[Page 8] Kehilangan
Musim telah berganti, meninggalkan segala hal yang tak pasti menjadi semakin berarti.
Tak terasa kini aku telah berada di tingkat dua. Kesibukanku pun semakin padat. Tak hanya mengikuti kelas teori, namun kini aku mulai disibukkan oleh jadwal dinas praktek di rumah sakit maupun rumah bersalin.
Meski kini sibuk, namun ada hal lain yang lagi-lagi harus aku syukuri. Apalagi kalau bukan perihal komunikasi. Setelah menjadi Taruna tingkat tiga, Lingga lebih bebas untuk berkomunikasi denganku,meski tentunya ia pun akan semakin sibuk dengan pendidikan akhirnya.
Pagi itu, aku baru saja pulang setelah menjalani shift malam di rumah sakit. Rasa kantuk begitu terasa di pelupuk mataku. Aku pun bergegas masuk ke kamar dan berniat mengistirahatkan tubuh. Namun bunyi ponselku membuatku menunda niat tersebut.
Nama Marrish terpampang jelas di sana, aku pun segera menerima panggilan tersebut. Maklum sudah hampir satu minggu kami tak berjumpa karena tempat dinas kami yang berbeda.
"Ya, Rish ...," sapaku sambil merebahkan tubuh di ranjang.
"La ... huhuhuhu ...."
Aku terkejut mendengarnya menangis. "Lu kenapa? Kenapa nangis?" tanyaku khawatir.
"Kak Kenzie, La ...."
"Kenapa? Kak Kenzie kenapa?"
"Huhuhu ... Kakak gue, La---"
"Kenapa sih? Ngomong yang jelas, jangan nangis gitu, Rish. Lu di mana sekarang?" tanyaku dengan hati tak karuan.
"Kak Ken---"
"Kak Ken udah gak ada, La ...."
Tangis Marrish kembali pecah. Hatiku mencelus saat itu juga. Aku bahkan tak lagi bisa berkata apa pun saat mendengarnya. Tak lama kemudian, mama berteriak dengan heboh atas berita yang ia dengar dari televisi.
Berita jatuhnya pesawat latih milik TNI AU di daerah Solo telah menjelaskan semuanya. Aku terduduk di tepi ranjang dengan air mata mengalir, begitu pula dengan Marrish di sebrang sana. Suara tangisnya terdengar menyayat hatiku.
💦💦💦
Sehari berlalu, aku dan teman-teman seangkatan kami pergi ke rumah Marrish untuk mengucapkan bela sungkawa. Kami bahkan tak berkesempatan untuk melihat jasad almarhum karena begitu tiba di Jakarta, keluarga Marrish segera memakamkannya.
Siang itu kulihat hampir seluruh keluarga dan teman-teman seangkatan almarhum masih berada di sana. Terlihat jelas bagaimana sedihnya wajah mereka. Begitu pula dengan Marrish yang langsung memelukku saat aku berada di hadapannya.
Sekilas kulihat Lingga dan Vino duduk tak jauh dari tempatku berdiri. Wajah keduanya sama sendunya, bahkan Lingga tak sedikit pun menatapku. Ia tertunduk dengan tatapan kosong. Aku tahu bagaimana hatinya saat ini, karena begitu pulalah yang kurasakan saat ini.
Meski aku tak kenal dekat dengan kak Kenzie namun melihat sahabatku merasa kehilangan, aku pun bisa merasakannya pula. Lalu bagaimana dengan Lingga dan Vino yang setiap hari bersama, tentu mereka sangat kehilangan.
💦💦💦
Menjelang sore hari, aku, Yanne, Tere dan beberapa teman masih berada di rumah Marrish. Kami masih menemani dan sesekali membantu keluarga menyiapkan makanan untuk para pelayat yang datang.
Saat itu aku duduk di bawah tenda yang ada di teras depan. Kulihat teman-teman almarhum pun masih berada di sana---berkumpul bersama, hingga Marrish datang dan duduk di sampingku.
"Udah ketemu Mas Lingga?" tanya Marrish lirih dengan mata sembab. Aku menggeleng perlahan seraya menggenggam tangannya.
"Temuin dia, La. Sebelum mereka pulang ke Jogja besok pagi."
Aku terdiam, tak menyangka Marrish masih memikirkanku di saat seperti ini. Ia seolah-olah tahu bahwa aku juga pasti khawatir dan rindu pada Lingga.
"Gue udah baik-baik aja kok, sana temuin dia." Suara Marrish kembali terdengar. Ia tersenyum padaku sebelum melangkah pergi.
Setelah Marrish masuk ke dalam rumah, kualihkan atensiku pada kumpulan Taruna tersebut. Di sana, Lingga telah lebih dulu menatapku. Dan tak lama kemudian langkah panjangnya mengarah padaku.
💦💦💦
Kini jarak kami telah begitu dekat. Mata kami pun saling pandang dengan gurat rindu yang tertahan.
Lingga yang sebelumnya memegang erat kedua bahuku, kini mulai tertunduk perlahan.
"Maaf ... harus bertemu di saat seperti ini, Dek."
Di detik berikutnya ia mulai menitikkan air mata. Aku tahu ia tak mampu menahan rasa kehilangan dari sahabat terbaiknya. Kudekap tubuhnya saat itu juga. Kubiarkan ia menangis di bahu rendahku tanpa mengucap sepatah kata pun.
Setelah hampir sepuluh menit menangis, ia pun melepaskan pelukanku. Kami mulai duduk bersama tanpa kata, hingga tiba-tiba ia menggenggam tanganku dengan erat lalu berkata, "Mas takut kalau suatu hari nanti Mas akan tinggalin kamu dengan cara seperti ini ...."
Hatiku terasa nyeri saat mendengar penuturannya, sebab selama ini tak sedikit pun terlintas di pikiranku akan hal itu.
"Inilah resiko yang harus Mas kasih tau ke kamu, Dek. Kami semua penerbang dengan taruhan nyawa. Setiap saat kami berada di dalam bahaya, apa kamu bisa menerima semua ini?"
Aku terdiam. Pikiranku yang selama ini tertutup kini terbuka sudah.
"Mas gak hanya gak punya waktu untuk kamu, tapi Mas suatu waktu pun bisa meninggalkanmu dengan cara seperti ini ... apa kamu masih bisa menerima semuanya, Dek?"
Ada raut penuh harap dan gelisah dari wajahnya, namun aku masih belum mampu menjawab. "Mas cuma mau kamu yang ada di samping, Mas. Mas harap kamu gak pernah ragu untuk mendampingi Mas apa pun resikonya ...."
Ia tertunduk setelah mengeluarkan isi hatinya. Jujur saja aku tak mampu berkata apa pun saat ini tapi aku akan berusaha untuk tetap berada di sampingnya hingga akhir nanti.
💦💦💦
Tak pernah terpikirkan padaku tentang caramu meninggalkanku
Karena yang kutahu kau akan selalu bersamaku
-Latte-
✨✨✨
-30 Maret 2020-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro