Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PROLOG

"Karena kamu yang kelewat keras kepala, kita jadi kehilangan anak kita!"

Galuh jadi bertanya-tanya, apa memang cinta bisa sampai sebegini butanya?

Galuh mengamati Galang dengan dirinya terbsring di ranjang rumah sakit. Gerakannya terbatas karena lengan kanannya yang patah dan kini dibebat, tulang rusuk memar yang kini juga dibebat, kulit kepala robek yang kini juga dibebat, belum lagi perut yang entah mendapat berapa banyak jahitan di sana. Tapi laki-laki itu sepertinya tidak peduli.

Galang menyusur kasar rambutnya dengan frustasi sebelum kembali melotot pada Galuh dengan mata semerah darah. Kentara sekali sedang berada dalam amarah.

"Sudah berapa kali aku bilang, dia anakku juga! Walau kita memutuskan buat cerai, aku masih punya tanggungjawab atas kehamilan kamu!"

Galuh terdiam meskipun dadanya mulai sesak. Pilihan yang tepat meminta Sena dan Farida keluar, karena Galuh yakin Sena tidak akan diam saja melihat Galang murka di depannya seperti ini.

"Egois kamu! Coba kalau kamu nggak menolak tawaranku buat antar kamu periksa, semuanya--"

"Galang, udah."

Akhirnya, Galuh mencoba menginterupsi. Rasa sakit yang dialaminya sudah cukup tanpa Galang perlu menyalahkannya atas kehilangan anak mereka. Berusaha mengabaikan sakit yang menguasai daerah perutnya, Galuh berusaha duduk. Membiarkan Galang memandanginya dengan nafas memburu.

"Salah siapa? Salah siapa? Hm? Jangan sampai aku dengar kamu menyalahkanku di depan keluargamu. Kamu tahu pasti aku udah bersedia antar jemput kamu selama kehamilan kamu!"

Galuh menggeleng pelan.

"Apa gunanya kamu cari-cari kesalahan siapa sampai kita kehilangan...dia?" sahut Galuh setengah mati menahan tangisannya. Bukan, bukan karena luka atas pengkhianatan Galang. Rasa itu kini menjadi kerdil karena tertutupi oleh duka yang lebih besar. "Anggap aja, Tuhan menilai aku belum mampu merawat anakku sendirian. Anggap aja--"

Galuh berhenti sejenak ketika sesak merajai kerongkongannya. Namun sekuat tenaga, Galuh menahannya. Wanita itu menatap Galang dengan seluruh ketegaran yang ia punya.

"Anggap aja ini takdir terbaik buat kita."

Didengarnya Galang menghembuskan nafas panjang, kemudian duduk di samping ranjangnya. Laki-laki itu menunduk, menenggelamkan wajahnya di kedua telapak tangan.

"Paling nggak kamu selamat," bisikan itu membuat Galuh menoleh.

"Memangnya kamu kehilangan?" Galuh berusaha menekan nada pahit dalam suaranya.

"Kamu itu ngomong apa?" meraih Galuh, laki-laki itu memeluknya dengan hati-hati. "Dia anakku, Luh."

Galuh terdiam kala mendengar suara Galang yang sedikit serak. Wanita itu meremas erat selimutnya, berusaha meredam sesuatu yang tengah meraung di dada kala Galang memeluknya seperti ini.

"Kamu...beneran mau nikah sama Sarah?"

Pelukan Galang mengerat. Laki-laki itu menenggelamkan wajahnya di leher Galuh, dan pertahanan Galuh runtuh. Ia menangkupkan tangan ke mulut kuat-kuat, berusaha menghalau tangis yang sedari tadi menuntut untuk dilepas.

"Setelah kita resmi cerai," bisik Galang. "Kehamilan Sarah udah nggak bisa ditutupi lagi."

"Maaf." Galang berkata ketika menyadari badan Galuh berguncang. "Maaf, Luh."

Laki-laki itu melepaskan Galuh, menghapus air mata uang mengalir dengan kedua ibu jarinya. "Galuh, kamu tahu aku berusaha bikin kamu nggak semakin sakit lagi."

"What a nonsense," bisik Galuh menyingkirkan tangan Galang dan menghapus air matanya sendiri. "Udahlah, kamu udah selesai, kan? Kamu boleh pergi."

Raut kemarahan yang sempat hilang kini kembali. " Galuh, aku nggak mau dengar keluarga kamu menyalahkanku buat kejadian ini. Mereka harus tahu kalau aku--"

"Galang, kalau itu yang kamu takutkan, kamu nggak perlu khawatir."

Padahal, hatinya tadi sempat senang ketika Galang mengkhawatirkannya. Ternyata Galang datang karena mengkhawatirkan hal lain.

"Aku nggak mau Sarah dapat cibiran yang aneh-aneh karena dianggap sebagai pihak ketiga." Galang berucap tegas. "Dia sedang hamil, dan butuh ketenangan."

Galuh menatap Galang, berusaha mencerna perkataan Galang yang entah mengapa terasa sangat menyakitinya.

Tidakkah...

Tidakkah dia juga berada pada posisi yang sama? Bahkan sekarang saja, status Galuh masih sebagai istri Galang. Dia, masih menjadi wanita yang seharusnya berhak mendapat seluruh kekhawatiran suaminya. Dia, masih menjadi wanita yang seharusnya berhak mendapat seluruh perhatian Galang.

Namun secepat kebenaran merangkak ke permukaan, secepat itu pula Galuh sadar jika meminta haknya sebagai istri adalah hal yang sia-sia.

"Nggak perlu..." Wanita itu berhenti sejenak kala nyeri di dada semakin menjadi. " Kamu nggak perlu khawatir. Keluargaku bukan keluarga yang senang membahas hal semacam itu."

Galang hanya terdiam, namun Galuh yakin dia bisa melihat raut kelegaan di wajah Galang.

"Aku harap kamu mau datang di pernikahan kami," ucap Galang melembutkan suaranya. "Bukannya aku nggak memikirkan keadaan kamu, tapi Sarah juga butuh status sesegera mungkin. Kamu datang, oke? Aku anggap kedatangan kamu adalah itikad bahwa kita berpisah secara baik-baik."

"Lang, aku boleh...boleh tanya sesuatu sama kamu?" Dengan terbata, Galuh bertanya. Dia hanya ingin tahu, dia ingin mendengar sendiri...

"Selama ini, apa artinya aku buat kamu?"

Galang menatapnya. Kemudian, ia mengulurkan tangan ke pipi Galuh, membelainya singkat sebelum ditarik kembali.

"Kamu...penting buatku. Kamu wanita yang baik. Masalahnya cuma, aku yang menginginkan Sarah lebih dari segalanya."

Lama, Galuh hanya menatap Galang tanpa mampu berkata apapun, hingga akhirnya Galuh mengangguk. Berusaha menyembunyikan air mata yang mulai terkumpul di pelupuk.

"Aku pergi dulu, ya? Sarah minta dijemput. Kapan-kapan kita pasti jenguk kamu lagi." Galang mengusap rambut Galuh sekilas, kemudian tersenyum canggung. "Cepat sembuh."

Jika Galuh mengangkat wajahnya saat ini, dia hanya akan mendapati sosok Galang yang pergi untuk kesekian kali. Menatap punggung laki-laki itu dan menyadari jika tujuan Galang bukan lagi dia, adalah rasa sakit yang belum bisa dia tanggung. Maka Galuh hanya menunduk dan membiarkan pintu terayun menutup.

Wanita itu memejamkan mata kala luka sayat berdenyut pelan di perutnya. Saat ini, kedua payudara Galuh masih membengkak sebagai respon atas hormon kehamilannya. Tubuhnya masih bekerja sebagaimana tubuh wanita hamil bekerja. Akan butuh beberapa waktu sebelum tubuhnya sadar jika sesuatu yang mereka akomodir, nyatanya tidak lagi ada.

Galuh membelai perutnya dan isakan lirih lolos dari mulut yang semula terkunci rapat. Perutnya masih membuncit. Bedanya, bentuk itu tidak lagi berisi apapun selain lemak dan jaringan yang sebentar lagi akan menyusut. Juga, bengkak tipis yang berasal dari sayatan-sayatan pisau bedah dan kaca mobil ketika kecelakaan naas itu terjadi. Tidak akan ada lagi sesuatu di dalam sana yang bisa ia tunggu kehadirannya.

Rasa sakit, mengalir entah dari mana. Menguasai dirinya hingga sesaat tubuh wanita itu bergetar hebat.

BUG!

Galuh membuka mata dengan terkejut. Tampaknya sesuatu yang berat telah menghantam pintu dengan keras.

"Nggak punya malu!"

"Sena, Sena, udah! Rumah Sakit ini!"

"Brengsek, hidung gue!"

"Lo tuh, cowok brengsek yang nggak pernah bisa bersyukur--"

"Sena udah duh!" Pekikan Farida terdengar panik. "Eh Lang, lo mau apa?!"

"Melawan perempuan dengan kekerasan, Galang?" suara rendah, kalem dan tenang menginterupsi. "Pergi."

"Cewek lo kurang ajar sama gue!"

"Kamu tahu pasti alasannya. Pergi."

"Lo, bilang sama cewek lo jangan suka ikut campur urusan orang lain!"

"Pergi!"

Galuh mengernyit. Sepanjang dia mengenal kekasih Sena, tidak pernah didengarnya suara Sakti jadi sebegini dingin. Galuh bahkan mengira jika laki-laki itu termasuk orang yang sulit untuk marah.

"Ih Mas! Kenapa disuruh pergi? Dia masih harus diinterogasi! Lepasin, mau aku kejar! Dia itu--"

" Ya ampun Bang, ini tempat umum!" keluh Farida sebelum masuk ke ruangan Galuh dengan wajah merah padam. " Dasar nggak pernah ngerti tempat. Untung koridor lagi sepi. Setan kan, gue jadi pingin."

Galuh mengangkat alis, kemudian terkekeh dan mengusap cepat wajahnya. Setidaknya, Sena sudah mewakili Galuh untuk mematahkan hidung Galang.

"Tapi tadi kalau nggak dicegah Sakti, Galang beneran nampar Sena." Farida duduk di samping Galuh dengan gelisah. " Luh, apa selama ini lo korban KDRT?"

Galuh diam sejenak, kemudian menggeleng. "Galang baru dikuasai malu yang luar biasa, Da. Dan omongan Sena, melukai ego Galang. Dia paling nggak bisa disentil egonya."

"Iya, gedein aja itu ego biar tambah gila." Farida mendengus dan meraih tangan Galuh, membelainya dengan penuh simpati. "Kuat, kan?"

Galuh tertawa pedih. "Memangnya gue punya pilihan?"

*TBC*

Selamat pagi, selamat datang di work ke 5 Naomiyuka

REMEDY adalah spin off dari DEVASENA. Karena banyak yang request tentang ceritanya sisimbak Galuh, so here we go ^^

I warn you, work kali ini nggak bisa update setiap hari. Mungkin baru bisa tiap weekend, atau tiap bulan, atau sampai negara api menyerang 😂😂

Jadi, mari kita sama-sama menikmati perjalanan Galuh. Rencananya, ini nggak seberat duo S.

Rencananya, sih 😆

Selamat siang semua. Semoga berbahagia. See you when I see you❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro