22| REMEDY
Kedamaian wanita itu diusik oleh dering nyaring yang memenuhi ruangan.
Galuh membuka mata, menyipit dalam keremangan. Sejenak, ia merasa asing dengan langit-langitnya yang tidak biasa, lantas ingat jika dia sedang berada di Dapur.
Ah, dia juga ingat apa yang terjadi tadi malam.
Berdehem, wanita itu duduk dan menilai kondisi tubuhnya sendiri. Sudah tidak pusing dan kerongkongannya jauh lebih baik walaupun masih terasa gatal.
Galuh segera menghidupkan lampu. Wanita itu mencuci muka dan gosok gigi. Ia menguncir rambutnya dengan rapi sebelum turun karena sebentar lagi, pemasok langganannya akan segera tiba.
Galuh menemukan Karim tidur meringkuk di sebelah meja. Lelaki itu tidur miring dengan menggulung tubuhnya di dalam kasur lipat hingga yang terlihat hanya wajahnya saja. Sedikit cemas, Galuh berjongkok dan meraih dahinya. Syukurlah demamnya tidak menular.
Wanita itu duduk bersila di samping Karim dan mengamatinya. Karim yang sedang tidur begini jadi mirip anak kecil. Bulu matanya yang lurus terlihat manis kala terkatup seperti ini. Rambutnya berantakan dan suara nafas halus terdengar dari mulutnya.
"Abang?" bisik Galuh menusuk pelan pipinya. "Pindah ke atas, gih."
Karim bergeming.
"Bang Karim?" Galuh mencubiti pipinya kali ini. "Abang, bangun!"
Mata lelaki itu mengerutkan kening meskipun masih terpejam.
"Bang, bangun." Galuh sedikit mengeraskan suara hingga akhirnya Karim membuka mata.
Lelaki itu menyipit sejenak ke arah Galuh. Mengedip satu kali, lalu kembali menghempaskan kepalanya ke ransel yang ia gunakan sebagai bantal. Galuh memutar bola mata.
"Abang," Galuh mengguncang pelan bahunya. "Bangun!"
Karim membuka mata dengan ekspresi terkejut. Lelaki itu terduduk dengan masih digulung kasur. Seperti ulat gemuk berwarna biru.
"Apa?" bisiknya menyipit ke arah Galuh dengan rambut yang mecuat kemana-mana. Lelaki itu mengerjapkan matanya beberapa kali dan mengernyit. "Kamu kenapa di sini? Kamu belum boleh naik ke kasurku, Galuh."
"Hahh?" seru Galuh horor. Wanita itu menjapit pelan ujung hidung Karim diantara jemarinya, berusaha menarik Karim dari halusinasi yang entah apa. "Bangun, Abang. Pindah ke atas."
"Aduh iya..." Karim meraih tangan Galuh dari hidungnya dan membuka mata lebih lebar. "Iya, ingat. Aku nginep di kateringmu, ya?"
"Hm. Sebentar lagi bahan-bahannya udah mau datang. Abang pindah ke atas aja, lanjut tidur di sana biar nggak keganggu," ucap Galuh berdiri dan menuangkan air hangat di dua buah gelas. Satu ia sodorkan pada Karim yang masih terduduk dengan mata terpejam.
"Ini, minum dulu." Galuh mengulurkan segelas air putih pada Karim, sementara dia sendiri duduk bersila di samping lelaki yang masih mengantuk itu.
"Makasih," ucapnya parau dan meneguknya dengan perlahan. Setelahnya, dia merasa lebih sadar. Ditengoknya Galuh yang masih minum dengan hati-hati. Wanita itu masih memakai pakaian tadi malam, namun wajahnya terlihat segar dengan rambut yang terikat rapi. Masih dengan mata yang setengah tertutup, lelaki itu tersenyum tipis. Ia meraih ponselnya sendiri dan memeriksa alarmnya.
"Belum ada jam lima," gumamnya mengacu pada setting alarm miliknya. "Kamu gimana? Masih pusing?"
Galuh menggeleng. "Udah baikan."
Karim tersenyum lagi. Ia meraih puncak kepala Galuh dan membelainya pelan. "Baguslah. Aku ikut cuci muka."
Galuh mengangguk. Karim keluar dari gulungan kasur, kemudian melipatnya dan memanggulnya ke lantai atas. Wanita itu tertawa kecil karena sosok Karim yang bangun tidur dengan rambut berantakan ternyata semanis ini.
Hanya perasaannya saja, ataukah aroma musky itu jadi lebih terasa ketika ia bangun tidur seperti ini? Aroma natural tanpa diganggu parfum mobil, pengharum ruangan maupun pengharum pakaian. Aroma yang Karim sekali.
Sebuah deruman samar menyita perhatian Galuh. Wanita itu segera membuka pintu lobi dan melihat sebuah mobil pick-up berwarna putih keluar dari kegelapan.
Segera saja, Galuh terfokus pada rutinitasnya. Berkonsentrasi pada bahan apa saja yang harus ada pada hari ini seraya memeriksanya. Merangkap sebagai koordinator pengadaan bahan makanan di Rumah Sakit, Galuh teliti sekali untuk urusan memilah bahan makanan yang masih bagus dan menyingkirkan yang sudah tidak layak olah. Seluruh pemasok bahan makanan Rumah Sakit maupun pemasok di kateringnya sudah hafal betapa telitinya dia saat menilai bahan makanan di hadapannya. Bagaimana manik matanya menyelia setiap lubang maupun goresan pada kentang, retakan di telur hingga lecet di sayuran. Karena bagi Galuh, bahan makanan yang baik jelas akan menghasilkan makanan yang lebih berkualitas.
"Udah?" tanya si Mamang pemasok langganan Galuh.
Galuh mengangguk seraya mengulurkan beberapa lembar uang. "Makasih ya, Mang. Diitung dulu."
Si Mamang menghitung dengan cepat lalu mengangguk. "Udah pas, Neng. Saya lanjut lagi."
Galuh tersenyum dan mengangguk. Si Mamang meninggalkan Galuh yang dikelilingi berikat-ikat sayuran dan buah-buahan yang ditaruh dalam beberapa keranjang anyaman bambu serta berplastik buah-buahan.
Telur dan daging akan tiba sebentar lagi dari pemasok yang berbeda. Pengalamannya di Rumah Sakit sudah cukup memberinya pandangan pemasok mana saja yang berkualitas, mampu menyediakan bahan makanan sesuai harapannya dan bisa dipercaya.
Ini penting, karena beberapa kali Galuh bertemu dengan pemasok tidak jujur yang menawarkan diri sebagai pemasok usaha kateringnya yang saat itu masih seumur jagung. Seperti menyisipkan telur busuk di antara telur segar. Ayam hampir basi di antara daging ayam segar, buah busuk di antara buah segar dan banyak hal jahat lainnya.
Tanpa berlama-lama, ia memindahkan bahan-bahan itu ke dalam. Setiap pagi rutinitasnya akan seperti ini. Terkadang, Iyas dan Catra akan membantunya jika mereka menginap.
"Setiap pagi begini?"
Galuh yang saat itu bersiap mengangkat baskom yang berisi buah, mendongak dan mendapati Karim menyambanginya. Lelaki itu terlihat lebih segar dan sudah sadar sepenuhnya. Rambutnya juga sudah lumayan rapi meskipun beberapa rambut masih mencuat ke arah yang ganjil. Mungkin dia menyisirnya dengan jari.
Galuh mengangguk dan berjalan ke dalam dengan baskom di pelukannya.
"Anak-anak?" tanya Karim membantu membawa beberapa bahan ke dalam.
"Nanti, paling sebentar lagi," ucap Galuh. "Kasihan kalau harus ke sini pagi-pagi."
"Kalau kamu di sini, rumah gimana?" Karim berdiri di sebelah Galuh yang sedang menyiapkan baskom di atas meja.
"Ada Harun," jawab Galuh memasukkan seluruh buah di sana sebelum mencucinya di bawah wastafel. Wanita itu bergerak ke sana kemari dengan cekatan sampai Karim tidak tahu harus membantu apa.
Lebih baik dia membuat kopi susu saja untuk mereka berdua dan yang lain.
"Harun itu sebenernya baik. Dia ngerti kondisi keluarga," ucap Galuh meniriskan buah-buahan dan meletakkannya di atas meja pengolahan. "Kalau aku sibuk gini, dia ambil alih tugas di rumah. Nanti sarapan ambil ke sini."
Wanita itu ganti mencuci sayuran di dalam ember super besar.
"Jadi Abang yang sabar ya." Galuh berucap sambil tertawa kecil.
"Hm? Memang kenapa?" Karim mengerutkan kening sembari menuang air panas.
"Sifat kekanakannya itu," kata Galuh berjalan di sampingnya dan bersandar di pantry.
Karim mengulurkan secangkir kopi susu yang masih mengepul pada Galuh, yang diterima Galuh dengan penuh terima kasih.
"Jangan bilang begitu. Semua orang selalu punya sisi kekanakan. Kamu, aku, orang lain," ucap Karim tertawa. "Tergantung mengendalikannya gimana. Dan aku nggak keberatan sama Harun. Mungkin kita kurang saling kenal aja."
Galuh sedikit mengerucutkan bibir sebelum meniup uap di cangkirnya. Telapak tangannya yang menggenggam cangkir tebal itu terasa hangat.
Saat itu, terdengar suara gaduh di pintu depan.
"Selamat pagi Bu Bos yang can--tik." Catra terbelalak kala melihat siapa yang bersandar di pantry di samping Galuh, dalam balutan baju training yang kusut dan rambut yang cukup berantakan. Jelas sekali dosen hot incaran dosen senior untuk dijadikan menantu itu baru saja bangun tidur. "E--eh, kenapa Pak Dosen di sini?"
"Nunggu kamu," ucap Karim ringan. "Udah ada Catra. Aku pulang."
Mengabaikan wajah Catra yang masih horor, Galuh mengangguk.
"Udah ada mobil buat antar?" tanya Karim lagi saat meraih ranselnya.
Galuh mengangguk lagi. "Mobilnya udah keluar bengkel."
"Bagus. Nanti siang aku jemput kamu."
Galuh mengangguk lagi untuk yang ketiga kalinya. Melihat Catra yang masih kehilangan suara, akhirnya Galuh berkata.
"Tadi malam hujan deras. Pak Dosenmu nggak bisa pulang. Dia tidur di lantai bawah, aku tidur di lantai atas." Galuh berdecak seraya mengikuti Karim ke depan. "Dan kenapa aku harus ngejelasin ini sama kamu?"
Catra mengerjap. "Oh gitu. Hehe, nggak papa--sih. Itu artinya Bu Bos enggak menyepelekan intelegensiku sebagai pemuda yang beranjak dewasa, hahaha. Babai Pak Dosen!"
Catra melambai pada Karim yang sudah bersiap di lobi. Karim hanya tertawa.
"Ck! Aku ke atas dulu, deh. Mau ganti kaus," gumam Catra berlari menuju tangga.
Galuh melirik Catra beberapa saat sebelum mendekati Karim--
atau begitu niatnya. Karena ternyata lelaki itu sudah berdiri tepat di hadapan Galuh dan merengkuh wajahnya sebelum menunduk.
"Ng..."
Galuh meraih lengan Karim, menahan tubuhnya sendiri karena sesaat ia terhuyung oleh kekuatan lelaki itu. Lagi, seperti tadi malam. Rasa pahit dominan di bibirnya, sedikit tercampur oleh mint dari pasta gigi.
Karim menciumnya beberapa saat dalam tempo yang lambat, terjaga dan intens. Belum sampai nafasnya habis, lelaki itu menarik diri hingga Galuh membuka mata. Ditatapnya manik legam yang tengah memandangnya dengan hangat itu, sementara si pemilik tersenyum kecil dan mencium singkat keningnya.
"See you soon."
***
"Oh, udah datang. Yang, kamu sama Darius ke sana dulu sama Mas Karim. Aku mau ngomong sama calonnya."
Dan dengan begitu, Galuh dipaksa duduk di hadapan seorang wanita berambut panjang dan berkacamata. Ia memakai blouse ibu hamil berwarna pink dengan celana legging yang fleksibel. Dia cantik. Jenis cantik yang energik dengan mata yang selalu awas dan terlihat cerdas di balik kacamata frameless-nya.
Ia mengamati Galuh beberapa saat, lalu menyunggingkan senyum.
"Melisa," katanya memperkenalkan diri. "Galuh, ya?"
Galuh tersenyum canggung dan mengangguk. Lalu, wanita itu terkekeh.
"Ya ampun, kamu harus tahu gimana wajahnya Karim waktu dia habis telfon kamu," katanya tertawa. "Maaf ya, aku nggak ngerti kalau dia udah ada calon. Tahu gitu aku pasti ngehubungi kamu dulu buat minta izin. Salahku juga, sih. Keburu-buru sama ayahnya Alvin."
Dia mengatakannya dengan begitu tulus, hingga Galuh merasa sangat bersalah sudah berpikir sedemikian buruk pada Melisa.
"Jadi, aku harap kalian baik-baik aja," lanjutnya cemas.
Galuh tersenyum dan mengangguk. "Udah dijelasin sama dia. Maaf, kalau sudah bikin repot segala."
Melisa tersenyum lebar. "Dia emang gitu. Nggak tahan sama yang namanya salah paham. Tenang sih kalau ngejalanin hubungan sama dia. Saking tenangnya kadang aku kepingin main kembang api biar ada ramai-ramainya, gitu."
Melisa tertawa singkat sebelum melanjutkan. "Dan jangan minta maaf. Justru dengan begini aku lega. Walaupun nggak di-loudspeaker, tapi aku yang duduk di belakang Karim bisa denger lamat-lamat. Bahkan sampai namaku disebut. Waktu itu aku langsung tahu kalau ada orang yang sedang dijaga Karim saat ini. Yah, walaupun saat itu aku baru teler. Tapi ini bukan buat kamu kok, Luh. Ini buatku, biar aku tahu kalau aku nggak bikin hubungan orang lain rusak. Biar aku lega dan bisa balik ke Riau dengan tenang. Aneh, ya? Biarin, deh. Kan aku baru hamil dan ibu hamil selalu benar."
Ucapnya ringan sebelum menyesap minumannya. Galuh yang canggung, juga akhirnya ikut menyeruput minumannya. Kemudian Melisa menatapnya beberapa saat. Raut riang yang sedari tadi ditampakkan kini berganti tenang.
"Aku udah ketemu banyak orang, Luh. Banyak perempuan. Dan aku bisa menebak kalau mungkin, kamu punya insekuritas yang tinggi sama masa lalu," ucapnya lembut, membuat Galuh seketika terdiam. "Dilihat dari nadamu waktu nyebut namaku itu, aku tahu ada sesuatu yang nggak beres."
Galuh terdiam, sementara Melisa melambai ringan.
"Nggak, aku nggak kepingin tahu apa penyebabnya. Aku cuma mau bilang kalau memang benar itu problem kamu, aku bisa pastikan kalau aku sama Karim udah nggak ada apa-apa. We're done after we said bye-bye," jelas Melisa mengaduk minumannya. "Aneh sih, memang. Tapi waktu itu hubungan kami memang nggak pernah nyinggung pernikahan, tunangan, atau apapun yang lebih tinggi daripada apa yang udah kita jalani. Kita cuma...jalan aja. Saling support. Waktu aku bilang aku nerima panggilan kerja di luar pulau, aku beneran lihat gimana tulusnya dia memperbolehkan aku ke sana."
Melisa tersenyum kecil.
"Bukannya kita harus punya prioritas, iya kan?" tanya Melisa pada Galuh. "Bukan berarti kita nggak saling sayang. Tapi, hubungan kita memang bukan prioritas walaupun kita bener-bener ngejaganya. Masa depan kami, itu prioritas. Jadi, ya sudah, kita sepakat udahan aja. Free. Aku fokus sama masa depanku, dia fokus sama masa depannya dia."
Galuh menyeruput minumannya lagi seraya menyimak apa yang Melisa katakan. Ini, jelas membantunya menilai masa lalu mereka.
"Nggak nyesel?" gumam Galuh. "Nggak pernah ada niatan untuk balik lagi setelah settle dengan masa depan masing-masing?"
Melisa menggeleng sembari mengerucutkan bibir. "Nggak. When we said we're over, we are over. Target masa depanku masih banyak dan aku nggak punya waktu menyesali keadaan. Aku mau ngebangun hidupku dulu, sendirian."
Melisa mengedik ke arah mereka bertiga.
"Dan aku yakin, si Tuan Teliti pun demikian. Karena dia juga punya target-target yang perlu dia capai seperti aku," lanjutnya.
"Tuan Teliti?" Galuh mengerutkan kening kala Melisa menggunakan nama panggilan itu.
Ia menatap Galuh dengan mata berbinar dan mengangguk.
"Iya. Panggilannya di kampus itu Tuan Teliti." Melisa tertawa, memperlihatkan geliginya yang rapi. "Masa kamu belum ngerasa? Dia orangnya teliti sekali. Jarang banget bisa dibohongi. Kalau ketemu orang, pasti langsung dinilai sikapnya, caranya bicara, gerakannya, sampai dia bisa menyimpulkan secara kasar orang seperti apa yang ada di hadapannya."
Oh, well, Galuh tidak menampik. Karena dalam beberapa kesempatan, terkadang Karim memang menatapnya sejeli itu.
"I feel you," gumam Galuh membuat Melisa terkekeh.
"Karim itu kalau mau bertindak, pertimbangannya banyak banget. Otaknya emang didesain buat menganalisa sesuatu. Nggak bisa tahan kalau sebulan nggak terlibat penelitian apapun. Akademisi sejati emang."
Galuh tertawa kecil. "Pantes jadi akuntan."
Astaga, dia sedang bercengkrama dengan mantan sang kekasih, membahas masa lalu mereka dengan suasana yang penuh canda. Apakah ini normal?
"Yep." Melisa mengangguk senang. "Jadi, aku harap kesalahpahaman kemarin udah diluruskan, ya? Walaupun Karim semengagumkan itu, waktu itu aku juga punya cita-cita yang pingin aku raih. Jadi, aku memang merelakan hubungan kami."
Galuh mengangguk dengan sedikit malu.
"Akhirnya aku ketemu Papanya Darius," ucap Melisa tersenyum. Ia menatap Galuh dengan penuh pengertian. "Sejalan dengan waktu yang kami habiskan bersama, aku semakin tahu kalau sebuah hubungan bisa seerat ini, bisa sebermakna ini. Mungkin karena kita berdua memang sama-sama berkomitmen untuk melangkah ke arah yang lebih jauh. Jadi dibandingkan hubunganku dengan Alvin, hubunganku dengan Karim nggak ada apa-apanya. Kami selesai dengan benar, dan kami menapaki lembar baru kami sendiri-sendiri."
Galuh bisa melihat sorot hangat kala wanita itu menyebut nama suaminya. Wanita itu tersenyum kecil, lalu menunduk.
"So, is it okay for you now?" tanya Melisa ingin tahu dengan wajah cemasnya. Galuh tertawa dan mengangguk.
"Aku minta maaf, Mel. Sampai bikin kamu cemas begini. I am okay now," kata Galuh di sela tawanya. "Kayaknya, bukan cuma Abang aja, kamu juga seteliti itu."
Melisa mendengus walaupun tersenyum kecil. "Anggap aja aku punya grup ibu-ibu berisik yang sering sharing masalah seperti ini."
Wanita itu menoleh ke arah tiga lelaki tadi dan melambai. Untuk pertama kalinya, Galuh berkesempatan mengamati suami Melisa. Orangnya tidak setinggi Karim, namun wajahnya terlihat periang seperti Melisa. Dia menggendong Darius yang masih berusia empat tahun yang menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu.
"Selesai ngobrolnya?" tanya Karim duduk di samping Galuh dan mengulurkan tangan di belakang Galuh, bertengger pada punggung kursinya.
Melisa mengangguk. Lalu berdecak. "Lo kalau nggak ngundang kita, kebangetan. Iya kan, Yang?"
Alvin mengangguk. Lelaki itu duduk di samping Melisa dengan memangku Darius. "Kebangetan. Oh, tentang Centauri, mungkin minggu depan gue ke sini lagi. Tapi langsung sama orang lapangan, ya?"
Karim mengangguk. "Sama yang kemarin itu aja."
"Makasih udah dibantu, ya." Alvin tertawa. "Sori Luh, bikin repot. Ini juga Mamanya Darius ribut pingin ketemu sama lo."
Galuh tertawa lagi. "Nggak masalah."
Melisa tersenyum singkat sebelum memeriksa jam tangannya, lalu memekik dan langsung berdiri. Membuat Alvin seketika menatapnya horor.
"Kamu jangan tiba-tiba gitu, bisa?" serunya syok pada istrinya yang sedang hamil.
"Yang, pesawatnya take off setengah jam lagi!" ucap Melisa panik meraih tasnya. "Ayo ayo, aduh! Galuh, MasKar, kita duluan! Yang, udah sedia plastik, kan?"
"Siap!" seru Alvin ikut panik seraya menenteng koper sementara tangan yang lain membopong Darius. "See you soon, brother. Galuh."
Dan dengan begitu, tiga orang itu menghilang di tengah lalu lalang pengunjung.
Galuh tertawa antusias. "Ya ampun, Melisa orangnya enerjik banget." Ia menoleh ke arah Karim yang sedang menatapnya, lalu teringat cerita Melisa tentang Karim dan tertawa lagi. "Bang, aku baru tahu kamu punya julukan Tuan Teliti."
"Hmm..."Karim bertopang dagu. Lelaki itu menatapnya dengan serius. Diamatinya wajah perempuan yang kini berbinar dengan tawa ceria di wajahnya. "Aku juga baru tahu kamu bisa secantik ini. Tawamu yang begini, pergi kemana aja?"
*TBC*
Gombalannya orang pendiem emang beda 🙂🙃
Bubye ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro