Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

21| REMEDY

Guntur berkilat lagi, menciptakan siluet Karim yang berdiri di ambang pintu terbingkai oleh cahaya. Tampak mengerikan untuk beberapa saat hingga Galuh mundur satu langkah.

"Apa maksudnya itu, Galuh?" tanya Karim tidak peduli akan sosok dirinya yang basah kuyup. Lelaki itu menatap Galuh dengan tatapan menghunus, berdiri di ambang pintu sedemikian rupa hingga Galuh menelan ludah.

Bibir Galuh bergetar lagi. Air mata yang sempat ditahannya kini mengalir kembali.

Karim yang sedari tadi menatap tajam wanita itu, kini menghela nafas untuk menenangkan diri. Ditatapnya Galuh yang gemetar dari atas hingga kaki itu.

"Melisa memang ke sini," kata Karim pelan, "sama suami dan anaknya."

Ap-what?

"Tanya," perintah Karim singkat. "Tanya. Semuanya. Apapun yang ada di kepala kamu."

"Si-siang tadi?" ucap Galuh mengernyit. "Di resto?"

"Itu Virsha. Dia Manajer Marketing Centauri. Kami ke sana karena ada urusan dengan distributor kami."

"Tapi aku lihat kamu cuma sama dia. Bukan sama teman-teman," ucap Galuh menekankan kata teman-teman yang berarti jamak seperti yang dikatakan Karim.

"Karena perwakilan dari Centauri memang hanya aku sama dia," jawab Karim. "Yang lain, itu distributor kami. Kami janji bertemu di sana."

Galuh meremas jaketnya, menatap Karim yang tidak pernah sekalipun melepaskan manik lekatnya dari Galuh. Lelaki itu masih berdiri di sana, terbingkai hujan, menunggu.

"Waktu aku telfon tadi..." bisik Galuh lagi. Jantungnya kini berpacu kencang.

"Melisa baru hamil," Karim mengawasi bagaimana mata Galuh melebar karena terkejut. "Dia panik mau muntah dan plastiknya habis. Hampir ngebuka kaca mobil kalau nggak ditahan suaminya."

Galuh terdiam beberapa saat, dia yakin kukunya saat ini pasti sudah memutih saking eratnya ia menggenggam jaket. Kepalanya mulai pening saat berusaha memahami penjelasan Karim.

"Kenapa Melisa minta tolong kamu?" bisik Galuh berniat membunuh seluruh bibit-bibit curiga saat ini juga.

"Dia minta tolong masuk akses ke Centauri. Suaminya orang Peternakan dan mau nyusun disertasi. Minta izin buat menjadikan sapi perah kami sebagai sampling."

"Kenapa nggak langsung aja tanya ke Centauri? Kenapa harus lewat kamu?"

"Centauri perusahaan besar. Akan lebih mudah kalau tanya prosedurnya dulu sama orang dalam. I'am helping them as an old friend. No more reason. Setelah ini, urusannya bukan sama aku lagi," jawab Karim seraya menelisik Galuh dengan lekat.

Sementara Galuh kini terdiam. Sejalan dengan penjelasan lelaki itu, gemetarnya kini mereda. Meskipun demikian, dia masih saja menatap manik legam itu tanpa kata.

"Apa lagi?" tanya Karim mengamati Galuh dengan teliti. "Tanyakan, Galuh."

Galuh mengerjap, namun sepertinya kata-kata belum mampu keluar dari tenggorokannya. Dia hanya bisa berdiri memandangi lelaki itu.

Karim menghela nafas lagi.

"Boleh masuk?" tanyanya.

Galuh tersadar, lalu mengangguk singkat.

"Kam..." Galuh berdehem kala suaranya bergetar. "Ke kamar mandi aja. Ada baju ganti?"

"Hm," jawab Karim singkat sebelum meletakkan tas yang ia balut dengan mantel ransel. Membukanya sementara dia sendiri masih di luar. "Kamu ke atas. Aku ganti di sini."

Galuh mengerutkan kening. Sementara Karim kembali menegakkan diri dengan sepasang kaus dan celana training di tangannya. Ia menatap Galuh. "Kamar mandi di lantai dua. Lantainya bisa basah semua kalau aku masuk."

Ng...iya. Ada handuk?" tanya Galuh terbata. Sedikit mengernyit kala merasa sakit di kerongkongan.

Karim menggeleng. Lelaki itu masih bergeming seraya menunggu Galuh agar naik ke lantai dua.

"Sebentar, aku ambilkan," ucap Galuh pelan sebelum berputar menuju tangga dengan setengah berlari.

Karena jujur saja, dia tidak tahu harus bagaimana menghadapi lelaki itu.

Wanita itu mengambil handuk kecil dan baru dari cabinet kantornya dan menghempaskan diri di sofa. Kepalanya terasa pening sekali. Ia menutup mata dengan punggung tangannya, membiarkan otaknya berkonsentrasi sebentar saja demi mencerna penjelasan Karim barusan.

Tidak, dia tidak menampik jika mantan pacar bisa jadi teman. Hanya saja, masa lalunya berkaitan dengan mantan yang tetap diinginkan.

"Ck." Galuh berdecak seraya memijit kepalanya yang berdenyut pusing. Dia baru sadar jika sakit di kerongkongannya bukan sakit biasa. Mungkin dia tertular flu dari anak-anak ruangan, tapi mengabaikannya karena seharian ini pikirannya sedang sangat sibuk.

Lelaki itu, apakah marah padanya? Batin Galuh menggigit bibir. Sebab Karim yang tadi terlihat agak mengerikan. Mirip ketika lelaki itu akhirnya tahu jika Galuh pernah menikah.

Aroma kopi yang terhirup membuat Galuh membuka mata. Galuh segera bangkit dan cepat-cepat berlari ke bawah.

Dilihatnya Karim sedang memunggunginya. Ia sudah berganti pakaian dengan pakaian training berlengan pendek. Logo Centauri terembos kecil di punggung kaus itu.

"Abang," panggil Galuh pelan, mengernyit lagi pada kerongkongan yang terasa perih. "Ini handuknya."

Karim meletakkan termos air panas dan menoleh. Lalu mengangguk. Ia berbalik dengan dua cangkir kopi susu di tangannya. Disodorkannya satu untuk Galuh sebelum menerima handuk dari wanita itu.

"Lifebuoy?" Karim membaca nama yang terjahit di ujung handuk.

"Itu handuk hadiah doorprize," ucap Galuh. "Ada banyak handuk kayak gitu, jadi aku simpan di sini aja buat persediaan. Jangan khawatir, itu baru."

Karim mengangguk sebelum menempelkan handuk ke kepalanya.

"Jadi?" tanyanya pendek seraya mengeringkan rambutnya sementara tangan yang lain memegang cangkir. Lelaki itu bersandar di meja, menatap Galuh yang terdiam di hadapannya. Wajahnya sudah tidak semengerikan tadi, hanya saja tatapan itu masih sama tajamnya.

Galuh menggigit bibirnya. "Maaf."

"Minta kejelasan itu bukan kesalahan. Jangan minta maaf," ucap Karim mengusap rambutnya seraya menunduk ke arah Galuh. "Itu bagus. Kamu mau bertanya daripada ngebiarin masalahnya berlarut-larut. Karena kalau kamu nggak tanya, aku nggak akan tahu apa yang ganggu kamu. Jadi, masih ada yang mau ditanyakan?"

Karim berhenti sejenak. Sementara Galuh menyesap kopinya dengan canggung.

"Tadi sore, kata Catra Melisa ada di kampus," gumam Galuh. "Kenapa? Katanya yang punya urusan itu suaminya."

Karim mengangguk pelan. "Perpustakaan kampus, bukan perpustakaan fakultas. Dia nggak bisa ikut suami jalan terus kesana kesini. Makanya dia pinjam kartu perpustakaanku lalu ke kampus sambil cari-cari bahan yang bisa membantu penelitian suaminya. Dan perlu kamu tahu, Melisa di sana dari pagi."

Galuh tahu mengapa Karim mengatakan itu. Karena jelas pagi harinya Karim ada di Centauri sampai jam mengajarnya tiba.

"Anaknya?"

"Ikut ayahnya."

Galuh menggigit bibirnya.

"Memang suaminya Melisa kerja dimana sampai minta tolong kamu segala?" tanya Galuh beberapa saat kemudian.

"Di Dinas Peternakan. Dia nyusun disertasi tentang efektivitas vaksin untuk sapi perah dan sapi potong sementara dia sendiri juga ada proyek pengembangan vaksin lain yang dinilai lebih efektif. Dia memang menyasar pabrik-pabrik yang punya peternakan buat memperkecil variabel pengganggu," jawab Karim menyeruput kopinya. "Centauri salah satunya."

Galuh mengernyit.

"Itu penelitian yang nggak simpel," komentar Galuh.

Karim mengangkat bahu. "Disertasi. Dan dia kerja di Dinas Peternakan. Dia udah punya modal data yang mumpuni."

Galuh terdiam sejenak. "Kenapa kamu nggak bilang kalau Melisa datang?"

Karim menatapnya, lama.

"Karena dia nggak sepenting itu untuk di-notice," ucap Karim. "Bagiku, hubungan istimewa kami sudah berakhir."

Galuh terdiam beberapa saat, hingga akhirnya Karim mendekatkan wajahnya dengan raut cemas.

"Atau, kamu butuh kenal Melisa secara personal?" tanyanya serius. "Aku bisa atur itu kalau kamu mau."

Galuh menggigit bibirnya. Jika dibalik, apakah Galuh akan bilang pada Karim jika suatu saat dia bertemu Rian di Rumah Sakit?

Jawabannya, adalah tidak. Karena Rian sudah jadi masa lalu. Sekarang pun, dia menganggap pacar pertamanya itu sebagai kawan lama.

Galuh menggeleng dan berdehem.

"Kenapa kamu nggak pernah bilang kalau Melisa udah punya suami?"

"Karena aku juga nggak tahu," jawab Karim. "Udah lama nggak komunikasi. We have our own life."

Karim mengatakannya dengan ringan sebelum menyesap kopinya lagi.

"Kapan Melisa ketemu kamu?"

"Kemarin lusa Melisa datang ke rumah. Dia bilang tentang penelitian suaminya, dan tanya gimana prosedur perizinan di Centauri." Karim menjelaskan kala ia bertemu Melisa di rumahnya. Kala itu suaminya sedang mengantar anaknya ke kamar mandi.

"Nginep di tempatmu?" Galuh mengerutkan kening.

Karim mengamati Galuh, lalu senyum tipis hadir di sudut bibirnya.

"Jangan senyum-senyum," tukas Galuh jengkel dengan wajah memanas. "Aku tanya kamu."

Karim menggeleng. "Mereka kesini sekalian jenguk orangtua Melisa, jadi mereka pulang ke rumah orangtuanya. Waktu kamu telfon tadi, itu mereka mau balik ke rumah, sekalian nge-drop aku balik ke Centauri."

Karim menghela nafas panjang.

"Dan kamu bilang kayak gitu, menurutmu gimana pikiranku sepanjang jalan tadi? Hm?"

"Eh, itu--," Galuh buru-buru menunduk untuk menghindari tatapan menusuk Karim. Disesapnya lagi kopi hingga rasa hangat membanjiri tubuhnya.

"Is it okay if I hug you?"

Galuh tersedak. Dia, tidak salah dengar, kan? Sementara Karim hanya terdiam mengawasinya.

"Eh? Apa?"

"Boleh peluk kamu?" tanyanya lagi tanpa gurat canda di wajahnya.

Galuh mencengkram gelasnya kala sesuatu yang panas merambat ke dada.

"Kalau aku jawab nggak?"

Karim mengangkat bahu dengan ringan. "Then I won't."

Galuh menelengkan kepala karena saat ini, ada sedikit kecanggungan di wajah Karim.

"You will. Because I want it too."

Demi mendengarnya, Karim meletakkan cangkirnya--sedikit membanting, sebenarnya--di atas meja sebelum meraih tangan Galuh dan memeluknya.

"God, you drove me crazy," gumamnya lirih di telinga Galuh. "Apa maksud kalimatmu tadi? Lelah gimana? Maksudnya apa?"

Se--bentar.

Lelaki itu masih memakai handuk di atas kepalanya, sementara tangan kanan Galuh masih mencengkram erat cangkir agar tidak terjatuh. Aroma khas lelaki itu mulai merasuki paru-parunya tanpa ampun, menguar dari tengkuk Karim yang kini ada tepat di samping pipinya. Tubuhnya masih dingin dan terasa lembab. Namun terasa hangat di saat yang sama.

"Aku kira kamu pergi nggak bilang-bilang," ucap Galuh menahan pening yang kian menjadi. Sungguh, euforia posisi mereka sangat mengerikan. Galuh bisa merasakan jantungnya berdentam tidak karuan sementara rasa hangat dari pelukan sepasang lengan itu nyatanya membuat nyaman. "Kesepakatan kita ini...kamu masih boleh pergi semudah yang kamu mau. Aku nggak berhak nahan kamu, kan?"

Galuh menahan lengan lelaki itu dengan tangannya yang bebas kala kedua tangan Karim berpindah di pinggangnya. Lelaki itu menghela nafas, membuat tengkuk Galuh tergelitik. "Aku jadi bertanya-tanya, seberapa jauh kamu anggap aku serius. Yang butuh pelan-pelan itu kamu. Sementara niatku udah sampai hidup bareng sama kamu. Coba? Seharusnya aku yang khawatir kamu menyerah, bukan sebaliknya."

Karim menarik diri. Lelaki itu melonggarkan pelukannya meskipun masih mengurung Galuh dalam rengkuhan. Jemari lelaki itu bertaut santai di belakang pinggang Galuh, sementara kini mereka berhadapan dengan jarak sedemikian dekat hingga Galuh bisa melihat setiap helai bulu matanya, setiap celah di irisnya, juga kerut tipis pada bibir yang masih menyisakan warna biru itu.

"Akan sia-sia kalau kamu sendiri nggak ada niat buat upgrade. Karena yang bertarung sama iblis di dalam diri kamu itu, kamu sendiri," bisiknya. "Kamu harus yakin dengan alasan kamu buat melangkah, bukan karena ada aku di sini."

Galuh terdiam sejenak. Wanita itu meraih handuk di atas rambut Karim, mengusapnya pelan sementara Karim terdiam.

"Iblis itu udah aku kalahkan bertahun lalu, Abang. Cuma sekarang pas aku mau eksekusi, dia kadang ngegoda sampai aku labil begini," celetuk Galuh berkonsentrasi pada rambut Karim.

Karim terkekeh pelan mendengar kalimat lucu wanita itu.

"Hmhm," gumam Karim mengawasi Galuh yang masih mengusap rambutnya hingga ke tengkuk. "Memangnya apa yang berusaha kamu kalahkan?"

"Rasa takut yang semena-mena, trust issue." Galuh mendesah sementara tangannya masih sibuk. "Kalau memang belum aku kalahkan, aku nggak akan mau mencoba dari awal."

Karim tersenyum.

"It is amazing. The way you know the devil inside you and try to beat it," ucapnya.

"Minta kejelasan sama kamu seperti tadi." Galuh menelan ludah susah payah. "Salah satu caraku membunuh asumsi yang nggak sehat."

"Hm, good girl," gumam Karim menilai bengkak di mata Galuh. "Kamu nangis sampai begini, coba?"

Galuh mendengus pelan. Karim menarik tipis ujung bibirnya meskipun ia tidak berkata apa-apa.

Galuh mendesah, sebab dia tidak lagi bisa mengalihkan perhatian dari bibir yang membiru itu. Wanita itu menyentuh rambut Karim, memastikannya sudah cukup kering sebelum meletakkan handuk di meja. Ia meraih rahang Karim, mengusapnya pelan seraya merasai teksturnya. Sementara di belakang Galuh, jemari lelaki itu kian bertaut erat.

"Upgrade, yuk?" ucap Galuh mendongak.

Karim menatapnya beberapa saat, membiarkan jemari ramping itu menari di rahangnya.

"Alasan?" tanyanya kemudian.

"Pertanyaanmu kemarin itu bener." Galuh mengangkat tangannya yang lain, mendekatkan ibu jari dan jari telunjuknya hingga nyaris menempel seperti tempo hari. "Jarak ini, ada karena aku digoda bayang-bayang masa lalu. Kalau aku masih membiarkan ketakutan itu menguasai, jarak itu nggak akan pernah hilang. Aku nggak akan pernah berani buat upgrade."

"Hm, good point," ucap Karim dengan senyum di ujung bibir.

Galuh mengangguk dengan wajah memanas. Meskipun tidak bisa dipungkiri, dia juga merasa senang. Rasanya semelegakan ini.

"Jadi, itu kesepakatan baru kita? Berkomitmen?" tanya Karim memastikan.

Galuh mengangguk, sementara Karim menatapnya lekat.

"Kamu tahu pasti apa artinya, kan?"

Galuh menggigit bibirnya. Karim mengatakannya dengan serius, cukup membuat Galuh gentar juga. Tapi hei, dia tahu dia sedang digoda iblis saat ini. Karena, tidak ada yang menakutkan dari perkataan Karim. Lelaki itu serius karena kesepakatan mereka yang baru memang seserius itu.

Maka, Galuh mengangguk lagi. Dan wanita itu tidak melewatkan binar kelegaan di mata Karim sementara bibir lelaki itu kini tersenyum.

"Agreed," bisik Karim mengawasi anak rambut di depan telinga Galuh. Lelaki itu mengurai satu tangannya untuk menyelinap di telinga Galuh, menyila rambutnya. Ia menatap Galuh, yang juga balas menatap dengan sama diamnya.

"Do you mind if I kiss you?"

Galuh sedikit terkejut. Ia menatap Karim beberapa saat, menelisik sepasang mata legam yang menatapnya dalam diam.

Dan Galuh menggeleng.

Jantungnya berdegup kencang kala kedua lengan lelaki itu kembali memerangkap pinggangnya, menariknya mendekat. Sementara tangan Galuh kini merayap ke bahu Karim, meremasnya ketika Karim perlahan mendekat.

Sebuah nada dering terdengar nyaring di saku Karim, membuat keduanya membuka mata. Galuh tertawa kala melihat sorot kecewa di mata Karim.

"Diangkat dulu," kekeh Galuh berusaha menjauh, namun Karim menahannya dengan tangan kiri sementara tangan kanannya meraih ponsel.

"Virsha," ucap Karim mengaktifkan loudspeaker dan membawanya di antara mereka.

"Kenapa Rim? Sori gue barusan pulang tadi."

Galuh melipat bibir ke dalam, tahu sekali tujuan Karim mengaktifkan loudspeaker.

"Gue butuh laporan lo besok pagi. Jumlah rinci yang udah disetujui tadi siang, untuk semua produk," ucap Karim tanpa melepaskan pandangan dari Galuh.

"Oh, oke. Besok jam sepuluhan udah siap di meja lo."

"Hm. Thanks."

Karim menutup sambungan dan meletakkan ponselnya sembarangan di atas meja. Ia menatap Galuh sejenak sebelum meraihnya mendekat dan menunduk.

Dering ponsel kembali membuat benda tipis itu bergetar.

Membuka mata, Galuh melihat wajah Karim kini kembali mengerikan. Dengan bibir menipis, lelaki itu mengaktifkan mode loudspeaker dan membiarkan ponselnya di atas meja sementara kedua tangannya kembali memerangkap tubuh wanita itu.

"Ab--God!"

Galuh buru-buru menutup mulutnya saat Karim mengecup pelan sisi leher di bawah telinganya. Ringan, namun seluruh tubuhnya kini menegang.

Galuh melotot pada Karim, yang mengangkat alis tanpa rasa bersalah. Lelaki itu mengedik ke arah ponsel.

"...lo? Mas? Gimana? Calon lo marah?" sebuah suara panik terdengar dari sana, dari sebuah nomor yang tidak bernama.

"Itu Melisa," bisik Karim.

"Sori banget deh. Gue tadi nggak tahan soalnya. Adeknya Darius emang rewel banget. Ya ampun, dia nggak mutusin lo gara-gara tadi kan? Gimana kalau calon lo ketemu gue? Biar nggak ada salah paham gini."

Karim menjauhkan wajahnya. "Mau ngomong sama dia?"

Galuh menurunkan tangan. Wanita itu menatap Karim beberapa saat, berpikir. Lalu ia mengangguk.

"Mas bro? Woi? Sibuk apa sih?"

Galuh mengerjap. Karena di bayangannya, Melisa adalah orang yang anggun dan lemah lembut. Mirip Karim.

"Mau ketemu dianya. Di...?" Karim bertanya pada Galuh.

"Di...terserah, eh. Kan dia baru hamil," ucap Galuh cemas.

Karim menatapnya beberapa saat, lalu mencium kening Galuh dengan singkat.

"Lo mau ketemu dimana, Mel? Dianya ngikut lo."

"Duh, kan gue nggak hapal daerah sini. Besok juga gue udah balik. Umm...resto seafood tengah kota aja deh. Gue baru pingin makan itu. Besok jam makan siang, ya. Habis itu gue langsung ke bandara."

"Resto seafood, besok waktu makan siang."

Karim menutup sambungan dalam sekali geser. Galuh menahan bahu lelaki itu kala Karim menariknya mendekat hingga Galuh harus berjinjit.

Masih ada jejak pahit dari kopi di bibirnya, Galuh merasa dengan mata tertutup. Juga, rasa manis dari gula yang sedikit tercecap. Selebihnya, wanita itu hanya terfokus pada rasa hangat dari bibir yang tengah memagutnya dengan lembut. Sementara jantungnya berdegup ceria, menyebarkan gelayar familiar ke seluruh ujung tubuhnya.

He ia a good kisser, batin Galuh menikmati setiap sentuhan yang lelaki itu berikan. Lelaki itu berlama-lama di sana, tanpa tergesa, seolah mereka mampu saja jika harus menjaga tempo hingga besok pagi. Galuh meraih rahang Karim dengan kedua tangan, memainkan jemarinya di sana sementara Karim merapatkan pelukan di pinggangnya. Mendekapnya hingga jarak antara mereka kini tiada.

Ketika lelaki itu menekan punggungnya untuk memperdalam ciuman, tangan Galuh merangkak naik dan memeluk lehernya. Berusaha meredam sesuatu yang kini mulai berpusar di perutnya, menarik-narik kesadaran Galuh agar ia menyerah saja pada hawa panas yang kini menelan mereka.

Pada titik ketika desahan Galuh hampir terlepas dari ujung lidah, Karim memisahkan diri.

Membuat Galuh ingin protes saja.

Lelaki itu mengangkat wajah, menatap Galuh dengan tatapan yang sangat dikenalnya hingga wanita itu menelan ludah tanpa sadar.

Karim menghela nafas panjang dan terkekeh. Ia mencium kening Galuh dengan lembut sebelum menyelusupkan wajah di lekukan leher wanita itu, menata nafas di sana dengan kedua tangan memeluk erat wanitanya. Sementara Galuh juga mengatur nafas, berusaha meredam pening hebat yang tengah melanda. Ia memejamkan mata, menyelusupkan jemarinya di sela rambut Karim yang masih terasa lembab.

"Kamu demam?" tanya Karim beberapa saat kemudian. Lelaki itu mengangkat wajah, menatap cemas Galuh dengan nafas yang sudah teratur. Karim menempelkan telapak tangan di dahi dahinya. "Dari tadi kamu agak hangat. Demam, ya? Mau flu?"

Subyektif, sebenarnya. Karena dia jelas hangat setelah apa yang baru saja mereka lakukan.

"Kayaknya memang mau flu. Dari tadi tenggorokanku sakit," ucap Galuh mengernyit, merasai tenggorokannya yang memang terasa perih. "Abang, kamu ketularan."

Karim mendengus pelan sebelum mengecup singkat bibir Galuh.

"Kamu mau pulang jam segini? Aku nggak bawa mobil," ucap Karim membuat Galuh melirik jam dinding. Hari sudah larut malam dan hujan yang sempat terabai ternyata masih sederas tadi. Titik-titik airnya terasa kuat dan deras menghantam atap.

Galuh menggeleng. Wanita itu celingukan, lalu meraih tisu yang ada tidak jauh di belakangnya sebelum mengusap hidungnya.

"Besok aja. Aku nggak kuat," bisik Galuh kala kepalanya berdenyut hebat. Salahkan Karim dan ciumannya yang membuat sakit kepala itu semakin menjadi.

Karim menatap Galuh beberapa saat, lalu menghela nafas pelan.

"Tidur," ucapnya singkat. "Hidungmu udah merah gitu."

Galuh mengangguk.

"Aku ikut nginep. Jangan khawatir. Nanti aku tidur di lantai bawah."

"Tapi aku nggak ada selimut," gumam Galuh meraih rahang Karim. Entah kenapa, rahang itu begitu menggoda jemarinya untuk menari di sana. "Nggak pulang aja, Bang? Dicari Tante, nanti."

"Dan ninggalin kamu sendiri di sini? Malam-malam dan hujan sederas ini?" geram Karim. "Kalau ada maling gimana? Kalau ada pohon tumbang gimana? Kalau kamu butuh apa-apa gimana?"

Galuh memutar bola mata.

"Aku juga nggak ada jas hujan. Dipinjam teman tadi," ucap Karim menjawab teka-teki Galuh tentang mengapa dia bisa sampai basah kuyup begitu.

"Ck, dasar masokis," gerutu Galuh.

Karim tertawa pelan. "Dari peternakan terang-terang aja. Waktu masuk kota, baru hujan deras dan dia belum pulang. Sementara pikiran kamu udah kemana-mana gitu."

Galuh bergumam kecil. Wanita itu berjalan dengan kaki mengerut, karena ternyata lantai kini jadi dingin sekali.

"Nanti aku telfon Mama. Kamu tidur, sekarang," ucapnya kala melihat hidung Galuh yang semakin memerah dan mata yang mulai berair.

Galuh mengangguk, singkat saja. Karena otaknya terasa kocak di dalam rongga kepala. Galuh berjinjit, lalu mencium singkat pipinya.

"Aku ke atas. Ada kasur gulung yang biasa dipakai Catra. Pakai itu, Bang," bisik Galuh tidak kuat kala kepalanya berdentam hebat.

"Hm." Karim mencium puncak kepalanya. "Sleep tight."

Karim mengawasi wanita itu naik tangga. Kentara sekali berjengit kala telapak kakinya bersapa dengan dinginnya lantai. Lalu saat dia menghilang, Karim meraih ponselnya dan menelfon Tiya.

"Karim! Kamu kenapa belum pulang? Ini hujannya lebat banget!" suara khawatir Tiya terdengar.

"Aku nggak pulang malam ini, Ma. Bibi sama Pak Wiwid masih di sana, kan?"

"Iya, masih di sini. Kan perbaikan rumahnya Pak Wiwid masih belum selesai. Belum berani pulang apalagi cuaca begini," ucap Tiya cemas. "Kamu lembur, ya? Tidur di kantor?"

Lelaki itu meraih dua cangkir dengan satu tangannya dan membawanya ke wastafel sementara tangan yang lain masih menahan ponsel di telinga.

"Calon mantu Mama baru sakit. Aku jaga dia dulu, ya?"

Hening. Hening yang lama.

"KARIM MAHAPUTERA!! KAMU HARUS BAWA CALON MANTU MAMA KE RUMAH!"

Karim menjauhkan ponselnya dari telinga kala Tiya berteriak heboh.

"Iya...oke," sahut Karim cemas setelah memastikan Tiya tidak berteriak lagi. "Mama jangan gitu. Keep calm."

"Kamu itu!" Tiya terengah. "Dari kemarin-kemarin juga...ck! Dijaga yang bener. Dijaga, Karim. Paham?"

"Iya. Mama tidur. Udah malam."

"Namanya siapa?" tanya Tiya penasaran.

"Besok aku cerita."

"Oke," tukas Tiya.

"Mama ti--"

"Kerja dimana?"

Karim menghembuskan nafas sabar.

"Besok, Mama. Sekarang Mama tidur dulu. Udah jam segini, jangan tidur malam-malam."

Tiya mendengus keras, dan Karim yakin sekali jika mamanya kini sedang mencebik.

"Oke, tidur sana. Ah ya ampun, Pak Wiwid--"

Karim mematikan ponselnya. Pasti saat ini Tiya bercerita seru pada Pak Wiwid sekeluarga. Karim tersenyum kecil seraya mencuci cangkir mereka. Ia menangkupkan cangkir itu di rak kecil di samping wastafel sebelum naik dengan hati-hati menuju lantai dua.

Dilihatnya Galuh sudah tertidur di sofa. Bergelung di dalam jaket tebal miliknya. Ah, Karim sendiri basah kuyup tadi, jadi tidak punya apapun untuk dipinjamkan pada wanita itu.

Lelaki itu mendekat perlahan. Merapikan jaket untuk menutupi telapak kaki Galuh yang terbuka. Dipandanginya sejenak wajah manis yang kini terlelap itu, lalu membungkuk dan mencium ringan keningnya.

Karim menatapnya beberapa saat. Lalu ia berjalan ke pojok ruangan dan memanggul kasur gulung berbahan dacron itu sebelum turun dan membaringkan diri di dapur.











*TBC*

Bubye

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro