[Page 10] Pelik
Musim berganti membawa segala harapan dan juga mimpi. Kesibukanku dan Lingga tak serta merta membuat komunikasi kami terus berjalan baik. Ada kalanya kami sungguh merasa sulit meski hanya untuk saling menanyakan kabar.
Kegiatan perkuliahan dengan diselingi jadwal praktek membuat moodku kadang tak karuan. Aku mudah sekali merajuk atau pun kesal kala Lingga tak memberi kabar.
Bukannya aku tak tahu bagaimana sibuknya dia di sana, hanya saja belakangan ini aku memang sangat butuh perhatian darinya.
Malam itu, setelah sempat bertengkar dengan Lingga perihal sepele, aku duduk di teras rumah. Menyumpal telinga dengan headset dan mendengarkan lagu Jepang favoritku.
Mama melirikku sekilas, lalu mulai duduk di sampingku. Tak lama kemudian ia pun menanyakan perihal aku dan Lingga bertengkar tadi.
"Emang kedengaran?" tanyaku sambil melepas headset dari telinga.
"Lha, kamu ngomongnya kayak orang jualan di pasar gimana gak kedengaran!"
Aku menepuk keningku. Benar-benar di luar kendaliku marah dengan suara keras seperti tadi. Mau apalagi, aku memang tengah kesal. Lingga tak memiliki banyak waktu dan aku mulai bosan dengan alasan itu.
Harus kuakui kali ini aku memang sedang tidak pengertian. Beban target pasien yang sedang kupikul memang membuatku sedikit sensitif. Tak hanya pada Lingga, namun dengan teman lainnya.
Kampus semakin memberi kami beban dengan banyaknya target yang harus dikumpulkan. Teman-teman sekelas pun kini mulai bersikap egois. Mereka rela berbohong demi bisa mendapatkan target pasien lebih banyak dari yang lainnya.
Di saat seperti inilah aku membutuhkan perhatian Lingga. Aku butuh semangat darinya, namun nyatanya saat ia menghubungi tadi aku tak mendapatkan apa pun. Ia hanya mengatakan bahwa ia sangat sibuk dan tak bisa menghubungi lebih lama, setelah itu sambungan telepon pun terputus.
"Jangan suka marah-marah sama Lingga kayak gitu. Dia di sana juga pasti sulit," pesan mama membuatku meliriknya kesal.
"Kenapa jadi belain Mas Lingga sih!"
"Mama gak belain siapa-siapa ... cuma ingatin kalian harus saling pengertian. Hubungan jarak jauh itu harus banyak sabarnya, harus saling mengerti."
Aku mendengus, malas mendengar nasihat mama yang saat ini tak ingin kudengar. Di saat seperti ini, tiba-tiba saja bapak datang dengan wajah datarnya. Ia menimpali ucapan mama, membuat hatiku mencelus dengan rasa sedikit nyeri.
"Memangnya dia bisa dipercaya? Buat apa berkorban banyak kalau ternyata orangnya di sana gak bisa dipercaya!"
Aku menatap bapak yang kini tengah mengisap rokoknya. "Apa maksudnya?" Suara lantangku kontan membuat bapak menoleh.
"Ya itu ... Mas Linggamu! Yakin dia orang yang bisa dipercaya? Yakin nantinya bisa menghargaimu?"
"Opo sih koe ki, marai bingung anakmu! ( apa sih kamu tuh, bikin bingung anakmu)" tegur mama pada bapak.
Jujur saja aku sungguh bingung dengan ucapan bapak. Entah kenapa ada unsur tak suka di dalam ucapannya. Memangnya apa salah Lingga? Aku bahkan belum pernah menceritakan apa pun tentang Lingga padanya. Namun setelah bapak berkata demikian, aku pun segera paham. Bapak pasti telah mendengar mengenai sosok Lingga dari mama.
Namun kenapa ia bersikap begitu? Apa yang mendasarinya berkata begitu?
"Mas Lingga bisa dipercaya kok! Dia orang baik-baik, Bapak tenang aja!" cetusku kesal seraya melangkah masuk ke dalam rumah.
"Karena dia terlalu baik, Bapak jadi khawatir!" balas bapak membuat langkahku terhenti. Aku menoleh ke arah bapak yang kini menatapku gusar.
"Bapak tau dia banyak bawa dampak positif ke kamu. Dia buat kamu rajin sholat dan puasa, tapi kamu juga harus ingat siapa kamu dan siapa dia. Kita gak sederajat dengan keluarganya. Bapak gak mau suatu hari nanti kamu kecewa karena hal itu ...," terang bapak membuat hatiku nyeri.
"Oalah ... soal itu gak usah dipikirin! Kalau anaknya sama-sama suka, soal kayak gitu gak usah dipermasalahkan!" cetus mama seraya menghampiriku.
Ia mengiringku masuk ke kamar sambil menjelaskan maksud ucapan bapak. "Intinya aku harus sadar diri gitu, kan? Emang aku gak pantes buat Mas Lingga ya, Mam?" suaraku tertahan.
Pelupuk mataku sudah penuh oleh cairan kristal yang sejak tadi terus mendesak keluar.
"Bukan gitu, Mba. Maksudnya Bapak bukan begitu ... Bapak begitu cuma karena khawatir aja kalau ke depannya kamu direndahin sama keluarga Lingga," jelas mama memberi pengertian.
Aku sungguh tak bisa menerima kata-kata itu. Sungguh tak terima!
Kepercayaan diri yang selama ini aku bangun untuk tetap bersama Lingga seakan hancur begitu saja.
Harus kuakui, tak ada yang salah dengan ucapan bapak. Keluargaku dan Lingga memanglah terlalu berbeda. Terlalu mustahil untuk bersama. Aku bahkan belum berkenalan dengan ibu dan adiknya secara langsung.
💦💦💦
Aku masih tergugu sambil menutup wajahku dengan selimut tebal. Ucapan itu masih sangat jelas di telingaku. Jika orang tuaku saja sudah merasa insecure seperti ini bagaimana aku harus terus melangkah.
Tangisku terjeda karena pesan yang meringsek masuk ke dalam ponselku. Aku segera melihat siapa gerangan yang mengirim pesan di tengah malam seperti ini.
Saat kubuka pesan, ternyata itu dari Lingga. Di sana ia menulis sebuah ucapan maaf yang membuatku semakin terisak. Tak lama aku pun menghubunginya. Betapa kagetnya ia saat mendengar suara tangisku.
"Kenapa nangis? Mas minta maaf, De. Mas tau Mas salah ...."
Aku tak menjawab, hanya meneruskan tangisku yang terasa menyesakan dada. Lingga pun berkali-kali memintaku untuk tenang dan menceritakan perihal apa yang membuatku menangis seperti ini.
Awalnya aku ingin menceritakan semuanya pada Lingga tapi kuurungkan niat tersebut. Aku tak ingin menambah beban pikirannya di sana. Cukup aku saja yang memikirkan hal ini. Toh pada akhirnya memang aku yang harus memperjuangkan ini.
"Dek, ayo cerita ... kamu kenapa nangis begitu? Ini semua karena Mas ya?"
Lingga kembali mempertanyakan. Aku tak langsung menjawab pertanyaannya. Memberi waktu pada diriku sendiri untuk membuat alasan yang tepat.
"Aku nangis karena kangen tau!" jawabku pada akhirnya.
Di sebrang sana, helaan napas Lingga terdengar berat. Ia diam beberapa saat seakan tengah memikirkan kalimat apa yang akan ia berikan padaku.
"Maaf ya, Dek. Andai Mas deket sama kamu pasti Mas langsung temui kamu. Maaf Mas gak bisa jadi orang yang bisa kamu andalkan," ucapnya terdengar penuh sesal.
Mendengar hal tersebut kontan membuatku jadi merasa bersalah. Padahal bukan itu niatku. Ah ... Lingga benar-benar terlalu baik! Bisa-bisanya ia menyalakan dirinya sendiri seperti ini.
💦💦💦
Update lagi tapi kali ini pendek aja ya biar gak jenuh 😁
Semangat hari Jum'at chingudel
Selamat Jum'at berkah
🤗🤗
- 3 Maret 2020 -
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro