Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8| REMEDY

"Perkembangan?"

Perawat itu mengedik pada lembaran di depan Galuh. "Ya begitu. Udah mau makan, anaknya udah bisa diajak komunikasi, kemarin udah bisa mandi di kamar mandi, infus sudah diganti biasa dan berat badan sudah naik. Tapi kayaknya masih belum lulus, ya?"

Galuh meringis dan menggeleng. "Yang penting kondisi kritisnya udah ditangani."

"Emang lama sih kalau urusan berat badan. Tapi kan udah stagnan dari berapa hari lalu."

"Iya, yang penting itu. Bengkak juga udah hilang." Galuh menghembuskan nafas panjang. "Tinggal makannya. Dia selalu sisa kalau nggak gue liatin."

"Woah! Kalau lo nggak ada, jangan harap dia makan, Luh! Si Retno itu kerjaannya telpon sama SMS-an melulu. Kemarin kalau Oka nggak masuk buat ngecek infus, dia bisa dehidrasi. Lha gimana, Syaira udah nangis minta minum, si Retno asik telfonan di balkon!" Si perawat menanggapi dengan berapi-api. "Lo kudu bilang sama Papanya Syaira, biar ngeganti Babysitter-nya. Kasihan gue lihat Syaira."

"Udah," dengus Galuh pendek. Ia jengkel sendiri ketika mengingat reaksi Galang akan laporannya tentang Retno. Laki-laki itu sepertinya belum berminat mencari pengganti babysitter untuk anaknya.

"Lo udah kasih konseling ke orangtuanya?" tanya si Perawat lagi.

Galuh menggeleng. "Ini kasus tingkat atas. Pak Danar yang kasih konseling. Besok kalau Syaira udah dipulangkan, dia sama Kemenkes mengkoordinasi kunjungan dan pengawasan lingkungan Syaira. Mereka bakal memastikan faktor apa saja yang menyebabkan Syaira bisa Gizi Buruk begini. Follow up-nya bakal panjang."

"Kayaknya gue belum pernah lihat Mamanya," celetuk Perawat itu. "Masih ada Mamanya, kan?"

Galuh tidak menjawab. Ia berkonsentrasi menyalin seluruh data terbaru tentang Syaira dari Rekam Medis sebelum menutupnya dan menyerahkannya pada si Perawat.

"Masih," ucap Galuh pendek. "Gue kesana dulu."

Seperti biasa, Galuh akan berkunjung di kamar Syaira pada urutan terakhir agar ia bisa lebih lama mengawasi perkembangan Syaira. Hari ini, dia mencoba menu baru pada Syaira. Nasi lemas dengan sup sayur, bukan bubur ayam seperti beberapa hari belakangan. Mengingat kondisi anak itu yang terus membaik, Galuh menilai ia bisa menerima asupan yang mempunyai kandungan serat lebih tinggi.

Namun sampai di sana, dia hanya mendapati Syaira duduk di atas tempat tidurnya, bermain dengan boneka seperti biasa.

Suara samar dari balkon menyadarkan Galuh jika Retno sedang di sana, berbicara centil penuh kikikan entah dengan siapa.

"Halo, Syaira," sapa Galuh duduk di samping Syaira.

Syaira tidak menjawab, seperti biasanya. Dia hanya menatap Galuh dalam diam. Tingkah laku Syaira, memang tergolong pasif. Bahkan, agak penakut dan cengeng.

"Ada yang sakit?" tanya Galuh meraba dahi Syaira. "Coba lihat lidahnya. Aaa..."

Syaira menggeleng. Alih-alih menuruti Galuh, balita itu justru memalongkan wajah dan kembali bermain dengan bonekanya.

Galuh meraih mangkuk sarapan yang masih utuh di atas nakas. Bahkan, makanan itu masih tertutupi warp pertanda Retno sama sekali belum menyentuhnya. Padahal sarapan sudah didistribusikan hampir setengah jam yang lalu. Sebenarnya, sejak kapan Retno bercengkrama di luar sana? Memang telinganya tidak panas?

Galuh menghela nafas panjang. Akhirnya, ia membuka warp mangkuk itu dan mengaduknya sebentar.

"Syaira, makan, ya?" ucap Galuh. "Sini...Aaaaa coba?"

Syaira menoleh dari bonekanya. Ia menatap Galuh sebentar, kemudian membuka mulut mungilnya. Anak ini jelas-jelas sedang lapar, batin Galuh jengkel kala Syaira membuka mulutnya dengan patuh.

Pada suapan ke sekian, Syaira menutup mulutnya dan menggeleng ketika melihat daun bawang ada di sendoknya.

"Ngga mau," ucap Syaira ketus dan kembali membuang muka. Galuh menyembunyikan irisan daun bawang itu di dalam gumpalan nasi, menyendoknya sedemikian rupa hingga Syaira tidak melihatnya. Anak itu mengamati isi sendok dengan teliti kala Galuh memanggilnya, lalu membuka mulut dengan patuh. Galuh mengawasi Syaira yang sudah mampu mengunyah dengan tangkas. Sepertinya kondisi mulutnya memang sudah membaik.

"Sini aaa lagi..." panggil Galuh ketika melihat Syaira berhenti mengunyah. Syaira menoleh, lalu ketika melihat potongan wortel di sana, balita itu lagi-lagi menggeleng.

"Nggak mau!" tukasnya dengan mata berkaca. "Nggak mau mam!"

Maka seperti tadi, Galuh menyembunyikan potongan wortel ke dalam gumpalan nasi. Syaira melahapnya, namun sepertinya ia menyadari tekstur wortel yang disembunyikan Galuh karena mendadak, bocah itu berhenti mengunyah dan melepeh makanannya.

"Nggak mau!" seru Syaira mengusap bibirnya dan hampir menangis. "Nggak mau mam!"

"Iya, nanti Tante ambil semua wortelnya. Main dulu sama boneka," kata Galuh meraih tisu dan membersihkan makanan yang menempel di baju depan Syaira. Syaira tidak jadi menangis meskipun mata anak itu sudah berkaca sedemikian hebat.

Ketika Syaira sibuk dengan bonekanya, Galuh melumat semua sayur yang ada di piring dengan cepat, lalu mencampurnya dengan nasi sedemikian rupa hingga tekstur sayuran kini susah dikenali.

"Udah nggak ada lho, Syaira...sini aaa dulu..." ucap Galuh mengambil satu suapan di sendok.

Syaira menoleh. Ia menatap curiga pada Galuh sebelum mengamati isi sendok dengan begitu teliti. Lalu, anak itu membuka mulut. Ia mengunyah dengan pelan sekali seolah sedang merasai tekstur yang tidak diinginkan di dalam mulutnya. Galuh bahkan yakin jika Syaira akan kembali memuntahkannya seperti tadi. Namun, anak itu justru menelannya.

Galuh menahan senyum. Ia terus menyuapi Syaira yang sibuk bermain dengan bonekanya, sambil berpikir untuk menambah porsi selingannya menjadi roti dan kacang hijau. Farida mengusulkan memberi Syaira segelas penuh jus putih telur, tapi melihat nafsu makan Syaira yang baru saja membaik, dia tidak mau bertaruh.

Jus putih telur kan, amis sekali. Meskipun dia tinggi protein dan bisa meningkatkan Hb secara cepat setelah beberapa kali konsumsi.

"Dah, Te," Syaira menggeleng kala Galuh hendak menyuapkan nasi lagi. Padahal, mungkin tinggal dua kali suapan.

"Wah, kasihan nanti nasinya nangis," Galuh memasang tampang sedih.

"Um? Angis?" Syaira mengerutkan kening, sementara Galuh mengangguk.

" 'Syaira nggak sayang sama Nasi, Nasi sedih, huhuhu...' "Galuh menirukan suara anak kecil sembari menggoyangkan sendoknya. "Kasihan, kan...nasinya."

Syaira mengerjap, lalu ia meraih bonekanya. "Kiki mam asi!"

"Kiki udah makan wortelnya. Kiki kenyang, soalnya udah makan wortel banyak," Galuh tertawa pelan pada si boneka kelinci.

Syaira menelengkan kepala, lalu menoleh pada Kiki. "wotel?"

Galuh berkata lembut. "Kiki kan, udah makan wortelnya. Sekarang, Syaira makan nasinya. Nanti Kiki nangis karena Syaira nggak mau makan."

Mata anak itu melebar. "Kiki akan wotel Ila?"

Galuh mengangguk. "Dihabisin semua sama Kiki. Kiki baik, kan? Sekarang, Syaira makan nasinya. Aaaa..."

Masih dengan wajah terheran-heran, Syaira membuka mulutnya. Ia mengunyah dengan mengamati Kiki. Menusuk-nusuk mulutnya dengan penasaran. Galuh menuntaskan dua suapan dengan cepat selagi pikiran anak itu tersita oleh wortel yang dimakan Kiki sehingga patuh saja kala Galuh menempelkan sendok di ujung bibir anak itu.

"Kiki mamam wotel!" serunya tertawa pada Galuh saat Galuh mengulurkan minum pada anak itu. Syaira menyedot air putihnya dengan antusias. " Besok Kiki mamam wotel agi, Te?"

Melihat betapa cerianya senyuman Syaira, mau tidak mau Galuh tersenyum. Ia mengangguk. "Syaira pintar. Nanti Kiki makan wortel, Syaira mamam roti, ya?"

"Kiki nggak mamam oti?" tanya Syaira dengan kening berkerut.

"Kiki maunya wortel," kekeh Galuh. Ia memeriksa jam dindingnya dan berpendapat bahwa tugasnya sudah selesai untuk pagi ini.

Galuh melirik ke balkon, yang masih saja terdengar suara Retno. Wanita itu menggeleng tidak habis pikir. Ia menatap Syaira yang sudah kembali sibuk dengan Kiki yang baru saja memakan wortel, lalu berbalik untuk keluar ruangan.

Namun langkahnya berhenti kala Galang berdiri di sana, dengan bahu bersandar di kusen pintu. Tangannya bersedekap dan matanya terpancang pada Galuh. Ia sudah bercukur dan penampilannya menjadi jauh lebih rapi.

"Lihat sendiri tingkah babysittermu, kan?" tukas Galuh dingin. "Saranku, cari penggantinya secepat mungkin. Kasihan Syaira."

"Sudah aku bilang, susah cari babysitter yang available," balas Galang. "Ak-gue...justru mau berterima kasih sama lo."

"Nggak perlu," ucap Galuh melewati Galang. Namun, ia masih bisa mendengar Galang tertawa sedih.

"Bahkan hanya adegan sesederhana menyuapi anak gue sendiri aja, gue belum pernah lihat Sarah ngelakuin itu," kekeh Galang serak. "Hampir saja tadi gue membutakan diri kalau yang gue lihat itu Sarah. Sarah yang sedang menyuapi Syaira dengan sabar dan penuh canda, bukan lo."

Jemari Galuh mencengkram erat clipboard-nya. Namun ia mengabaikan Galang yang masih tertawa pedih di ambang pintu kamar Syaira. Dengan tidak peduli, wanita itu berjalan keluar dari bangsal.

Namun lagi-lagi, langkahnya terhenti di lorong Rumah Sakit.

Sosok hantu dari masa lalu berjalan sedemikian anggun di depan Galuh.

Dia, mempunyai bentuk wajah oval dengan pipi yang tampak segar kemerahan. Hidungnya mungil dan mancung, dengan bibir tipis yang membulat. Kedua matanya tajam dengan maskara lentik yang menambah tegas ekspresi wajahnya.

Dia, masih secantik dulu dengan rambut dipotong sebatas tengkuk hingga mirip penampilan para polisi wanita. Sepasang stiletto hitam menghiasi kakinya yang bercat kuku ungu, senada dengan pewarna bibirnya. Wanita itu memakai atasan berwarna hitam dengan model off shoulder hingga kulit putih pucat itu terlihat sempurna. Rok satin panjang berwarna ungu cerah melingkar di pinggangnya yang ramping.

Dia, bagaikan boneka Lolita yang sempurna.

"What a coincidence," bisiknya datar saat dirinya juga berhenti di depan Galuh. Tinggi mereka sejajar berkat stiletto yang dipakai wanita itu. "Jadi, alih-alih muncul di pernikahan kami, kamu muncul di sini?"

Wanita itu bergeming seraya menatap Galuh dengan tenang, menunggu.

Galuh terdiam, meskipun jemarinya kian erat meremas clipboard. Suara wanita itu masih sama, masih menyakiti telinganya. Hanya saja, tidak ada lagi rasa sakit yang menusuk-nusuk dada seperti dulu. Dulu, suara wanita ini seperti malaikat maut yang mendorong Galuh untuk bunuh diri saja. Dulu, kehadiran wanita ini seperti setan di tengah kebahagiaannya.

"Sarah," sapa Galuh mengangguk singkat. "Syaira sudah menunggu kamu dari lama."

Bukannya pergi, Sarah justru mengangkat alis.

" Peduli, Galuh? Membayangkan Syaira sebagai anakmu, kah?" bisiknya. "Mengingat mereka berdua seharusnya berusia sama."

Mungkin, mungkin Galuh sudah berdamai dengan rasa sakit atas pengkhianatan Galang. Tapi kehilangan putra pertamanya, itu beda cerita.

"Masuk saja," ucap Galuh dingin, lalu melangkah pergi.

"Jangan pernah mengira pertolongan kecilmu akan membuat Galang bersimpati lagi sama kamu," celetuk Sarah kala Galuh tepat melangkah melewatinya. "Kamu harus ingat, kamu yang datang di antara kami, bukan sebaliknya. Galang menganggapmu hanya sebagai penggantiku."

Ya ya ya, Sarah dan cerita lamanya, batin Galuh sembari melangkah pergi. Menurut Sarah, Galuh adalah orang yang merebut Galang darinya. Sementara pertama kali Galuh bertemu Galang saja, dia bahkan tidak tahu siapa itu Sarah. Galang baru menyebut Sarah ketika kencan kesekian mereka, memperkenalkannya sebagai salah satu mantan kekasih yang paling berkesan baginya. Dan mereka, sudah berpisah hampir dua tahun lalu.

Setiap orang selalu punya masa lalu, Galuh memakluminya. Yang terpenting adalah, apa yang kini mereka punya dan mereka rencanakan. Begitu pikirnya. Tapi tidak dengan Galang.

Laki-laki itu masih terjebak dengan masa lalunya.

***

Pikiran Galuh sedang berkelana pada setumpuk besar gula merah yang seharusnya datang hari ini sementara dirinya menyusuri lorong menuju parkir sepeda motor sore itu. Pagi tadi, levelansir yang seharusnya memasok bahan makanan mengalami kecelakaan--

"Galuh, bisa kita bicara?"

Galuh menoleh dan mendapati Sarah berjalan di belakangnya, entah sejak kapan. Langkahnya pelan tapi pasti, seolah lorong Rumah Sakit ini dipasangi catwalk tak kasat mata hanya untuk dirinya.

"Tentang?" Galuh mengerutkan kening. Konseling Syaira adalah urusan Danar, dia hanya sebagai pengawas saja.

Sarah tidak menjawab. Wanita itu berjalan hingga tepat berada di hadapan Galuh, lalu berhenti.

"Semuanya," jawabnya datar. "Ke cafe depan rumah sakit, kalau kamu tidak keberatan."

Kening Galuh semakin melipat. "Siapa yang jaga Syaira?"

Wanita itu berjalan melewati Galuh, memimpin.

"Ada Retno."

"Sarah, kalau boleh kasih saran, tolong ganti babysitter-mu," ucap Galuh menyamai langkah Sarah.

"Oh ya. Galang sudah membicarakan itu tadi. Dia bilang, kamu menyarankan dia untuk mengganti babysitter kami. Perlu aku ingatkan, itu urusan keluargaku. Kamu nggak berhak ikut campur."

Galuh meremas tali tasnya, namun memutuskan untuk tidak bicara lagi.

Dia hanya pernah bertemu Sarah dua kali. Pertama, ketika wanita itu menghamparkan bukti tes DNA tepat di depan wajahnya.

Kedua, waktu Sarah dan Galang menjenguknya di Rumah Sakit beberapa hari setelah dirinya operasi. Bahkan saat itu, mereka belum bercerai.

Sisa-sisa amarah dan benci itu masih ada, tertinggal di dinding nadinya seperti kolesterol jahat. Hanya itu. Selebihnya, dia tidak lagi peduli.

"Silahkan duduk," Sarah mengedik singkat pada kursi di depannya, lalu dia sendiri duduk dengan kaki bertumpu dan membuka buku menu. "Pesan apa? Biar aku yang traktir."

"Nggak perlu," ucap Galuh datar.

"Jangan sungkan. Anggap aja rasa terima kasihku karena sudah membantu merawat Syaira," katanya tanpa mengangkat wajah. "Punya menu rekomendasi?"

"Steak-nya, kalau mau makanan berat. Crepes untuk camilan." Galuh menjawab pendek sementara dia sendiri meraih buku menu yang lain.

Sarah mendengus.

"Jangan bercanda. Steak semurah ini? Memalukan," celetuknya singkat.

Galuh hanya mengangkat bahu. Sungguh, dia sama sekali tidak peduli. Sementara dia sendiri hanya memesan minuman, Sarah masih sibuk membuka buku menu dengan gumam meremehkan.

"Jadi, apa yang mau kamu obrolkan?" tanya Galuh setelah Sarah menyelesaikan pesanannya.

Sarah menatapnya beberapa saat dengan tatapan yang tidak terbaca.

"Kapan Syaira keluar dari Rumah Sakit?"

"Belum bisa diprediksi. Keadaannya masih terlalu rawan."

"Memangnya masih perlu perawatan apa lagi?" tanya Sarah tidak sabar.

"Dia datang ke Rumah Sakit dalam keadaan yang nggak baik. Dehidrasi tingkat tinggi, ada penumpukan cairan dan kesadaran menurun. Masih perlu dipantau," jawab Galuh formal. "Ngomong-ngomong tentang itu, seharusnya ada pemberitahuan kalau petugas kesehatan pusat mau datang ke rumahmu."

Sarah mengangguk. "Sudah, meskipun aku nggak yakin mereka bisa bertemu kami."

Sarah menunggu, namun Galuh tidak mengatakan apa-apa.

"Kenapa diam? Biasanya kamu suka ikut campur, kan?"

Galuh, wanita itu hanya mendengus geli.

"Benar, sih. Itu memang bukan urusanku." Ia menghela nafas panjang. "Pesanku cuma, tolong lebih memperhatikan pola makan Syaira. Itu aja."

"I've tried. Tapi anak itu memang susah makan dari dulu," tukas Sarah menghadap ke luar jendela. "Syaira, dia tidak boleh jadi anak manja. Dia harus bisa mandiri."

"Dia masih Balita, kalau kamu belum sadar," celetuk Galuh.

Sarah mengangguk. "Justru itu, dia harus belajar mandiri sejak kecil. Kalau makan saja masih disuapi, masih pilih-pilih, mau jadi apa dia nanti?" balas Sarah menatap Galuh tajam. "Pantas saja orangtua Galang cocok sama kamu. Pemikiran kalian terlalu kuno. Seolah mereka peduli saja dengan Syaira sampai-sampai berhak menguliahiku tentang cara mendidik Syaira."

Galuh jadi penasaran, jangan-jangan dia juga menghujat bayi yang baru lahir karena belum bisa berjalan?

Galuh mengatur nafas lagi, berusaha menjaga batas kesabaran agar tidak menyentuh tombol 'off'.

"Kalau kalian terlalu sibuk, kenapa nggak menitipkan Syaira pada orangtuamu saja?" Galuh mencoba memberi saran. Walau bagaimanapun, Syaira tetaplah pasiennya.

Sarah menggeleng singkat. Ia menatap Galuh dengan tenang.

"Syaira cuma punya kakek dariku. Dan dia, tinggal di Panti Jompo," ucap Sarah dengan tenang. Pastinya, ia melihat raut terkejut Galuh, karena ia meneruskan, "Ayah terkena Alzeimer dan aku sibuk. Kamu nggak berpikir bahwa tindakanku salah dengan menitipkan dia di panti jompo, kan? Please, jangan terbawa pemikiran sekolot itu. Kondisi ayah cuma akan menghambat karirku."

Tanpa sadar, Galuh mengepalkan tangan kala Sarah mengatakan itu semua dengan begitu ringan. Sarah melihat reaksi Galuh, dan wanita itu hanya tertawa ringan.

"Kenapa kamu nggak hadir pada pernikahan kami? Aku ingat, Galang mengundangmu sebagai tanda damai kalian." Sarah mengalihkan percakapan. "Apa kamu masih dendam?"

Serius?

"Apa masih perlu membahas itu?" Galuh tidak mampu menahan nada dingin lolos dari mulutnya. Tolong, dia sangat tidak habis pikir.

"Jawab saja," tepisnya lebih dingin. "Aku hanya ingin tahu, apa kamu sedendam itu pada kami? Apa mungkin kamu menyalahkan kami atas kehilangan anakmu sampai-sampai kamu menolak ajakan Galang untuk berdamai?'

"Kamu bisa berpikir sedikit, nggak?"

Kini Sarah yang terdiam meskipun wajahnya mulai mengeruh. Sementara Galuh mengepalkan tangan untuk menahan diri.

"Aku baru saja melewati operasi berat dan kamu mengharapkan aku hadir di pernikahan kamu?" Suara Galuh gemetar. "Lalu kalaupun aku dendam sama kamu, memangnya kamu peduli? Itu hakku."

Sarah mengangkat alis, kemudian tertawa mengejek.

"Jadi benar kalau kamu masih dendam," kekehnya. "Galuh, kamu yang hadir di antara kami, paham? Kamu nggak berhak dendam. Kamu nggak berhak membenciku dan berfikir untuk merebut Galang lagi. Dari awal, dia milikku."

Galuh memijit pelipisnya. "Sarah, begini. Ambil saja Galang sampai sisa-sisanya. Aku kasih kamu semuanya. Nggak ada ruginya di aku."

"Dan..." Galuh mengangkat tangan ketika Sarah hendak berbicara. "Aku nggak dendam sama kamu. Tolong, untuk apa menyimpan dendam sama kalian? It doesn't worth a thing. Kamu terlalu memasang harga tinggi untuk kalian sementara di mataku, kalian nggak seberharga itu."

Sarah menggeram ketika lagi-lagi, Galuh menghentikannya untuk bicara.

"Dan kamu, jangan pernah lagi menyebut kematian anakku," ucap Galuh dengan kerongkongan yang mulai menyempit. Wanita itu berdiri. "Kamu nggak berhak menyebut dia dengan mulutmu. Nggak berhak sama sekali."

Dengan tatapan dingin terakhir, Galuh berbalik dan membanting beberapa lembar uang di meja kasir untuk pesanan yang bahkan belum datang.

Galuh setengah mati menahan air matanya agar tidak terjatuh. Wanita itu mengatupkan bibirnya kuat-kuat meskipun saat ini dadanya terasa sangat sesak.

Ponsel berdenting lembut di sakunya. Mengusap mata kasar dengan jemarinya, Galuh membaca pop up pesan yang tertera dari nomor tidak dikenal.

Dinner? Kita belum punya waktu ngobrol selain urusan katering.

Karim

Pesan itu berhasil membuatnya berhenti berjalan. Masih bermata sembab, ia membatin jika wisata kuliner mungkin adalah apa yang ia butuhkan saat ini. Dia bisa mengalihkan pikiran dengan menu-menu yang mungkin saja bisa menjadi ide untuk kateringnya.

Sure.

Pesan berbalas pada detik yang sama.

Masih di rumah sakit?

Iya

Jangan kemana-mana, ya.
Aku ke sana

Galuh membacanya, berkali-kali. Lalu, ia tertawa pelan.

Iya

*TBC*

Happy weekend

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro