Lilly memperhatikan foto itu — sebuah ankle boots dengan hak sekitar tiga inci. Dia ingat sepatu itu karena dia yang meletakkannya di pajangan. "Tunggu sebentar, saya periksa dulu."

"Aku mau yang putih, ukuran 9."

Lilly mengiyakan, lalu masuk ke bagian penyimpanan. Kalau tidak salah ingat, sepatu itu sudah terjual habis, tetapi tidak ada salahnya dia mengecek. Sepatu jenis itu sedang trendi sekarang. Sudah beberapa hari terakhir sepatu itu mendominasi penjualan toko.

"Hei, Hayes, kudengar kau akan berhenti?"

Salah satu rekan kerjanya, Rosie Davis, menghampirinya. Rosie dan Lilly seangkatan — dia hanya beberapa bulan lebih tua dari Lilly. Walau tidak bisa dibilang dekat, Lilly paling sering berbicara dengan Rosie di toko ini. Sayang sekali Rosie bersekolah di salah satu sekolah publik di dekat sini. Mereka pasti akan jadi sahabat akrab jika bersekolah di sekolah yang sama.

Yah, setidaknya itulah yang Lilly duga. Dia tidak tahu apakah Rosie akan mau berteman dengannya jika keadaannya berbeda.

"Iya," sahut Lilly selagi menarik sebuah kotak sepatu. "Orangtuaku ingin aku fokus belajar."

"Ah, kau enak sekali. Andai orangtuaku juga menyuruhku berhenti saja agar aku bisa masuk Harvard." Rosie turut berjongkok di sebelah Lilly. "Sepatu apa yang kau cari?"

"Sepatu ankle boots yang kemarin dipajang di dekat kaca. Apa barang itu masih ada?"

"Entahlah, selamat mencari. Aku harus mencari sepatu lain."

Rosie meninggalkannya. Dia baik sekali mau datang untuk berbasa-basi sedikit.

Setelah beberapa saat mencari-cari, Lilly hanya berhasil menemukan satu sepatu yang diminta gadis itu. Ukurannya tepat meski warnanya krem. Perlukah dia membawanya keluar? Setelah menimbang-nimbang sejenak, dia memutuskan untuk membawanya. Siapa tahu pikiran gadis tadi berubah. Akan sangat menyenangkan jika dia bisa menjual sepatu ini sebelum jam kerjanya benar-benar berakhir.

"Maaf, saya hanya menemukan warna ini," kata Lilly sambil menunjukkan kotak sepatu yang dia bawa. "Hanya tinggal sepatu ini saja yang bisa saya temukan."

Gadis itu tampak kecewa. Namun, dia menerimanya juga. "Bagaimana menurutmu?" tanyanya. "Aku tidak yakin warna ini cocok untukku."

"Sebaliknya, menurutku warna ini justru cocok sekali denganmu," balas temannya. "Putih terlalu membosankan."

"Apa menurutmu aku bisa memakainya ke sekolah?"

Lilly merasa teringat sesuatu saat mendengarnya. Sepertinya dia pernah melihat dua gadis itu di sekolah. Kalau tidak salah ingat, teman gadis yang membeli sepatu itu sekelas dengannya. Lilly tidak begitu yakin, berhubung memorinya sendiri agak payah dalam mengingat wajah. Yang jelas, mereka tidak mengenali Lilly. Begitulah dia di sekolah — tidak ada yang tahu bahwa dia ada, dan tidak ada yang menyadari kalau dia tidak lagi ada.

Gadis itu memutuskan untuk membeli. Mereka keluar tepat saat jam menunjukkan pukul lima. Jam kerja Lilly sudah selesai.

Sudahlah. Tidak ada gunanya menyesali hidupnya sekarang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro