Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23| REMEDY

"Kenapa baru bisa dihubungi?!"

Nada setengah membentak itu berasal dari Galang. Pasalnya satu hari penuh Sarah benar-benar tidak bisa dihubungi. Setelah memberi tahu jika dia batal pulang untuk kesekian kalinya, Sarah menghilang bagai ditelan bumi.

"Aku banyak kerjaan, Mas," gumam Sarah dengan nada lelah. "Aku matiin biar nggak ganggu aku."

Galang memejamkan mata demi meredam emosinya. Istrinya ini keterlaluan sekali. Seharian penuh Galang panik dibuatnya. Dia bahkan hampir membulatkan tekat pergi ke Pangkalan BUN untuk memastikan keadaan Sarah baik-baik saja. Dengan segala pemberitaan media tentang gempa dan sebagainya...

Shit!

"Kamu ngerjain apa sampai ponselnya harus dimatikan segala? Ini sabtu, Sarah," ucap Galang berusaha memperlembut suaranya. "God, kamu kerja kayak robot aja."

"Mas, kamu tahu Pangkalan BUN punya WP yang nggak biasa, kan?" tukas Sarah dengan suara parau. Sepertinya istrinya memang sedang tidak sehat. "Aku juga nggak berani pulang malam-malam. Kamu nggak tahu kasus kemarin? Tentang Juru Sita yang dibunuh sama WP? Itu WP tempatku, Mas. Makanya selagi ada waktu, aku ngerjainnya ngebut."

Dedikasi pekerjaan yang tinggi adalah salah satu alasan mengapa ia mengagumi perempuan itu. Diluar sifatnya yang keras kepala dan segala pikiran negatifnya, Sarah tetaplah wanita karir yang benar-benar serius dengan pekerjaannya.

Kadang kalau begini, Galang merasa sangat bersalah.

"Kamu pulang kapan?" tanya Galang lagi seraya merebahkan diri di kasur pada Sabtu pagi itu. "Syaira kemarin rewel banget. Kangen kamu. Me too, Sarah. Please, pulang."

Karena Galang sedikit takut akan rasa rindu yang perlahan memudar. Dia, sedang berada di ambang batas kesabarannya. Lelaki itu putus asa.

"Kamu jangan manja deh, Mas. Mending Sabtu gini kamu gunain buat olahraga," cibir Sarah dengan nada meremehkan. "Syaira juga, nggak boleh manja. Dia harus mandiri sejak kecil."

Dan kalimat Sarah barusan berhasil menghancurkan sisi lembut Galang untuknya. Lelaki itu menatap datar langit-langit.

"Kamu nggak kangen keluargamu?" bisik Galang.

"Kangen. Tapi aku punya tanggung jawab di sini," jawab Sarah pendek. "Nanti kalau udah selesai, aku pasti pulang."

"Berjanji lagi, Sarah? Terus kamu ingkari lagi," ucap Galang dingin. "Begitu saja terus sampai satu tahun kamu nggak usah pulang, ya?"

"If I should, I would," balas Sarah tidak kalah dinginnya.

"Keterlaluan kamu."

Galang bisa mendengar Sarah mendengus keras di seberang sana. "Kamu tuh, sejak kapan jadi rewel urusan pekerjaanku? Dulu aja, kamu selalu ngedukung aku, kan? Kenapa sekarang malah gini?!"

Sepertinya Sarah juga mulai kehabisan kesabarannya. Wanita itu bicara dengan nada membentak.

"Karena sekarang kita udah berkeluarga, Sarah. Kamu ibu, kamu istri. Kamu bukan cuma punya negara. Kamu punyaku juga!"

"Itu lagi yang kamu jadikan alasan," desah Sarah letih. "Keluarga seharusnya mendukung aku, bukannya justru menghalangi begini."

"Itu karena kamu nggak bisa adil," ucap Galang dengan bibir terkatup.

"Memangnya aku di rumah mau ngapain? Ngeladenin kamu? Ngurus Syaira? Kamu nggak usah manja begitu. Syaira juga udah punya Retno. Itu gunanya dia. Kamu, jangan pernah jadikan keluarga sebagai alasan buatku mundur dari pekerjaanku. Paham!" Kali ini suara wanita itu sedikit bergetar karena amarah. "Aku kecewa sama kamu, Mas. Mana Galang yang selalu ngedukung aku buat mengembangkan karir, ha?"

Galang mengurut pelipisnya kala nadi berdenyut di sana. Lelaki itu memejamkan mata dan bangkit dari tempat tidur.

"Oke, oke...just do what you want. Nggak usah pulang sekalian kamu."

Dan Galang mematikan ponsel tanpa memberi kesempatan wanita itu untuk membalas. Menghembuskan nafas kasar, lelaki itu keluar dari kamar dengan membanting pintu. Ia pergi ke dapur, menuangkan jus mangga buatan Retno ke dalam gelas dan meneguknya banyak-banyak. Lalu tersedak saat Syaira menubruknya dari belakang.

"Bubu, Saila disini!" anak kecil itu tertawa riang dan bersembunyi di belakang Galang.

Dan ia, lebih tersedak lagi kala melihat Retno masuk ke dapur dengan piring di tangannya. Ia tidak memakai baju Babysitter-nya yang biasa, namun kaus ketat dengan tulisan 'EAT ME' yang membuat Galang tidak bisa berkata apapun barang sejenak.

"Seragammu kemana?" desis Galang terbelalak.

"Ah, tadi--kena krayonnya Syaira," gumam Retno mengikuti Syaira berputar di sekitar Galang hingga tubuh pria itu meremang. "Saya selalu bawa baju ganti, soalnya kadang kotor begini. Syaira, makan dulu!"

Galang berdehem. Ia menunduk guna menatap Syaira yang masih bergelung di kakinya, sementara Retno berusaha untuk menangkapnya.

"Syaira, makan. Jangan nakal!" ucap Galang tegas. Tapi seperti biasa, Syaira tidak mendengarkannya. Anak kecil itu justru terbahak kala melihat Bubu-nya yang juga berlari mengintari Galang, lalu anak kecil itu berlari ke luar.

"Syaira!" Seru Retno berlari kecil mengikuti Syaira. Rambutnya yang digelung hampir terlepas ke tengkuknya, dan Galang berdehem seraya mengelus tengkuknya sendiri.

Demi apapun, Retno masih anak-anak di matanya. Dan gadis itu, jelas tidak ada apa-apanya dibanding Sarah. Tapi tetap saja, wajah dengan make up tipis itu terlihat cukup cantik.

Tangisan Syaira menyadarkan Galang. Lelaki itu segera berlari keluar dan mendapati Syaira menangis dengan kencang sementara Retno menatapnya dengan cemas.

"Kenapa?" tanya Galang seraya menggendong Syaira.

"Adek nggak mau makan," ucap Retno menghembuskan nafas putus asa. "Kemarin berat badannya turun lagi. Ini aja udah hampir satu jam saya nyuapin dan baru dapat tiga sendok."

"Ya kamu nyuapinnya sambil sms-an sama cowokmu," tukas Galang dingin, membuat Retno seketika terdiam. "Syaira, mau makan apa? Keluar sama Papa, yuk?"

"Mau mi goleng," isak Syaira di tengah tangisannya. "Saila mau mi. Saila kangen mam mi goleng!"

"Denger, kan?" ucap Galang pada Retno. "Buatin, gih. Daripada dia nggak mau makan."

"Eh, t-tapi Pak...katanya Bu Galuh--"

"Dia cuma bisa ngomong doang, nggak usah didengerin." Galang emosi tanpa alasan kala mendengar nama mantan istrinya. Wanita itu hanya membuat semuanya makin rumit. "Makan sekali nggak bakal bikin Syaira sakit."

Dan Retno, tidak punya nyali melawan perintah majikannya. Gadis muda itu masuk ke dalam rumah dengan menunduk, membuat Galang makin emosi saja.

"Kamu kenapa nggak mau makan?" tanya Galang menepuk pelan tubuh Syaira agar anaknya terdiam. Syaira, yang mencengkram erat bahunya terisak keras dan menatapnya dengan mata yang berair.

"Saila kangen Ma-ma," ucapnya sebelum menangis lagi. "Saila mau Mama. Huwaaa!"

Galang menghembuskan nafas panjang. Istrinya memang keterlaluan. Lelaki itu menimang Syaira.

"Nanti jalan-jalan sama Papa, ya? Beli baju?" ucap Galang berharap anaknya mau terdiam. Benar saja, Syaira langsung terdiam dan melihat Galang dengan sepasang mata bulatnya.

"Beli baju?" tanyanya pelan. Galang mengangguk.

"Mau," bisik Syaira menghapus wajahnya dengan punggung tangan. "Sama Bubu?"

"Hm, sama Bubu." Galang menyetujui dengan tersenyum.

Syaira tersenyum ceria. "Kayak kemalin ya Pa? kayak Elika waktu pelgi ke pantai sama Papa sama Mamanya. Saila bisa gandeng Papa, bisa gandeng Bubu. Yey!"

Erika adalah tetangga dan teman sepermainan Syaira. Dan Galang tahu, jauh di dalam lubuk hati anaknya, Syaira iri akan keharmonisan keluarga kecil itu.

Lelaki itu menurunkan Syaira, yang segera berlari ke dalam rumah. Sementara Galang langsung pergi ke dapur dan mendapati Retno tengah berdiri di depan kompor. Tampak sedang memasukkan mi instan ke dalam panci. Agaknya Retno tidak menyadari jika Galang duduk di meja makan, mengamati gadis itu dari belakang sembari bertopang dagu.

Denting lembut ponsel dua puluh juta milik Retno terdengar dari meja di hadapannya, membuat Galang meliriknya dan sekilas membaca 'Mas Koko' di sana. Itu pasti calon suaminya. Retno terpekik kala melihat Galang di sana. Wanita itu meraih ponselnya dengan wajah padam, melirik Galang dengan takut-takut hingga Galang mengangkat alis.

Sebab, wajah gadis itu jadi lucu sekali.

"Eh, sebentar aja, ya Pak?" pinta Retno dengan wajah memelas. Galang mengangguk seraya mengawasi Retno yang terlihat ceria setelahnya. Tanpa sungkan gadis itu duduk di hadapan Galang dan terfokus pada ponselnya.

"Nanti siang ikut kita ke mall, ya? Syaira minta baju," ucap Galang pada Retno yang masih sibuk dengan ponselnya. Gadis itu menyila rambutnya di satu sisi pundak, membuat leher seputih susu itu terekspos jelas di matanya.

"Kamu juga boleh minta." Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Galang tanpa sadar.

Mendengarnya, Retno segera mengangkat wajah. Gadis itu melebarkan matanya, sementara senyum lebar kini tercipta di wajahnya.

"Dior?"

"Terserah kamu," bisik Galang. "Tasnya juga, kalau kamu mau."

Retno menangkupkan tangan ke pipinya, tampak senang sekali. "Ya ampun, makasih. Bapak baik banget!"

Galang tersenyum meremehkan. Padahal, barang-barang itu sudah biasa bagi Sarah. Tapi lihat, gadis di depannya sudah sangat bahagia kala Galang membelikannya barang-barang sepele seperti itu.

***

Karim tahu akan tiba saatnya dia harus bercerita tentang Galuh pada Tiya.

Maka setelah Tiya merundungnya sepanjang sore, akhirnya Karim duduk di sebelah Tiya, menemani ibunya menonton televisi berdua.

"Jadi siapa?" tanya Tiya sabar. Wanita tua itu terlihat antusias kala menatap anak lelaki semata wayangnya.

"Masih ingat Om Gandhi?" ucap Karim memulai. Lelaki itu mengangkat kaki Tiya ke pangkuannya, memijitnya pelan sementara Tiya bersandar di lengan sofa. "Yang dulu jadi tetangga kita di rumah lama?"

Tiya mengerutkan kening beberapa saat, lalu menjawab.

"Gandhi-nya Mayang? Yang sering kamu tanyai dulu itu, kan? Apa hubungannya?"

"Calon mantu Mama, itu putrinya dia. Galuh. Ingat?" tanya Karim lagi. "Anak kecil, cewek, yang dulu selalu kagum lihat Mama main piano?"

Mata Tiya kini membulat.

"Ya ampun, iya Mama ingat. Anak kecil yang suka tanya pelajaran sama kamu itu, kan?" tanya Tiya bersemangat, dan Karim mengangguk sambil tersenyum.

"Ketemu dimana?" Tiya bertanya lagi dengan antusias.

Astaga, Karim yang berbicara tentang perempuan bisa dihitung dengan jari selama 31 tahun lelaki itu hidup. Selain Melisa, Tiya tidak pernah mendengar Karim berbicara apapun tentang wanita. Anaknya ini hanya peduli pada penelitian, jurnal, buku apapun yang berbau akademis. Sementara anak-anak lain sepantaran Karim akan menghabiskan malam di tempat-tempat ramai, berkencan kesana kemari, anaknya memilih mengubur diri dalam tumpukan buku di perpustakaan pribadi hingga Tiya diam-diam cemas anak lelakinya ini akan jadi perjaka tua.

"Dia punya katering, di seberang kota sana," jawab Karim. "Nggak sengaja aja waktu itu aku baca kartu namanya. Dan ternyata itu dia."

Tiya mengamati bagaimana raut wajah Karim ketika anaknya bercerita.

"Dia kerja di katering, kalau begitu," gumam Tiya mengangkat alis. Sehebat apa putrinya Gandhi sampai membuat anak lelakinya sebegini canggung?

"Sampingan, itu. Dia kerja di Rumah Sakit."

"Oh, Dokter?" tanya Tiya terkejut.

"Bukan, Mama. Dietitian." Karim tertawa kecil sementara jemarinya terus memijit kaki Tiya yang kini kehilangan otot. Terlihat bergelambir karena sempat tidak bergerak selama beberapa bulan akibat stroke.

"Apa itu?" Tiya mengerutkan kening. Sepertinya dia baru dengar istilah dietitian.

Karim mengingat-ingat salah satu sesi obrolannya dengan Galuh tentang apa itu dietitian.

"Urusan diet pasien. Dulu, yang ada di ruang konsultasi waktu Mama masih sering kontrol, ingat? Yang ngasih tahu Mama makanan yang boleh sama nggak boleh dikonsumsi?" pancing Karim berusaha menyederhanakan penjelasannya. Sebab waktu itu, penjelasan Galuh panjang sekali. Menyangkut pengadaan, pendistribusian dan hal-hal teknis lain yang pasti akan rumit jika dijelaskan pada Tiya.

Tiya mengedip beberapa saat. "Oh, itu bukan dokter, ya?"

"Bukan. Galuh kerjanya seperti itu. Udah ada gambaran?"

Tiya mengangguk meskipun masih bersungut-sungut.

"Umurnya sekarang berapa, Rim? Dulu kayaknya masih SD waktu kamu SMP."

"28," jawab Karim. "Udah sedewasa itu."

Tiya mengangkat alis kala Karim mengatakannya, sebab lelaki itu mengatakannya dengan senyum samar di ujung bibir. Astaga, apa kali ini dia benar-benar akan punya menantu? Dia cukup kecewa saat tahu Melisa sudah berkeluarga waktu wanita itu kemari beberapa waktu lalu. Padahal menurutnya, Melisa adalah perempuan yang cocok untuk Karim. Cocok dengannya juga. Dia tidak menampik jika dia berharap suatu saat mereka akan bertemu lagi. Tapi ternyata, anaknya punya kejutan lain.

"Baik anaknya?" tanya Tiya lagi.

Karim mengangguk. "She is just that kind."

"Kenapa sama dia, Rim?" Tiya tertawa. "Mama tuh udah nyerah setiap tanya calon mantu sama kamu. Terus Galuh punya apa sampai-sampai kamu kepincut sama dia?"

Karim ikut terkekeh.

"Ma, Mama harus ketemu langsung sama anaknya. Perempuan ini nggak biasa," ucap Karim.

"Ah, Mama jadi penasaran." Tiya menyipit. "Kapan mau kamu bawa ke sini? Niat baik jangan ditunda. Biar Mama bisa ngomong sama Mayang juga. Ya ampun, jadi kangen sama Jeung Mayang."

Karim melirik sekilas pada Tiya yang tengah tenggelam dalam antusiasmenya.

"Tante Mayang udah nggak ada, Ma. Meninggal lima tahun lalu," gumam Karim pelan.

Mendengarnya, Tiya berhenti tertawa senang. Wanita itu terbelalak saking terkejutnya.

"Astaga," bisik Tiya menangkupkan mulut. "Astaga, ya ampun Mayang. Kenapa?"

"Kanker," jawab Karim mengingat jawaban Galuh kala diberikan pertanyaan yang sama.

Tiya terdiam beberapa saat, lalu mengelus dadanya.

"Umur memang nggak ada yang tahu," bisiknya sedih. "Siapa yang nyangka juga kalau Papa sama Mbakyu-mu meninggal secepat itu, kan? Dan Diana belum nikah, lagi."

Karim menghela nafas pelan. Lelaki itu mengulurkan tangan dan membelai pipi ibunya beberapa saat.

"Sudah, jangan kepikiran, Ma." Karim berusaha menenangkan. Sebab dengan kondisi Tiya yang sekarang, rentan sekali bagi Tiya untuk mengalami serangan stroke yang kedua. Karim benar-benar menjaga Tiya agar wanita itu tidak mengalami gejolak emosi yang terlalu berat.

Dengan mata berkaca, Tiya tersenyum.

"Udah, Mama nggak papa," kekehnya mengusap air mata. "Balik ngobrolnya. Kapan mau bawa Galuh ke sini?"

Karim menatap Tiya beberapa saat, lalu lelaki itu menurunkan kaki Tiya dengan hati-hati sebelum bersila di lantai, tepat di hadapan Mamanya yang masih duduk di sofa.

"Kenapa?" Tiya mengerutkan kening kala melihat Karim yang demikian. Sebab, Karim kini meraih tangan Tiya dan menggenggamnya erat-erat.

"Mama, Galuh udah pernah nikah," ucap Karim pelan seraya mengawasi perubahan ekspresi Tiya. "Aku bilang sama Mama sekarang, biar Mama nggak dengar berita simpang siur dari orang lain."

Dan Tiya, wanita itu terperangah. Ia menatap anak lelakinya beberapa saat dengan ekspresi terkejut. Lantas, dihentakkan tangannya dari genggaman Karim.

"Kamu nggak serius kan, Rim? Nikah sama janda? Mikir apa kamu?" desis Tiya terbelalak.

Maka, lelaki itupun menghela nafas.

"Mama, apa yang salah dari perempuan yang pernah nikah?"

"Karim!" Tiya terbelalak. "Kamu masih punya seribu pilihan yang lebih baik! Walau dia anak Mayang sekalipun, Mama nggak mau kamu sama dia! Janda? Astaga! Bekas istri orang?!"

Karim memejamkan mata. Mendengar Galuh dipandang seperti ini bahkan oleh ibunya sendiri sungguh membuat Karim tidak terima. Tapi sampai kiamat pun, bakti Karim pada Tiya tidak akan pernah binasa.

"Ma, dengerin Karim dulu," ucap Karim pelan. "Galuh cerai karena suaminya nggak baik. Nggak ada yang salah sama itu."

"Tapi tetap aja, Rim...mikir apa kamu Nang?" gumam Tiya gemetar. "Jangan, ya? Cukup berhenti di sini. Kamu...kamu cari yang lain aja. Yang masih gadis, anak temennya Mama. Banyak itu yang tanya-tanya kamu."

"Mama, aku cari istri itu banyak kriterianya. Nggak asal tunjuk sana tunjuk sini," ucap Karim lembut. Kembali diraihnya tangan Tiya. "Dia orangnya manis, lembut, mandiri, dia baik dan dia sekuat itu. Dia jelas bisa jadi istri dan ibu yang baik untuk keluargaku nanti."

Tiya menatap anaknya dengan gigi terkatup rapat. Tangannya, tubuhnya mulai bergetar pelan hingga Karim menggosok telapak tangan Tiya dengan cemas.

"Mama," panggil Karim lagi dengan begitu hati-hati. "Nggak ada yang salah sama Galuh. Nggak ada."

Tiya masih terdiam. Ditatapnya anak semata wayangnya sebelum mendesah putus asa.

"Kamu yakin, Rim?" bisik Tiya. "Memperistri janda itu tantangannya berat."

Karim tersenyum menenangkan dan mengangguk. "I know, Ma."

Tiya bersandar di punggung sofa dengan mata terpejam. Ia membelai pelipisnya, berusaha menguasai diri.

"Bawa dia kesini," perintah Tiya dengan suara bergetar. "Bawa dia. Biar Mama sendiri yang menilai dia."

Karim menatap Tiya beberapa saat.

"Mama, tenangin diri dulu. Aku bawa Galuh kalau Mama udah bisa tenang."

Mendengar nada tegas yang dibalut kelembutan itu, Tiya menggertakkan gigi. Karim tersenyum tipis, masih digosoknya telapak tangan Tiya agar wanita itu bisa menguasai diri.

"Kamu itu, Rim," gumam Tiya dengan bibir gemetar. "Jangan lama-lama. Bawa dia kesini."

*TBC*

*Yang kangen Galang yang kangen yang kangen teng teng*

Bubye

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro