Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[Page 17] Bandung , I' am in Love

Setelah mempersiapkan diri untuk perjalanan menuju Bandung, kini aku tengah menunggu kedatangan Marrish untuk menjemputku.

Yup ... Aku memutuskan untuk mengajak serta Marrish ke Bandung. Selain memang keinginan Marrish sendiri yang ingin bertemu sang nenek, tentu saja ia sang pemberi tumpangan tempat tinggal padaku.

Marrish memutuskan untuk ikut agar aku tak perlu tinggal di hotel dan menghabiskan uang. Dengan tinggal di rumah sang nenek tentu aku akan lebih aman dan juga hemat. Lagi pula rumah nenek Marrish berada satu kompleks dengan kantor dan mess Lingga di sana.

💦💦💦

Setelah melalui perjalanan sekitar tiga setengah jam dengan mengendarai mobil pribadi milik Marrish, akhirnya kami sampai di rumah Emak---sebutan untuk nenek Marrish.

Aku disambut begitu hangat oleh Emak dan juga tante Nia---adik kandung ibunda Marrish.

"Aduh ... yang mau temu kangen sama Mamasnya, " goda Tante Nia padaku.

Ya aku dan tante Nia memang sudah kenal dan akrab sejak hari kematian kak Kenzie. Tante Nia bahkan selalu memberikan wejangan padaku untuk selalu bersabar selama berpacaran jarak jauh dengan Lingga.

Di rumah Emak, aku dianggap seperti keluarga sendiri. Mereka benar-benar memperlakukanku dengan baik.

"Ini kamar lu, kamar gue di sebelah. Kalau butuh apa-apa ngomong aja ya," kata Marrish saat mengantarku ke sebuah kamar berukuran sedang dengan pemandangan lapangan hijau milik TNI AU.

"Kenapa gak tidur sekamar aja kita? Takut gue tar malam sendirian," cetusku yang diikuti lirikan maut dari Marrish.

"Ogah! Ngapain coba pake tidur berdua macam lesbi aja! Lagian kalo gue tidur sama lu, gue gak bisa leluasalah telepon sama cowok gue!"

"Elah ... tiap hari udah video call juga masih telepon juga!" protesku.

"Lah gue mah beda, video call sama telepon tuh wajib!" sahutnya lagi.

"Udah istirahat lu, tar sore mau jalan kan sama Mas Lingga?" sambung Marrish yang kusambut dengan anggukan.

"Dandan yang cantik yak jangan lupa cari kesempatan biar bisa ciuman! Pacaran udah satu setengah tahun belum ciuman juga, cemen banget lu!" ledek Marrish yang langsung kulempar dengan bantal. "Bangke emang lu!! Ngajarin gue gak bener mulu!"

"Eh itu gue ngajarin yang bener! Ya kali lu gak mau ngerasain bibir sexynya Mas Lingga!"

"Ya mau sih, tapi --"

"Alah ... gak ada tapi-tapian tar malem kudu berhasil lu dapetin bibirnya doi! Oke!"

Marrish melenggang pergi begitu saja setelah mengatakan hal tersebut. Tak habis pikir mengapa aku bisa mempunyai teman selaknat itu.

💦💦💦

Sekitar pukul empat sore, Lingga sudah datang dan tengah berbincang akrab dengan tante Nia dan Emak. Sedangkan aku masih jadi tawanan Marrish di kamar. Ia tengah memoles pipiku dengan perona wajah.

"Nah klo gini kan gak pucat-pucat amat! Cantik dah temen gue ini!" cetusnya begitu telah selesai.

"Gak kayak lenong kan nih?"

"Kagak, Latte! Tenang aja udah perfect! Liat tuh!"

Marrish menggiringku ke depan cermin. Bisa kulihat bagaimana bedanya aku dari biasanya. Aku yang tak suka berdandan dan selalu mengenakan pakaian simple seperti kaus dipadu celana jeans dan blazer atau jaket kini terlihat bak seorang putri.

Dress berlengan panjang selutut berwarna kuning begitu cocok di kulit putihku. Dengan mengikat sedikit rambut ke bagian belakang dan memakai hels, aku benar-benar terlihat berbeda. Apakah Lingga akan mengenaliku nanti? itulah pikirku.

"Harusnya tiap hari begini lu, pasti laris manis deh lu, La!" celetuk Marrish membuatku meliriknya.

"Lu pikir gue dagangan!"

Marrish hanya tertawa sebagai respon. Setelah itu ia pun segera menggiringku keluar. Di sana kulihat Lingga masih berbincang dan sesekali tertawa geli bersama tante Nia.

Tak lama kemudian, tawanya terhenti saat manik coklatnya menangkap sosokku. Ia tak berkata apa pun, hanya menatapku dengan tatapan terpesona. Aku sendiri jadi salah tingkah karena tatapannya itu.

"Duh ... Mas Lingga sampe segitunya! Baru sadar ya kalo selama ini Latte cantik? Biasanya kan buluk!" celetuk Marrish yang kontan kuanugrahi pukulan ringan di lengannya.

"Latte selalu cantik kok, tapi hari ini lebih cantik," puji Lingga membuat pipiku memerah, sedangkan sorakan menggoda keluar dari bibir Marrish dan tante Nia.

"Ya udah sok atuh cepet berangkat sekarang! Takut keburu malam," perintah Emak yang langsung kami iyakan.

"La, jangan lupa pesen gue, fighting ya," bisik Marrish membuatku meliriknya.

Setelah berpamitan dengan mereka, Lingga pun segera menggenggam tanganku dan membawaku masuk ke dalam mobil Camry berwarna putih.

💦💦💦

Di perjalanan, aku sempat kikuk sendiri karena Lingga terus memperhatikanku. Ia tersenyum dan terus menatapku.

"Ih, jangan liatin aku terus kenapa sih! Malu tau!" protesku sambil menutup wajah dengan kedua tangan.

"Mas kaget aja, kirain ini bukan Lattenya Lingga," sahut Lingga yang kemudian meraih salah satu tanganku untuk digenggamnya.

Aku tersenyum malu. Ah benar perasaan yang aneh! Aku pun menatap Lingga yang tengah fokus menyetir. Wajah bertulang tegas itu membuatku terpesona. Ia benar-benar terlihat gagah dan tampan dengan setelan santai seperti ini.

Ia memakai kaus oblong berwarna putih di padu dengan celana panjang berwarna coklat. Sedangkan sweeter berwarna senada dengan celana yang hanya ia sampirkan di pundak lebarnya. Sepatu kets putihnya menambah kesan santai dan sporty untuknya. Ah ... bagiku apa pun yang dipakai Lingga pasti sangat cocok untuknya. Ia bahkan lebih pantas untuk menjadi model ketimbang perwira TNI.

Di saat aku tengah memandanginya tiba-tiba saja aku penasaran mengenai kendaraan yang tengah kutumpangi ini. Aku pun menanyakan pada Lingga dan Lingga menjawab bahwa mobil ini adalah mobil miliknya yang baru beberapa hari lalu dikirim dari Jogja. Ia bahkan membawa serta motor matic miliknya untuk memudahkan dirinya pergi ke mana pun saat berada di Bandung.

Aku terdiam saat mendengar bahwa Lingga memiliki segala fasilitas yang orang butuhkan. Ah ... lagi-lagi kepercayaan diriku terjun payung.

Aku membuang pandanganku ke luar jendela dan tiba-tiba saja terpikir tentang hidup Davika yang pastinya lebih mewah dari ini. Aku menghela napas keras, membuat Lingga menoleh ke arahku.

"Kenapa?" Aku menoleh sambil menggeleng. Lingga mengusap suraiku dengan lembut. "Jangan suka mikir yang macem-macem ...," katanya lembut. Aku sendiri hanya tersenyum tipis ke arahnya.

"Oia nanti ketemuan sama adik Mas ya. Kebetulan dia lagi di Bandung sama teman-temannya," sambung Lingga membuatku terbelalak.

"Malam ini juga?"

"Iya, Sayang. Soalnya besok dia udah balik ke Jakarta. Lagian udah saatnya aku kenalin kamu ke keluargaku, Dek."

Aku menutup rapat mulutku. Menyiapkan diri untuk bertemu dengan adik Lingga. Selama ini aku tahu bahwa adik Lingga memang berkuliah di Jakarta, namun sedikit pun aku tak pernah coba mencari tahu atau berusaha dekat dengannya.

💦💦💦

Sesampainya kami di sebuah restoran. Lingga membawaku ke sebuah meja yang sudah ia reservasi.  Restoran ternama dengan konsep mewah yang ada di mall ini membuatku cangung, namun Lingga selalu menenangkan dengan menggenggam tanganku.

"Sebentar lagi Lysandra datang, kamu pasti cocok ngobrol sama dia." Lingga memberitahu dan aku segera mengangguk.

Jujur saja aku cukup tegang untuk bertemu dengan adiknya. Ini adalah kali pertama aku bertemu dengan salah satu keluarganya. Pikiranku berkecamuk dengan banyak hal. Bagaimana jika adiknya tidak menyukaiku? Bagaimana bila adiknya memandangku rendah?

Semua kecamuk di kepala tiba-tiba saja terhenti saat suara dari seseorang memanggil nama Lingga. Dari kejauhan kulihat seorang gadis berwajah kecil serta berambut panjang berlari ke arah kami. Gadis itu tampak begitu ceria dan penuh tawa.

Sesampainya ia di dekat kami, gadis itu segera memeluk Lingga dengan manja. Lingga pun terlihat begitu memanjakan adiknya itu. Aku bisa merasakan bagaimana sayangnya ia pada sang adik saat ia mengusap surai dan pipi adiknya dengan lembut.

Tak lama kemudian gadis itu menatapku. Ia tersenyum riang sambil mengulurkan tangannya ke arahku. Aku pun segera menyambutnya.

"Latte."

"Lysandra, Mba bisa panggil aku Lysa," ucapnya penuh senyum ramah.

Setelah itu aku pun berbincang dengannya. Usia kami hanya terpaut setahun. Aku lebih tua darinya. Dan benar yang Lingga katakan, sebentar saja berbincang dengan Lysa, kami langsung akrab. 

Lysa tipe yang mudah sekali bergaul. Ia anak yang menyenangkan.

"Mba sabar-sabar ya sama Mas Lingga, dia kadang suka ngeselin!" ucap Lysa padaku.

Aku melirik Lingga yang tengah menyesap Americano pesanannya. Ia terlihat santai saja mendengar ocehan Lysa.

"Mas Lingga gak pernah ngeselin kok!" timpalku membela Lingga.

"Wah, sekarang Mas ada yang belain lagi! Gak cuma Ibu yang belain, sekarang ada Mba Latte juga! Curang!"

"Kok gak terima? Mas, kan anak baik jadi banyak yang bela!" Lingga angkat suara.

"Aku juga anak baik kok tapi kenapa gak ada yang bela aku coba?"

"Ya udah aku bela kamu deh," kataku yang langsung dipeluk oleh Lysa.

"Oke! Mba Latte sekarang di kubu aku!"

Aku dan Lingga hanya tertawa melihat sikap kekanakan Lysa. Setelah kami makan bersama, Lysa pamit pulang lebih dulu karena teman-temannya telah menunggunya di hotel.

💦💦💦

Assalamualaikum semuanya 🤗
Semoga kalian sehat selalu ya dan selamat menjalankan ibadah puasa.

- 30 April 2020 -

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro