[Page 7] Sebuah Firasat
Menjelang tengah hari, hatiku juga tak mau mengerti. Ia tetap menanti, suatu hal yang tak pasti.
Gelisah terus memelukku dengan mesra hingga membuat mama jengah seketika. "Ngapain sih, Mba? Mondar-mandir begitu. Tar juga adzannya kedegeran kok."
Mama mengira, aku tengah menanti adzan Zuhur. Aku hanya diam dengan wajah tak karuan. "Nunggu telepon dari Lingga?" Sebuah pertanyaan terlontar dari bibirnya. Aku menoleh dan mengangguk cepat.
"Masih belum bisa ditelepon?"
"Belum ...,"sahutku lesu.
"Ya udahlah ditunggu aja, bukannya udah biasa begitu ...," timpal Mama santai.
Sebelumnya aku memang sudah menceritakan tentang sosok Lingga padanya. Sosok yang membuatku begitu mencintai setiap laku dan tuturnya. Tapi kali ini aku tak menceritakan perihal apa yang membuatku segelisah ini. Tentang firasatku yang kuharap tak akan terjadi.
💦💦💦
Suara adzan Zuhur berkumandang merdu. Segera kubasuh wajahku dengan air wudhu dan memulai untuk sholat. Tak lupa kupanjatkan doa untuk keselamatan dan kesehatannya di sana.
Seusai sholat, hatiku berangsur membaik. Gelisahku perlahan hilang, namun pikiranku tak sedikit pun berhenti memikirkannya.
"Ya Allah ... lindungi Mas Lingga, Kak Vino dan Kak Kenzie di sana. Apapun yang sedang mereka lakukan, tolong lindungi mereka."
Itulah doaku sebelum akhirnya kupejamkan mataku untuk tidur siang.
Entah karena khawatir yang terlalu berlebihan. Di dalam tidur pun aku memimpikan Lingga, hingga aku menangis sesenggukan.
"Mba, kamu kenapa? Kok tidur sambil nangis begitu? Mimpi apa?"
Aku tergegap bangun saat mama mengguncang tubuhku. Ada rasa lega sekaligus sesak yang kurasakan di hatiku. Syukurlah itu hanya mimpi. Jika apa yang kulihat tadi adalah kenyataan entah apa yang harus aku lakukan.
"Mimpi apa? Kenapa nangis?"
Mama mengulang pertanyaan sambil menatapku lekat. Masih sambil menangis, aku pun menjawab, "Mas Lingga, Mam."
"Kenapa Lingga?"
"Jatuh dari pesawat latih ...."
Tangisku makin pecah. Dadaku sesak saat mengingat mimpi barusan. Aku berharap ini bukanlah sebuah firasat buruk yang Tuhan berikan padaku.
"Itukan cuma mimpi ... dibawa sholat dan doa aja biar tenang ...," perintah mama yang langsung aku kerjakan.
💦💦💦
Aku telah berdiri di atas sajadah, bersiap untuk membaca niat sholat, namun air mataku terus merembas turun tak terkendali. Mimpi itu terasa begitu nyata bagiku. Hingga membuatku sungguh tak berdaya.
Kucoba kembali berfokus untuk sholat, namun baru satu kalimat ayat kulantunkan, tangisku kembali pecah. Aku tergugu sambil bersimpuh di atas sajadah.
Tak pernah kurasakan hal seperti ini sebelumnya. Mengapa bersama Lingga rasanya seperti ini? Rasa sayang dan khawatirku sama besarnya. Membunuhku secara perlahan.
Setelah beberapa saat mengendalikan tangisku. Akhirnya aku pun berhasil menyelesaikan sholatku. Lagi dan lagi kupanjatkan doa untuknya.
Seusai sholat, aku terduduk di tepi ranjang sambil menatap sendu ponsel pintarku yang tergeletak di atas meja belajar. Batinku merapalkan kalimat yang bagaikan mantra. 'please ... berderinglah! Telepon aku Mas!'
Itulah yang terus kurapalkan, namun tentu saja itu tak terjadi karena hingga malam hari tak jua ada telepon untukku dari Lingga.
💦💦💦
Ponselku berdering saat waktu menunjuk ke angka dua pagi. Dengan masih setengah tertidur, aku meraih ponselku dan segera mengangkatnya tanpa melihat siapa nama di layar.
Suara merdu dan lembut pun terdengar dari sebrang, membuat mataku kontan terbuka lebar.
"Mas Lingga?"
"Iya, Dek. Ini Mas ...," sahutnya lirih.
Bisa kupastikan bahwa suara itu bukan suaranya yang sedang bersembunyi tapi suara itu adalah suaranya yang tengah lelah.
"Mas ke mana aja? Kenapa gak ada kabar sama sekali?!"
Ia tak segera menjawab. Helaan napasnya terdengar jelas di telingaku. Perasaanku jadi makin tak karuan.
"Kenapa, Mas?"
"Gak apa kok, Dek. Mas baik-baik aja, hanya merasa gak pantas untukmu saat ini."
"Kok tiba-tiba ngomong gitu?"
Ia kembali terdiam,seakan tengah mengumpulkan keberanian untuk menjawab pertanyaanku.
"Dek, Mas minta maaf ya gak bisa selalu menghubungimu. Bukan Mas gak mau tapi waktu Mas sulit di sini. Mas berharap kamu bisa mengerti, Dek."
Penjelasannya membuatku menghela napas. Inikah yang membuatnya begitu resah? Segera kusampaikan padanya bahwa aku mengerti keadaannya di sana dan tak menuntut banyak atas waktunya. Aku berusaha untuk meredam rinduku sendiri, sebisaku ... semampuku ....
💦💦💦
Setelah mendengar penjelasanku yang tak mempermasalahkan hal komunikasi, aku pun mulai menceritakan mengenai firasat dan mimpiku siang tadi. Segala kekhawatiran yang kurasakan segera kuceritakan padanya dan tentu menanyakan apakah ia dalam keadaan baik-baik saja.
"Astaghfirullah, Dek. Kamu mimpiin Mas kayak gitu?" tanyanya penuh dengan keterkejutan.
"Iya ... makanya aku kepikiran banget! Takut Mas kenapa-kenapa!"
"Hari ini Mas memang ada latihan terbang, Dek. Dan kamu tau pesawat latih yang Mas bawa memang hampir tergelincir karena runway yang licin tapi Mas bersyukur karena semua baik-baik saja."
Mendengar penjelasannya aku segera membelalak. Jadi mimpiku tadi benar sebuah firasat?
"Tapi Mas Lingga bener gak apa-apa,kan?" Lingga pun mengiyakan. Ia pun mencoba menenangkan hatiku.
Aku berharap tak akan ada mimpi atau firasat buruk semacam ini lagi.
✨✨✨
Gimana udah tenangkan?
Lingga baik-baik aja kok
😁
Tunggu kisah mereka berikutnya ya
Siap-siap untuk momen melow di part berikutnya
- 26 Maret 2020 -
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro