Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9| REMEDY

"You okay?"

Karena gadis itu terus menunduk sejak Karim menjemputnya di depan Rumah Sakit. Dia hanya tersenyum dan menjawab seadanya ketika Karim bertanya. Tapi, mata itu jelas terlihat sembab.

"Hmm..." Galuh mengangguk dan memandangnya sekilas sebelum menunduk lagi. "Kenapa?"

Laki-laki itu mengamati Galuh beberapa saat, kemudian menghela nafas. Ia tersenyum kecil.

"Kamu makan sambil kepikiran apa, Luh? Dari tadi diam. Mau pindah tempat makan saja?"

Galuh menggeleng cepat. Ia memegang mangkuk yang berisi ramen itu dengan kedua tangan.

"Rasanya hangat," kekeh Galuh singkat. "Siapa yang sangka bakal hujan selebat ini, kan?"

Karim mengerling ke jendela di sampingnya, dimana hujan turun deras sekali hingga pemandangan di luar tampak memburam.

"Jangan khawatir. Nanti aku antar kamu." Karim menenangkan sambil menebak-nebak, apakah hal itu yang membuat gadis di depannya jadi sebegini muram?

Namun Galuh menggeleng dan tersenyum lagi. "Nggak perlu, Bang Karim. Sudah, makan gih! Nanti keburu dingin."

Untuk kesekian kalinya, Galuh menunduk lagi dan meneruskan melahap semangkuk ramen kari di depannya. Karim mengamatinya beberapa saat, kemudian laki-laki itu justru bertopang dagu dengan satu tangan. Nafsu makannya menguap entah kemana kala bengkak tipis di sekitar mata Galuh sangat mengganggu. Pikirannya kini sibuk menelaah perilaku gadis itu. Dia sedih, itu jelas. Dan melihatnya saja, Karim sama sekali tidak suka.

"Rasanya agak berbeda dengan bumbu kari di kateringmu," Karim membuka percakapan. "Memang beda, ya?"

Galuh mengangkat wajah dan mengangguk. "Masakanku lebih berpatokan sama bumbu Kari India. Jelas berbeda dengan Kari Jepang."

Karim mengangkat alis. "Oh, iya? Memang bedanya apa?"

Galuh memainkan sumpitnya, berpikir. "Umm...kalau Kari India, dia pakai delapan bumbu wajib ditambah daun Kari. Tapi kalau Jepang, khasnya dia ada di tambahan serutan apel sama madunya. Itu yang bikin Kari Jepang lebih 'segar' dan ringan sementara Kari India lebih terasa 'kaya' di lidah."

Karim tersenyum. "Kamu paham banget tentang makanan."

Galuh terkekeh pelan. "Jam terbang, Bang."

"Tapi kamu memang punya passion di bidang masak-memasak. Menu di kateringmu itu lumayan beragam. Ada beberapa menu yang inovatif juga, kalau nggak salah."

"Soalnya dengan berbagai macam bahan dan bumbu, kita bisa mix and match sampai nggak terbatas. Kesenangan tersendiri, itu," ucap Galuh bersemangat. "Contoh simpelnya ketika kita cuma punya telur. Kita bisa bikin scrambled egg, telur ceplok, telur dadar atau poached egg. Kalau satu bahan saja udah bisa diolah jadi makanan yang berbeda, bayangkan saja kemungkinan bumbu-bumbu yang bisa dipakai. Itu bener-bener nggak terbatas."

Gadis itu tersenyum lebar, menampakkan giginya yang putih dan rapi dengan dua gigi seri yang terlihat sedikit lebih besar. Kalau tidak salah, namanya gigi kelinci, pikir Karim. Ternyata memang terlihat manis. Karim tertawa geli kala wajah itu terlihat lucu sekali.

"Aku jadi pingin tahu testimoni Mama buat masakanmu," kata Karim di tengah tawa gelinya.

"Hm? Kenapa gitu?" Galuh mengerutkan kening, sementara Karim hanya tertawa tanpa menjawab.

"Abang itu aneh-aneh saja," Galuh bergumam meskipun seulas senyum bermain di ujung bibirnya kala melihat Karim hanya tertawa. Ia melihat mangkuk Karim yang nyaris tidak tersentuh. "Bang, kenapa nggak dimakan?"

Karim menatap Galuh sejenak, lalu buru-buru meraih sumpitnya. "Iya, dimakan sekarang."

"Aku jadi penasaran," celetuk Karim beberapa saat kemudian. "Kamu...pakai penyedap rasa?"

Galuh mengangkat alis, kemudian terkekeh.

"Abang mau ajak diskusi tentang pendiskreditan MSG, pasti," kekeh Galuh yang sudah menyingkirkan mangkuk ramennya dan ganti menikmati segelas lemon tea miliknya.

"Katakanlah demikian," jawab Karim mengangguk. "Aku mau dengar apa pendapat kamu tentang itu."

"Pro dan kontra," jawab Galuh cepat. "Glutamat-nya, masih banyak yang pro dan kontra. Tapi sodium-nya, jelas punya dampak. Dia berpengaruh pada sistem sirkulasi darah manusia."

"Dan kamu pakai?" sambung Karim.

"Semua makananku pakai kaldu jamur. Karena, yah...salah satu nilai jual katering kami kan 'healthy food'. Bukannya aku menganggap MSG nggak sehat atau apa, tapi aku memilih sumber umami yang lebih kalem aja." Galuh menjelaskan. "Kalau kita bicara penyedap rasa, pasti nggak bisa jauh-jauh dari 'umami' atau rasa 'gurih'. Nyatanya, banyak kok bahan makanan yang bisa dijadikan sumber 'umami'. Kaldu, misalnya. Atau serutan ikan cakalang, ebi dan lain-lain. MSG itu, agak galak. Dia kasih standar tinggi di lidah kita sehingga kalau kita udah terbiasa lalu makan makanan yang nggak pakai MSG, pasti bilangnya nggak enak. Padahal nggak ada yang salah. Itu cuma...standar lidah kita aja yang udah terbiasa kena MSG."

Galuh menyeruput minumannya beberapa saat, lalu menatap Karim yang sedari tadi memandangnya meskipun mulutnya sibuk mengunyah.

"Bukannya aku mendiskreditkan MSG, ya. Ini cuma apa yang aku yakini," Galuh mengklarifikasi.

"Di rumah juga tanpa MSG?"

Galuh mengangguk lagi. "Papa udah harus dijaga asupannya."

Karim mengangguk-angguk lagi.

"Hmm...kami juga nggak pakai MSG," celetuk Karim menandaskan suapan terakhirnya.

Mata Galuh melebar.

"Wah, beneran?"

Karim mengiyakan.

"Sejak Mama kena stroke," jelas Karim, tanpa menyadari wajah Galuh yang terkejut.

"Eh? Tante...kena stroke? Sejak kapan?" tanya Galuh. Pasalnya, ibu Karim yang ia kenal adalah seorang wanita yang enerjik dan tidak bisa diam.

"Hmm, sudah agak lama," jawab Karim tersenyum hangat. "Sekarang sudah jauh lebih baik."

Galuh terdiam sesaat. Ketika Karim mengatakannya, Galuh bisa melihat sorot matanya yang menerawang. Sesaat, hanya sesaat sebelum Karim tersenyum.

"Syukurlah," Galuh ikut tersenyum. "Harus dijaga ya, Bang?"

"With everything of mine, Galuh." Karim berucap pasti. "Jadi, apa kamu ada rencana ngembangin katering kamu jadi semacam restoran?"

Galuh menatap Karim beberapa saat, berpikir.

"Ada, sebenarnya," aku Galuh. "Tapi itu masih sebatas angan aja. Masih rencana yang kabur. Sekarang mau konsen ke katering dulu."

Gadis itu tersenyum maklum, namun Karim bisa menangkap semangat dalam suaranya.

"Abang, gimana? Ada rencana jadi dosen tetap?" Galuh balik bertanya.

"Sama kayak kamu. Itu masih rencana jangka panjang." Karim menjawab. "Jujur aja, aku ngelamar posisi kosong di kampus karena permintaan teman dan kebetulan diterima. Kerjaan di kantor sudah lebih dari cukup menyita waktu."

Galuh menyetujui. Karena dilihat dari penampilannya saat ini, jelas laki-laki itu baru saja pulang kerja. Galuh membaui aroma pendingin ruangan dan pengharum mobil bercampur dengan parfum laki-laki itu, yang beraroma musk. Segar sekaligus menenangkan.

"Memang Abang kerjanya apa aja di sana?" tanya Galuh penasaran. "Akuntan, kan?"

Karim mengangguk.

"Jobdes akuntan biasa. Mengawasi arus keuangan, bikin laporan sampai mengurusi pajaknya. Nothing's new."

"Oh..." Galuh bergumam. "Lalu...kalau Abang di kantor, Tante sama siapa?"

"Ada Pak Wiwid, istri sama anak-anaknya. Mereka udah seperti saudara sendiri." Karim menjawab. "Om Gandhi masih ngajar?"

Galuh menggeleng singkat. "Papa udah pensiun. Sekarang sibuk sama kebun anggreknya. Papa kan, dari dulu punya obsesi sama anggrek. Nggak ingat rumah kita udah kayak penyemaian anggrek gitu?"

"Aku ingat pernah tanya materi Biologi sama beliau." Karim tertawa kecil. "Pertanyaannya satu baris, jawabannya dua lembar folio. Teliti sekali."

Mendengarnya, Galuh ikut tertawa pelan.

"Papa memang begitu. Penjelasannya detil banget sampai kadang Harun nggak mau debat sama Papa," kekeh Galuh. "Tapi, justru mahasiswa pada rebutan minta Papa jadi pembimbingnya, Bang. Katanya arahan Papa punya peluang 90% ditanyakan dosen penguji saking detailnya."

Karim tersenyum menyadari rona di wajah Galuh kala bercerita tentang Gandhi. Ia memandangi wajah itu sekali lagi. Memastikan bahwa bengkak yang tadi ada kini telah sirna. Raut mendung itu, kini diganti tawa. Dan Karim lebih menyukai yang ini.

Laki-laki itu memeriksa jam tangannya, "Pulang?"

Galuh memeriksa jam tangannya sendiri, lalu menoleh ke luar jendela. Hujan masih turun meskipun derasnya sudah berlalu. Tinggal sisa-sisa mendung yang terjatuh ringan dari langit.

"Sekarang? Masih hujan gini, Bang."

"Kamu sudah bilang sama Om Gandhi kalau kita keluar bareng malam ini?" tanya Karim.

Galuh menggeleng, agak heran dengan pertanyaan Karim. Gandhi kan, sudah terbiasa akan dirinya yang pulang malam.

"Kalau begitu, kita pulang setelah kamu habisin minuman kamu." Karim mengedik pada gelas Galuh yang masih terisi setengah, sementara Galuh sendiri heran kala menyadari makanan dan minuman Karim sudah tandas entah sampai kapan. Bukannya tadi dia selesai lebih dulu?

Galuh mengangguk dan menghabiskan lemon tea-nya tanpa menyadari jika Karim masih mengawasinya. Laki-laki itu terlalu terpaku pada bagaimana poni menyamping itu terjatuh menutupi sisi keningnya. Dari sini, ia bisa melihat bulu mata Galuh yang panjang dan lentik. Dia juga bisa melihat bagaimana pipi yang merona karena hawa dingin itu bergerak pelan kala menyeruput habis minumannya.

Benarkah jika wanita semanis ini masih sendiri pada umur sekian? Batin Karim.

Atau justru, dia yang harus banyak bersyukur?

"Antar ke Rumah Sakit aja, Bang. Motorku masih di situ." Galuh berkata ketika mereka sudah masuk ke dalam mobil. Gadis itu sudah memakai jaket dan saling menggosokkan telapak tangannya untuk mereguk kehangatan.

Tentu saja, Karim mengerutkan kening.

"Galuh, ini masih hujan."

"Aku ada mantel," jawab Galuh. "Repot kalau besok nggak ada motor."

Karim menatapnya beberapa saat, kemudian mengangguk.

"Langsung pulang, kan?"

"Iya," ucap Galuh menenangkan. "Hari ini agak longgar."

"Hmm...kalau begitu kita ke Rumah Sakit."

Galuh menyandarkan badan ke punggung kursi, merasa nyaman dengan rasa hangat di dalam mobil meskipun jendela terlihat sangat berembun karena hujan.

Wangi di dalam mobil, sama seperti aroma yang dihirup Galuh ketika Karim ada di dekatnya. Aroma musk. Lembut dan segar pada saat yang bersamaan seperti wangi kesturi.

"Terima kasih untuk hari ini," ucap Karim ketika mereka sampai. "Hati-hati di jalan."

"Abang juga, hati-hati." Galuh berkata seraya turun dari mobil. Ia melambai singkat kala Karim menekan klakson dan mulai melaju.

Galuh berbalik dan mengusap pipinya. Dingin. Wanita itu cepat-cepat berjalan ke parkir sepeda motor dan memakai jas hujan. Meskipun sudah tidak sederas tadi, namun Galuh yakin dia tetap akan basah kuyup jika nekat tidak memakai jas hujan.

Setelah memastikan dia menduduki jas hujannya dengan rapi, ia mulai melaju dengan hati-hati. Malam dan hujan, tidak pernah jadi kombinasi yang menguntungkan bagi pengguna kendaraan sepertinya.

Butuh sekitar empat puluh lima menit ketika akhirnya Galuh sampai di depan gerbang rumahnya, karena ia mengemudikan motor dengan pelan. Wanita itu turun dari motor dan hendak membuka gerbang ketika sesuatu menarik sudut matanya.

Galuh mengerjap beberapa saat, kemudian memutuskan jika itu hanyalah khayalannya saja.

"Aku pulang," ucap Galuh ketika membuka pintu rumah. Ia menemukan Harun yang menghadap laptop seperti biasa dengan headset di telinganya.

"Papa?" Galuh bertanya.

Dengan masih mengangguk-anggukkan kepala mengikuti tempo musik yang didengarnya, Harun menunjuk ke atas dan memperagakan tangan seolah sedang membuka buku. Galuh paham. Ayahnya sedang di ruang kerjanya, menghabiskan waktu di sana seperti biasa.

"Udah makan?"

Harun mengangkat jempolnya. Galuh terkekeh. Wanita itu mengacak puncak kepala Harun dengan gemas sebelum naik ke kamarnya. Meninggalkan Harun yang berdecak jengkel meskipun di dalam hati, pemuda itu heran mengapa kakaknya terlihat begitu ceria. Jarang sekali, batinnya.

Harun mengangkat alis. Mungkinkah omzet katering sedang bagus? Kalau begitu, dia bisa minta tambahan uang jajan, kan? Batinnya tertawa bahagia.

Sementara Galuh yang baru saja masuk kamar, masih punya sesuatu yang mengusik hati. Wanita itu meraih ponselnya. Ia sejenak merasa gamang. Lalu, memutuskan untuk mengirim pesan.

Abang, dimana?

Sesaat kemudian, justru panggilan masuk dari Karim yang datang ke ponselnya.

"Kenapa? Ada yang ketinggalan?" Karim bertanya dengan agak tergesa.

"Enggak...itu, Abang...pulang, kan?" Galuh bertanya lagi, semakin menyadari jika pertanyaannya adalah pertanyaan yang konyol.

"Iya. Ini masih di jalan. Kenapa?"

"Ng...nggak papa. Ya sudah. Hati-hati Bang. Salam buat Tante," ucap Galuh dengan pipi memanas.

Ya ampun, apa yang dipikirkannya? Mana mungkin apa yang dia lihat dari sudut matanya tadi adalah mobil Karim? Kenapa juga dia ada di sekitar sini sementara rumahnya saja sangat berlawanan dengan arah rumah Galuh?

"Galuh?" panggil Karim tiba-tiba, menyadarkannya jika saat ini mereka masih tersambung.

"Iya?"

"Is it okay if we have dinner again?"

Gerakan tangan Galuh yang meraih tali rambutnya terhenti. Karim jelas teman mengobrol yang menyenangkan. Laki-laki itu juga cukup sopan untuk tidak mengajaknya pulang terlalu malam. Padahal, Galuh sendiri sudah terbiasa pulang malam jika sedang sangat sibuk.

"Dengan syarat," ucap Galuh akhirnya, "jangan memaksa traktir lagi."

"Galuh..."

"Terima atau batalkan," tukas Galuh gelisah. Galuh tahu sekali, mungkin bagi Karim membayar makan malam mereka adalah sesuatu yang dianggap wajar, gentleman, sopan atau apalah. Tapi Galuh hanya ingin mengobrol saja tanpa ada hutang budi yang tidak perlu di antara mereka.

"Ya sudah, oke," ucap Karim lembut. "Kita ngobrol besok lagi. Selamat istirahat."

Mendengarnya, seulas senyum tipis tercipta di bibir tanpa sadar.

"Iya."

Galuh mematikan ponsel dan meremasnya, merutuki otaknya yang berpikir aneh-aneh. Sepertinya, dia memang butuh istirahat.

***

Karim menatap ponselnya beberapa saat. Tersenyum kecil, laki-laki itu meletakkannya di dashboard dan kembali melajukan mobil.

Perkara Galuh menyadarinya atau tidak, itu bukan sesuatu yang penting. Yang pasti, dia punya tanggungjawab untuk memastikan gadis itu pulang dengan selamat setelah mereka pergi bersama. Karena Galuh menolak tawaran Karim untuk mengantarnya pulang, Karim memutuskan mengikutinya dari belakang.

Saat itu, ponselnya berbunyi lagi.

"Iya Ma, kenapa?" Karim mengangkat ponselnya dengan tangan kiri sementara tangan kanannya masih sibuk mengemudi.

"Kenapa belum pulang?" tanya Tiya dengan cemas.

"Ini mau pulang," jawab Karim akhirnya, meskipun cengiran masih bermain di ujung bibirnya. "Mama mau pesan apa? Buah?"

Bibir laki-laki itu tengah berbicang dengan Tiya. Mata dan tangannya fokus pada jalanan yang masih terguyur hujan. Namun pikirannya, masih saja melayang pada sosok bermantel tadi.

Tidak, dia bukan stalker. Dia hanya harus memastikan gadis itu sampai di rumah dengan selamat. Meskipun, dia tidak menampik keuntungan yang didapatkannya malam ini.

Pertama, jelas dia bisa lega telah memastikan Galuh selamat sampai di rumah.

Kedua, dia bisa tahu alamat rumah Galuh yang sekarang.

Ketiga, dia bisa melihat gadis itu sedikit lebih lama.

Dan terakhir, dia berhasil memastikan kencan mereka tidak berakhir sampai hari ini saja.

Cengiran Karim bertambah lebar. Tuhan, sepertinya dia mulai gila.

*TBC*

Hmm...hmm...

Santai saja baca Remedy, hmm...

Selamat sore, semoga berbahagia

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro