Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 4

Aku bergerak dengan sangat hati-hati, mencoba meloloskan diri dari lingkaran tangan David yang terlelap di sampingku. Sudah tiga hari dari mimpi sumpah itu yang anehnya, sejak itu aku tidak pernah bermimpi yang aneh-aneh lagi. Yang artinya mereka tidak akan pulang. Jadi kemungkinan besar, aku memang bersumpah dalam keadaan tidak sadar. Dan, apa mungkin mereka datang dari dimensi yang berbeda? Hoh, untuk masalah yang terakhir aku belum menemukan jalan untuk mengusutnya. Tapi yang pasti aku tahu ini akan segera berakhir. Mungkin saja akan berakhir ketika jatah liburanku habis dan aku kembali ke Singapura.

Tanganku segera meraih ponsel yang berkedip-kedip. Telepon dari Natalie, temanku yang sulit memiliki waktu luang. Tapi aku yakin, dia menelepon sedang berkumpul dengan teman-temanku yang lainnya. Heily dan Samantha pasti bersamanya.

"Liburanmu menyenangkan kah? Sampai lupa membalas pesan dari kami? Sam menelponmu berkali-kali dan kamu mengabaikannya. Itu bagus kalau kamu tenggelam di sana!" omel Nat ketika aku menjawab teleponnya.

Aku mengatupkan mulut, mengingat satu minggu berada di sini bersama mereka, masalah yang membuatku lupa dengan teman-temanku. Entah, aku tidak menemukan alasan untuk membela diri atau mungkin aku enggan untuk berdebat.

"Hm, maaf. Oh, Nat, kamu tahu sesuatu tentang aku?" tanyaku tiba-tiba kembali tercetus sebuah pertanyaan di kepalaku. Keinginanku mendapatkan kejelasan tentang statusku yang sebenarnya kembali mencuat.

"Ya! Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku tahu, El. Kenapa? Apa kamu baru tersadar kalau sendiri tanpa kekasih itu tidak menyenangkan? Oh, syukurlah," dengus Nat berakhir dengan hembusan napas lega.

Lagi, aku seperti menelan kekecewaan. Bukan jawaban seperti ini yang kuinginkan. Aku melangkah menuju ke lemari. Masih penasaran dengan hubungan mimpi, buku tua dan David dengan anaknya. Sesaat napasku terhenti ketika aku tidak menemukan buku tua itu pada tempatnya. Dia menghilang? Atau seseorang memindahkannya?

"El? Elmina! Astaga, kamu pikir menelpon luar negri itu murah?" teriak Nat mulai mengomel, membuatku tergagap.

"Ya, maaf. Aku hanya sedang mencari buku. Sepertinya aku lupa menaruhnya, tidak tahu di mana," ucapku pelan dengan mata meneliti setiap sudut lemari.

"Marvin menyobeknya semalam. Dia pikir itu mainannya. Aku menyuruh petugas untuk membereskannya. Selamat pagi, Sayang," bisik seseorang sambil menyusupkan kedua tangannya dari belakang, menarik punggungku hingga berbenturan dengan dadanya.

Rasa terkejutku belum mereda ketika dia memberikan kecupan dengan bunyi cukup nyaring di pipiku. Sepertinya aku ingin mati berdiri. Apa yang dia lakukan bukan hanya membuatku terkejut dan kehilangan kesadaran. Sialnya, sesuatu di dalam diriku seketika bangun bergejolak. Mungkin saja dia bisa mendengar jantungku yang berdetak keras saat ini.

"Sayang? Elmina! Kuharap apa yang kudengar itu salah. Kamu menyembunyikan seseorang dari kami?"

Ini tidak benar. Aku menggigil dalam diam. Omelan dari Natalie dan sebentuk seringaian samar dari David menghimpitku bersamaan saat ini. Tanganku gemetar hingga aku tidak merasakan ponsel itu sudah meluncur ke lantai. Kemudian sebuah kehangatan mulai terasa di tanganku. Tangannya menggenggam tanganku sebelum dia menyelipkannya pada setiap jariku.

"Apa itu temanmu? Kuharap mereka tidak mengganggu kita lagi dengan telepon-telepon tidak pentingnya. Apa mereka tidak tahu, dua minggu ini adalah waktumu untuk kami? Mereka sudah bersamamu sehari-hari. Sedang kami tidak selalu bersamamu. Ini tidak adil kan?"

Satu hal yang baru kusadari di sini adalah bahwa hanya aku sendiri yang mengalami perubahan ini. Sedang mereka masih mengenalku sebagai Elmina sebelum kepergian untuk berlibur ke Kolombia. Jadi yang ada di benakku saat ini adalah sebuah pertanyaan, mengapa hanya aku? Aku kembali nyaris tersedak napasku sendiri ketika David mengecup sudut bibirku sebelum melepasku dari genggamannya.

"Hari ini aku berniat ingin mengajak Marvin ke Taman bermain atau mungkin ke kebun binatang. Ini bagus untuk menambah pengetahuan Marvin. Aku akan berkemas dan kamu bisa memandikan Marvin kan?"

Memandikan Marvin? Menyentuh anak kecil saja aku belum pernah apalagi kalau aku harus mengurus anak kecil yang katanya adalah anakku. Seluruh persendianku seperti kaku mendadak. Aku masih berdiri terpaku ketika David kembali menghampiri dengan Marvin di gendongannya, mengulurkannya padaku. Aku masih enggan untuk menyambut sebelum sebuah suara berbisik seiring dengan semilir angin. Ini aneh, di dalam kamar yang tertutup bagaimana mungkin ada angin.

Anggap saja ini takdir yang harus kamu terima menjadi bagian dari hidupmu. Karena dengan demikian, sesuatu yang kamu anggap masalah akan memudar dengan sendirinya.

Artinya, aku harus menerima kehadirannya. Menjalani hidup bersama dua orang itu dengan sukarela, iya? Menjalani peran sebagai seorang istri dari David Kim dan ibu dari Marvin Kim. Lalu perlahan mereka akan pergi setelah apa yang menjadi tujuannya tercapai. Begitu? Iya? Bagaimana mungkin aku mampu menerima kehadirannya sedangkan aku masih mempertanyakan keadaan asing ini? Mungkin akan berbeda cerita jika aku bertemu dengan keadaan yang berbeda. Berkenalan secara tidak sengaja di tengah perjalanan misalnya. Bukan dengan cara konyol seperti ini.

"Kau masih di sana?" suara David membuatku tergagap, menyadari aku masih berdiri di tempat. Sementara David sudah keluar dari kamar mandi, sempurna dengan kaos putih dan celana selututnya. Dia menatapku dengan helaan napas.

Tatapan matanya membawaku pada keputusan asing. Terasa seperti tersihir. Meski sedikit kegugupan mampu kurasakan di dalam diriku.

"Aku akan menyusulmu sebentar lagi. Kau bisa turun dulu. Biar Marvin bersamaku. Aku akan mengurusnya."

"Sungguh?"

Aku mengangguk cepat kemudian segera melesat meninggalkan David sebelum aku kehilangan kewarasanku. Dekat dengannya mampu membawa pikiran liarku bangun dari tidur panjangnya. Sesaat aku menahan napas melihat seorang anak kecil yang tengah terduduk di tengah tempat tidur dengan selimut melilit di tubuhnya. Duduk termenung dengan tangan sedang mengucek-ucek matanya. Ada sedikit ragu dan ingin melangkah mundur tapi hanya bisa meringis ketika mata si mungil itu sudah lebih dulu menoleh padaku.

"Selamat pagi, Marvin," sapaku terbata bercampur degub kencang, melangkah pelan menghampiri Marvin.

"Mommy," rajuknya mengulurkan kedua tangannya padaku untuk segera diangkat dari tempat tidur.

Sempat kehilangan kesadaran sesaat, tidak tahu apa yang harus kulakukan terhadapnya. Masih ada rasa canggung yang menyelimutiku. Mataku menatap dirinya. Matanya begitu menarik hingga membuatku tersenyum tanpa sadar. Si kecil itu memiliki daya tarik tersendiri. Mata sipit beningnya seperti tersenyum ramah padaku, memanggilku untuk segera mendekat, untuk tidak mengabaikannya. Bahkan kini tanganku sudah bergerak menyambut uluran tangan mungil itu. Menariknya untuk berdiri. Dan dalam sekejab tubuh mungil itu sudah mendekap erat tubuhku, menghujani wajahku dengan ciumannya. Ini aneh, rasa canggung itu melebur tanpa bekas. Apa itu berarti aku sudah bisa menerimanya dalam kehidupanku?

Menyentuh tubuh mungilnya, memandikannya serta mendengar celotehannya entah kenapa membuatku terus tersenyum. Senyum yang jujur saja selama ini jarang aku lakukan karena memang aku tidak memiliki alasan untuk tersenyum. Bahkan seperti aku bukan pertama kali berinteraksi dengannya sebagai ibu dan anak. Secepat itu. Wah, rasanya ini tidak mungkin.

"Mommy, mau kemana?" tanya Marvin ketika aku memakaikan sepatu kets di kakinya. Panggilan Mommy entah kenapa aku mulai akrab dan merasa ada yang meletup-letup di dadaku. Sepertinya aku mulai menyukai caranya memanggilku.

"Coba kau tebak ayahmu akan mengajak kita kemana?" jawabku dengan senyum misteriusku. Aku mengangkat wajah demi menatap sepasang mata beningnya.

Sungguh menggemaskan. Dia memberikan ekspresi wajah sedang berpikir selayaknya orang dewasa. Senyumku kini berganti dengan tawa kecil. Sekali lagi aku memastikan apa yang terjadi pada diriku. Ketika kecanggungan perlahan memudar dan aku seperti sudah terbiasa berinteraksi dengan anak kecil ini, membuat napasku terhenti sesaat. Bagaimana ini bisa terjadi? Aku mencari alasan yang mungkin bisa kutemukan pada anak kecil itu. Kepalaku tergeleng singkat, tidak ada apa-apa di sana. Semuanya normal seperti sebelumnya.

"Wonderland?" tebak Marvin dengan pengejaan yang belum sempurna.

Tahu darimana anak kecil itu tentang taman bermain? Aku tertawa kecil sambil mengusap lembut kepalanya. Mata bening itu berganti menatapku kali ini dengan binar matanya lalu beranjak mengikuti langkahku dengan sedikit berjingkat.

"Kita akan ke kebun binatang. Kau pasti akan menyukainya," jawabku sambil mengambil sepasang sepatu keds milikku. Sementara dia berlari membuka lemari kemudian kembali ke hadapanku. Tangan kecilnya terulur memberikan sepasang kaos kaki milikku.

Aku baru menyadari semanis apa dia. Seketika aku merasa selama ini aku sudah bersikap buruk pada anak manis yang tidak tahu apa-apa ini. Tanganku menarik tubuh mungilnya setelah menerima kaos kaki darinya. Memberinya kecupan cukup lama di pipi bulatnya. Wangi tubuhnya membuat mataku terpejam. Jadi, bisakah kita memulainya dari sini? Gumamku dalam hati. Aku merasakan sepasang tangan mungil itu kini mengalung di leherku.

"Kenapa kalian membutuhkan waktu begitu lama? Masih belum selesai?" tanya David seiring dengan suara langkah kaki mendekat.

"Kami hampir selesai," seruku tergesa mengenakan kaos kaki dengan Marvin masih berdiri rapat dengan tangan di leherku.

"Kelihatannya Marvin sudah selesai. Biar Marvin bersamaku," ujar David bersiap menggendong Marvin. Namun dengan cepat aku berdiri meraup tubuh Marvin begitu sepatu itu sudah terpasang di kaki. Berjalan cepat meninggalkan David.

"Biar Marvin bersamaku. Kau sudah bersamanya setiap hari. Jangan membuatku seperti seseorang yang tak berguna," sahutku meluncur begitu saja dari mulutku, nyaris membuatku terjerembab. Kata-kata yang sulit kupercaya itu keluar dari mulutku.

"Waah sulit untukku percaya. Kau membawa Marvin dariku dan kau mengabaikanku. Ini seperti dikhianati. Apa aku sudah tidak berarti lagi bagimu?"

Terdengar tawa renyah dari bocah kecil di gendonganku. Satu tangan mungilnya masih melekat melingkar di leherku. Samar-samar aku mendengar geraman sahutan dari David. Tidak tahu alasan apa yang membuat bibirku mengembangkan senyuman tanpa sadar di antara langkah kaki meninggalkan kamar penginapan dan David di belakang.

"El!" Dia berseru memanggilku.

Aku hanya menoleh sekilas, mendapati dia berkacak pinggang, menggelengkan kepala di antara tawa kecilnya. Sebelum kemudian melangkah lebar menyusul langkahku. Sementara aku sendiri dalam diam masih mencari alasan atas tindakan yang baru saja kuambil. Mencari pembenaran dari tumpukan keraguan dan pertanyaan-pertanyaan membingungkan. Entahlah. Sementara aku mencium semerbak wangi entah aroma apa. Yang pasti khas bersamaan dengan semilir angin. Wangi yang tidak pernah ketemui sebelumnya. Dan dalam beberapa saat aku merasakan tubuhku merinding.

***

Tbc

31 Agustus 2019

S Andi


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro