[Page 18] Bandung, I'am on Love II
Note: Page ini menggandung unsur 18+
Pembaca diharap bijak
💦💦💦
Seperginya Lysa, kami pun segera beranjak dari restoran tersebut. Lingga mengajakku berkeliling toko buku yang ada di mall tersebut.
Sesekali ia tampak serius membaca buku-buku, sedangkan aku lebih tertarik dengan barang-barang lucu dan unik yang ada di sana.
Setelah bosan berkeliling toko buku, kami pun melangkah ke tempat lain. Sesekali kami tertawa dan bercanda bersama. Begitu bahagianya hatiku bisa dekat dengan Lingga seperti ini. Ingin rasanya terus seperti ini. Berada di dekatnya dan bisa melihatnya tersenyum bahkan tertawa.
💦💦💦
Terlalu lama berkeliling nyatanya membuat kakiku terluka. Maklum saja aku tak biasa memakai hels seperti ini. Memalukan sekali rasanya berjalan dengan sedikit pincang dan berusaha baik-baik saja di depan Lingga.
Meski aku coba menyembunyikannya, nyatanya Lingga tetap tahu bahwa aku tengah menahan sakit karena hels yang kupakai.
"Sakit kakinya?" tanyanya dengan wajah khawatir.
"Aku bisa tahan kok, gak pa-pa, Mas."
"Coba duduk dulu, biar Mas liat," ucapnya sambil membantuku duduk di sebuah kursi tunggu yang ada di tengah mall.
Tak lama kemudian, ia melepas hels yang kupakai. Dilihatnya kulit kakiku yang mulai lecet. Ia pun menatapku sendu.
"Tunggu di sini, Mas gak akan lama," ucapnya yang langsung melangkah pergi begitu saja.
Aku sendiri tak tahu hendak ke mana dia, tapi entah kenapa aku menuruti perintahnya untuk tetap duduk di kursi itu.
💦💦💦
Dua puluh menit telah berlalu. Lingga terlihat setengah berlari ke arahku sambil membawa sesuatu. Begitu sampai di hadapanku, ia pun segera berlutut dan menyentuh kakiku yang sejak tadi masih menggunakan hels.
"Ganti pakai yang ini biar gak sakit lagi," ucapnya sambil hendak memakaikan sepatu kets berwarna putih seperti miliknya.
Aku tercengang dengan perlakuannya. Aku pun segera menarik kakiku dari tangan Lingga. "A--aku pakai sendiri aja!" seruku tak enak hati.
Namun Lingga tak membiarkanku untuk memakai sepatu itu sendiri. Kepalanya menggeleng pelan sambil tersenyum padaku. "Biar Mas yang pakaikan ...."
Aku membeku dengan perlakuannya. Benar-benar membuat hatiku luluh lantak. Aku tersenyum ke arahnya saat ia fokus menempelkan plester pada luka di kakiku dan mengikat tali sepatu.
Perlahan kudekatkan wajahku dengan wajahnya. Lalu mulai kukatakan, "makasih ya, Mas."
Lingga terkejut. Manik coklatnya berbenturan dengan manik hitamku. Wajahnya merah padam, namun ia mampu segera mengatasinya dengan bangkit berdiri. Aku tertawa kecil melihat sikap salah tingkahnya. Tak lama kemudian, ia meraih jemariku dan segera membawaku pergi dari tempat itu.
💦💦💦
Kini kami telah berada di depan rumah Emak. Komplek sudah tampak sepi, begitu pula dengan rumah Emak, karena saat itu waktu telah menunjukkan pukul 23.00
"Kayaknya udah pada tidur ya, Dek?" tanya Lingga sebelum keluar dari mobilnya.
Aku menoleh ke arah rumah. Benar yang dikatakan Lingga, mungkin mereka semua sudah tidur karena lampu tengah pun tampak sudah padam.
"Kemalaman ya kita, Mas?"
Lingga menatapku lalu mengusap lembut pipiku. "Maaf ya, jadi kemalaman gini. Mau coba telepon Marrish dulu supaya dibukakan pintu?"
"Gak usah, Mas. Biar aku coba ketuk aja pintunya."
"Ya udh ayo mas temani," sahutnya kemudian. Aku pun mengangguk sambil tersenyum. Di menit berikutnya, Lingga mendekatkan tubuhnya ke arahku, membuatku menahan napas sejenak atas tindakannya. Menyadari hal itu, Lingga terkekeh lalu berkata, "mas cuma mau bantu lepasin seatbell, Sayang ...."
Wajahku yang sudah merah padam mendadak kesal. Kuanugrahkan ia dengan pukulan ringan di lengannya.
"Jangan suka bikin orang deg-degan bisa gak sih! Udah tau aku gampang salting!" omelku.
"Salting kenapa?"
"Ya mana aku tau! Makanya jangan suka bertingkah yang kayak gitu!" lanjutku diikuti kekehan Lingga.
"Tingkah yang kayak apa maksudmu? Yang kayak gini?" tanyanya yang kemudian kembali mendekatkan wajahnya ke wajahku.
Lagi-lagi aku menahan napas. Menatapnya dengan degub jantung yang mengkhianati ritme normal. Dan dalam sekejap bisa kurasakan ada rasa panas menjalar pada kedua pipiku.
Di saat aku tengah tergagu dan membeku, Lingga terlihat santai sambil menatapku lekat. Bibirnya menampilkan kurva senyum yang menghangatkan hatiku saat melihatnya.
Tak lama kemudian, kedua tangannya terulur. Ditangkupnya kedua pipiku dengan tangan besarnya. "Mas sayang kamu, Latte ...," ucapnya lembut, membuatku sama sekali tak berkutik.
Dan di detik berikutnya bisa kurasakan bibirnya telah berada tepat di bibirku. Ia mengecupnya dengan lembut, membiarkanku untuk menikmatinya sesaat tanpa membalas.
Mataku mengerjab beberapa kali saat Lingga mulai menyesap bibirku lebih dalam. Ada desir yang mengalir di seluruh tubuhku dan tanpa kusadari, aku mulai membalas ciuman tersebut. Melingkarkan kedua tanganku pada leher Lingga.
💦💦💦
Minggu siang di Bandung. Tak terasa, kini sudah tiba waktunya aku dan Marrish kembali ke Jakarta. Setelah berpamitan dengan Emak, tante Nia dan tentunya Lingga, aku pun segera melangkah menuju mobil.
Lingga yang sejak tadi berdiri tak jauh dariku terlihat tak rela akan kepergianku. Begitu pula denganku. Aku merasa setelah ini akan sangat sulit untuk bertemu dengannya. Aku bahkan tak tahu kapan aku bisa bertemu lagi.
Ah ... aku benci saat seperti ini. Bisakah aku tinggal saja di sini bersama Lingga? Aku mulai merasakan sesuatu yang mendesak di pelupuk mataku, namun aku berusaha untuk bisa menahannya. Menunjukkan bahwa aku baik-baik saja di hadapan Lingga.
Lingga sendiri yang sejak tadi memperhatikanku mulai menyadari suatu hal. Ia melangkah dengan cepat sebelum aku sepenuhnya masuk ke dalam mobil. Laki-laki itu tiba-tiba saja menarik tanganku dan segera mendekapku.
"Biarkan Mas memelukmu sebentar lagi," ucapnya lembut. Aku pun segera menyambut pelukan itu. Kulingkarkan tanganku pada pinggang rampingnya. Kuhirup dalam-dalam aroma vanilla dari tubuhnya.
Inilah yang aku suka. Aku menyukai aroma manis ini. Semanis sikap dan tuturnya padaku, semanis ciuman bibirnya yang membuat candu.
Berada beberapa saat di pelukannya terasa begitu menenangkan. Aku tahu ... aku akan cepat merindukan pelukan ini. Pelukan yang bagaikan morfin untukku.
💦💦💦
Hari terlewati tanpa terkendali. Setelah dua hari bersama Lingga, kini aku telah kembali pada realiti mengejar mimpi.
Berpisah dengan Lingga tak serta merta membuatku larut dalam sedih. Aku malah lebih bersemangat untuk menjalani hari. Dua hari bersamanya seakan memompa semangatku. Lingga memang pandai mengatur diri dan rasaku.
Siang itu saat jam makan siang. Seperti biasanya aku, Marrish, Yanne dan Tere bertolak ke kantin kampus. Aku sedikit sibuk dengan ponselku membalas chat dari Lysa sebelum akhirnya memesan makanan yang sama dengan Tere.
Di saat kami tengah menanti pesanan datang, seorang gadis cantik masuk ke area kantin, membuatku memfokuskan netra padanya.
Wajahku tegang seketika, tubuhku bahkan ikut terserang kaku. Marrish dan yang lain kontan saja heran melihat sikapku.
"Napa dah lu, La? Macam liat setan di tengah hari!" Suara Tere mendengung di telingaku, namun bibirku terasa kelu untuk menjawab tanyanya.
Marrish yang merasa aneh pun segera memutar tubuhnya dan melihat siapa gerangan yang membuatku tercengang. Di detik berikutnya, Marrish pun ikut tercengang melihat gadis bernama Davika tengah melangkah semakin dekat ke meja kami.
"Mau ngapain kamu di sini?" Suara Marrish terdengar lantang dengan tubuh yang sudah berdiri dari kursi.
"Saya gak ada urusan denganmu!" sahutnya seraya sekilas menatap Marrish lalu kembali menatapku tajam.
Aku menelan salivaku susah payah. Berusaha memberanikan diri untuk berhadapan dengan gadis di depanku ini.
"Kamu cari saya?"
Davika menarik senyum asimetris di bibirnya. "Tentu!"
💦💦💦
Kini, aku dan Davika berada di luar kantin. Berdua saja dengannya diikuti intaian mata dari ketiga kawanku dari dalam sana.
Aku berusaha untuk tak gentar saat mata elang Davika menelanjangiku dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Sepertinya kamu tak menghiraukan perkataanku beberapa waktu lalu ya? Kalian bahkan bertemu di Bandung, kan?"
Aku tersenyum tipis. "Tentu aja aku gak menghiraukan kata-katamu. Aku akan tetap berada di samping Lingga!"
Mendengar ucapanku, Davika mengeraskan rahangnya. Tangannya terlihat mengepal menahan amarah. Senyum sinis pun dianugerahkannya padaku. "Jadi kamu benar-benar ingin melihat Lingga menderita ya?"
"Kamu gak akan bisa melakukan itu padanya!"
"Kenapa kamu yakin sekali? Aku bisa melakukan semua hal yang tak kamu ketahui, Latte! Untuk menghancurkan keluargamu pun aku mampu!"
Aku tercekat mendengar ancamannya. Mataku menembus tajam ke matanya. Ingin rasanya kuanugrahi gadis ini dengan caci maki tapi aku mencoba bersabar diri.
"Berhenti mengancamku, Davika! Berhenti mengganggu hubungan kami. Aku rasa Lingga pun pasti sudah menolakmu untuk kembali, kan?"
Davika terlihat tak terima. Wajah marahnya tampak begitu jelas. "Aku akan buktikan padamu kalau aku bisa mendapatkannya kembali!! Hanya akulah yang layak bersama Lingga! Bukan kamu atau yang lainnya!" cetusnya yang kemudian melenggang pergi.
Aku menghela napas panjang melihat ia pergi. Cukup melegakan karena aku bisa menghadapinya. Marrish dan lainnya pun segera menghampiriku dan menanyakan keadaanku.
"Gila tu perempuan! Cantik sih tapi mirip setan! Kayaknya dia titisan iblis deh!" seru Tere dengan wajah geram.
"Benar ko! Perempuan tu benar-benar ngeselin mukanya!" sambung Yanne
Marrish sendiri hirau akan ocehan keduanya. Ia lebih memilih memperhatikanku dan memastikan bahwa aku baik-baik saja.
"Dia ngomong apa sama lu? Ngancem lagi?"
Aku mengangguk dan Marrish terlihat menahan geram. "Sampe dia berani celakain lu, habis dia sama gue!!"
Aku menatap Marrish sendu. Entah apa yang akan terjadi setelah ini, aku pun tak tahu.
- 1 Mei 2020 -
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro