
Remember You, Remember Us
"Ha Sung Woon?"
"Nde." Aku mengangguk pelan kemudian menatap lurus ke arah bangunan yang sejak lima tahun menjadi tempat terlarang untuk kukunjungi. "Ha Sung Woon ... dia memiliki tempat spesial di hatiku bahkan, setiap denyut jantungku hanya menyebutkan namanya."
"Tapi bagaimana dengan suamimu? Kau mencintainya, 'kan?"
Aku mengangguk lagi. Gadis SMA di depanku ini memiliki rasa keingintahuan yang tinggi, padahal kami baru bertegur sapa lima belas menit lalu. "Aku mencintai suamiku, tetapi biar kukatakan sekali lagi ... Ha Sung Woon adalah lelaki teristimewa."
"Bagaimana bisa?" Dia bertanya lagi dengan ekspresi penasaran tak terbendung, hingga aku harus menahan tawa di tengah perasaan gundah.
"Apa kau ingin menyimak kisahku?"
Gadis itu mengedikkan bahu. "Ya, aku penasaran dengan sosok Ha Sung Woon."
"Baiklah," kataku kemudian mulai menceritakan siapa Ha Sung Woon dan bagaimana kami bertemu belasan tahun yang lalu.
Ha Sung Woon ... dia bukan lelaki idaman para gadis jika kita membicarakan perihal fisik, status sosial, serta prestasi akademiknya. Ha Sung Woon memiliki tubuh pendek, terlahir dari keluarga petani, dan dengan kecerdasan yang standar.
Namun, dari semua kekurangannya itu Sung Woon memiliki pesona tersembunyi yang mana tidak semua orang menyadari hal tersebut.
Termasuk aku dan itu telah menjadi penyesalanku.
Kami adalah tetangga empat rumah, tetapi karena perbedaan status sosial, aku tidak pernah menghiraukannya setiap kali ia menyapa. Alasan mengapa aku mengabaikan Sung Woon pun sederhana, yaitu aku menolak menjadi korban bully dan Sung Woon adalah santapan sehari-hari bagi para penindas sejak kami menginjak bangku sekolah.
Sung Woon adalah lelaki tangguh. Meski sering kulihat ia berjalan dengan langkah terseok-seok dan wajah babak belur, lelaki itu tetap tersenyum—bersikap semua baik-baik saja—setiap kali para tetangga menanyakan keadaannya.
Aku tahu Sung Woon berbohong karena nyatanya, tidak jarang kudengar ia menangis di bawah jembatan dan aku mendengar semua kesedihan Sung Woon.
Hingga suatu malam, saat festival kembang api ketika kami berdua sudah menjadi senior di bangku SMA, aku melihat Sung Woon berlari dalam keadaan kacau sambil membawa kotak kayu berwarna cokelat. Di antara kerumunan manusia.
Aku tidak tahu apa yang dia bawa, tetapi untuk pertama kalinya, aku tertarik mengikuti Sung Woon, hingga beberapa saat kemudian kami berhenti di salah satu lorong sepi, bekas rel kereta api. Firasatku mulai tak nyaman saat itu, terutama ketika Sung Woon dengan langkah gemetar menghampiri tiga orang lelaki yang kukenal sebagai preman sekolah.
"Kau sudah bawa uangnya?" tanya Min Yoongi. Dia ketua gengnya dan aku seumur hidup tidak pernah mau berurusan dengannya, sehingga sisi pengecutku meminta agar aku segera bersembunyi—mengamati.
Sung Woon hanya mengangguk, sembari menyerahkan kotak tersebut dan kulihat ia gemetar. Bahkan aku bisa merasakan perasaan takut dari setiap bahasa tubuhnya.
"Hanya segini?!" Yoongi kembali bertanya dan Sung Woon mengangguk lagi. "Taehyung, Namjoon, kalian yang urus."
Kalimat itu adalah peringatan! Dan apa yang kutakutkan pun terjadi.
Sung Woon dipukuli, ditendang, dan terakhir ....
... mataku terbelalak. Demi Tuhan! Ini terlalu kejam jika dibiarkan.
Taehyung dan Namjoon menahan tubuh Sung Woon, merapatkannya pada dinding kemudian Yoongi mengeluarkan jarum tattoo dan menggambar sesuatu di tubuh Sung Woon tanpa anastesi. Sung Woon berteriak, tetapi Yoongi menyekapnya dengan segumpal kain.
Aku merinding melihat peristiwa tersebut, sekaligus menangis—tidak menyangka bahwa yang diterima Sung Woon akan separah demikian. Selama ini, dugaanku salah besar. Pikiranku terlalu dangkal karena mengira Sung Woon hanya menerima pukulan atau tendangan dari para penindas, sehingga ....
... tanpa sadar, di tengah tangisanku, aku mengambil balok lalu memukuli ketiga lelaki itu.
Tanpa ampun.
Tanpa rasa takut.
Tanpa penyesalan.
Lalu seluruh tubuhku membeku dan Sung Woon menarik tanganku.
"Ami, apa yang kau lakukan? Sejak kapan? Kau melihatnya? Ah, tidak. Kau harus pergi sekarang." Sung Woon masih berusaha menarik tanganku, tetapi tubuhku terlalu kaku hingga akhirnya aku hampir terjatuh jika Sung Woon tidak menahannya.
"Sung Woon ... aku ...."
"Kau harus pergi. Aku akan mengantarmu, sebelum mereka sadar." Sung Woon meletakkan kedua tanganku di bahunya lalu membawaku lari, bersama dengan tubuhku yang berada di atas punggung hangat itu. Sedikit basah dan aku bisa mencium aroma besi di sana.
Sung Woon terluka parah. Aku bisa melihat tetesan merah kental itu saling berjatuhan membasahi setiap langkah kami.
"Kau terluka," kataku di sela deru napas Sung Woon yang bisa kurasakan semakin berat.
"Aku baik-baik saja." Sung Woon menghentikan langkahnya, di saat kami berada di bawah jembatan—tempat di mana aku sering menangkapnya menangis. "Gomawo," kata Sung Woon dengan senyum itu lagi kemudian ia bersandar.
Aku tidak menjawab, hanya mengamati Sung Woon beberapa saat. "Kau berdarah. Yoongi dan teman-temannya itu—"
"Berpura-puralah tidak tahu. Kumohon."
"Sampai kapan?"
"Sampai mereka melupakanku," jawab Sung Woon penuh arti bersama dengan senyuman yang sebenarnya paling kubenci.
Di saat seperti ini, Sung Woon masih saja menampilkan ekspresi tangguh. Padahal sudah jelas darah di tubuhnya itu telah menembus pakaiannya dan aku tidak bisa diam membiarkan hal tersebut jadi, sebagai penebus rasa bersalah aku segera bangkit—ingin membeli obat di apotik terdekat.
Namun, Sung Woon menahan lenganku. Ia meringis penuh rasa sakit dan aku terluka melihatnya. Entah sejak kapan, rasa empati ini menyeruak di dalam dadaku. "Jangan pergi."
"Aku akan mengobatimu."
Sung Woon menggeleng pelan, tubuhnya masih bersandar pada hamparan rumput berbidang miring. "Tidak. Aku baik-baik saja dan,"—Sung Woon merogoh sesuatu di dalam sakunya—"ini pertama kalinya kau menganggapku ada. Jadi sebelum terlambat, maukah kau membacanya ketika sampai di rumahmu dan memberikan ini kepada kakekku?"
"Apa-apaan ini?" Nada ketus terlontar begitu saja. Aku tidak mengerti, mengapa tiba-tiba saja Sung Woon menampilkan gelagat aneh di saat seperti ini.
"Hanya surat kecil untukmu dan untuk kakekku," kata Sung Woon dengan suara yang semakin melemah, menimbulkan firasat buruk dalam dadaku. "Terima kasih banyak karena akhirnya kau menganggapku." Lalu tanpa memberikan kesempatan apa pun, Sung Woon memejamkan matanya, seolah tertidur nyenyak di saat kemeriahan kembang api terdengar di sekitar kami.
Sedangkan aku ... saat itu hanya bisa menangis dan bersikap naif.
Berharap bahwa Sung Woon benar akan baik-baik saja, ketika keluargaku dan Kakek Ha Jung membawa Sung Woon ke rumah sakit. Berharap bahwa lelaki itu akan sadar serta sehat seperti sedia kala, seolah tidak menyadari bahwa hari itu adalah pertama dan terakhir kalinya kami berbincang.
Hingga saat itu pun tiba ... pukul dua dini hari.
Ha Sung Woon meninggal dunia karena mengalami banyak luka dalam, infeksi saluran pernapasan, dan patah tulang di beberapa tempat. Sung Woon menyembunyikan segala rasa sakitnya. Tidak ada yang mengetahui hal tersebut, bahkan Kakek Ha Jung sekali pun.
Kami semua mengetahui hal tersebut di saat Dokter Kim mengumumkan kematian Ha Sung Woon.
Itu adalah pukulan terberat bagi kami; aku, keluargaku, dan Kakek Ha Jung.
Dan kesedihanku semakin menjadi-jadi setelah membaca surat pemberian Sung Woon—di hari kematiannya—yang ternyata merupakan ungkapan isi hatinya selama ini.
Ha Sung Woon.
Dia di-bully karena membelaku. Dia dipukuli, ditendang, dipermalukan demi menyelamatkanku. Dan dia juga telah mengaku, bahwa telah lama memendam rasa untukku.
Namun, aku mengabaikannya dan Sung Woon menerima hal tersebut—tetap mencintaiku dengan caranya sendiri yang bahkan terlalu menyakiti setelah aku mengetahui hal tersebut.
Ha Sung Woon.
Dia juga pandai menyanyi, suaranya berhasil menyentuh hatiku. Bahkan setelah sejuta kali aku mendengarnya dari kaset tape pemberian Kakek Ha Jung saat upacara pemakaman Sung Woon.
Percayalah, aku tidak pernah bosan mendengar suaranya. Dia menulis lagu itu, mengarasemennya sendiri hingga seminggu kemudian suara Sung Woon terdengar di radio-radio lokal.
"Jadi saat itu, kau sadar bahwa kau mencintainya?" Gadis itu menyeka sedikit air matanya dan aku berbaik hati memberikan saputangan.
"Tidak. Aku mencintainya sejak lama. Hanya saja ... mungkin aku yang terlambat karena terlalu memikirkan segala kekurangan Sung Woon, tanpa melihat pesona yang ia tunjukkan untukku."
"Kau pasti sangat terpukul saat itu."
Aku menggeleng pelan. "Lebih tepatnya menyesal dan merasa terlalu sombong sebagai manusia. Oleh karena itu, aku memberikan ruang khusus di hatiku untuk Sung Woon dan setelah perasaanku baik-baik saja, aku baru bisa mengunjunginya lagi. Hari ini, setelah lima tahun kepergiannya."
"Aku turut berduka, Eonni."
Tersenyum tipis aku mengangguk pelan, mengucapkan terima kasih dan mengeluarkan ponselku. "Mau mendengar lagunya? Kau pasti mengenal Hwan Min Hyun, dia me-recycle lagu Sung Woon dalam album solo-nya."
"Forever And A Day?!"
Aku mengangguk.
"Itu lagu favoritku akhir-akhir ini. Aku yakin Ha Sung Woon oppa, menuliskan lagu itu tulus dari lubuk hatinya," kata gadis itu dan kami pun mendengarkan lagu tersebut bersama-sama.
Ha Sung Woon, di mana pun kau berada dan jika kau melihatku di sini ... terima kasih banyak.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro