Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[Page 5] The First Meet

Keesokan harinya di kampus. Marrish tampak sumringah pagi itu. Sedangkan aku? Ah ... menahan rindu nyatanya berat kujalani sendiri. Membuatku tak bersemangat sama sekali. Apalagi tak ada kabar tentang Lingga malam tadi.

"Ngapa manyun aja, Bu? Belum sarapan ya?" goda Marrish yang duduk tepat di belakangku.

"Gak usah ngusik gue! Senggol bacok mode on nih!"

Marrish terkekeh dengan begitu renyah.

"Belum ditelepon ya sama pujaan hati?"

Lagi-lagi ia menggoda. Aku pun hanya membuang napas keras lalu menoleh ke arahnya. "Kalau udah tau ngapain lu nanya!"

"Hahaha ... sengaja, padahal semalam ngobrol sama gue lho, waktu gue lagi  teleponan sama Vino!"

Aku melebarkan iris. Tak menyangka dengan apa yang kudengar. Bisa-bisanya Lingga ikut berbincang dengan Marrish, ketimbang memilih untuk menghubungiku yang bahkan menunggunya.

Marrish sadar betul dengan wajah kesalku. Ia pun tertawa puas di hadapanku.

"Pulsanya habis,belum sempat beli makanya gak bisa telepon lu! Semalam dia titip salam kok ke lu. Gak usah pake ngambek gitu,lu kan bukan pacarnya!"

Aku membelalak. "Makanya harusnya kemarin langsung jawab iya! Gak usah pake nolak biar sekarang punya hak buat ngomel sama tu orang hahahaa ...."

Aku melirik Marrish dengan kesal lalu mengalihkan pandanganku. Benar juga yang dikatakan Marrish barusan.

Jika saat ini aku merajuk padanya pun, aku tak punya hak karena aku memang bukan siapa-siapanya.

Aku berteriak kesal sambil mengacak rambutku, membuat seisi kelas menatapku heran sedangkan Marrish hanya tertawa senang. "Udah biarin aja ... lagi kambuh doi!" celetuknya dari belakang.

💦💦💦

Senja sore menembus jendela di lantai tiga prodi kebidanan. Warna keemasan dari sang surya yang beranjak tenggelam itu mengalihkan perhatianku setelah beberapa jam membuat mading tentang kesehatan reproduksi sebagai tugas kelompok.

Yanne, gadis Bajawa berambut tebal dengan kulit eksotisnya terlihat mulai membereskan barang-barangnya, sedangkan Tere tengah menandaskan kopi terakhirnya dengan tenang. Keduanya adalah teman dekatku dan teman satu kelompok dalam tugas mading ini selain Marrish.

Marrish yang baru saja keluar dari toilet ikut memandang sang senja yang terlihat begitu menawan tersebut. "Andai bisa memandangi sang senja bersama Mas Lingga," godanya membuatku melirik ke arahnya.

"Mulai!"seruku geram karena seharian ini ia terus menggangguku.

"Hahaha ... udah jangan mendramatisir keadaan. Cabut ayo! Laper nih Eneng Marrish."

Marrish menarik tanganku dan membawaku melangkah turun. Yanne dan Tere pun ikut serta di belakang kami tanpa tahu apa yang tengah terjadi dengan hatiku.

Ya ... mengenai kedekatanku dengan Lingga, mereka berdua memang belum tahu. Saat ini memang hanya Marrish yang mengetahuinya. Mungkin jika mereka berdua tahu, tak hanya Marrish yang akan menggodaku tapi juga mereka---kawanan laknat yang solid.

💦💦💦

Langit telah sempurna gelap. Namun aku dan Marrish masih berada di atas aspal dengan motor scooter miliknya. Menyusuri jalan Salemba - Halim.

Marrish yang berada di kemudi terlihat menepikan motornya di sebuah tempat makan pinggir jalan di daerah Lubang Buaya. Aku pun mengeryitkan alis.

"Rish, kita mau makan lagi?"

Yup sebelum pulang tadi, kami bahkan sudah makan bakso di depan kampus.

Ia nyengir kuda dan segera menarik tanganku ke dalam tempat makan dengan menu roti bakar tersebut. Kami melangkah agak ke dalam dan di detik berikutnya aku terkejut dengan sapaan dari tiga laki-laki berwajah rupawan yang melambaikan tangan mereka ke arah kami berdua.

Marrish segera melebur ke pelukan seorang dari mereka yang kukenal sebagai kak Kenzie, sedangkan aku masih berdiri mematung.

"Kok bengong? Sini duduk!" ajak seorang lain dengan akrab.

"Dek Latte, kan?" sambungnya sambil menjabat tanganku.

"Kenalin ... namaku Vino sahabat baiknya Kenzie dan Lingga, pacarnya Marrish!"

Aku melirik sekilas ke arah Marrish. Ia terlihat menaikkan matanya dengan malas saat mendengar perkenalan Vino. Selanjutnya manikku pun segera menatap ke arah seseorang yang tengah mengunyah makanannya dengan tenang.

Dialah Lingga. Linggaku yang kurindu. Sejenak kutatap wajah rupawan dan tenangnya itu dengan curi-curi pandang, namun tiba-tiba saja manik coklat mudanya menembus mataku hingga kutergegap.

Ia tertawa kecil mendapatiku mencuri pandang ke arahnya. Tak lama kemudian, ia mengulurkan tangannya ke arahku sambil berkata, "sini ... duduk samping, Mas."

Aku menggagu dengan tubuh kaku. Tapi kupastikan buku-buku jariku tak membiru,hanya hatiku saja yang tak mampu menguasai ritme jantung yang terlampau rindu.

💦💦💦

Malam itu, pertemuan pertamaku dengan Lingga. Saat itu aku tak banyak bicara. Selain terlalu malu, aku terlalu sibuk untuk mengatur degub jantungku yang tak mau tahu untuk sejenak saja tak menggebu.

Lingga yang duduk di sampingku pun kerap kali tanpa ragu menatapku dengan senyum membius kalbu.
Aku terbuai dengan segala tutur katanya yang halus dan menenangkan. Tatapan mata yang meneduhkan pun membuatku lupa bahwa kami bukanlah siapa-siapa.

Sesekali tawanya membuatku tak karuan. Membuat hatiku bahagia tanpa alasan.

"Besok malam Mas kembali ke Jogja. Apa besok kita bisa ketemu sebentar?"

Aku terkejut dan mulai memikirkan jawaban apa yang akan kuberikan. Tapi sebelum kata itu keluar dari bibirku, Marrish sudah lebih dulu bersuara. "Bisa! Besok aku anterin Latte untuk ketemu sama Mas deh!"

Marrish memberikan signal-signal dari matanya. Aku sendiri hanya mengerutkan kening tak mengerti.

💦💦💦

Hari berganti. Kujalani pagiku dengan penuh senyum. Marrish yang mengetahui moodku sedang bagus hanya menggelengkan kepala. Yanne dan Tere pun menyadari hal itu, namun mereka tak berkomentar apa pun.

Tak sabar rasanya untuk bertemu lagi dengan Lingga, hingga sepanjang pelajaran aku hanya terus memandangi ponselku, menanti kabar mengenai waktu dan tempat yang akan Lingga berikan.

Semangatku yang sejak pagi begitu membara kini pias begitu saja karena tak jua mendapatkan kabar darinya.

Waktu telah menunjukkan pukul tiga sore. Sudah waktunya jam kuliah selesai dan kabar yang kunanti tak kunjung datang.

"Kayaknya gak jadi ketemuan deh gue. Gak ada kabar juga dari Mas Lingga ...," keluhku sambil menenggelamkan wajah pada tas ransel yang ada di atas meja.

Marrish melirikku sekilas dengan jari-jari tangannya asik pada ponsel.

"Rish! Gini banget sih rasanya!" keluhku dengan mata berkaca-kaca.

Aku sungguh tak tahu apa yang aku rasakan saat ini. Yang pasti aku hanya ingin menangis. Menangis karena tak memiliki kesempatan lebih untuk bertemu dengannya.

Marrish yang mengetahui kegalauanku segera memelukku dan saat itulah tiba-tiba saja aku menangis keras. Aku hanya ingin bertemu dengannya. Melihatnya berada di sampingku lebih lama.

Melihatku menangis, Yanne mendadak heboh sendiri. "Hei, Marrish kau apakan, Latte?"

"Ngapa dah dia? Tadi pagi kayaknya bahagia aja, kenapa begitu mau pulang dia nangis?" Suara Tere terdengar di indera pendengaranku, namun aku masih bungkam. Begitu pula dengan Marrish yang terus memelukku.

"Kurang minum kopi apa lu, La?" tanya Tere

"Tidak ko, Sa rasa Latte masih mau dengar dosen mengajar. Dia sedih karena pelajaran hari ini terlalu singkat buat dia,"timpal Yanne membuatku ingin tertawa.

Marrish yang sudah tak lagi bisa menahan tawa akhirnya tertawa keras. "Lu berdua rusuh banget dah! Minggat sana! Ganggu orang nangis bae lu berdua!"


💦💦💦

Hmm ... kira-kira Latte akan ketemu gak ya sama Lingga??

Temukan jawabannya di part selanjutnya ya chingu
🤗

Terima kasih sudah bertahan untuk baca cerita ini.
Jaga kesehatan untuk kalian semua
Semoga Allah melindungi kita semuanya ya

- 23 Maret 2020 -

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro